Kelompok LGBTIQ: Dimanfaatkan Politisi, Dibayangi Persekusi

Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen --- Andra (nama disamarkan), Amek dan Alif adalah tiga translaki-laki yang menuturkan pengalaman persekusi mereka di tiga daerah berbeda.
Andra berasal dari provinsi yang memiliki julukan Serambi Mekkah, telah 9 tahun menjadi sukarelawan pendampingan kasus di Aceh. Amek adalah ketua Cangkang Queer yang hingga kini melakukan pendampingan kasus komunitas LGBTIQ, sekaligus juga pernah mengalami sendiri dipersekusi. Sedangkan Alif tengah menghadapi kasus persekusi yang menyebabkan ia harus keluar dari daerah tempat tinggalnya di sebuah provinsi di Kalimantan.
“Awalnya tuh, kita mau bikin acara koordinasi dengan jaringan lintas isu, tapi kemudian ‘bocor’,” kata Alif saat wawancara hari Jum’at, (7/10).
'Bocor' yang dimaksud Alif adalah kegiatan yang seharusnya menjadi inisiasi untuk menyatukan suara antar kelompok marjinal, malah dipelintir kemudian diviralkan sebagai kegiatan kelompok dengan penyimpangan seksual. Video-video yang menunjukkan para laki-laki sedang berkelahi, dialihkan isunya menjadi para gay sedang berpesta.
Alif sudah dua kali dalam setahun ini mengalami persekusi. “Persekusi yang kedua ini lebih parah daripada yang sebelumnya karena kita tidak hanya berhadapan dengan masyarakat radikal, tetapi juga berhadapan dengan Dewan Adat yang dibentuk oleh Pemerintah,” ucap Alif.
Persoalan menjadi pelik ketika ada satu aktor politik perempuan yang menjadi bagian dari Dewan Adat tersebut. “Uniknya lagi aktor politik ini diusung oleh partai Islam, meski dia non-muslim,” jelas Alif.
Pengalaman Andra mengadvokasi komunitas di Banda Aceh jelang Pilpres 2014. Mereka dituduh sebagai pasangan lesbian, lalu ditangkap dan dibawa ke kantor desa dengan alat bukti puntung rokok. “Hanya karena mereka berdua merokok di dalam rumah, lalu kawan yang berekspresi maskulin ditangkap. Mereka dituduh lesbian dan diancam akan dilaporkan ke WH (polisi syariat), kan aneh!”kata Andra.
Andra meyakini bahwa sikap masyarakat yang seperti ini adalah bentuk kebencian warga pada kelompok yang telah dilekatkan stigma bahwa tiap orang yang tomboy adalah lesbian. “Upaya cocoklogi ini laku banget untuk menggalang dukungan dan menarik hati warga Aceh memberikan dukungan pada propaganda anti hal-hal yang dianggap maksiat. Salah satunya LGBTIQ ini,” terang Andra, Sabtu (8/10).
“Kalau di Medan, aku pernah dipersekusi di ruang privat bersama pasanganku dan pelakunya adalah aparat negara,” kisah Amek. Selain mengalami sendiri, Amek juga pernah melakukan pendampingan kasus persekusi terhadap 5 LBQ dan Translaki-laki di Medan yang juga terjadi di ruang privat. “Mereka di persekusi di rumah mereka sendiri,” geram Amek.
Sama seperti yang diceritakan Andra, pelakunya adalah warga. “Mereka diarak ke kantor Camat oleh warga, Kepling, aparat desa juga beberapa tentara,” kata Amek, Sabtu (8/10).
Dampak Pesta Demokrasi Bagi Kelompok LGBTIQ
Kasus-kasus persekusi yang dialami dan didampingi Andra, Amek dan Alif adalah sekelumit dari sekian banyak kasus yang menimpa kelompok LGBTIQ di berbagai daerah di Indonesia, terutama dalam pesta demokrasi, baik menjelang atau setelahnya. Apa yang dialami ketiganya sejalan dengan temuan dalam riset yang dilakukan penulis terhadap pemberitaan di beberapa media massa.
Untuk menemukan tren keterkaitan proses demokrasi di Indonesia dengan kelompok LGBTIQ, penulis melakukan pemantauan dan dokumentasi media menggunakan mesin pencari Google yang dikhususkan pada halaman news.google.com. Beberapa kata kunci yang dimasukkan antara lain “LGBT”, “politik”, “politisi”, “lesbian”, “gay”, “transgender”, “sesama jenis”.
Membatasi jangkauan berita, wilayah dikhususkan di Indonesia dengan rentang tahun 2012 - 2020. Untuk mempermudah pengelompokkan dan keakuratan, metode pencarian dilakukan per masing-masing tahun yakni sejak 1 Januari 2012- 31 Desember 2012, dan seterusnya. Sepanjang periode pendokumentasian 2012-2019 yang diolah penulis terdapat 130 berita dari 4 laman media daring, yaitu Kompas, Detik, Republika dan Viva. Pemilihan 4 media daring tersebut didasarkan pada frekuensi media menayangkan berita-berita terkait LGBTIQ.
