Oleh : Sofyan A Togubu
Independen- Dari Sofifi menuju Kecamatan Weda Tengah Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara, butuh waktu kurang lebih 3 jam 15 menit. Lama waktu perjalanan itu jika menggunakan kendaraan roda empat. Sementara saya hari itu dengan sepeda motor, menghabiskan waktu tempuh kurang lebih 2 jam 55 menit dengan jarak tempuh mencapai 129,8 km.
Perjalanan itu terbilang melelahkan. Tujuan saya ke kawasan industri tambang PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef dan beberapa desa di Kecamatan Weda Tengah. Perjalanan ini ingin mencatat aktivitas nelayan di wilayah lingkar tambang yang mulai beroperasi 2018 lalu dan menyebabkan perubahan besar lingkungan dan kehidupan warga saat ini.
Dalam perjalanan sebelum memasuki kawasan industri tambang saja, debu terlihat beterbangan menutupi jalanan. Motor yang ditumpangi dan jaket hitam saya kenakan dipenuhi debu. Kondisi ini juga memaksa harus melindungi hidung dan mulut dengan masker.
Beberapa kampung yang dilewati sebelum pusat kawasan industri, penjual di pertokoan serta pelayan warung makan, terlihat biasa saja, meski menghirup debu tak henti seperti tak hirau.
Saat berada di Lelilef, kampung di ring satu pusat industri itu seperti tak tidur. Gemuruh mesin pabrik dan buruh yang masuk dan pulang kerja larut malam jadi hal biasa. Sepanjang jalan kadang terlihat pekerja yang tak punya kendaraan, berdiri di tepi jalan menunggu tumpangan. Yang tidak mendapatkan tumpangan mesti jalan kaki berkilometer menuju rumah kosan atau tempat tinggal.
Fenomena ini mudah ditemui, selain debu dan tingginya tingkat kemacetan di jalanan memasuki kawasan industri. Warga di sana juga hafal betul waktu macet yakni sejak pukul 05.00 subuh hingga pukul 21.00 WIT saat masuk dan pulang kerja. Kondisi ini sudah jadi keseharian warga Lelilef Sawai maupun Lelilef Waibulan. Menikmati dampak masuknya industri tambang di kampong mereka.
Lalu bagaimana dampaknya pada pesisir dan laut mereka saat ini?
Masyarakat setempat mengandalkan melaut dan hasil pertanian. Hasil menangkap ikan jadi sumber pendapatan, selain dimakan dan juga dijual. Saat hadirnya perusahan tambang, memberi dampak cukup signifikan bagi dua profesi warga di daerah ini.
Otniel Tobo (60 tahun), nelayan Dusun Likulamo, Desa Lelilef Woebulen Kecamatan Weda Tengah ditemui Minggu (8/10/2023), mengaku jika hasil tangkapannya dulu dan sekarang jauh berbeda. Otniel bilang profesi nelayan yang dia geluti saat ini diwariskan secara turun temurun sejak sebelum industri tambang masuk ke kampong ini. Kala itu dia begitu mudah mendapatkan ikan saat melaut.
“Dulu, memancing di pesisir pantai saja sudah dapat tangkapan melimpah, dengan harga jual ikan waktu itu juga terbilang murah. Lima hingga 10 ekor, dijual Rp.5000 – Rp 10.000. Sekarang berbeda. Harga ikan makin mahal tetapi hasil tangkapan juga makin sulit,”katanya. Otniel mengakui, saat ini harga jual ikan jauh lebih mahal.Apalagi untuk jenis ikan karang. Di pasar dijual dengan harga Rp30 ribu sampai 40 ribu per kilogram. Tapi masalahnya ikan juga susah.
Dia bilang lagi setelah masuk perusahan tambang,dia sudah memancing ikan lebih jauh lagi dari pesisir pantai. “Dulu memancing ikan dasar (ikan karang,red) dekat saja dari pesisir sudah dapat. Harganya juga murah, yang mahal itu ikan cakalang,” kisah Otniel.
Begitu juga untuk tempat memarkirkan perahu saat pulang melaut. Dulu pulang memancing dan hendak memarkirkan perahu masuk lewat Sungai Kobe karena air sungainya dalam. Perahu bisa diparkir depan rumah tepat di tepi sungai.
