Petaka PLTU Pelabuhan Ratu: Mundur Kena Co-Firing, Maju Kena Pensiun Dini

Oleh:  Awla Rajul 

INDEPENDEN- Lima orang pemuda tengah bersantai di dermaga (jetty) di Pantai Batu Bintang, ketika semburat warna oranye menyala. Sore itu, sang surya malu-malu menutupi diri dengan awan, meski layung terlihat jelas di cakrawala. Sedangkan lima pemuda itu, percaya diri berpose dengan latar belakang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu.

“Bagus viewnya,” demikian kata salah seorang dari lima kawanan anak-anak SMA itu, Sabtu, 5 Oktober 2024. Menggunakan sebuah handphone, mereka bergantian bergaya di belakang gagahnya PLTU Pelabuhan Ratu. Mereka mengaku sering ke Pantai Batu Bintang untuk bermain dan bersantai.

Pantai Batu Bintang yang bersebelahan langsung dengan PLTU Pelabuhan Ratu memang menjadi salah satu pilihan destinasi wisata di Kabupaten Sukabumi. Ia dipilih salah satunya karena ombak yang relatif lebih kecil disebabkan adanya beton pemecah ombak (jetty) milik PLTU. Pemandangan PLTU Pelabuhan Ratu, aktivitas pengangkutan batubara, serta antrean kapal tongkang pun menjadi alasan tersendiri Pantai Batu Bintang dipilih sebagai tempat melancong.

Sementara kelima pemuda itu menghabiskan sore dengan bersantai sambil merokok di jetty, dua orang pelancong dari Bandung mengaku menghirup hawa udara yang berbeda di kawasan itu. Fina (24 tahun) dan Arry (26 tahun), yang bekerja sambil liburan di Sukabumi mengaku merasa sesak napas selama berada di Pantai Batu Bintang.

“Sesak banget. Beda rasanya pas udah dekat dengan PLTU,” keluh Fina.

Fina dan Arry memang berada di dermaga itu untuk menikmati pemandangan senja sambil melihat aktivitas PLTU Pelabuhan Ratu. Keduanya tertegun melihat lima kapal tongkang yang berjejer di lautan, mengantre giliran masuk ke dalam dermaga untuk diangkut isi perut yang dipenuhi emas hitam untuk membangkitkan listrik.

Ada dua kapal tongkang yang sedang menepi di dermaga. Satu tongkang sedang dipindahkan batubaranya menggunakan capitan. Sementara satunya lagi yang bertuliskan “Patria Andromeda 1” dengan kelir kuning, menunggu giliran. Fina dan Arry memandangi aktivitas itu sambil melihat perairan yang tenang di dalam dermaga.

“Udaranya beda di dekat sini, sesak gitu. Perasaan aku doang yang ngerasain, ternyata sama,” ungkap Arry meyakinkan diri bahwa bukan hanya dia yang merasakan sesak napas.

Keluhan sesak napas atau penyakit saluran pernapasan seperti ISPA memang banyak dikeluhkan di kawasan sekitar PLTU. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari staf Puskesmas Simpenan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) termasuk ke dalam 10 penyakit terbanyak yang ditangani setiap bulannya. Puskesmas Simpenan merupakan salah satu puskesmas terdekat dengan PLTU Pelabuhan Ratu yang berjarak sekitar lima kilometer.

Berdasarkan data penyakit ISPA di Puskesmas Simpenan periode Januari- Agustus 2023, rata-rata penderita setiap bulannya mencapai 275 orang. Secara rinci, terdapat 367 penderita pada Januari, 364 penderita pada Februari, 397 penderita pada Maret, 226 penderita pada April, 362 penderita pada Mei, 217 penderita pada Juni, 133 penderita pada Juli, dan 136 penderita pada Agustus.

PLTU 2 Jawa Barat atau yang lebih dikenal sebagai PLTU Pelabuhan Ratu merupakan salah satu pembangkit yang menerapkan skema co-firing biomassa. Pembangkit dengan kapasitas 3 x 350 MW yang berlokasi di Pantai Cipatuguran, Kelurahan Jayanti, Kec. Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi ini pun cukup istimewa. Sebab ia juga masuk ke dalam pilot project program pensiun dini PLTU yang direncanakan pada 2037 mendatang melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM).

Penurunan Pendapatan Nelayan

Siang hari pada Sabtu awal Oktober itu, suami Rosy menghabiskan waktu akhir pekannya di rumah. Sejak dua hari yang lalu, tubuhnya menagih waktu istirahat, jatuh sakit. Ia pun memilih tidak berangkat melaut, berdiam diri di rumah, merehatkan tubuhnya yang sudah terbiasa melaut sejak usia 17 tahun.

Rosy (49 tahun) merasakan betul bagaimana penurunan pendapatan suaminya setelah PLTU Pelabuhan Ratu beroperasi pada 2013. Suaminya sudah melaut lebih dari tiga dekade. Sebelum adanya PLTU, pendapatan yang dibawa pulang suaminya selain mampu menghidupi kehidupan sehari-hari, sudah bisa membangun sebuah rumah di awal membina rumah tangga.

“Kalau sekarang udah ke sini agak berkurang pendapatannya. Jadi ada perubahan gak seperti dulu, gak sebanyak dulu,” ungkap Rosy saat ditemui di Kampung Panyairan, Sabtu, 5 Oktober 2024. “Kalau untuk kebutuhan sehari-hari sudah tercukupi, alhamdulillah, cuma keliatannya gak bisa lebih seperti yang dulu. Tapi alhamdulillah masih cukup.”