Pendokumentasian tahun 2020 berdasarkan pengumpulan berita daring oleh Arus Pelangi yang diterbitkan dalam Catatan Kelam: Persekusi LGBTIQ di Indonesia 2018-2020 dimana terdapat 49 berita terkait LGBTIQ.
Metode pendokumentasian melalui media daring ini memiliki keterbatasan tertentu, misalnya perbedaan pemaparan fakta antara satu media dengan media yang lain atau kemungkinan fakta yang tidak terungkap, dan lainnya. Setelah menggabungkan 179 berita, dibuat pengelompokkan dengan tiga kategorisasi yang relevan dengan topik penulisan, yaitu ujaran kebencian, persekusi dan kebijakan diskriminatif.
Sumber: Pendokumentasian berita di 4 media daring diolah oleh Alvi dan dokumentasi berita 2020 oleh Arus Pelangi
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vQ78kZb8rQBi6bBQ0Q5H71qKdqosWZQT_E_zM06VLtDOO6MmRAmFys8O6XPRidm-FQUnuaZ_qNekWNC/pubchart?oid=422335949&format=interactive
Tren teratas dari hasil olah data pemberitaan media tentang ujaran kebencian berada di tahun 2018, setahun jelang momen pemilihan presiden, sebanyak 30 kasus. Ujaran kebencian mayoritas seputar ketidaksetujuan kelompok politik pada eksistensi LGBTIQ yang dianggap ingin melakukan pelegalan same-sex marriage di Indonesia, mengikuti kebijakan di Amerika Serikat. Ormas Islam dan para tokoh dari berbagai agama turut mengeluarkan pernyataan bahwa pernikahan sesama jenis haram, menyimpang dari hukum alam, mengingkari fitrah sebagai manusia, bertentangan dengan Pancasila, merusak sendi negara hingga rekomendasi untuk menghukum mati kelompok LGBTIQ.
Kelompok politik yang terdiri dari eksekutif beserta jajaran di bawahnya, legislatif, kepala daerah dan partai politik menjadi pelaku ujaran kebencian terbesar dengan angka kumulatif 55,4%.
Ketua MPR, Zulkifli Hasan, mengawali tahun 2018 dengan pernyataan tentang keberadaan 5 parpol yang mendukung LGBTIQ. Pernyataan tersebut menimbulkan polemik di antara partai politik lain dan Ormas Islam yang ramai-ramai meminta PAN melakukan klarifikasi. Ujaran kebencian banyak dilakukan oleh partai politik berafiliasi dengan agama mayoritas yang menyatakan pertumbuhan dan visibilitas kelompok LGBTIQ kian meresahkan, meski semua agama menyatakan menolak. Bahkan Ketua DPR RI saat itu, Bambang Soesatyo, menyatakan akan mundur jika LGBTIQ dilegalkan di Indonesia.
Sumber: Pendokumentasian berita di 4 media daring diolah oleh Alvi dan dokumentasi berita 2020 oleh Arus Pelangi
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vQ78kZb8rQBi6bBQ0Q5H71qKdqosWZQT_E_zM06VLtDOO6MmRAmFys8O6XPRidm-FQUnuaZ_qNekWNC/pubchart?oid=2097251736&format=interactive
Sebanyak 25% LSM/Ormas menjadi pelaku ujaran kebencian, di antaranya Muhammadiyah yang berkeras LGBTIQ bertentangan dengan sila pertama. Ujaran kebencian menurun jumlahnya di tahun politik 2019, namun tahun berikutnya meningkat usai beberapa merek terkenal dunia seperti Unilever, IKEA, dan lainnya, menyatakan dukungan pada kelompok LGBTIQ. Hal ini mengundang hate speech dari MUI dan beberapa Ormas Islam hingga seruan boikot produk.
Sekitar 9,8% warga turut melakukan ujaran kebencian, di antaranya dengan menggalang massa dari mulai warga Bogor yang menamakan diri Forum Masyarakat Anti-LGBT, ibu-ibu Aliansi Muslimah Tolak LGBT di Bandung, sejumlah pelajar di Kabupaten Ciamis hingga para kepala sekolah di Kabupaten Garut.
Di tahun 2020 ujaran kebencian juga dilakukan oleh aparat penegak hukum manakala ada anggotanya yang ‘ketahuan’ LGBT. Ujaran kebencian ini kemudian berkelindan dengan reaksi dari beberapa anggota legislatif yang mendorong agar ada kebijakan melarang keras perilaku LGBT di lingkungan TNI.
Persekusi Semakin Meluas dan Sistematis
Temuan riset penulis sejalan dengan temuan dalam riset Arus Pelangi. Lembaga itu membedakan unsur persekusi menjadi dua hal, yakni meluas dan sistematik. Unsur meluas dihitung dengan mengkategorisasi rangkaian tindakan yang membuatnya sebagai persekusi. Sedangkan secara sistematisnya fokus pada kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi, baik langsung maupun tersirat. Untuk menentukan sebuah tindakan termasuk ke dalam persekusi, tindakan tersebut harus dinilai dengan melihat konteks dan efek kumulatif yang ditimbulkan, termasuk dalam hal ini adalah jumlah korban.
