- 22 Nov 2022 01:21 am
- Reporter: Anastasya
- Editor: Bayu
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen --- Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di depan mata. Siap-siap, hoaks terkait pemilu, hilir mudik di linimasa media sosial ataupun aplikasi pesan instan. Bila tak hati-hati, Anda bisa termakan kabar bohong atau hoaks pemilu.
Pemilu 2019 membuktikan bagaimana ajang kontestasi politik diwarnai kabar bohong yang makin mudah beredar di media sosial. Bahkan, hoaks sudah berseliweran sebelum hajatan pemilu berlangsung.
Salah satu hoaks yang banyak beredar adalah hoaks terkait dukung mendukung pasangan calon tertentu dalam politik di Pemilu 2019.
Misalnya, hoaks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersatu memenangkan Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden 2019 di media sosial Facebook, Juli 2020. Penelusuran tim cek fakta Tempo yang dihimpun cekfakta.com menemukan, foto dengan narasi “Perkumpulan Maling Suara”, sebenarnya foto saat KPU dan Bawaslu berkunjung ke kantor PDIP pada 29 Januari 2018 untuk verifikasi faktual partai politik sebagai syarat mengikuti Pemilu 2019.
Sementara di media sosial Twitter, poster berisi hoaks seruan pimpinan FPI Rizieq Shihab kepada umat muslim se-Indonesia untuk segera mencabut dukungan kepada Prabowo-Sandi, karena bersedia menerima dukungan dari “PKI”! beredar Februari 2019. Poster ini disebut FPI sebagai kabar bohong.
Kabar bohong juga ditemukan beredar melalui pesan singkat. SMS berisi ajakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019, beredar secara acak ke masyarakat di wilayah Medan, Sumatera Utara, 11 Februari 2019. Ketua Umum MUI Kota Medan kala itu, M Hatta menyatakan, MUI tidak pernah menginstruksikan atau mengajak untuk mendukung calon tertentu di Pemilu 2019.
Dari beberapa contoh ini, kita bisa mengetahui bagaimana pola kabar bohong terkait dukungan politik dalam pemilu.
Pertama, informasi yang sudah dimanipulasi ini, rata-rata beredar melalui media sosial Facebook dan aplikasi pesan instan WhatsApp.
Kemudian, konten biasanya memainkan politik identitas, seperti isu agama. Misalnya, kelompok atau aliran tertentu memberikan dukungan pada paslon tertentu.
Konten menggunakan narasi yang menyentuh emosi audience, utamanya yang sekelompok, menggunakan foto atau potongan video lawas.
Seringkali, dibumbui ajakan untuk menyetujui atau melakukan sesuatu yg diinginkan pembuat hoaks, atau sekadar ajakan membagikan konten. Informasi bohong ini, juga cenderung disebarkan secara berantai atau broadcast tanpa disertai rujukan sumber yang jelas, atau berasal dari media terpercaya.
Taktik penyebaran kabar bohong terkait dukungan politik ini, sejalan dengan temuan Edwi Arief Sosiawan dan Rudi Wibowo (Jurnal Komunikasi, 2019). Hasil penelitian keduanya menyimpulkan, lokus penyebaran hoaks ada pada media sosial seperti Facebook dan WhatsApp. Hoaks politik Pilpres 2019 bersifat berantai dan memproduksi ulang hoaks yang pernah ada pada Pilpres 2014.
Sasaran yang dituju oleh kontestasi hoaks ini adalah capres 2019 serta pemerintah pusat. Penelitian keduanya yang bertajuk “Kontestasi Berita Hoax Pemilu Presiden Tahun 2019 di Media Daring dan Media Sosial” menyebutkan, penajaman hoaks sangat ampuh dengan menggunakan media sosial dan mengarah pada kebencian antar golongan.
Mereka mendapati penyebaran hoaks pada Pilpres 2019 meningkat eskalasinya dibandingkan Pilpres 2014. Sementara temuan cekfakta.com, karakter hoaks Pemilu 2019 berbeda dengan hoaks Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014, tema hoaks didominasi saling serang antar kubu pendukung. Adapun hoaks yang menyasar legitimasi penyelenggaraan pemilu baru muncul sesudah hari pemungutan suara. Pada Pemilu 2019, hoaks yang mempersoalkan legitimasi penyelenggaraan pemilu sudah muncul beberapa bulan sebelum pencoblosan.
Catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) sepanjang 2018 ditemukan hampir seribu hoaks. Separuhnya, bertema politik. Dua bulan sebelum pemungutan suara Pilpres 2019, 70 persen hoaks yang beredar, terkait politik. Temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika tak jauh beda. Pantauan Agustus 2018-September 2019, dari 2.256 hoaks di beragam platform media sosial, lebih dari 900 di antaranya adalah hoaks politik. Tema hoaks terkait politik, jelang pemilu makin meningkat. Pemilu, tidak saja menjadi ajang persaingan politik antar peserta -partai politik, calon legislatif, calon di jabatan eksekutif, tapi juga menjadi ajang pertarungan informasi dan data.
Maraknya hoaks menjadi tantangan, untuk menjaga marwah demokrasi. Ini tantangan yang tak mudah. Apalagi temuan Massachusetts Institute of Technology (Dizikes, 2018) menyebutkan hoaks menyebar lebih cepat daripada berita benar. Sementara penelitian Sosiawan dan Wibowo menemukan, fenomena hoaks politik banyak menyesatkan masyarakat dan digunakan untuk menyerang lawan politik. Ini menyebabkan Pilpres 2019 menjadi arena kontestasi narasi antara pasangan capres.
Hoaks sudah menjadi arena pertarungan sekaligus komoditas politik untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Sementara, pemilu atau pesta demokrasi, hakikatnya pesta rakyat: dari, oleh, dan untuk rakyat. Pilihan ada di tangan Anda. Masih mau jadi korban hoaks di Pemilu 2024? Kenali pola hoaks dukungan politik dalam pemilu, waspadai taktik penyebarannya, dan kalau masih ragu soal kebenaran informasinya, cek di CekFakta.com. Selamat menyongsong pesta demokrasi, tanpa hoaks!!
Penulis: Anastasya Andriarti