Ibu rumah tangga itu memang tidak menampik, penghasilan yang dibawa pulang suaminya sangat bergantung dengan kondisi tangkapan ikan. Ketika musim ikan di laut, suaminya bisa membawa pulang satu juta sampai 1,5 juta per satu- dua hari. Setelah adanya PLTU, suaminya memang masih bisa membawa pulang sebanyak itu. Tetapi musim ikan tidak sesering dulu lagi.

“Kalau dulu gak ada lambat, sekarang ada satu minggu, nanti ikannya gak ada lagi, gitu. Kalau dulu kan panjang waktunya, ikan selalu ada,” ungkap Rosy yang sudah memiliki seorang cucu.

Selain itu, suaminya juga harus melaut lebih jauh dan lebih lama untuk mencari ikan tongkol dan ikan layur setelah adanya PLTU. Suaminya yang biasa pulang paling lama dua hari, lima tahun belakangan ini bisa menghabiskan waktu selama seminggu di lautan untuk membawa pulang hasil tangkapan ikan yang ideal.

Setelah adanya PLTU, Rosy juga merasa kondisi suhu di Pelabuhan Ratu drastis memanas. Sayang, keluarganya yang tinggal tak jauh dari PLTU ini belum pernah mendapatkan bantuan apa-apa dari PLTU, meski merasakan dampak penurunan pendapatan dan kualitas lingkungan yang berdampak kepadat kesehatan.

Rosy bahkan tidak tau kalau saat ini PLTU Pelabuhan Ratu sudah menerapkan metode oplos 10 persen biomassa dengan 90 persen batubara untuk membangkitkan listrik. Ia hanya tau, PLTU Pelabuhan Ratu hanya menggunakan batubara. Sebab jamak terlihat kapal-kapal tongkang di teluk.

“Kalau panas itu memang dirasa yang drastis banget. Kalau dulu mah seingat saya gak sepanas ini, angin masih ada gitu dari pantai, ada adem. Kalau sekarang panasnya, apalagi kalau siang, terik, rasanya beda panasnya,” ungkapnya.

Apa yang dirasakan Rosy dan dijalani suaminya, tentu juga dialami oleh nelayan lain. Misalnya Erwan (30 tahun) dan Husna (34 tahun).

Erwan baru melaut selama enam tahun dan merasakan betul susahnya mencari ikan. Karena menggunakan kapal fiber kecil, ia hanya mampu melaut paling jauh ke Jampang atau Ujung Genteng. Untuk ke sana, ia harus menghabiskan waktu melaut selama dua sampai tiga hari.

Jika melaut di lokasi yang berdekatan, tidak bisa dilakukan terlalu menjorok ke dalam teluk. Sebab ikan layur sudah jarang temui. Pada jarak tempuh dekat, nelayan muda itu biasa melaut ke Karang Hawu yang ditempuh selama dua hingga tiga jam.

“Melautnya (nanti) seharian. Menangkap ikan layur dengan pancing, satu kapal bertiga atau berempat,” kata Erwan yang hendak berangkat melaut selepas jumatan, saat ditemui di Jl. Pelita- Cipatuguran, Jumat, 4 Oktober 2024. “Kadang ada, kadang zonk, gak bisa ditentuin. Dampak (PLTU) terlalu besar buat para nelayan kecil, susah.”

Selain melaut, Erwan juga melepaskan jaring di dalam teluk untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sekali menjaring, kalau sedang beruntung, ia bisa mendapatkan ikan lisong sebanyak tiga hingga empat fiber. Sayangnya, semakin tinggi aktivitas pembangkitan listrik, ikan semakin sulit ditemui. Para nelayan percaya, hawa air di dalam teluk sudah memanas karena aktivitas pembakaran batubara, pembuangan limbah, lalu-lalang kapal tongkang, dan tumpahan batubara. Ikan-ikan menjauh ke luar teluk.

“Dulu juga pernah dua jaring rusak waktu kapal tongkang masuk, hampir 200 meter lah jaringnya rusak. Diganti rugi tapi ribet (pengurusannya),” kenangnya. “Kalau udah ada PLTU gini susah dapat satu fiber juga dengan jaring di teluk.”

Senada dengan Erwan, sebagai nelayan sekaligus pemilik kapal, Husna paham betul dampak PLTU sangat menguras kantong untuk modal melaut. Karena jarak tempuh untuk mendapatkan ikan semakin jauh, nelayan harus meningkatkan modal untuk bensin, kapal yang lebih besar, serta mesin kapal yang lebih memadai untuk menempuh jarak yang jauh.

Tahun 2015, Husna hanya menggunakan kapal fiber kecil dengan kapasitas mesin 4 PK. Kini, ia sudah memperbesar kapalnya dan menggunakan mesin 15 PK. Itu ia lakukan karena sering melaut ke Ujung Genteng yang perjalanannya selama empat jam. Modalnya pun terhitung cukup besar, yaitu sekitar Rp1,5 juta.

“Kalau sebelum ada PLTU agak ringanlah, kalau sekarang sesudah PLTU ngambil ikan sudah mulai jauh, BBM makannya hampir 90 liter, terus perahu juga harus lebih besar, mesin harus lebih besar,” katanya, Jumat, 4 Oktober 2024. “(Dulu) mesin bisa pake yang bleketek, yang 4 PK. Sekarang harus 15 PK karena jangkauannya sudah jauh. Jadi harus menguras kantong kita, karena kalau gak hasil, zonk gitu, rugi.”