“Sekarang perahu sudah tak bisa masuk ke sungai karena sudah mengalami sedimentasi menyebabkan pendangkalan. Akhirnya perahu hanya bisa diparkir di pesisir pantai,” ujarnya.
Senada dengan Otniel, Lariando (57 tahun) nelayan Desa Sagea Weda Utara, juga mengeluhkan hal yang sama. Ditemui Minggu (8/10/2023) usai pulang memancing ikan mengaku, aktivitasnya menangkap ikan sudah dijalani kurang lebih 19 tahun. Yang dia rasakan belakangan ini hasil tangkapan terus berkurang. Dia curiga ramainya aktivitas kapal dan tongkang di laut weda dan beberapa kali menabrak rumpon milik nelayan ikut berdampak terhadap hasil tangkapan mereka.
“Ada kapal besar menabrak rumpon saya, tepat waktu subuh. Rumponnya rusak, jika mau bikin baru lagi biaya pembuatannya cukup besar. Butuh sekira Rp 10 juta. Kapal yang menabrak rompon itu juga kita belum tahu pasti. Tidak hanya saya, rumpon milik teman saya juga ditabrak. Saat kejadian kita sempat menyalakan senter tetapi tidak terlihat plat kapal (ship plate) nya,” ceritanya.
Rumpon yang rusak berpengaruh kepadanya. Jika hanyut atau rusak tidak tahu harus memancing ikan ke mana. Dia bilang lagi rumponya bisa tahan jika tidak ditabrak kapal. Dulu, rumpon bisa bertahan sampai 7 tahun jika tidak putus akibat ditabrak kapal.
Persoalan yang dihadapi nelayan seperti Lariando, tidak hanya masalah aktivitas kapal yang mengganggu nelayan. Hasil tangkapan ikan juga tidak sebanding dengan biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) saat melaut.
Dulu ikan masih murah, satu kantong (5 sampai 10 ekor,red) Rp 5 ribu tetapi sekarang satu kantong Rp20 ribu. Harga ikan sekarang ini mahal, tetapi ikan hasil tangkapan juga minim.
Ambil contoh hari itu dia dapat hanya 10 kantong. Harga 1 kantong Rp20 ribu. Jika memancing ikan semalam dapat 10 kantong dapat uanganya Rp200 ribu. Sehari sebelumnya dapat hanya 3 kantong ikan. Tak sebanding dengan biaya BBM yang dikeluarkan saat melaut sekira 5 liter BBM. “Dulu pendapatan sampai Rp 1 juta. Sekarang hanya Rp300 ribu. Tidak cukup memenuhi biaya BBM. Sekarang ini jika dapat ikan dijual cukup hanya masyarakat Desa Sagea saja. Dulu hasil tangkapan ikannya dijual sampai Lelilef, atau desa lainnya,” ujar Lariando. Ikan di pesisir juga jika dilihat memang masih ada tapi tidak sama seperti dulu.
Dibanding sebelum masuk perusahaan tambang nikel di Halmahera Tengah, nelayan mencari ikan dari pesisir pantai saja sudah dapat, sekarang tidak lagi. Kondisi saat ini sudah berbeda. Untuk memperoleh hasil tangkapan nelayan harus mengeluarkan uang lebih agar bisa berlayar lebih jauh. Dengan begitu dapat hasil tangkapan lebih banyak.
Tangkapan Nelayan Makin Menurun
Pengakuan Otniel Tobo dan Lariando, tidak berlebihan hal ini turut dibenarkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Halmahera Tengah, Mufti Abdul Murhum. Dihubungi Selasa (10/10/2023) dia membenarkan dampak yang dirasakan nelayan akibat adanya industry ekstraksi nikel ini.
Dia bilang lokasi tangkapan sudah lebih jauh dan hasil tangkapan nelayan semakin sedikit. Kalau mau tangkapan banyak harus mengeluarkan biaya operasional besar.
Kehadiran KI Weda sebagai salah satu Proyek Strategi Nasional (PSN) dengan kegiatan utama hirilisasi industri pertambangan, memiliki dampak juga terhadap kondisi sosial dan ekonomi desa sekitarnya.
