Oleh Nani Afrida
INDEPENDEN --Rahmat (17) adalah tipikal remaja masa kini. Siswa kelas 3 SMA ini tidak banyak bicara, namun jarinya justru sangat lincah menulis dan menghasilkan konten di media sosial miliknya. Rahmat punya lima akun di media sosial yang berbeda, dimana dia bisa berekspresi lebih bebas.
“Aku punya dua akun dalam satu media sosial yang sama. Yang satu akun untuk berkenalan dengan orang baru dan teman-teman, sedangkan satu akun lagi untuk teman-teman dekat dan keluarga,” kata Rahmat saat diajak ngobrol oleh Independen.id di sebuah kedai kopi kekinian kawasan Jakarta Selatan baru-baru ini.
“Loh kenapa harus punya dua akun?” tanya Independen.id.
“Iya dong. Akun yang satunya lagi ada keluarga. Mama dan Papa aku sering memeriksa media sosialku jadi susah kalau mau posting sesuatu,” kata Rahmat beralasan.
Rahmat mengaku tidak punya banyak teman di sekolah. Tetapi jumlah pengikut atau followers di sosial medianya mencapai puluhan ribu. Pemuda yang hobi e-sport ini sering membagikan tips lewat media sosialnya yang ditunggu-tunggu para followers.
Beda dengan Rahmat, Anan (15) justru menjauh dari sosial media. Dia lebih suka berinteraksi dengan teman-temannya melalui applikasi game seperti mobile legend yang juga memiliki fasilitas video, chat dan bermain bersama.
“Sosial media itu banyak bohongnya. Juga tidak aman. Kalau foto-foto kita dipakai sembarangan bagaimana?” kata Anan yang masih kelas I SMA itu.
Namun Anan ternyata tetap punya satu media sosial yaitu Instagram. Instagram (IG) itu sepi tanpa postingan. Anan hanya memposting foto kucing kesayangannya di sana saat membuka akun.
Tidak ada juga yang mem-follow Anan di IG-nya, dan dia tidak berkecil hati. Anan malah senang terabaikan dari radar hiruk pikuk media sosial. Anan justru mem-follow banyak akun, mulai dari teman, artis, keluarga atau pun akun yang random namun kontennya menarik.
Anan jadi bisa update banyak hal kendati media sosialnya tanpa aktivitas.
Baik Rahmat dan Anan bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sosial media meskipun dengan tujuan yang berbeda.
Dan mereka juga yang paling uring-uringan bila berada di kawasan tanpa jaringan wifi gratis sementara paket data sudah habis.
Rahmat dan Anan adalah dua gambaran anak-anak Generasi Z yang selanjutnya disebut Gen Z. Mereka masuk generasi yang terlahir antara tahun 1997- 2012 disaat teknologi digital sedang marak sekaligus mewakili jumlah terbesar populasi di Indonesia saat ini.
Boleh dibilang kalau mereka itu memang “generasi digital” karena menggunakan kesehariannya dengan teknologi. Mereka tidak pernah ketinggalan hal baru di dunia digital, termasuk isu-isu yang viral.
Bahkan melakukan apa pun, seperti belanja, nonton, kencan, dan olahraga juga dengan menggunakan teknologi digital.
Menurut laporan Indonesia Gen Z Report 2024 yang dikeluarkan IDN Research Institute, jumlah populasi Gen Z di Indonesia mencapai 27.94 persen atau 74,93 juta jiwa dari total populasi penduduk Indonesia.
Jumlah ini lebih besar dari generasi milenial yang menduduki posisi kedua dengan 25,87 persen atau 69,38 juta jiwa dari total populasi Indonesia.
Riset yang dilakukan IDN Research Institute pada 602 responden selama 29 Mei – 9 Juli 2023 itu menggunakan quantitive method dengan random sampling di 10 kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Palembang, Medan, Balikpapan dan Makassar.
Ternyata Gen Z model Anan dan Rahmat memang hadir secara mencolok dalam dunia online, lebih menonjol daripada generasi sebelumnya –generasi milenial, red--, menunjukkan bahwa mereka memang individu digital sejati.
Generasi ini tinggal di dalam dunia di mana batas antara kehidupan offline dan online menjadi kabur, dengan lancar belajar, bersosialisasi, dan bekerja melalui internet.
Bagi sebagian besar Generasi Z, jejak digital bukan hanya tentang kenyamanan melainkan juga inti dari identitas mereka. Mereka membentuk hubungan, mencari validasi, dan menemukan tempat mereka di dunia melalui interaksi online, membentuk komunitas yang meluas melebihi batas geografis.
Riset juga menemukan bahwa untuk Gen Z, internet bukan sekadar alat, melainkan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka, menjadi kanvas di mana mereka menggambarkan pengalaman, aspirasi, dan perkembangan identitas diri.
