Oleh : Abdullah Fikri Ashri
Independen- Bagi perempuan tani Desa Mekarsari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tanah adalah ibu, yang melahirkan kehidupan sekaligus sumber pangan. Saat ”ibu” kini terjepit pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), ”anak-anaknya” jelas tidak tinggal diam.
Sekitar 75 kilogram bawang merah menggantung di atap teras rumah Surmi (51) warga Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Kamis (12/10/2023) siang. Semilir angin membuat bawang yang bentuknya bundar agak lonjong itu lebih cepat mengering. Aromanya tercium ke mana-mana.
Bawang itu tidak datang dari pasar, apalagi supermarket. Komoditas tersebut merupakan hasil panen Surmi bulan lalu.
Saat itu, Surmi menanam 10 kg bibit bawang. Biayanya sekitar Rp 250.000. Ketika panen, ia meraup Rp 600.000. Hasil panen 75 kg bawang merahnya dihargai Rp 8.000 per kg.
Kali ini Surmi enggan menjualnya dan menunggu harga tinggi. Biasanya, bawang merah bisa laku belasan ribu rupiah per kg.
Oleh karena itu, Ia lebih memilih menjadikan hasil panennya kali ini sebagai bibit. Harapannya, ketika harga bibit melonjak kelak, ia tak perlu beli bibit.
Tidak hanya bawang merah, di rumahnya juga tersimpan empat karung beras. Masing-masing berisi 2,5 kuintal.
Ketika harga beras melonjak, lebih dari Rp 13.000 per kg, jauh dari harga eceran tertinggi Rp 10.900 per kg, Surmi tidak pusing. Dia punya cadangan beras untuk sekadar makan.
Tidak hanya membuat dapur ngebul beberapa bulan, beras itu juga membuat hubungan antarwarga harmonis.
Beras milik Surmi, misalnya, membantu tetangganya menggelar hajatan. Beras itu sisa panen dua bulan lalu, mencapai 1,5 ton gabah kering panen. Beberapa karung gabahnya bahkan sudah terjual.
Rebutan dengan tikus
Beras dan bawang merah itu merupakan buah perjuangan Surmi menjaga lahan dari gempuran PLTU. Lahan garapannya seluas 1,4 hektar berada di kawasan PLTU Indramayu 2 berkapasitas 1.000 megawatt (MW). Luas infrastruktur itu sekitar 300 hektar.
Tidak hanya Mekarsari, lahan Desa Patrol Lor dan Patrol Baru, Kecamatan Patrol, juga terdampak. Lokasinya berdampingan dengan PLTU Indramayu 1 berkapasitas 3 x 330 MW. Dari sawah yang Surmi garap, tampak jelas cerobong PLTU 1 dengan asap kelabunya.
Berdasarkan data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, PLTU Indramayu 2 termasuk dalam proyek strategis nasional. Nilai investasinya mencapai Rp 29,5 triliun.
Menurut rencana, pembangunan konstruksinya mulai tahun 2022. Operasionalisasinya ditargetkan tahun 2026.
Proyek untuk memasok listrik di wilayah Jawa dan Bali inilah yang membuat masa depan Surmi dan petani penggarap lainnya di lahan itu terancam kelam. Mereka akan kehilangan tempat untuk bertani menghidupi diri.
”Kalau sampai PLTU jadi, saya mau cari makan di mana? Makanya, saya berjuang,” katanya.
Sebagai perempuan tani, Surmi tidak hanya harus memastikan urusan domestik, seperti memasak nasi, tetapi juga ikut menanam padi. Ekonomi keluarganya tidak cukup hanya mengandalkan suaminya, Warsan. Suaminya sekadar penggembala kambing. Apalagi, sejak 2015, lahan penggembalaan mulai dibebaskan untuk PLTU 2.
Surmi pun bergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu). Gerakan warga ini untuk menolak PLTU Indramayu 1 dan 2. Jatayu menilai PLTU berdampak pada kesehatan dan hasil panen petani.
Surmi, misalnya, mengeluhkan matanya yang sakit ketika bertani di area tidak jauh dari PLTU 1. Apakah asap cerobong PLTU yang membuat matanya perih, ia tak bisa memastikan.