“Khusus nelayan tradisional ada dampaknya, seperti sudah disampaikan. Untuk mengantisipasinya agar mereka tetap berusaha di sektor tersebut, sejak 2020 Pemda Halmahera Tengah telah melakukan berbagai terobosan. Yakni memfasilitasi armada tangkap yakni bantuan bodi ukuran 2,5 GT dan mesin 15 PK. Memfasilitasi sarana alat tangkap dan alat bantu tangkap serta bantuan sarana budidaya ikan tawar,” klaim Mufti.
Adanya fasilitas tersebut dia berharap para nelayan bisa menjangkau lokasi tangkapan yang agak jauh dari desanya dan terus berusaha di sektor perikanan.
“Saat ini kalau kita amati, desa-desa sekitar kawasan industri ada banyak usaha di sektor perikanan yang tumbuh seperti penampung dan pemasaran ikan.
Data jumlah pelaku usaha penampung dan pemasaran ikan misalnya, sebanyak 26 unit usaha yang tersebar di Kecamatan Weda Tengah. Belum termasuk di Kecamatan Weda Utara. “Ke depan kita akan terus bantu peningkatan kapasitas dan pendampingan agar usaha yang ada terus maju dan berkembang,” jelas Mufti
Dia juga jelaskan, data sarana tangkap tahun 2022, di Weda Tengah berjumlah 67 unit dengan rincian tanpa motor 24 dan motor 43 unit dengan jumlah nelayan tangkap 201 orang. Sementara di Weda Utara jumlahnya ada 89 unit dengan rincian perahu tanpa motor 31 unit dan motor 58 unit dengan jumlah nelayan tangkap sebanyak 258 orang.
Pemerhati Lingkungan Desa Sagea-Kiya, Adlun Fikri bilang secara keseluruhan nelayan di Teluk Weda, khususnya desa-desa paling dekat dengan aktivitas industri tambang seperti Lelilef, Gemaf dan Sagea sangat terdampak.
“Pertama, wilayah tangkap mereka lebih banyak dipengaruhi lalu lalang tongkang. Kadang beberapa nelayan mengeluh rumponnya ditabrak. Misalnya kejadian di 2023 ini di wilayah Kecmatan Patani menggelar aksi karena terganggunya wilayah tangkap nelayan,”jelas Adlun, Senin (9/20/2023).
Sementara di Desa Gemaf, nelayan mengeluhkan ada kapal membuang oli ke laut. “Ada dokumentasi nelayan Desa Gemaf nilon/tali pancing mereka kotor oli. Perahu juga harus dicuci terus begitu pula jaring ikan,” jelas Adlun.
Dia bilang, dulu nelayan menangkap ikan itu sangat dekat sekitar 300 meter dari kampong. Tetapi sekarang lebih jauh. Ini membuat biaya nelayan lebih tinggi karena wilayah tangkap makin jauh.
“Hal ini harus ada perhatian pemerintah. Misalnya mengatur jalur kapal, dan adanya fungsi kontrol lingkungan. Banyak nelayan berdampak, jadi kami berharap pemerintah proaktif melihat dampak industri tambang terhadap nelayan. Sekarang ini jarang pemerintah menyuarakan masalah nelayan,” cecarnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, Faisal Ratuela bilang desa Gemaf dan Lelilef berada di ring I dan berbatasan langsung dengan kawasan industry PT IWIP. Sementara Desa Sagea masuk ring II. Desa desa ini memiliki 3 ekosistem yang ikut alami perubahan. Yakni ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Tiga ekosistem itu berhubungan dengan keberadaan ikan di wilayah itu. Ketika ada reklamasi untuk pembangunan bandara dan PLTU menganggu aktivitas nelayan kecil dan tradisional yang meletakan kehidupan mereka di tiga ekosistem tersebut.
Nelayan yang dulu wilayah dan armada tangkap hanya khusus di bawah satu mil, harus menangkap ikan lebih jauh. Hal ini karena ruang tangkap mereka di wilayah pesisir sudah hilang terdampak reklamasi untuk membangun infrastruktur industri pertambangan nikel .
“Riset kami bersama teman- teman peneliti menemukan masih ada jenis-jenis ikan tertentu tetapi dalam konteks masih adaptasi. Penelitian yang dilakukan dari perairan tanjung Ule, menemukan beberapa ikan di tubuhnya mengandung bahan kimia terutama di ginjal dan hati ikan,” jelas Faisal.
Hal ini diperkuat dengan terjadinya penurunan potensi perikanan di sepanjang pesisir Lelilef, Gemaf dan Sagea.
