Pangan Lokal dalam Cengkraman Industri Tambang

 Oleh: Sahrul Jabidi

Independen- Hari mulai pagi, perjalanan menuju   Desa Kulo Jaya Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara memakan waktu perjalanan kurang lebih dua jam dari Desa Lelilef Sawai menuju desa setempat, pada Minggu (26/11/2023). 

Dengan menggunakan sepeda motor, perjalanan menuju desa itu melewati jalan berlubang tergenang air, karena baru saja terjadi hujan. Ketika memasuki desa, terlihat hamparan lahan perkebunan dan sawah milik warga. Memang rata-rata aktivitas warga di tempat itu adalah bertani. Mereka menanam padi dan tanaman pangan lokal.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Halmahera Tengah, Desa Kulo Jaya Kecamatan Weda Tengah memiliki luas wilayah 53,05 km dengan jumlah penduduk sebanyak 444 jiwa yang terdiri dari 261 laki-laki sebanyak 261 orang dan sisanya perempuan.

Kabupaten Halmahera Tengah sendiri memiliki luas 227.683 hektar, dan sejak Agustus 2018 dibebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar. Dengan kata lain 60 persen Halmahera Tengah jadi industri tambang yang sebagian berada di kawasan hutan.

Desa Kulo Jaya adalah salah satu desa dimana warga harus menanggung nasib dari dampak aktivitas industri pertambangan. Lahan perkebunan dan pertanian milik rakyat terdampak lumpur pertambangan akibat banjir beberapa waktu yang lalu. Konon banjir itu menyebabkan lahan perkebunan warga tak lagi subur. Buktinya hasil kebun berkurang drastis.

Misalnya Wantoneta Koyoyo warga Desa Kulo Jaya ini. Dia terlihat lesu duduk bersama anaknya Atu Duwonge yang baru saja pulang dari kebun, Minggu (26/11/2023) sekitar pukul 11. 18 WIT.

Wantoneta tinggal di desa Kulo Jaya ini sejak tahun 2003. Ia memiliki lahan dua hektar. Satu hektar masih bersertifikat yang ditanami padi, pisang dan ubi, sementara satunya belum dimanfaatkan karena belum bersertifikat.

“Waktu perusahaan belum masuk kita bertani masih sangat baik, semua hasil tanaman masih bisa makan, tapi sekarang malah tambah sengsara. Jadi kalau kita bilang dampak dari tambang di desa ini paling parah,” kata Wantoneta, saat dia dikunjungi media.

Perempuan berusia 58 tahun ini bercerita bagaimana sulitnya warga bercocok tanam akibat tanaman rusak terlibas banjir dan lumpur. Menurut dia kondisi sekarang ini sangatlah berbeda dibanding sebelum masuknya industri pertambangan.

Dulu padi maupun tanaman lokal berupa ubi kayu, ubi jalar, pisang, jagung, sagu, batatas dan juga sayur- sayuran tumbuh subur di atas perkebunan miliknya. Semua hasil tanaman masih dapat dikonsumsi untuk kebutuhan dalam rumah. Namun sekarang justru kebalikannya.

Menurut dia, meski aktivitas pertambangan hanya terjadi hujan di bagian pegunungan, tetap saja berdampak pada tanaman akibat sedimen dari hasil tambang.

Tanaman yang baru saja ditanam awalnya masih sangat subur, tapi ketika berselang beberapa bulan tanaman sudah mati. Ada yang masih hidup, namun  hasil tanaman rusak akibat lumpur yang memenuhi lahan perkebunan warga mencapai 30 cm.

Ia menduga tanaman yang rusak karena terkontaminasi dengan limbah industri pertambangan, sehingga tidak bisa panen. Lahan perkebunan miliknya masih dipertahankan, hanya saja tanaman dalam perkebunan itu tak bisa diharapkan karena tidak memiliki hasil.

Aktivitas industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi di Halmahera Tengah, khususnya di desa-desa yang berada di lingkar tambang seperti Kulo Jaya.

Riset  Perkumpulan  Aksi  Ekologi  dan Emansipasi  Rakyat  (AEER)  pada  bulan  Juli  2023 menyebutkan, kedatangan PT IWIP membawa perubahan yang signifikan dalam tatanan sosial dan ekonomi di desa-desa terdampak.

