Oleh: Habil Razali
Di kepulauan terluar ujung barat Indonesia, tenaga kesehatan di Puskesmas Pulo Aceh bertaruh nyawa menantang ombak demi memberikan layanan medis kepada warga. Namun, di balik perjuangan itu, kesejahteraan mereka masih jauh dari harapan.
INDEPENDEN -- Perahu nelayan itu akhirnya merapat ke dermaga di bibir kuala Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, sekitar pukul empat subuh. Langit masih gelap, dan dingin menyelimuti para penumpang yang was-was. Mereka sedang membawa seorang ibu hamil dari Pulo Aceh ke rumah sakit.
Saat mendekat dermaga, perahu dengan lekas ditambat. Ferawati (32 tahun), bidan Puskesmas Pulo Aceh yang mendampingi pasien, bersama beberapa orang lainnya, segera memindahkan pasien ke mobil ambulans yang menunggu di dermaga.
Tapi laut yang tak tenang pagi buta itu mengayun perahu ketika pasien sedang diangkat. Akibatnya, perahu bergeser menjauh dari dermaga.
“Kalau kami lepas, pasiennya bisa jatuh ke laut,” kata Ferawati yang memegang sisi belakang pasien, menceritakan kisahnya ketika ditemui Jumat (23/8/2024).
“Biar pasien aman, saya akhirnya tercemplung ke laut.”
Peristiwa pada 2022 itu salah satu dari banyak kisah yang dialami Ferawati selama bertugas di Puskesmas Pulo Aceh, sebuah layanan medis di kepulauan terluar di ujung barat Indonesia.
Pulo Aceh terletak di Kabupaten Aceh Besar dan terdiri dari dua pulau berpenghuni: Pulo Breueh dan Pulo Nasi. Puskesmas tempat Ferawati bertugas berada di Pulo Breueh. Tidak ada akses darat antara kedua pulau tersebut.
Untuk menuju ke sana dari daratan Aceh di ujung utara Pulau Sumatra, harus ditempuh perjalanan laut selama 1 hingga 1,5 jam menggunakan perahu nelayan dari Lampulo atau Ulee Lheue di Kota Banda Aceh. Kapal KM Papuyu yang disediakan pemerintah hanya melayani rute dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Pulo Nasi.
Ferawati penduduk asli Pulo Breueh dan tinggal di Gampong Seurapong. Selesai kuliah pada 2014, Fera semula jadi bidan bakti di Puskesmas Pembantu desanya. Sejak 2020 hingga sekarang, ia bertugas di Puskesmas Pulo Aceh sebagai tenaga kontrak.
Memang apa bedanya bakti dan kontrak bagi Ferawati? “Bakti tanpa gaji, kontrak ada gaji,” jawabnya.
Tahun pertama kontraknya, ia mendapat bayaran Rp 500 ribu per bulan. Jumlah ini naik sejak 2021 hingga sekarang menjadi Rp 1,5 juta per bulan.
Sebagai bidan, Ferawati harus selalu siaga, termasuk ketika harus merujuk pasien melahirkan di tengah malam. Meskipun persalinan dapat dilakukan di Pulo Aceh, dalam situasi tertentu, pasien harus dirujuk ke Banda Aceh.
Karena itu, menghadapi ombak besar saat cuaca buruk sudah menjadi hal biasa bagi Ferawati. Misalnya, pada 2020, ia merujuk seorang ibu hamil yang retensi plasenta—yang plasentanya tidak keluar setelah persalinan.
Hari itu, kondisi pasien gawat dan laut juga sedang tak bersahabat. “Memang lagi badai. Hujan. Besar-besar kali ombaknya,” katanya.
Di antara pilihan sulit, tak ada keputusan terbaik selain tetap membawa pasien ke rumah sakit di Banda Aceh. Ferawati mendampingi pasien sepanjang perjalanan. Ketika mereka berangkat dari Pulo, langit sudah mendung. Begitu tiba di tengah laut, hujan mulai turun.
Perjalanan semakin menegangkan. Dalam situasi genting dengan perahu yang terus dihantam ombak, keluarga pasien meminta agar perahu menepi ke pulau terdekat. “Keluarga pasien minta dicarikan pulau,” kata Ferawati.
Namun permintaan itu tak bisa dipenuhi. Yang terpenting bagi Ferawati adalah keselamatan pasien. “Tidak bisa menunggu,” katanya.
Beruntung, mereka akhirnya tiba dengan selamat, meskipun terombang-ambing lama. “Seharusnya kami sampai dalam 30 menit, tapi hari itu 2 jam,” katanya.
