Oleh: Betty Herlina
Independen- “Hiruk pikuk” antara industri media dan platform digital sudah berlangsung beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan platform digital semakin menggurita, berbanding terbalik dengan sustainability industri media. Platform-platform tersebut meraih sebagian besar pendapatan dari iklan digital, menjadikan model bisnis tradisional organisasi berita tidak lagi berkelanjutan.
Meskipun keberatan dengan praktik platform yang memanfaatkan konten mereka secara gratis, organisasi berita terlanjur mengandalkan platform tersebut sebagai sumber utama distribusi konten dan wadah untuk menjangkau audiens mereka.
Inilah yang mendorong lahirnya Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Publisher Rights, sebuah upaya untuk memastikan bahwa publisher (industri media,red) mendapatkan kompensasi yang adil atas konten mereka yang digunakan di platform-platform online seperti Google dan Meta.
Rencananya, Presiden Joko Widodo akan segera mengesahkan perpres tersebut pada Selasa (20/02/2024) sore, dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional. Ini mengakhiri empat tahun tarik ulur publisher rights di Indonesia, setelah sebelumnya Jokowi berjanji merampungkan akhir November 2023 lalu.
“Salah satu yang disampaikan kawan-kawan di Kementerian adalah soal itu (pengesahan publisher rights,red) semoga saja benar adanya,” kata anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro.
Diketahui ada tiga poin utama dalam Rancangan Perpres Publisher Rights, yaitu, pertama untuk mengkodifikasi praktik kerja sama yang sudah ada. Kedua, mendorong interaksi antara platform digital dengan perusahaan pers secara lebih berimbang. Ketiga, memberikan kesempatan perusahaan pers terlepas dari skala usahanya untuk dapat meningkatkan kerja sama dengan platform digital.
Bisa disimpulkan Rancangan Perpres Publisher Rights bertujuan untuk menciptakan landasan hukum yang jelas dan seimbang bagi kerja sama antara platform digital dan perusahaan pers, serta memberikan kesempatan yang sama bagi perusahaan pers untuk berkembang dan berkolaborasi dengan platform digital tanpa dibatasi oleh skala usaha mereka.
Hal ini bertujuan untuk memperkuat industri pers secara keseluruhan dan meningkatkan keberlanjutan ekosistem media.
Nantinya jika perpres tersebut resmi, Sapto mengatakan rencana pemberlakuannya adalah enam bulan kemudian. “Akan dibentuk Komite yang akan mengatur pelaksanaan operasional dari Perpres tersebut,” imbuh Sapto.
Informasi terhimpun, komite independen yang akan dibentuk bersama ini berisikan 11 anggota yang diluar unsur perusahaan pers, bisa meliputi wartawan profesional, pakar layanan digital, pakar hukum dengan proses penunjukan akan dilakukan Dewan Pers. Nantinya komite Independen berperan sebagai sebagai penengah diantara industri media dan platform digital.
Sapto juga membantah, terkait adanya isu kewenangan pemerintah untuk memutuskan take down content (menurunkan berita, red) jika Perpres Publisher Rights disahkan. Sejauh ini dikatakan Sapto hal tersebut tidak dibahas.
Kurun empat tahun sejak diwacanakan, Rancangan Perpres Publisher Rights sempat memicu pro dan kontra. Diantaranya perihal desas desus persoalan iklan, dimana media mainstream (arus utama) akan mendominasi dan membatasi ruang gerak bisnis media rintisan yang sekarang berkembang di Indonesia.
Pasalnya media rintisan masih banyak yang terganjal proses verifikasi media dari Dewan Pers. Sementara ada wacana yang mensyaratkan hanya media terverifikasilah yang berhak mendapatkan jatah “kue” dari platform. Termasuk kabar konten siapa yang berhak terindeks di platform.
Bahkan, pihak platform pun sempat menyampaikan ancaman tidak akan menayangkan konten berita dari penerbit media massa di Indonesia jika tidak ada titik temu. Dikutip dari Google Indonesia's official blog, Vice President of Government Affairs and Public Policy Google Asia Pasifik, Michaela Browning, sempat mengomentari rencana Indonesia untuk mengesahkan Peraturan Presiden tentang Hak Penerbit.
Browning mengatakan bahwa peraturan tersebut tidak dapat diterapkan jika tidak ada perubahan karena memberikan kekuasaan kepada lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul di internet dan penerbit mana yang boleh mendapatkan pemasukan dari iklan. Alih-alih mempromosikan jurnalisme yang berkualitas, peraturan ini justru dapat membatasi akses publik terhadap sumber berita yang beragam.
Lantas, bargaining power apa yang dilakuan Dewan Pers sehingga menyakinkan platform mau menerima Perpres Publisher Rights? Menurut Sapto, komunikasi tidak hanya dilakukan sendiri oleh Dewan Pers, namun dilakukan secara kolektif.
“Bukan hanya Dewan Pers, kita bersama Kementerian dan konstituen juga memberikan masukan dan mendengar beberapa keluhan mereka yang tak mungkin seperti soal algoritma dan konten inisiatif pengguna yang menjadi concern,” ungkap Sapto menambahkan.
Payung Media untuk Bernegosiasi
Sementara itu Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Diatmika mengatakan Perpres Publishers Rights akan menjadi payung bagi media untuk mulai bernegosiasi dengan platform. AMSI akan mendorong negosiasi kolektif untuk media yang belum bisa melakukan perundingan langsung dengan platform.