”Yang jelas, saya sudah lima kali operasi mata tiga tahun ini,” katanya sambil menyeka matanya yang berair.
Hasil panennya juga kerap menurun. Musim tanam kedua tahun ini, misalnya, ia hanya mendapatkan 1,5 ton gabah kering panen (GKP) dari sekitar 0,7 hektar.
Padahal, normalnya, ia bisa meraup 3-4 ton GKP. Selain terdampak kekeringan, serangan tikus juga mengurangi produksi padinya.
”Bonteng (mentimun) yang saya tanam setengah bulan sudah dimakan tikus. Kacang hijau dan boled (ubi jalar) juga begitu. Kami sampai rebutan dengan tikus,” ungkapnya.
Ia curiga, populasi tikus melonjak karena sawah yang telah dibebaskan untuk PLTU tidak lagi diolah warga. ”Enggak tahu nanti untuk modal tanam selanjutnya dari mana. Paling minjem dulu kalau ada yang minjemin (uang),” ucap ibu satu anak ini.
Modal tanam berbagai komoditas itu, lanjutnya, bisa mencapai Rp 15 juta. Namun, kekhawatiran terbesarnya adalah kehilangan tanah.
Itu sebabnya, Surmi kerap berdesakan dalam minibus untuk berunjuk rasa di Kantor Bupati Indramayu dan DPRD setempat. Kakinya bahkan sempat menginjak halaman Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung hingga bersua perwakilan Istana Negara di Jakarta.
”Saya pernah pingsan di Gedung Sate (Bandung) karena kepanasan dan perut kosong,” kenangnya.
Keringat dan air matanya kerap mengalir. Tidak hanya fisik, ia juga harus menguras perasaannya.
”Ada yang bilang, enggak usah demo-demo. Kita orang kecil. Orang kecil mah kalah aja lawan orang besar. Capek sih capek. Tapi, mau bagaimana lagi?” ujarnya.
Surmi juga pernah tidak bertani beberapa hari demi bertemu perwakilan Istana di Jakarta. Seingatnya, ia hanya absen demo saat menjalani operasi mata.
”Waktu saya sakit, utangnya banyak, sampai belasan juta rupiah. Alhamdulillah, bisa bayarnya dari hasil panen,” ucapnya.
Peran perempuan tanpa ijazah sekolah dasar ini di Jatayu memang cukup vital. Ia adalah bendaharanya.
”Kalau kegiatan tawasul, saya gelar baskom. Dapat (uang) berapa, saya catat. Nanti, hasilnya untuk bantu anggota yang butuh atau perbaiki saung yang sudah bocor-bocor,” katanya tertawa.
Berjuang hingga Jepang
Lewat bantuan lembaga pemerhati lingkungan di Jepang, Friends of the Earth (FoF), Surmi bahkan mewakili warga untuk menyampaikan aspirasinya ke negara yang mendanai PLTU Indramayu 2 itu tahun 2016.
Bagi Surmi, perjalanan ke Jepang merupakan pengalaman perdana ke luar negeri dan naik pesawat. ”Orang rumah ragu saya bisa ke sana. Sampai ada yang nangis. Wong ke luar daerah saja enggak pernah,” ujarnya.
Sekitar lima hari di Jepang, Surmi harus menyesuaikan diri. Meskipun ada penerjemah, ia tidak biasa dengan menu makanan ala Jepang. Dia bahkan bawa beras hingga rice cooker dari Indramayu.
Meski begitu, semuanya berjalan mulus. Dia lancar menyampaikan aspirasinya di ”Negeri Sakura”, ribuan kilometer dari Indramayu. ”Saya bilang, kami sudah menjerit dan berteriak karena PLTU. Jangan sampai (pembangunan PLTU) didanai,” katanya.
Hasilnya manis. Pertengahan tahun lalu, dilansir dari laporan Reuters, Jepang menarik diri dalam pendanaan proyek PLTU Indramayu 2. Selain mendapatkan kritik dari pegiat lingkungan, keputusan menghentikan pendanaan itu juga sebagai komitmen Jepang dalam merespons perubahan iklim.
Meski demikian, Surmi belum sepenuhnya tenang. Lahan garapannya dan petani lainnya masih terancam tergusur PLTU.