Sejak akhir 2021, pemerintah telah menyediakan ambulans laut untuk merujuk pasien dari Pulo Aceh. Meskipun alat transportasi kini sudah lebih ideal dibandingkan perahu nelayan, tapi cuaca buruk dan ombak ganas tetap tidak bisa berkompromi bukan?
Belum Sejahtera
“Tidak cukup. Keperluan banyak,” kata Ferawati.
Gaji Rp 1,5 juta per bulan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian Ferawati, mengingat beratnya tanggung jawab dan tantangan yang dihadapi. Namun, ia segera menimpali, “tapi sebagai tenaga medis, kami tetap harus melayani masyarakat.”
Keperluan rumah tangganya yang kurang selama ini ditutupi suaminya. Saat ditanya mengenai kesejahteraannya, Ferawati bilang masih jauh dari cukup. Meskipun demikian, ia merasa gajinya masih lebih baik dibanding rekan-rekannya yang bekerja sebagai tenaga bakti di Puskesmas Pulo Aceh.
“Harus disyukuri, kami yang kontrak ada gaji Rp 1,5 juta, sementara yang bakti sama sekali tak ada,” katanya.
Di Puskesmas yang agak lengang Jumat pagi itu, Ferawati memanggil temannya yang berstatus tenaga bakti. Maka perkenalkan nama lengkapnya: Fitriani, seorang perempuan berusia 36 tahun yang tinggal di Gampong Lampuyang, dekat Puskesmas.
Fitriani sudah menjadi tenaga bakti sejak 2012. Di Puskesmas, ia berperan di bagian kesehatan masyarakat, seperti kampanye cara hidup sehat. Namun, ia juga sering merangkap tugas, membantu teman-temannya di bagian administrasi pasien hingga mengambil obat sesuai resep di apotek.
“Harus serba bisa di pulau,” kata Fitriani.
Peran utama Fitriani adalah ketika ia turun ke perkampungan untuk menemui masyarakat. Meskipun ia pernah kesulitan menjangkau desa terpencil di Pulo Breueh karena akses yang sulit, sekarang sebagian besar jalan sudah beraspal. Masyarakat pun menyambutnya dengan baik.
Apakah Fitriani juga harus menantang ombak untuk merujuk pasien? Ia bilang hal itu tidak termasuk dalam tugasnya, karena pendampingan pasien biasanya dilakukan tenaga medis, seperti perawat dan bidan. Lantas apa tantangan terbesar bagi Fitriani? Kesejahteraan.
“Kami yang bakti, belum sejahtera,” kata Fitriani. “Belum sejahtera.”
“Gaji pokok kami enggak ada.”
Selama ini, Fitriani hanya menerima bayaran dari dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jumlahnya sekitar Rp 400 ribu per bulan. Uang segitu tak mampu mencukupi kebutuhan hariannya. Karenanya, ia bekerja sampingan sebagai penjual pakaian keliling.
Pekerjaan ganda ini ia mulai sejak 2014, terinspirasi dari maraknya pedagang yang menjual produk mereka secara daring. Fitriani memanfaatkan waktu luangnya karena tugas di Puskesmas tidak setiap hari.
“Kepikiran, mending cari sampingan daripada cuma berharap dari Puskesmas saja,” katanya.
Fitriani menjual berbagai jenis pakaian: laki-laki, perempuan, hingga anak-anak dan dewasa. Jadilah dia ‘toko keliling’ dengan sepeda motor menyusuri perkampungan di Pulo Breueh setiap Jumat selepas bekerja di Puskesmas, ketika orang-orang pulau tak melaut dan menghabiskan hari dengan beristirahat.
Selain pakaian, warga juga kadang memesan barang lain, seperti tempat tidur. Ia menerima semua pesanan dan membelinya di Banda Aceh, dengan mengambil keuntungan sedikit sebagai ongkos membawanya pulang ke pulau.
Fitriani biasanya berbelanja barang jualannya setiap dua pekan sekali. Tapi menjelang hari raya, ia bisa berbelanja lebih sering, hingga dua atau tiga hari sekali, seiring peningkatan permintaan.
Ketika ditanya apakah penghasilannya dari berjualan pakaian cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Fitriani tidak memberikan jawaban yang lugas. Ia hanya bersyukur dan mengingat orang-orang yang menurutnya masih kurang beruntung.
“Alhamdulillah ada. Orang lain kadang untuk membeli nasi atau beras harus berhutang dulu. Alhamdulillah kami tak seperti itu,” katanya.
Jauh dari Anak dan Suami
Nova Hestika telah bertugas sebagai tenaga bakti di Puskesmas Pulo Aceh sejak 2022. Setelah lulus dari jurusan kesehatan lingkungan, perempuan berusia 31 tahun ini awalnya bertugas di Puskesmas di daratan Aceh. Namun, kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Pulo Aceh, tanah kelahirannya.