Petani-petani setempat terpaksa menjual lahan perkebunannya, dan beralih profesi. Tidak hanya mengurangi tutupan lahan pertanian, perusahaan juga melakukan reklamasi dan penebangan hutan bakau yang memaksa nelayan melaut lebih jauh.

Konsensi di Tengah Hutan

AMAN Maluku Utara menyebutkan, konsesi pertambangan berada di kawasan hutan seluas 72.775 hektar. Dari luas tersebut ada  bagian dari hutan lindung Ake Kobe seluas 35.155 hektar, hutan produksi Terbatas (HPT) 20.210 hektar. Kemudian, hutan produksi tetap 8.886 hektar, dan hutan produksi dikonversi (HPK) 8.524 hektar.

Petani terpaksa menjual lahan perkebunan dan mengurangi tutupan lahan pertanian. Akibatnya petani beralih profesi, termasuk menjadi buruh dan buruh tambang di perusahaan itu.

Serang (43 tahun) menceritakan, ia pernah ditawari oleh perusahaan untuk menjual lahan perkebunan miliknya. Tapi Serang menolak karena harga yang terlalu kecil. Untuk tanahnya, Serang ditawari Rp6.000 sampai Rp9.000 per meternya.

Dia mengaku baru akan melepas tanahnya bila Rp500.000 per meter. Selain itu keinginan menjual tanah juga akibat akses ke lahannya sangat sulit setelah tanah sekeliling terjual dan berpagar.

“Harga ini harga mati, karena semua sudah ada tanaman bulanan di dalamnya,” kata Serang begitu diwawancarai, Minggu (26/11/2023).

Untuk menuju kebun miliknya, Serang harus berjalan kaki kurang lebih   satu jam dari rumahnya. Dia memiliki dua anak. Si Bungsu bahkan sudah bekerja di industri pertambangan sejal 2022. Dia mengaku akibat menolak menjual tanah, karir si anak di perusahaan sempat terimbas.

“Gara-gara saya tidak jual lahan saya, sempat anak saya tidak diterima lagi. Jadi kalau kita melawan, bukan berhadapan dengan perusahaan tapi dengan aparat keamanan. Bahkan ketika kita bekerja di kebun, kita dipantau sama mereka,” keluh Serang.

Direktur Walhi Maluku Utara, Faisal Ratuela mengatakan, Walhi Maluku Utara belum memiliki data bahwa adanya warga desa Kulo Jaya yang menjual lahan kepada perusahan. Walhi juga baru melakukan advokasi di desa setempat.

Namun, Faisal mengakui bahwa, rata-rata lahan warga yang berada di lingkar tambang dijual kepada perusahan sebesar Rp6.000 – 9.000 per meter.

“Kita  tidak  bisa  memaksakan  warga  agar  tidak  bisa  menjual  lahan,  karena tidak  ada  keberpihakan pemerintah terhadap ruang hidup warga, jadi situasi ini yang terjadi,” kata Faisal begitu diwawancarai, Senin (08/01/2024) . 

Faisal menyebutkan, pelepasan hutan untuk aktivitas pertambangan, juga sangat berdampak terhadap lingkungan. Fakta menunjukan bahwa, ketika permukaan tanah digarap, efeknya tanah ikut terseret saat hujan, sehingga sendimentasi yang keluar bukan sendimentasi dari permukaan tanah, tetapi sendimentasi tanah yang mengandung nikel.

“Sistem perampasan ruang hidup oleh pertambangan akan berdampak pada kandungan tanah dan akibatnya juga berdampak pada tumbuh kembangnya produksi pertanian maupun tanaman warga,” kata Faisal.

Faisal menduga, ada upaya dan skenario industri pertambangan untuk mendorong warga meninggalkan pemukimannya. Ini adalah sistem yang dibangun industri pertambangan yang didukung oleh pemerintah untuk menghilangkan kampung-kampung atau merelokasi warga. Sebab secara kualitas lingkungan hidup masyarakat baik di darat, udara maupun di laut tidak lagi meberikan dampak yang baik akibat industri pertambangan.

Walhi Maluku Utara secara tegas meminta agar negara mengevaluasi Kembali Proyek Strategis Nasional (PSN), karena PSN di Maluku Utara gagal dalam memberikan kesejahteraan warga yang berada di lingkar tambang. Begitu juga mengevaluasi terhadap Pemerintah Provinsi Maluku Utara maupun Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kehutanan, karena membiarkan proses penghancuran ekologi terus terjadi, sehingga ruang hidup masyarakat yang semestinya menjadi penyumbangan ekonomi menjadi hilang.