“Industri yang ada tidak boleh mengabaikan ruang hidup masyarakat hanya karena indikator bahwa belum melampaui ambang baku mutu. Jika itu dilakukan oleh negara akan berdampak pada keselamatan warga di dimana industri pertambangan berada,” tegas Faisal.
Dia bilang Walhi Maluku Utara selalu bicara pada aspek perairan. Lebih utama gugusan pulau-pulaunya. Jadi Walhi tidak hanya meletakan konteks pulau-pulau kecil berdasarkan luasan pulau tetapi melihat daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terbatas.
“Ketika ada perubahan bentangan alam sangat berdampak terhadap masyarakat yang hampir 80 persen warganya hidup di wilayah pesisir,”katanya.
Mestinya, warga di lingkar tambang dengan kehadiran investasi itu bisa menaikan taraf hidup masyarakat. Pemerintah harus mengatur distribusi hasil tangkapan nelayan. pemerintah juga harus memprioritaskan nasib masyarakat local.
“Satu hal harus diingat pemerintah, ada banyak orang yang datang mencari makan. Maka jangan ganggu juga pemilik sah kampong. Mereka harus memiliki wilayah hidup. Dengan lajunya industri nikel ini, saya hampir pastikan 10 tahun ke depan kondisi lingkungan semakin parah. Baik di darat maupun di laut sama sama mengancam petani dan nelayan,” tegas Faisal.
Faisal menanggapi langlah Pemkab Halmahera Tengah menangani persoalan nelayan. Menurutnya, perlu dilakukan langkah tepat. Upaya saat ini tidak tepat sasaran. “Bagaimana mau mendorong budidaya ikan ketika lokasinya sudah terpapar. “Mau dibuat model seperti apa pun tanpa perbaikan kualitas lingkungan akan sama saja. Ini proses menghabiskan uang negara hanya untuk membuat kegiatan yang tidak berdampak secara berkelanjutan kepada masyarakat,” cecarnya. Selama upaya pemulihan ekologi tidak dilakukan hanya akan jadi beban baru bagi masyarakat. Memberikan armada tanpa memperbaiki kualitas perairan akan sama saja. Justru akan jadi beban ketika melaut. Sementara kalau diberikan fasilitas mestinya harus lengkap jika mau serius.
Masri Santuli Akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara bilang apa yang dialami nelayan hari ini menunjukan adanya kerusakan lingkungan di Halmahera Tengah sudah parah.
Hasil tangkapan nelayan terus berkurang, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
“Riset bersama peneliti dan Walhi Maluku Utara memang betul di daerah Sawai, Lelilef dan Gemaf itu hasil tangkapan mulai berkurang,”akuinya.
Dulu, sepanjang pesisir Desa Lelilef dipenuhi hutan mangrove. Namun sejak masuk perusahan tambang nikel milik PT IWIP pada 2018 seluruh pesisir pantai Desa Lelilef direklamasi secara masif dan tidak ada lagi mangrove tersisa.
Dijelaskan, ikan hilang bahkan bermigrasi di daerah lain selain karena reklamasi juga adanya tongkang- besar memuat ore nickel dari kalimantan, kemudian dari perusahan lain misalnya dari Gebe.
“Hasil ore dibeli IWIP. Mereka bawa ke perusahan. Melewati ruang tangkap nelayan membuat ikan ikut menghindar. Jadi, wajar nelayan di sekitar tambang seperti Sagea, Lelilef Sawai bahkan di Kobe yang hidup di pesisir laut itu mengalami masalah yang sama,”terangnya.
Sebuah studi dilakukanPerkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), lembaga yang konsen pada ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Mereka menguji kualitas air laut di pesisir desa di kawasan industry PT IWIP Juli 2023. Mereka menganalisis kualitas air permukaan, terutama kualitas air laut dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 dan Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) sekaligus menjadi alat ukur analisis (https://www.aeer.or.id/2023/07/31/dilema-halmahera-di-tengah-industri-nikel/).
Mereka mengukur kualitas air laut di sepanjang kawasan industri PT IWIP membentang dari bibir pantai perbatasan Desa Gemaf dan Desa Lelilef Sawai hingga muara Sungai Ake Doma yang hilirnya melintasi Desa Lelilef Sawai. Garis pantai kawasan ini mencapai 12 km. Hasil kajian mereka menunjukan suhu air laut dan konsentrasi kromium heksavalen tinggi ditemukan di muara pembuangan air limbah. Suhu air mencapai 35⁰C dan kandungan kromium heksavalen mencapai 0,024 mg/L.