“Saya pindah untuk menolong masyarakat,” kata Hesti, yang berasal dari Gampong Paloh, Pulo Breueh.
Di Pulo Aceh, ia bertugas di bagian kesehatan lingkungan. Perannya hampir mirip dengan Fitriani yang sering turun ke perkampungan untuk mengajak masyarakat membiasakan pola hidup sehat, seperti buang sampah pada tempatnya. Selain itu, ketika berada di Puskesmas, ia juga sering membantu melayani urusan administrasi bagi masyarakat yang berobat.
Hesti nyaris tak menemui tantangan berat saat bertugas di sana. Kesulitan yang dihadapinya justru karena harus berjauhan dengan anak pertamanya dan suaminya yang tinggal di Banda Aceh. Dua anaknya yang lain tinggal bersamanya di Pulo Aceh.
“Sebulan sekali saya mengunjungi anak di Banda Aceh, menginap dua malam, habis itu balik lagi ke sini,” katanya.
Perjalanan bolak-balik inilah yang menurut Hesti menjadi tantangan tersendiri. Terutama karena cuaca yang terkadang tak pasti membuat perjalanan berisiko, apalagi saat ombak tinggi dan musim hujan. Mengapa tak pindah saja ke daratan Aceh agar lebih dekat dengan anak dan suami? “Saya suka Pulo Aceh, kampung sendiri,” kata Hesti.
Niat pengabdian di kampung inilah yang bikin Hesti bertahan meskipun tak memiliki gaji tetap. Selama ini, ia hanya menerima dana kapitasi JKN di kisaran Rp 200-300 ribu per bulan. Pendapatan segitu tentu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Beruntung, Hesti dibantu suaminya untuk menutupi keperluan rumah tangga.
Bagaimana Hesti menilai kesejahteraannya sendiri? “Sangat jauh dari sejahtera, sangat-sangat jauh,” katanya.
Namun, Hesti selalu mendapat dukungan dari orang tua dan suaminya. Baginya, mendapatkan surat keputusan (SK) sebagai tenaga bakti saja sudah menjadi sesuatu yang patut disyukuri. SK itu penting agar pengabdiannya diakui dan bisa digunakan sebagai syarat untuk mendaftar program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
“Bersyukur sekali, karena susah juga mendapatkan SK itu,” kata Hesti.
Terseok-seok di Ujung Negeri
Kisah Ferawati, Fitriani, dan Hesti hanya sekelumit nelangsa tenaga kesehatan di ujung negeri. Kepala Puskesmas Pulo Aceh Misriadi mengatakan di sana setidaknya ada 45 pekerja terdiri dari aparatur sipil negara, tenaga kontrak, P3K, dan tenaga bakti. “Hanya tenaga bakti yang tidak bergaji tetap, mereka sekitar 10 orang,” kata Misriadi.
Puskesmas selama ini membayar tenaga bakti menggunakan dana dari kapitasi JKN. Menurut Misriadi, besarnya bayaran berbeda-beda, tergantung pada pendidikan, beban tanggung jawab, dan kehadiran. Selain itu, mereka juga mendapatkan uang tambahan saat ada kegiatan turun ke masyarakat.
Misriadi bilang, kebanyakan dari 45 orang itu berasal dari daratan Aceh. Selama bertugas di Pulo Aceh, mereka tinggal di dua mes laki-laki dan dua mes perempuan, serta ada juga yang menyewa tempat tinggal sendiri. “Hanya sekitar 15 orang asli Pulo Aceh. Rata-rata mereka kontrak dan bakti,” katanya.
Karena itu, saat libur, mereka menempuh perjalanan laut menyeberang ke daratan Aceh. Akses ini menjadi sangat sulit di musim angin kencang. Mereka pun tak bisa langsung kembali jika ada keperluan mendesak, seperti keluarga sakit atau meninggal.
Misriadi sendiri, misalnya, meninggalkan anak dan istrinya di daratan Aceh. Ia harus bolak-balik ketika libur. Gaji sebagai ASN yang diterimanya hanya cukup untuk menafkahi keluarganya, ditambah lagi untuk biaya transportasi.
Bekerja di kepulauan terluar, Misriadi dan para tenaga kesehatan di Pulo Aceh berharap mendapatkan tunjangan 3T dari pemerintah pusat.
“Mungkin pekerjaannya dianggap [sebagai daerah 3T], tapi pembayarannya belum,” katanya.
Hal ini berbeda dengan ASN lain di Pulo Aceh, seperti guru yang mendapatkan tunjangan khusus dari pemerintah pusat setara sekali gaji. Sedangkan tenaga kesehatan, menurut Misriadi, hanya menerima tunjangan daerah terpencil dari Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. “Jumlahnya di bawah Rp 500 ribu,” katanya.