“Jika pengawasan dan evaluasi terus dibiarkan, maka apapun program pemerintah baik pertanian maupun perikanan, gagal. Harus juga ada penindakan terhadap perusahan dan pemerintah yang diduga menghancurkan ekologi lingkungan di Halmahera Tengah,” tegas Faisal.

Konsumsi Pangan Lokal Mulai Sulit

Norma Yunita yang juga warga Desa Kulo Jaya ini, mengatakan kehidupan keluarganya masih lebih baik sebelum perusahaan hadir.

“Walaupun tidak ada uang, masih bisa makan dengan hasil tanaman. Bahkan sebagian lainnya bisa dijual, tapi untuk sekarang memang sudah tidak bisa,” kata dia. 

Dalam sehari, kata Norma harus mengeluarkan uang sebesar Rp100.000 – Rp300.000 untuk membeli pisang, ubi dan ikan, sayur sayuran dan air untuk minum.

Untuk beli air galon dalam sehari harus tiga galon seharga Rp 36 ribu. Sementara harga pisang Rp25.000 ubi per gandeng 35.000 yang hanya 4 buah. Belum lagi ditambah dengan harga beras per kilogram Rp 18.000.

“Torang (kita) kira kalau ada tambang itu kita sejahtera, tapi ternyata tambah susah. Makan saja sudah susah, beruntung kalau ada uang, kita bisa makan, tapi kalau tidak, ada berarti makan seadanya, terkadang makan pop mie atau telur, pokoknya makan seadanya,” kata Norma.

Untuk memenuhi kebutuhan, Ia hanya mengandalkan pembuatan nyiru untuk bisa mendapatkan uang, itu pun sangat jarang dibeli orang. Kadang ia harus menghabiskan waktu 2-3 jam untuk menghasilkan satu buah sosiru.

“Kita jual dengan harga Rp 25.000 per buah, jadi kalau ada yang beli kita sangat bersyukur, tapi kalau tidak, mungkin belum rezeki, jadi sosiru ini hanya terpampang begitu saja,” ucapnya.

Norma bilang saat ini warga tidak lagi menaruh hidup di sungai itu, karena sudah tercemar.

“Kalau sudah hujan itu, air sudah mulai naik sampai dalam rumah,” katanya.

Tercatat  dalam  dua tahun  belakangan Kabupaten Halmahera Tengah di  landa  banjir  bandang yang menyebabkan luapan sungai-sungai besar seperti Ake Jira hingga menggenangi lahan maupun pemukiman warga.

Sejauh ini belum ada bantuan dari pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, baik itu air bersih maupun bantuan yang lain. Mereka hanya dapat bantuan setiap bulan berupa beras 5 kilogram dan gula 1 kilogram dari PT Tekindo. Di bulan November 2023 hanya sebanyak 36 orang yang dapat bantuan itu, jadi giliran, yang sudah dapat dibulan ini, bulan depan sudah tidak lagi.

“Jadi hanya beras 5 kilogram, ini sekali masak langsung habis, jadi tidak cukup untuk kebutuhan kita, sementara yang keluarga berjumlah 5 orang. Makan pagi dan siang saja sudah habis, belum lagi nanti malam,” ujarnya. 
Data Badan Pangan Nasional dalam Indeks Ketahanan Pangan tahun 2022 menyebutkan Maluku Utara memiliki skor terendah yaitu 58,39.

Sementara berdasarkan Kabupaten secara nasional, Halmahera Tengah berada pada urutan 376 dengan IKP 50,67, dari total 416 Kabupaten yang tersebar di Indonesia.

Data Ketersediaan Pangan Lokal per Januari-November 2023 juga menunjukkan Kabupaten Halmahera  Tengah, Kecamatan Weda Tengah  memiliki total lahan produksi ubi kayu 22,0 Ha, ubi jalar 8,0 Ha, 87,0 Ha, pisang 167,3 Ha serta sagu 99,5 Ha dengan ketersediaan pangan lokal dengan jenis ubi kayu, 70,2 ton, ubi jalar 11,2 ton, jagung 197,6 ton, pisang 3.010,5 ton dan sagu 1.791,0 ton.