Apalagi, ia tidak punya sertifikat tanah itu. Ia pun bertekad terus berjuang mempertahankan tanah yang ia anggap sebagai ibu.
”Dari kecil, saya dan keluarga sudah bertani. Kalau enggak ada tanah, bagaimana mau hidup?” ucapnya.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi PLTU di daerahnya membuat buruh tani seperti dirinya kesulitan pekerjaan. Kehadiran mesin pertanian juga mengancam profesi petani.
”Sekarang, (kami) sudah enggak bisa ikut panen di tempat lainnya, kecuali punya saudara di sana. Kalau dulu, banyak orang kaya punya sawah. Sekarang, banyak orang enggak punya yang cari kerja,” ungkap Surmi yang mendapat upah buruh tani Rp 70.000 per setengah hari kerja.
Perkataan Surmi bukan isapan jempol. Badan Pusat Statistik mencatat, Indramayu menjadi daerah termiskin di antara 27 kabupaten/kota di Jabar tahun lalu. Persentase penduduk miskin di daerah itu mencapai 12,77 persen, di atas rata-rata angka kemiskinan di Jabar, 8,06 persen.
Padahal, daerah berpenduduk 1,8 juta jiwa itu merupakan lumbung padi nasional. Produksi padi tahun 2022 mencapai 1,4 juta ton dari areal panen 245.222 hektar sawah.
Bahkan, pada 2012, produksi padi di Indramayu pernah menyentuh 1,7 juta ton, padahal lahannya hanya 225.046 hektar.
Selain Surmi, ada pula Satiah, perempuan tani anggota Jatayu. Ia juga khawatir pembangunan PLTU mengancam 5.600 meter persegi lahan garapannya.
Lahan itu menjadi sumber penghasilan ibu tiga anak ini, selain suaminya yang jualan mainan keliling. Panen bulan Agustus lalu, ia dapat hampir 2 ton GKP.
”Di rumah masih ada tujuh kandek (karung beras). Ini masih bisa (untuk makan) tiga bulan. Tapi, kalau ada yang hajatan (stoknya) bisa kurang dari itu,” ucap perempuan paruh baya ini. Andai tak punya lahan, Satiah tak yakin bisa membeli beras yang harganya kini melangit.
Beras hasil panennya juga bagus, putih bersih. Ketika dimasak, bulir beras yang lonjong itu terasa pulen.
”Kalau berasnya orang tani itu bagus. Dua bulan disimpan enggak ada kutunya. Makanya, tamu kalau menginap di sini suka dengan nasinya,” katanya sambil menyiapkan makan siang.
Satiah pun tak ragu ikut aksi Jatayu untuk menjaga lahan pangan dari PLTU. Dia justru cemas dengan nasib suaminya yang ikut berjuang.
”Saya takut dia diculik. Soalnya banyak yang sengit sama dia,” kata istri Rodi, Ketua Jatayu, ini.
Perjuangan itu mengantar Satiah-Rodi ke sejumlah daerah dan berjumpa aktivis lingkungan, jurnalis, hingga akademisi. Mereka kenal dekat dengan Wahana Lingkungan Hidup Jabar, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, dan lainnya.
”Ibu dulu enggak bisa ngomong kayak gini, bahasa Indonesia,” kata Satiah yang tidak lulus SD.
Ekofeminisme
Surmi dan Satiah menjadi potret bagaimana perempuan tani harus menjalani beban berlapis-lapis. Sebelum bertani, mereka harus memastikan sarapan siap dan piring kotor sudah dicuci.
Sepulangnya dari sawah, mereka kembali mengurus hal domestik. Kini, seiring rencana pembangunan PLTU 2, mereka juga harus berjuang menjaga lahan demi tetap bisa makan.
Rodi mengatakan, perempuan tani turut menjaga tanah. ”Walaupun ibu-ibu, mereka lebih geram karena perempuan tahu dapur hidupnya. Tanah itu, kan, sumber kehidupan. Suaminya mengizinkan ikut Jatayu. Tapi, yang banyak, istri enggak izinkan suaminya ke Jatayu,” katanya.
Ia mengakui, intimidasi hingga kriminalisasi menghantui anggota Jatayu. Apalagi, sudah ada beberapa petani yang dipenjara.