Sejak menjadi ASN di Pulo Aceh pada 2002, Misriadi mengingat bahwa para tenaga kesehatan di sana belum pernah menerima tunjangan 3T dari kementerian. Menurutnya, anak buahnya sering bertanya mengenai tunjangan itu, terutama ketika mendengar cerita ASN instansi lain. Tapi Misriadi pun tak tahu harus memberikan jawaban apa.
“Saya juga mengadvokasi ke atas, tapi belum terealisasi,” katanya.
Sementara itu, tenaga kontrak dan bakti semisal Ferawati, Fitriani, dan Hesti menaruh harap pengabdian mereka selama ini dapat berbuah manis dengan diterima sebagai P3K. Fitriani berharap penerimaan P3K di Puskesmas Pulo Aceh memprioritaskan mereka yang sudah lama mengabdi di sana.
Menurutnya, penerimaan sebelumnya yang dibuka untuk umum membuat mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi harus bersaing dengan pelamar lain dari luar.
“Jangan sampai orang luar pulau yang jadi P3K di sini. Fokuskan kami yang asli pulau yang bakti-bakti ini,” kata Fitriani.
“Selalu Berjuang, Mana Mau Anak Kita Sakit-sakitan”
Kepala Dinas Kesehatan Aceh Besar Anita mengatakan kesejahteraan para tenaga kesehatan di tingkat Puskesmas di Aceh Besar relatif sama, seperti mendapatkan dana kapitasi JKN dan dana alokasi khusus nonfisik untuk kegiatan turun lapangan. Bedanya, untuk Pulo Aceh ada insentif daerah terpencil dari pemerintah kabupaten.
“Ada diberikan insentif daerah terpencil, besarnya tergantung kemampuan daerah. Harusnya menurut saya kan lebih besar karena mereka jauh, tapi mungkin ya kemampuan daerah,” kata Anita.
“Kalau selama ini sudah diperhatikan, tapi mungkin besarannya itu yang mungkin menurut teman-teman di sana belum sesuai.”
Selain Puskesmas Pulo Aceh, Puskesmas Lamteuba yang terletak di kaki gunung Seulawah, juga menerima insentif daerah terpencil di Aceh Besar.
Anita mengaku sering mengunjungi Pulo Aceh, minimal dua bulan sekali. Ia menyebut selalu memperjuangkan kesejahteraan tenaga kesehatan di daerah itu. Dalam rapat, ia kerap meminta agar kebutuhan tenaga kesehatan di daerah terpencil dipenuhi.
“Selalu kami perjuangkan, mana mau anak kita tuh sakit-sakitan, kemudian kekurangan. Tetaplah kita berjuang,” katanya.
Mengenai tunjangan khusus 3T dari pemerintah pusat untuk daerah-daerah terpencil, Anita mengatakan akan mengajukannya. “Kalau dari pemerintah pusat nanti kami bisa ajukan lagi, paling kami advokasi ke sana,” kata Anita.
“Selama ini daerah sudah memperhatikan daerah terpencil, ada lebihnya dibanding dengan di darat.”
“Ini Kampung Saya”
Gampong Lampuyang yang basah pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Dari rumah dinasnya di kompleks Puskesmas, Misriadi mengendarai sepeda motor, menerobos gerimis yang masih belum reda pada pukul tujuh pagi. Ia bergegas menuju dermaga, mengejar kapal yang akan berangkat tujuan Banda Aceh.
Di bawah rinai yang dingin, Misriadi berbelanja ikan segar di sekitar dermaga untuk dibawa pulang ke keluarganya. Meskipun ia berasal dari Lampuyang, saat ini ia tinggal di daratan Aceh bersama istri dan anaknya. Pun begitu, ia tetap mengabdi di kampung halamannya, meski harus bolak-balik menyeberangi laut.
Menurutnya, sebagian besar teman seangkatannya yang mulai bertugas bersamanya di Lampuyang kini sudah pindah ke daerah lain. “Orang pindah pasti kariernya lebih bagus, saya bertahan karena ini kampung saya,” kata Misriadi. “Orang lain susah kemari, tapi selagi saya masih bisa, saya bertahan.”
Ketika tambatan dilepas dan kapal perlahan meninggalkan Lampuyang pada pukul delapan lewat, hujan sudah berhenti. Misriadi duduk bersama penumpang lainnya. Langit kini hanya menyisakan awan mendung, dan kapal bergerak menuju daratan paling ujung Pulau Sumatra.[]
===
Reportase ini adalah hasil fellowship beasiswa liputan dari Independen.id yang didukung oleh USAID, Aliansi Jurnalis Independen, dan Internews.