Dilema Co-firing Biomassa dan Pensiun Dini

Berbeda dengan Rosy dan Erwan yang tak mengetahui tentang penerapan co-firing di PLTU Pelabuhan Ratu, Husna (34 tahun) terbilang cukup melek dan kritis. Ia mengetahui bahwa pembakaran batubara di PLTU dioplos dengan biomassa, sekaligus diwacanakan suntik mati pada 2037 mendatang.

Tiga PLTU di Provinsi Jawa Barat memang menjadi pilot project dua program transisi energi, yaitu co-firing dan pensiun dini. PLTU Pelabuhan Ratu mendapatkan dua program ambisius itu sekaligus. Adapun PLTU Cirebon 1 diwacanakan pensiun dini di tahun 2035 dan PLTU Indramayu menerapkan skema co-firing biomassa.

Co-firing merupakan skema oplos pembakaran batubara di PLTU sebanyak 90 persen, dicampur dengan biomassa sebanyak 10 persen. Produk biomassa yang digunakan di antaranya serbuk kayu, pellet kayu, refuse derived fuel (RDF), cangkang sawit, sekam padi, atau jenis lainnya. Co-firing merupakan salah satu strategi yang diandalkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor pembangkit energi, yaitu dengan pemanfaatan bahan bakar berbasis biomassa sebagai sumber energi pendamping.

Penerapan 10 persen biomassa di PLTU juga diklaim oleh PLN sebagai upaya transisi energi, dari sumber energi tak bersih: batubara, ke sumber energi terbarukan: biomassa. PLN berencana menerapkan skema co-firing sebanyak 10 persen di 107 unit PLTU di 52 lokasi di Indonesia hingga tahun 2025.

Sepanjang tahun 2023, PLN menyatakan telah menyerap biomassa sebanyak 1 juta ton untuk 43 PLTU di Indonesia. Tentu, salah satunya di PLTU Pelabuhan Ratu yang sudah menerapkan co-firing sejak 2020. Dengan menerapkan teknologi co-firing di PLTU, PLN mengklaim telah berhasil mereduksi emisi hingga 1,05 juta ton CO2e dan memproduksi energi bersih sebesar 1,04 terawatt hour (TWh) sepanjang 2023.

“Co-firing merupakan sebuah terobosan dalam transisi energi di tanah air. Sebab, dengan teknologi ini, banyak manfaat yang didapatkan, selain pengurangan emisi juga akan mengurangi penggunaan energi fosil. Co-firing tidak hanya menghasilkan listrik andal namun tetap murah bagi masyarakat. Lebih dari itu, co-firing juga mendorong perekonomian kerakyatan lewat keterlibatan langsung masyarakat dalam pengembangan biomassa,” kata Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, dikutip dari siaran pers resminya dengan No.004.PR/STH.00.01/I/2024, 3 Januari 2024.

Sebagai nelayan dan masyarakat awam, Husna memiliki kekhawatiran tersendiri pada program co-firing, selain jelas telah merasakan dampaknya. Selama penerapan co-firing biomassa, Husna merasa anaknya belakangan sering merasakan gatal-gatal dan batuk-batuk. Termasuk istrinya.

“Anak saya yang kecil tadi malam sampai gak tidur, karena gatal, bangun terus, terus batuk-batuk,” cerita Husna saat ditemui awal Oktober 2024. “Kalau gatal-gatal ke sini-ke sininya sih, mungkin sesudah campur (biomassa). Kalau dulu sih enggak. Kalau sekarang anak saya pribadi, bahkan saya, istri saya juga ngerasain gatal-gatal. Mungkin dari udara, keringat, jadi gatal juga karena pencemaran.”

Di samping itu, Husna juga mengkhawatirkan potensi penggundulan hutan atau masyarakat yang berbondong-bondong memotong pohon karena mengetahui “ada harganya”. Ia juga mempertanyakan, akan dibutuhkan berapa banyak biomassa dari pepohonan jika nantinya penerapan co-firing biomassa mencapai lebih dari 10 persen.

“Yang ditakutkan semakin lama ke depan itu campurannya akan lebih banyak limbah kayunya. Kalau sudah ada harganya limbah kayu itu, hutan akan habis, terus penyuplai kayunya terbatas, yang ditakutkan itu masyarakat menjual kayunya yang di depan rumah juga bisa dijual karena bisa jadi uang, dan hutan yang dilindungi. Terus kita mau dapat sumber air di mana kalau hutan juga sudah habis?” terangnya retoris.

Sebagai nelayan yang merasakan betul dampak pencemaran di lautan akibat aktivitas PLTU, ia sebenarnya menolak hadirnya PLTU. Tetapi, mau bagaimana lagi. Ia pun harus terus menjalani kehidupan dengan segala permasalahan yang harus digeluti setiap harinya.

Adapun program pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu disepakati pada kegiatan State-Owned Enterprises (SOE) International Conference di Nusa Dua Bali, Selasa, 18 Oktober 2022 lalu. Kesepakatan itu membuat PT Bukit Asam Tbk (PTBA) akan mengambil alih aset PLTU Pelabuhan Ratu dari PLN.