Lembaga ini melakukan dua kali pengukuran. Hasilnya suhu tersebut ditengarai mengancam keberlangsungan hidup karang, hutan bakau, dan lamun. Konsentrasi kromium heksavalen juga melewati baku mutu yang diatur IRMA dan PP No. 22/2021 untuk wisata bahari dan biota laut. Air limbah tersebut merupakan Air bahang.
Sekadar diketahui, air bahang merupakan air laut yang telah digunakan dalam proses pendinginan mesin PLTU yang dibuang kembali ke laut, sehingga suhu permukaan laut mengalami peningkatan dari suhu rata-rata laut. Senyawa kimia ini tidak hanya muncul secara alami, tapi juga dapat dihasilkan dari proses industri, seperti pengolahan bijih nikel, pengelasan baja, pengecatan, serta pemotongan, penggilingan, dan peledakan pasir. Senyawa ini merupakan logam berat yang sangat toksik bagi manusia dan tidak mudah terurai di lingkungan. Studi-studi kesehatan telah menunjukkan bahwa kehadiran kromium heksavalen dalam air minum dapat meningkatkan risiko kanker lambung dan gangguan kesehatan reproduksi.
Hasil pengukuran kualitas air laut di sekitar kawasan PT IWIP
Lewat riset itu AEER menjelaskan bahwa secara umum, air laut bersifat basa dan suhunya cenderung tinggi. Sifat kebasaan air laut disebabkan oleh pelapukan batuan karbonat yang kemungkinan besar diakselerasi oleh aktivitas penggalian tanah.
Air laut terasa panas tidak hanya disebabkan oleh paparan sinar matahari, tapi juga air bahang dari operasional PLTU.
Air limbah ini membawa kromium heksavalen ke air laut, mengakibatkan kematian terumbu karang yang diikuti penurunan populasi ikan karang. Selain itu, logam berat tersebut juga bersifat toksik bagi hematologi dan respon kekebalan tubuh ikan dan manusia. Ini menunjukkan bahwa keberadaan kromium heksavalen dapat mengancam kesehatan manusia jika proses bioakumulasi terjadi pada ikan yang kemudian dikonsumsi warga setempat.
Masalah nelayan di desa lingkar tambang ini coba dikonfirmasi ke manajemen PT IWIP melalui surat permohonan wawancara, namun hingga tulisan ini terbit tidak ada tanggapan.
Surat resmi permohonan wawancara melalui pesan WhatsApp juga telah dteruskan ke kontak Humas PT IWIP sejak (14/10/2023). Upaya konfirmasi kembali menanyakan perkembangan permohonan pada 16 Oktober 2023. Namun, Humas IWIP menanggapi bahwa pertanyaan telah diteruskan ke manajemen dan sedang ditindaklanjuti. Sayang, ketika dikonfirmasi ketiga kalinya (23/10/ 2023) tidak ada lagi tanggapan hingga tulisan ini terbit.
Sekadar diketahui, kawasan industri PT IWIP mengolah nikel di Weda, Halmahera Tengah. Perusahaan ini adalah patungan tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham IWIP oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan, Perlux Technology Co.Ltd. Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.
Kawasan industri Teluk Weda di Halmahera Tengah ini, masuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Industri ini mengelola bahan tambang feronikel dan turunan jadi baterai untuk kendaraan listrik, stainless steel, fasilitas pendukung, dan smelter.
Sementara berdasarkan data Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) di Halmahera terdapat belasan perusahaan sudah operasi memproduksi nikel. Antara lain, PT Weda Bay Nickel (WBN)—perusahaan tambang ini bagian dari IWIP–, PT Halmahera Sukses Mineral, PT Tekindo Energi, PT First Pacific Mining, dan PT Dharma Rosadi Internasional. Ada, PT Aneka Tambang Tbk, PT Harum Sukses Mining, PT Bhakti Pertiwi Nusantara, PT Position, PT Mega Haltim Mineral, PT Wana Halmahera Barat Permai.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Kabar Pulau pada 3 November 2023. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.