Menurut riset itu lagi, mayoritas dari 602 responden Generasi Z menghabiskan sekitar 1–6 jam di media sosial setiap hari, bahkan yang lebih ekstrem ada responden yang mengaku menggunakan media sosial lebih dari 10 jam (5 persen).
Mereka ini mendapat julukan "selalu online."
Lantas apa yang dilakukan Gen Z selama online berjam-jam? Riset ternyata juga menjelaskan hal ini.
Sebanyak 22 persen dari mereka menggunakan media sosial untuk mengakses berita dan memperoleh informasi baru. Sedangkan 15 persen lainnya menjalin persahabatan dan hubungan lewat media sosial.
Ada juga yang sengaja membuat media sosial untuk mengikuti para influencer yaitu lima persen.
Bagaimana dengan sisanya? Ternyata 58 persen – yang menjadi jumlah terbesar responden —menggunakan media sosial untuk semua hal di atas: mengakses informasi, menjalin pertemanan dan mengikuti influencer.
“Kalau sedang santai, pasti buka sosial media. Biasanya sih pulang sekolah atau hari libur sepanjang hari,” Haris (13) salah satu remaja di Jakarta bercerita.
Dari banyak sosial media, Haris yang masih kelas 3 SMP ini paling suka dengan aplikasi TikTok, meskipun dia punya aplikasi Instagram juga.
Alasannya TikTok lebih nyaman dan bisa langsung menunjukkan video yang viral tanpa harus bersusah payah. TikTok juga lebih lengkap, ramah dicerna dan desainnya keren.
“Sekarang semuanya di TikTok. Jadi saya lebih lama di TikTok daripada Instagram,” katanya tertawa.
Pernyataan Haris sama seperti penemuan riset bahwa media sosial TikTok memang sedang naik daun dibanding media sosial lainnya.
Yang memprihatinkan, riset juga menunjukkan bahwa para generasi yang hobi online ini tidak punya kemampuan untuk mengamankan media sosial mereka.
Terbukti 89 persen Gen Z merasa nyaman dengan media sosial dan tidak memiliki khawatir berlebihan, sementara hanya 11 persen yang justru was-was terhadap nasib data pribadi mereka.
Gen Z dan Politik
Menjelang Pemilu 2024, banyak media dan lembaga yang mencoba menelaah polah Gen Z dalam hal politik dan preferensi mereka memilih pemimpin ke depan.
IDN Research Institute dan Kompas adalah dua dari banyak media yang sudah melakukan riset tentang kelompok muda yang jumlahnya mencapai 24,1 persen dari total pemilih potensial di Pemilu 2024.
Kedua riset dua media ini nyaris sama, yaitu mayoritas Gen Z mengenal beberapa partai politik, dan Gerindra menjadi partai politik nomer satu yang mereka kenal sementara di urutan dua dan tiga yaitu PDI-P dan Golkar.
Baik riset yang dilakukan IDN Research Institute dan Kompas juga menunjukkan bahwa mayoritas Gen Z masih belum menentukan sikap untuk calon pemimpin ke depan, atau bisa saja berubah pikiran.
Riset Kompas menyatakan bahwa pola-pola interaksi pemilih capres dengan konsumsi media menunjukkan kecenderungan kuatnya pengaruh media sosial dan televisi sebagai rujukan informasi serta pertimbangan menentukan pilihan.
Masalahnya menjelang Pemilu 2024, serangan informasi hoaks di media sosial juga semakin masif. Sehingga tidak menutup kemungkinan kelompok Gen Z yang selalu “online” ini terpapar informasi yang salah, bohong dan menyesatkan.
Hal ini juga jadi perhatian banyak pihak termasuk Universitas Pasundan (Unpas) yang menghimbau pentingnya sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama Gen Milenial dan Gen Z yang menjadi target utama serangan hoaks ini.
Mengutip Tresia Wulandari, dosen FISIP Unpas, generasi milenial dan Gen Z rentan terpapar hoaks karena masih cukup labil.
“Hoaks bisa menyebabkan kelompok muda apatis terhadap pemilu sehingga berpotensi dimanfaatkan kelompok tertentu untuk kepentingan politik,” katanya seperti di laman Unpas pada tanggal 11 Januari 2024.
Rahmat yang tahun ini akan memilih untuk pertama kali mengatakan dia tidak punya harapan yang muluk-muluk dalam Pemilu 2024.
Dia tahu siapa saja yang akan bertarung dalam Pemilu 2024 lewat media sosial, termasuk betapa chaos kondisi media sosial di masa kampanye.
Saat dia ditanya akan memilih siapa untuk Pemilu 2024 mendatang, Rahmat tertawa dan bilang itu rahasia. Tetapi dia bersedia memberikan sedikit clue alias petunjuk.
“Pemimpin yang paling mengerti apa yang diinginkan anak muda. Jangan anak muda dipaksa harus mengerti generasi terdahulu terus,” katanya.