Pensiun dini (early retirement) PLTU Pelabuhan Ratu ini memangkas masa operasional dari semula beroperasi 24 tahun, menjadi 15 tahun. Pemangkasan masa operasional ini diklaim akan dibarengi dengan potensi pemangkasan emisi karbondioksida (CO2e) sebesar 51 juta ton atau setara Rp220 miliar.

Setelah penandatanganan Principal Framework Agreement di Nusa Dua Bali itu, PTBA dan PLN selanjutnya melakukan proses uji tuntas untuk program pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu. PTBA diikutsertakan pada program ini karena pertimbangan strategis. Secara geografis, tata kelola PLTU Pelabuhan Ratu akan lebih mudah diintegrasikan dengan sistem rantai pasok PTBA.

“Kerja sama dengan PLN dalam melakukan early retirement PLTU sejalan dengan visi PTBA menjadi perusahaan energi dan kimia kelas dunia yang peduli lingkungan. Kami berharap agar target-target penurunan emisi karbon dapat tercapai dan ketahanan energi tetap terjaga,” kata Arsal Ismail, Direktur Utama PTBA, dikutip dari siaran pers di laman resminya.

Hingga kini, kepastian mekanisme pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu belum diketahui pastinya. Sebab, bolanya ada di tangan pemerintah. “Pelabuhan Ratu domainnya itu kan ada di pemerintah ya yang ETM itu, nah PTBA waktu itu kan sedang melakukan kajian bagaimana kalau kita ditunjuk mengambil Pelabuhan Ratu ini. Kajian sudah kami lakukan, tapi bolanya lagi-lagi di pemerintah,” kata Arsal, Jumat (8/3/2024), dikutip dari laman cnbcindonesia.com.

Husna tidak mengetahui banyak soal program pensiun dini. Namun, Husna meragukan jika setelah dipensiun dinikan PLTU itu akan benar-benar tidak beroperasi lagi. “Logikanya kan mereka usaha. Mana ada orang jiwa usaha membeli perusahaan untuk ditutup, ngehasilin apa dia? Gak mungkin kan. Yang ditakutkan itu ada yang kongkalikongnya lah,” ungkap Husna yang mengaku mendapatkan informasi ini dari organisasi lingkungan, bukan sosialisasi dari pihak terkait.

Ancaman Hilang Mata Air

Terhitung empat tahun sudah PLTU Pelabuhan Ratu menerapkan co-firing biomassa sejak 2020. Setahun sebelumnya, pada 2019, Perum Perhutani yang bekerja sama dengan PLN untuk memasok biomassa ke PLTU, telah melakukan penanaman beberapa jenis tanaman energi, seperti kaliandra, gamal, eukaliptus, akasia, turi, dan lamtoro di lahan KPH Perhutani, salah satunya di KPH Sukabumi.

Penanaman tanaman energi pun menggandeng keterlibatan masyarakat, melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Di Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Kecamatan Waluran, juga tengah dibangun pabrik pengolah serbuk kayu (sawdust) seluas tiga hektar. Pembangunan ini telah berjalan sejak pertengahan 2023, berlokasi di petak 97 Hanjuang Barat.

Ketua LMDH Karya Bakti, Fazri Mulyono (39 tahun), menerangkan, hutan Hanjuang Barat di ketinggian 700-800 MDPL merupakan tumpuan ekologi terakhir, yang menaungi lima kecamatan. Hanjuang Barat memiliki hutan yang paling asri dan rimbun dengan vegetasi yang masih lebat dibandingkan dengan hutan Hanjuang Timur, Hanjuang Tengah, dan Hanjuang Selatan yang hutannya sudah rusak hampir mencapai 80 persen.

“Makanya kalau ada pabrik biomassa di sini, kalau ada penanaman biomassa di sini, otomatis hutannya akan tergerus. Sebab dengan kebutuhan kapasitas bahan baku biomassa itu, menurut persepsi saya akan mengubah tatanan hutan,” ungkap Fazri saat ditemui di Desa Waluran Mandiri, Minggu, 6 Oktober 2024.

Fazri yang menjadi Ketua LMDH sejak 2017 ini ikut hadir saat sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan pengolah serbuk kayu. Dalam sosialisasi itu disebutkan, pabrik biomassa nantinya mampu mengolah tanaman energi menjadi serbuk kayu sebanyak lima ton perjamnya. Jika diestimasikan pabrik itu beroperasi delapan jam sehari, maka pabrik harus memiliki pasokan tanaman energi sebanyak 40 ton perhari untuk diolah menjadi serbuk kayu sebagai bahan bakar 10 persen co-firing di PLTU Pelabuhan Ratu. Adapun Perhutani, menargetkan pasokan biomassa untuk PLTU Pelabuhan Ratu sebesar 11.500 ton per tahunnya.

“Kita estimasikan berapa luasan hutan yang harus gundul setiap harinya yang dijadikan bahan bakar. Ini merupakan salah satu permasalahan besar, apalagi Hanjuang Barat ini merupakan pangkuan hutan, harapan hutan untuk lima kecamatan ke arah Selatan. Makanya kami dari LMDH memilih untuk bersikap dengan argumen kami,” katanya menjelaskan.

Perhutani memang mengajak tiga LMDH yang ada di Waluran, yaitu Karya Bakti, Mangunjaya, dan Mekar Mukti untuk menanam kaliandra di lahan LMDH mulai tahun 2021. Sebagai LMDH, lanjut Fazri, secara nurani pihaknya menolak program biomassa ini, karena berpotensi menghilangkan mata air dan merusak kawasan hutan. Meski begitu, mau tak mau, meski pahit, pihaknya pun harus menerima karena merupakan program pemerintah.