Kepala Dinas Pertanian Halmahera Tengah Yusmar Ohorella, menyebutkan produksi pangan lokal terutama pada desa yang berada di sekitar industri pertambangan mengalami penurunan. Alasannya banyak lahan warga yang dijual ke perusahaan.

“Masih banyak  warga  yang  menjual  tanah  ke  perusahaan,  sehingga  berdampak  pada  luasan  lahan produksi. Bahkan dulunya Desa yang masih mengandalkan pertanian, tidak bisa bertahan ketika masuknya industri pertambangan,” kata Yusmar begitu dikonfirmasi, 27 November 2023.

Kata Yusmar, Dinas Pertanian mencatat, ada tiga desa diantaranya Desa Woejerana, Desa Way Kobe dan Desa Kulo Jaya paling terdampak industri pertambangan dalam hal tanaman pangan lokal maupun dampak banjir.

Oleh karenanya itu, dalam rancangan Peraturan Daerah tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) terdapat 2.50 hektar lahan yang masih dipertahankan wilayah Kecamatan Weda Tengah terutama di Desa Kobe, Sawai Tepo, Woejerana, Waikop, dan Desa Kulo Jaya. Lahan ini diperuntukan tanaman padi seluas 100 hektar, sementara lahan cadangan seluas 150 hektar untuk tanaman lokal.

Yusmar bilang, ada dua desa yang sampai saat ini masih bertahan dengan pangan lokal yaitu Desa Kobe dan Desa Sawai Tepo Kecamatan Weda Tengah. Ini karena, dua desa tersebut jauh dari aktivitas industri pertambangan. Pangan lokal harus dipertahankan dengan intervensi dari Pemerintah, sebab produksi pangan lokal di daerah sekitar tambang mengalami penurunan. 

“Apabila ada kolaborasi antara Pemda Halmahera Tengah dengan PT IWIP, agar duduk bersama untuk membahas sistem pertanian, dan itu tidak boleh diintervensi oleh pihak swasta. Kita juga punya rencana untuk memberikan bantuan kepada petani, tapi hanya berupa bibit sayur sayuran misalnya kangkung,” ucapnya.

Saat ini Dinas setempat telah melakukan kerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate untuk menganalisa struktur tanah. Apabila tanah yang berada di Kulo Jaya itu tercemar akibat aktivitas tambang, maka disesuaikan dengan tanaman yang sangat cocok untuk bisa ditanam.

“Jadi saat ini yang sementara dilakukan oleh Fakultas Pertanian, jadi dalam waktu dekat mereka turun ke lapangan pengambilan data dan analisa struktur tanah,” ujar Yusmar.

Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Khairun Idris Abdurrahman mengatakan, Luas lahan produktif ini tidak semuanya bisa dikerjakan oleh masyarakat. Ini dikarenakan modal usaha menjadi kendala, sehingga apabila ada perhatian penuh Pemerintah Daerah Halmahera Tengah dan itikad baik perusahaan, maka masalah pangan lokal bisa teratasi secara bertahap.

Ketika bukit atau hutan dirambah menjadi daerah tambang, maka kerusakan lingkungan sudah pasti terjadi. Di titik inilah yang aksi save land (perlindungan terhadap lahan) yang diharapkan untuk menekan perizinan semakin ugal-ugalan, karena pemerintah terlalu genit memberi Izin Usaha Pertambangan. 

Idris mengaku, pernah melakukan penelitian dampak sedimentasi akibat aktivitas tambang di desa Way Kobe. Ada 15 titik sampel tanah dan 10 titik sampel air yang hingga saat ini masih dilakukan analisis laboratorium. Namun ada beberapa saluran primer air irigasi ada sedimentasi dari aktivitas tambang yang menyebabkan warna air berubah kuning kemerahan dan kecoklatan.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan selama dua hari, memang hanya terdapat sebagian masyarakat masih menanam pangan lokal dalam spot yang kecil, seperti ubi kayu dan ubi jalar. Begitu juga tidak terlihat adanya aktivitas padi sawah.

“Kami tidak melihat adanya aktivitas padi sawah di beberapa lokasi Way Kobe. Kelompok tani yang kerjasama dengan PT IWIP melakukan aktivitas budidaya tanaman sayuran seperti timun, daun bawang, bawang, chaisim, cabe rawit, tomat dan beberapa jenis sayuran lain,” pungkasnya.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Haliyora.id  pada 13 Januari 2024. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.

kali dilihat