“Semua media, termasuk yang belum terverifikasi, akan kami bantu proses perundingannya, selama memang memenuhi syarat sebagai media berkualitas,” katanya.
AMSI menilai Perpres ini adalah bagian dari upaya menciptakan ekosistem bisnis media yang sehat. Regulasi ini akan melengkapi program AMSI sebelumnya yakni (1) pembuatan aggregator AMSINews untuk meningkatkan posisi tawar media media lokal, (2) indikator keterpecayaan media, atau trustworthy indicators, yang berisi 11 poin prinsip redaksi agar bisa dipercaya publik dan (3) agensi iklan, untuk membantu menyambung potensi pendapatan dari Lembaga dan perusahaan di Jakarta, ke media-media di daerah.
“Rancangan perpres mengenai tanggungjawab platform terhadap jurnalisme berkualitas pada akhirnya adalah untuk kepentingan publik, jadi bukan semata-mata untuk melindungi bisnis penerbit. Kita perlu sebuah mekanisme untuk bernegosiasi dengan platform terkait jurnalisme berkualitas supaya ruang publik kita tidak dibanjiri sampah. Kalau rancangan perpres ini diteken, maka akan menjadi simbol dari keberpihakan negara terhadap jurnalisme,” terangnya.
Pemimpin Redaksi The Conversation Indonesia, Ika Krismantari mengaku banyak mengetahui perihal publisher rights dari penerapan di negara-negara luar, seperti di Australia.
Secara konsep, kata Ika, pihaknya menyambut baik hadirnya perpres yang mengantur publisher rights, karena saat ini platfrm memang mendominasi penyebaran informasi di ruang publik, dimana sumber informasi tersebut dari media.
“Karena permainannya berubah, bisnis modelnya berubah, mekanisme ini memberikan leverage bagi media-media untuk mendapatkan porsinya. Secara konsep tentunya senang dengan ada keadilan fairness. Harapannya perpres ini benar-benar bisa mengikat platform,” kata Ika.
Ke depan dengan hadirnya publisher rights, menjadi target The Conversation Indonesia, kata Ika, adalah mempercepat proses mendapatkan verifikasi media dari Dewan Pers.
Negara yang mengadopsi model publisher right
Sebelum Indonesia, beberapa negara lain telah mengimplementasikan aturan mengenai hak penerbit. Salah satunya adalah Uni Eropa, yang pada tahun 2019 menetapkan regulasi untuk membagi pendapatan antara platform digital seperti Facebook dan Google dengan penerbit berita. Setelah tiga tahun berlalu, negara-negara di wilayah tersebut kini sedang mengkaji untuk mengadopsi Pedoman Hak Cipta Eropa.
Mengutip Euronews.com, adanya aturan tersebut mewajibkan Google membayar untuk konten berita yang dihasilkan oleh lebih dari 300 media di Uni Eropa. Perusahaan ini telah mencapai kesepakatan dengan berbagai penerbit dari negara-negara seperti Jerman, Prancis, Hungaria, Austria, Belanda, dan Irlandia.
Di Inggris, Google membayar sekitar 260 juta Pound sterling, mewakili sekitar empat persen pendapatan iklan penelusuran lokalnya. Sementara di Jerman, mengutip Reuters, diketahui Google harus membayar 3,2 juta euro atau setara dengan 3,38 juta dollar US per tahun untuk 470 publisher di Jerman.
Sedikit berbeda dengan di Australia, menurut sumber Financial Review, afr.com di bawah aturan News Media Bargaining Code, hukum mendorong Google dan Facebook untuk membayar lebih dari 200 juta dollar per tahun para publisher atas penggunaan konten mereka.
Fair playing field dalam ekosistem digital nasional
Terpisah, mengutip Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, mengatakan Rancangan Peraturan Presiden tentang Publisher Rights akan segera disahkan. Hal ini disampaikan Budi Arie Setiadi, saat menjadi pembicara kunci dalam Konvensi Nasional Media Massa di Ancol, Jakarta, Senin (19/2/24).
“Selanjutnya pemerintah segera mengesahkan kebijakan yang mendorong level playing field di isu digital. Rancangan Perpres Publisher Rights berusaha untuk menginisiasi kerja sama antara perusahaan pers dan platform digital yang dilandasi oleh kejelasan hukum,” tuturnya.
Budi Arie menambahkan, pemerintah memiliki kewenangan untuk memastikan adanya lingkungan digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif guna menciptakan kondisi yang seimbang dalam ekosistem digital nasional. Dewan Pers diminta agar segera menyiapkan langkah-langkah tindak lanjut setelah rancangan perpres tersebut disahkan.
Langkah ini penting untuk memastikan implementasi yang efektif dari regulasi tersebut, serta untuk memastikan bahwa kepentingan semua pihak terlindungi dan dipertimbangkan dalam pengembangan industri pers dan digital di Indonesia.
Pemerintah, lanjut Budi Arie terus berupaya menerapkan kebijakan yang bersifat afirmatif, terutama dalam menghadapi disrupsi teknologi informasi dan komunikasi. Perpres Publisher Rights, menurutnya tidak ditujukan untuk mengurangi keberlangsungan para pelaku industri, melainkan untuk memperkuat mereka.