“Kalau memang ini sudah menjadi tugas pemerintah yang harus dikerjakan, program ini harus direalisasikan, kita menerima apa adanya walaupun nurani kami menolak,” katanya tegas.

Ketersediaan air bersih dari mata air sudah menjadi masalah di Hanjuang Barat, bahkan sebelum produksi biomassa. Persoalan mata air ini dikhawatirkan akan memburuk dengan adanya pabrik biomassa, penanaman tanaman energi, serta adanya aktivitas penambangan ilegal di Hanjuang Barat. Ia mewanti-wanti sedari sekarang risiko jangka panjang terhadap ekosistem air serta potensi bencana alam di masa yang akan datang.

Di samping itu, kaliandra akan dipanen ketika ketinggiannya sudah mencapai dua meter. Yang dipanen adalah bagian atas pohonnya dengan menyisakan batang bagian bawah untuk dibiarkan bertunas kembali. Ia khawatir, kaliandra yang merupakan tanaman semak dan penyubur tanah untuk hutan, habis dibabat oleh masyarakat sebab sudah ada harga jualnya.

“Otomatis hutan yang masih lebat seperti ini masih kekurangan air, apalagi kalau sudah diproduksi. Di sini tidak akan ada kaliandra yang tersisa. Nanti kaliandra ini tidak akan semak, nanti jadi bahan ekonomi juga buat masyarakat. Ketika sudah diekonomikan, masyarakat yang sumber dayanya rendah dia akan jual. Ini proses penghancuran sebenarnya, ini kerangka yang akan menghancurkan ekologi,” kata Fazri yang juga seorang kepala sekolah ini.

Mengetahui program penanaman biomassa dan pembangunan pabrik ini merupakan program yang mesti dilaksanakan, Fazri berharap pemerintah menghadirkan solusi penyeimbang. Jika memang Hanjuang Barat diproyeksikan untuk pemenuhan pasokan biomassa pada program co-firing di PLTU, seharusnya pemerintah juga memiliki program untuk mempertahankan kelestarian ekologi di Hanjuang Barat.

Ia berharap pemerintah juga memberikan program lingkungan dan anggaran untuk mereklamasi dan mengkonservasi lahan kritis di Hanjuang Barat yang tidak tersentuh program penanaman biomassa, terutama untuk area KPS (Kehutanan Pelindung Sungai) dan HAS (Hutan Alam Sekunder) yang rusak.

Ia juga meminta 30 persen dari lahan biomassa untuk dikelola oleh LMDH dengan konsep hutan lestari berisi tumbuhan produktif. Fazri tengah menggalakkan 215 petani LMDH Karya Bakti untuk menanam bibit buah-buahan. Dengan menanam pepohonan buah-buahan, harapannya ekologi hutan akan terbentuk kembali. Sebab masyarakat akan memanen buah, dengan pohonnya menjadi kanopi hutan dan tempat resapan air.

“Dari program biomassa itu ada 30 persen lahan untuk dikelola oleh masyarakat, dikembalikan ke masyarakat. Yang 30 persen itu kita perjuangkan untuk mengkonservasi kembali. Sehingga nanti masyarakat menanamnya itu prospek tumbuhan besar, seperti durian, alpukat, dll, sehingga hutannya terbentuk kembali. Harapan kami seperti itu ketika harga mati bagi co-firing,” pungkasnya.

Salah Kaprah Nol Emisi Co-Firing Biomassa

Dengan menerapkan co-firing biomassa di 107 PLTU, PLN mengklaim tidak harus berinvestasi membangun pembangkit listrik baru untuk mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Co-firing biomassa pun dinilai lebih murah dan merupakan solusi menurunkan emisi di sektor pembangkit listrik. Penanaman biomassa juga mengandalkan partisipasi masyarakat lokal yang akan mendukung ekonomi masyarakat sekitar.

Sayangnya, klaim-klaim itu terbantahkan melalui dua riset yang diterbitkan oleh Trend Asia pada tahun 2022 dan satu riset yang diterbitkan Juni 2024 lalu. Riset “Adu Klaim Menurunkan Emisi” yang diterbitkan Agustus 2022 oleh Trend Asia menyatakan, penggunaan 5-10 persen biomassa di PLTU justru menambah emisi.

Untuk memasok kebutuhan biomassa 107 PLTU di Indonesia yang berkapasitas total 18,8 giga watt, dibutuhkan pasokan biomassa sebanyak 10,23 juta ton per tahun.  Trend Asia memandang, bahan baku biomassa sebanyak itu hanya mungkin terpenuhi dari perkebunan kayu berskala besar semacam hutan tanaman energy (HTE).

“Trend Asia mengestimasi kebutuhan lahan HTE itu paling sedikit 2,33 juta hektare atau 35 kali luas daratan DKI Jakarta. Membangun HTE yang ekstensif berpotensi menimbulkan deforestasi. Pemodelan matematika Trend Asia mengungkap, co-firing 10 persen biomassa di 107 unit PLTU berpotensi menghasilkan total emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun. Emisi itu muncul mulai dari deforestasi, pengelolaan HTE hingga produksi pelet kayu,” mengutip dari riset Trend Asia tersebut.