Namun, tanpa berupaya menolak PLTU, lebih dari 100 petani, termasuk perempuan, akan kehilangan lahan garapannya. ”Perjuangan belum selesai,” ucapnya.
Cusdiawan, Oekan S Abdoellah, dan Firman Manan menulis artikel ”Gerakan Perempuan Subaltern Ekofeminisme dalam Melawan Pembangunan PLTU 2 Indramayu” di Journal of Education, Humaniora, and Social Sciences (JEHSS). Jurnal Volume 4 itu terbit 3 Februari 2022.
Para peneliti dari Universitas Padjadjaran itu menilai, kiprah perempuan di Jatayu termasuk gerakan ekofeminisme, yakni berjuang menjaga lingkungannya dari proses pembangunan yang merugikan perempuan. Dalam konteks ini, PLTU Indramayu telah berdampak pada mereka.
Perempuan menilai PLTU bisa menggusur lahan, mengancam kesehatan anak-anak, serta mengurangi penghasilan suami.
”Juga semakin menambah beban lebih bagi mereka mengingat dalam masyarakat yang memberikan beban kerja domestik terhadap mereka,” tulis artikel itu.
Apalagi, ibu-ibu seperti Surmi dan Satiah selama ini mengandalkan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan harian. Mereka tidak mungkin bisa bekerja di pabrik atau perusahaan karena terkendala ijazah serta usia. Berbagai kesadaran inilah yang membuat mereka berjuang.
Menariknya, para perempuan tani menyebarkan kesadaran menjaga ruang hidup ini melalui kegiatan keseharian, seperti saat belanja ke pasar, warung, hingga ketika pengajian. Dalam aktivitas itu, mereka saling menyemangati sekaligus mengingatkan pentingnya gerakannya.
”Itu artinya, melalui tanggung jawab domestik yang biasa dipikul perempuan dalam kerja keseharian, mereka justru menciptakan ’ruang publik politis’ baru,” tulis artikel itu.
Senior Manager PT PLN Nusantara Power UP Indramayu Munif belum bisa berkomentar terkait rencana pembangunan PLTU 2. Fasilitas itu statusnya belum jelas.
Namun, terkait dampak PLTU 1, dia mempertanyakan klaim Jatayu bahwa kehadiran infrastruktur itu telah mengurangi produksi padi dan tanaman lainnya.
Menurut dia, penggunaan pupuk kimia berlebihan hingga kekurangan air telah berdampak pada produksi padi. Pihaknya justru memberikan bantuan pompa air hingga mendampingi petani di Kecamatan Patrol dan Sukra untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
”Petani dari (Desa) Ujunggebang mengalami peningkatan (produksi padi) dari sebelumnya 7 ton per hektar menjadi 9 ton per hektar karena intervensi yang kami lakukan,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Sebaliknya, Lily Batara, Manajemen Program Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, menilai PLTU dapat mengurangi kesuburan tanah. Perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca, yang turut dihasilkan oleh PLTU, juga telah memicu fenomena El Nino seperti saat ini.
Dalam kondisi itu, perempuan tani paling terdampak. ”Ketika terjadi guncangan ekonomi di keluarga tani, perempuan dianggap paling bertanggung jawab karena mengurusi pangan keluarga. Akhirnya, ibu atau anak perempuan harus mencari pekerjaan, bahkan ke luar negeri. Ini juga tidak terlepas dari budaya patriarki,” ungkap Lily.
Tidak mengherankan, Indramayu sebagai lumbung pangan nasional menjadi ”kantong” pekerja migran Indonesia (PMI). Tahun lalu, 12.794 warga Indramayu menjadi PMI. Tidak sedikit pula dari mereka yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
Itu sebabnya, Lily mendesak pemerintah memastikan pembangunan, termasuk proyek strategis nasional, tidak meminggirkan perempuan.
”Meskipun buruh tani, mereka juga produsen pangan. Ketika perempuan tidak ada, pangan pun tiada,” ucapnya.
Perjuangan perempuan Jatayu di Indramayu bukan hanya untuk hari ini. Manfaatnya juga bukan untuk mereka saja. Ada generasi masa depan di belahan bumi mana pun yang berhak atas tanah subur, pangan melimpah, dan dunia yang bebas polusi udara.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Kompas.id, pada 17 Desember 2023. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.