Belum lagi perhitungan potensi luas hutan yang dibutuhkan untuk membangun HTE serta potensi emisi total yang dihasilkan ketika deforestasi. Perhitungan net emisi deforestasi dari masing-masing jenis tanaman energi, yaitu HTE akasia sebesar 307.569.572 ton CO2e, HTE kaliandra merah 221.745.359 ton CO2e, HTE gamal yang tertinggi 615.959.330 ton CO2e, HTE eukaliptus pelita 295.093.898 ton CO2e, HTE turi 246.383.732 ton CO2e, dan yang terendah HTE lamtoro gung 184.787.799 ton CO2e.

“Perhitungan matematika yang dilakukan Trend Asia menemukan emisi karbon dihasilkan mulai dari hulu hingga hilir. Emisi dari saat pembangunan hutan tanaman energi dengan cara deforestasi sampai pembakaran pelet kayu di PLTU, itu lebih tinggi dari stok emisi yang bisa dihasilkan seluruh hutan tanaman energy,” masih mengutip dari riset yang sama.

Dalam riset “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi” Trend Asia mencium adanya potensi deforestasi besar-besaran untuk memasok kebutuhan biomassa ke PLTU. Pembukaan HTE untuk pasokan biomassa, dikhawatirkan melahirkan deforestasi. Hal itu dilihat dari pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), menurut data MapBiomas Indonesia, dari total tutupan HTI tahun 2019, 38 persen lahannya berasal dari pembukaan hutan alam.

Pemerintah memiliki enam pilihan jenis pohon kayu sebagai pasokan biomassa, yaitu akasia, kaliandra, gamal, eukaliptus pelita, turi, dan lamtoro gung. Berdasarkan perhitungan Trend Asia, masing-masing jenisnya memiliki potensi deforestasi, dengan jenis lamtoro gung yang memiliki potensi terendah sedangkan gamal berpotensi yang paling banyak melahirkan deforestasi.

“Potensi deforestasi tanaman akasia adalah 38 persen dari luas areal tanam akasia yakni 1.048.344 hektare. Dengan demikian, potensi deforestasi HTE kaliandra merah sebesar 755.814 hektare, eukaliptus pelita 1.005.820 hektare, dan turi 839.793 hektare. Gamal, yang memiliki areal tanam paling luas, potensi deforestasinya pun tertinggi, 2.099.843 hektare. Potensi deforestasi terendah adalah lamtoro gung, 629.845 hektare,” mengutip riset yag terbit November 2022 itu.

Adapun dalam riset “Penangguk Cuan Transisi Energi”, Trend Asia menemukan kalau penyediaan biomassa telah dibagi-bagikan kepada konglomerasi kehutanan, korporasi pemilik modal besar, dan pengusaha yang punya relasi dengan penguasa. Para pemasok biomassa kayu ke PLN juga merupakan perusahaan yang biasa memasok batubara. Artinya, klaim ekonomi kerakyatan dalam penyediaan biomassa hanya sebagian kecil saja.

Dalam riset tersebut, disebutkan kalau ada 14 pelaku usaha yang sudah mengembangkan HTE pada 2020 dan 18 perusahaan yang berkomitmen mengembangkan HTE di masa depan. Jika seluruh lahan HTE yang telah mengembangkan dan berkomitmen mengembangkan dijumlah, total alokasi tanaman energinya seluas 188.772 hektar. Angka itu masih sangat jauh dari kebutuhan totalnya sebanyak 2,3 juta hektar.

Menyegerakan Transisi Energi yang Sebenarnya

Maulida Zahra dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menilai, pelibatan masyarakat, mulai dari sosialisasi terkait penerapan co-firing di PLTU, wacana pensiun dini dan rencana setelahnya, hingga penanaman tanaman energi bagi LMDH belum maksimal dilakukan oleh pemerintah. Seharusnya, dalam konteks penerapan program, pemerintah perlu berpijak pada paradigma partisipasi bermakna (meaningful participation).

“Dia itu udah harus dilibatkan secara asal muasalnya, peruntukannya dan apa yang mungkin akan mereka alami. Dan harusnya partisipasi itu kan gak cuma didengar aja tapi diakomodir kepentingan masyarakatnya. Nah kalau misal aku liat memang mungkin partisipasi dalam bentuk sosialisasi ada, tapi secara keseluruhan yang memang diberitahu untuk apa dan lain-lain nah itu yang masih belum,” ungkap Maulida ketika dihubungi BandungBergerak, Selasa, 22 Oktober 2024.

Maulida juga memandang bukan suatu persoalan ketika LMDH memiliki pernyataan menolak penanaman biomassa dan pendirian pabrik serbuk kayu di kawasan mereka. Menurutnya, penolakan macam itu merupakan bentuk kesadaran masyarakat untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Sebab, sangat penting mempertahankan biodiversitas yang akan membawa manfaat bagi alam, hewan, dan manusia. Alih-alih mengubahnya menjadi hutan monokultur tanaman energi.

Maul juga memandang kalau keluhan masyarakat terkait penyakit pernapasan dan menurunnya pendapatan nelayan, merupakan dampak yang spesifik hadir diduga karena adanya PLTU. Meski, belum secara spesifik dibuktikan melalui data ilmiah.

Ia mengajak agar masyarakat mengawal penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN). Kebijakan energi nasional ini cenderung disusun tanpa melibatkan partisipasi publik. Padahal, kebijakan ini akan mempengaruhi kebijakan turunan di daerah-daerah terkait energi. Penerapan co-firing perlu dikawal agar ia tidak berubah menjadi alasan penunda pensiun dini, atau bahkan menjadi alasan menerapkan biomassa sebagai bahan bakar utama membangkit listrik di PLTU.

“Kekhawatirannya adalah co-firing yang dijadikan alasan penunda pensiun dini, benar-benar menjadi alasan pemanjangan usia PLTU dengan menerapkan full-firing. Takutnya kalau jadi penerapan full-firing di PLTU. Apalagi kalau di Jawa yang hutannya tersisa belasan persen lagi dan banyak yang berganti menjadi monokultur,” terangnya.

Sementara Direktur Walhi Jawa Barat, Wahyudin, mengaku merasa “kebobolan”. Sebab, ketika dilakukan ujicoba penerapan co-firing di PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Indramayu pada 2020, pemerintah tidak melakukan addendum izin atau revisi analisis dampak lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang baru.

“Skema uji coba itu (co-firing), saya tidak tau proyeksi mereka akan sampai kapan, itu juga belum dibuka secara transparan,” ungkapnya kepada BandungBergerak via telepon, Selasa, 22 Oktober 2024. “5-10 persen biomassa dicampur dengan batubara. Artinya batubara masih 90 persen. Bagi kami, informasi yang kurang bergizi dan bermakna secara substansi ketika klaimnya akan menurunkan emisi. Klaim yang disampaikan pemerintah maupun PLN, kami tidak dapat amini karena teknologinya masih sama, caranya masih sama, dibakar dan juga tidak mengurangi emisi sesuai klaimnya.” 

Selain itu, dengan penerapan co-firing, timbul masalah baru yang bukan hanya bermuara dari hilir, tapi muncul dari hulu, yaitu ancaman deforestasi yang akan diikuti timbulnya potensi berbagai macam bencana alam. Wahyudin juga khawatir pasokan biomassa memang sengaja diambil dari hutan alam. Wahyudin juga menilai, penerapan co-firing biomassa merupakan akal-akalan untuk memperpanjang usia PLTU.

“Mereka sepakat untuk pensiun dini Pelabuhan Ratu. Ini yang tidak relate atau kami bisa katakan ini kebohongan secara terstruktur dan kebohongan publik. Sebab mereka mengatakan ingin menutup secara bertahap, tapi di sisi lain mereka menerapkan co-firing biomassa, yang kami anggap bahwa tidak ada relevansi dan keseriusan pemerintah untuk betul-betul menutup PLTU,” lanjut Iwank, demikian ia akrab disapa.

Masalah lainnya pun muncul, jika pensiun dini benar dilakukan, tetapi ada jebakan baru, yaitu repurposing. Coal plant repurposing adalah upaya memanfaatkan kembali PLTU setelah pensiun, perbaikan PLTU, atau penguatan PLTU untuk penggunaan baru atau mode operasi baru, ataupun keduanya.

Penerapan co-firing biomassa di PLTU di Indonesia yang dilakukan oleh PLN, termasuk salah satu contoh repurposing PLTU di dunia. Pendekatan ini pun menjadi salah satu inisiatif dari Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, “penggunaan kembali PLTU” merupakan landasan strategi penghentian penggunaan PLTU.

Iwank menyebut, co-firing biomassa merupakan awal mula. Ke depannya bisa menggunakan RDF, ammonia, maupun hydrogen. “Apakah rencana pensiun dini ini memiliki makna yang berarti dan memiliki substansi yang berarti untuk menutup PLTU? Enggak. Terbukti, Jawa Barat melakukan co-firing biomassa yang kami anggap malah memperpanjang usia pltu, bukan menurunkan aktifitas dari PLTU itu sendiri.”

Berkaitan dengan momentum Pilkada 2024 ini, Iwank pun mendorong agar masyarakat bisa menentukan pilihannya dengan bijak. Salah satunya dengan memilih pemimpin yang punya keberpihakan terhadap lingkungan dan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

“Tinggal komitmen dan keseriusan dari pemerintah untuk sama-sama mendesak agar energi ekstraktif itu dikurangi, malah target yang diproyeksikan oleh pemerintah untuk menutup PLTU harus segera dilakukan,” tutupnya.

BandungBergerak telah mencoba mengkonfirmasi terkait penerapan co-firing biomassa dan rencana pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu. BandungBergerak tak kunjung mendapatkan balasan dari surel permohonan wawancara yang ditujukan kepada Senior Manajer PT PLN Indonesia Power UBP PLTU Jawa Barat 2 Pelabuhan Ratu, yang dikirimkan sejak Rabu, 9 Oktober 2024.

BandungBergerak juga mencoba mengontak langsung pihak PLTU Pelabuhan Ratu melalui bagian Humasnya, yaitu Robert David. Senin, 21 Oktober 2024, Robert merespon bahwa pimpinan belum bisa diwawancara sebab jadwalnya pada pekan itu sudah penuh. Per tanggal 30 Oktober 2024, Robert mengaku, pimpinan telah memberikan arahan untuk memberikan konfirmasi melalui keterangan tertulis, sebab sulit mengagendakan wawancara karena jadwal yang “padat”.

“Ini masih disiapkan (keterangan tertulis), selanjutnya masih nunggu persetujuan bapak (pimpinan),” respon Robert memberi tanggapan terkait kapan kepastian keterangan tertulis bisa diterima.

Hingga berita ini ditayangkan, BandungBergerak belum menerima keterangan tertulis terkait konfirmasi dan jawaban dari pertanyaan yang diajukan, serta belum mendapatkan kepastian kapan keterangan itu bisa diterima dan dipublikasi.

Orang Muda Mendesak Keberpihakan Terhadap Lingkungan

Kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan iklim yang dirasakan demikian kentara dalam kehidupan sehari-hari, membuat sekelompok orang muda dari kawasan Sukabumi berkumpul dan mendeklarasikan sebuah komunitas yang fokus mengawal isu transisi energi, ekologi, dan HAM, dengan menamainya Aliansi Bersihkan Sukabumi (Asihkan Bumi).

Koordinator Asihkan Bumi, Fahmi Fauzi (22 tahun) menerangkan bahwa komunitas ini memang memfokuskan pada isu lingkungan, salah satunya spesifik berkaitan dengan transisi energi. Selain mengisi kekosongan absennya komunitas orang muda pada isu lingkungan di Sukabumi, Fauzi memandang bahwa isu lingkungan dan transisi energi akan sangat berdampak kepada masyarakat dan bicara hak hidup.

“Dulu Sukabumi itu terkenal dengan dingin, hampir kayak Bandung lah. Tapi buat sekarang-sekarang, khususnya di daerah yang jauh dari PLTU pun, daerah kota, itu udah mulai kerasa panas banget. Mungkin ini adalah salah satu dampak dari PLTU, karena emisi karbon yang terus-terusan dikeluarkan,” terang Fauzi, saat ditemui usai Diskusi Publik dan Deklarasi Asihkan Bumi, Sabtu, 5 Oktober 2024, di Cipatuguran, Pelabuhan Ratu.

Menyikapi program co-firing, Fauzi berpendapat, skema tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengelabui masyarakat agar PLTU tetap bisa beroperasi. Padahal, masyarakat di tapak, terutama nelayan telah banyak terdampak. Masyarakat pun dinilai banyak terjangkit ISPA karena PM2,5 yang dilepaskan melalui cerobong asap PLTU.

Sukabumi yang memulai memanas, serta sulitnya memprediksi cuaca dinilai merupakan tanda-tanda perubahan iklim. Penyebabnya, tentu karena pelepasan emisi, salah satu kontribusi terbesarnya adalah dari industri energi, yaitu PLTU. Fauzi menyebut, meski tidak menutup kemungkinan ada faktor lain, seperti jamaknya industri di Sukabumi dan pembukaan lahan, PLTU dinilai merupakan penyumbang emisi terbesar. Untuk itulah ia mendorong agar pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu benar-benar dijalankan oleh pemerintah.

Untuk mendorong pemerintah benar-benar mempensiunkan PLTU, menurut Fauzi, masyarakat perlu mulai beralih menggunakan pembangkit listrik energi terbarukan di rumah masing-masing, yaitu dengan PLTS Atap. Adapun upaya untuk mencapai ke tahap ini adalah dengan pemerintah mengalihkan subsidi kendaraan listrik menjadi subsidi pemasangan PLTS.

Meski masyarakat sudah mulai banyak menggunakan kendaraan listrik, bagaimanapun, mayoritas sumber listrik di Indonesia masih dari pembangkit bertenaga fosil, yaitu PLTU. “Gimana kalau misalkan subsidi kendaraan listrik itu kita pindah ke kredit atau subsidi untuk PLTS. Kan yang utamanya dari pembangkitnya dulu.”

“Masyarakat mencoba memasang PLTS masing-masing. Jadi nantinya tidak ada alasan lagi dari pemerintah atau PLTU bahwa masyarakat butuh listrik. Enggak, karena masyarakat udah selesai dengan kebutuhan listriknya menggunakan energi terbarukan yang sudah pasti ramah lingkungan. Kita Asihkan Bumi mendorong edukasi masyarakat untuk menggunakan energi terbarukan untuk mendorong pensiun PLTU,” ungkap mahasiswa Teknik Elektro Universitas Nusa Putra ini.

Sementara Aura Rahman (22 tahun), tim media dari Asihkan Bumi menerangkan, ia pernah KKN di daerah Cisolok, Pelabuhan Ratu. Ia banyak menemukan nelayan yang mengeluh merasakan dampak PLTU sehingga harus mencari ikan semakin jauh. Karena inilah ia meminta pemerintah untuk melibatkan masyarakat, terutama masyarakat yang terdampak.

“Jadi bukan hanya mencanangkan solusi dari satu sudut pandang saja. Jadi kita harus melihat lagi, dampak negatif apa yang akan terjadi setelah itu. Maka dari itu harus libatkan masyarakat, warga yang akan terdampak,” kata Aura, mahasiswa Sistem Informasi Universitas Nusa Putra ini.

Baik penerapan skema co-firing biomassa maupun pensiun dini PLTU Pelabuhan Ratu, Aura bersikeras bahwa pemerintah harus benar-benar melahirkan solusi yang efektif untuk lingkungan dan masyarakat, serta menyiapkan mitigasi. Menurutnya, keberpihakan pemerintah kepada masyarakat dan lingkungan mutlak harus dilakukan.

“Warga sekitar harus dipikirkan kembali, karena yang paling merasakan,” katanya.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Bandung Bergerak, pada 2 November 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 

 

kali dilihat