Sumber: Pendokumentasian berita di 4 media daring diolah oleh Alvi dan dokumentasi berita 2020 oleh Arus Pelangi
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vQ78kZb8rQBi6bBQ0Q5H71qKdqosWZQT_E_zM06VLtDOO6MmRAmFys8O6XPRidm-FQUnuaZ_qNekWNC/pubchart?oid=114982938&format=interactive
Temuan pendokumentasian media daring menemukan 7 kasus persekusi di tahun 2020, 5 kasus di tahun 2017. Aparat Penegak Hukum tak segan melakukan penggerebekan dari mulai ruang publik hingga ke ruang privat. Beberapa kasus persekusi di ruang privat yang banyak disorot adalah persekusi gay di sebuah ruko di Kelapa Gading dan apartemen Kuningan.
Sumber: Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBTI di Indonesia, Arus Pelangi, 2018
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vT_evALwRuEcvPu9VXxxo8FaSAEzvUOFlZ38kZafMvGfGPmd3KCQDKYjXjwzDZa89Lz7cqwO6FGtQzd/pubchart?oid=1909049071&format=interactive
Begitu juga sebaran jumlah kasus persekusi berdasarkan kewilayahan, Arus Pelangi mencatat provinsi Jawa Barat menempati posisi teratas dengan 53 kasus, kemudian DKI Jakarta di urutan kedua dengan 26 kasus, lalu masing-masing mempunyai jumlah kasus yang sama di angka 21 kasus untuk wilayah Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Tautan: https://www.canva.com/design/DAFPGM7ck6g/9AGvfgJEoNk3ECN1JthC3g/edit?utm_content=DAFPGM7ck6g&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
Dihitung dari jumlah korban, ada peningkatan mencolok pada korban transpuan yang mengalami persekusi dari 715 orang di tahun 2017 menjadi 1.687 orang di tahun 2018. Sedangkan korban translaki-laki yang belum tercatat di tahun 2017, setahun berikutnya jumlah korban persekusi berjumlah 10 orang.
Amek yang juga menjadi pengurus Transmen Indonesia membenarkan temuan ini.
“Kerentanan teman-teman translaki-laki atau yang berekspresi maskulin meningkat karena visibilitas mereka sudah mulai bermunculan,” kata Amek.
Penerimaan Masyarakat vs Kebijakan Diskriminatif
Dalam Indeks Demokrasi Indonesia 2009 - 2020 yang dihimpun Badan Pusat Statistik, tahun 2016 menjadi tahun puncak tertinggi pernyataan pejabat yang diskriminatif (95,59%). Sedangkan jumlah kebijakan diskriminatif tertinggi berada di tahun 2019 dan 2020 yaitu 92,65 persen. Fakta menarik dari data Indeks Demokrasi Indonesia dalam kurun waktu 2009-2020 ini adalah baik pernyataan pejabat dan kebijakan diskriminatif terkait gender, etnis dan kelompok tiap tahunnya selalu berada di atas angka 80 persen.
Sumber: BPS
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vR886_SkERYhaJg_c96IjVxfBUiA9jj23BGDskt2cFwLw-oNsk65aLRYH1oVwYY5tBMbWNXutUdY9HC/pubchart?oid=758350896&format=interactive
Kembali pada apa yang dikisahkan Andra, Amek dan Alif, Lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menggelar tiga kali survei pada Maret 2016, September 2017, dan Desember 2017 tentang Kontroversi Publik tentang LGBTIQ di Indonesia.
Dari sampel sebanyak 1.220 responden pada masing-masing survei, SMRC merilis sebanyak 46 persen laki-laki dan 45.7 persen menerima jika ada anggota keluarganya yang LGBTIQ. Dalam kategori yang sama terdapat 49,2 persen dan 58,9 persen laki-laki yang menyatakan pemerintah wajib melindungi LGBTIQ dan LGBTIQ punya hak hidup. Sedangkan 50,9 persen dan 56,4 persen perempuan menilai hal yang sama secara berurutan.
Tautan: https://www.canva.com/design/DAFPL4Bl_1g/VsXPZwSomtv6-AEAp58GGg/edit?utm_content=DAFPL4Bl_1g&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
Dari sisi agama, sebanyak 44,9 persen pemeluk agama Islam dan 46,9 persen pemeluk agama Kristen Katolik/Protestan menerima anggota keluarganya yang LGBTIQ. Menariknya, ada 56,2 persen pemeluk agama Islam dan 75 persen umat Protestan/Katolik menyatakan LGBTIQ punya hak hidup serta 50 persen baik umat Islam dan Protestan/Katolik yang setuju bahwa Pemerintah wajib melindungi LGBTIQ di Indonesia.
Secara demografi wilayah, temuan 51,5 persen di Kalimantan yang setuju LGBTIQ dilindungi oleh Pemerintah kontras dengan apa yang dialami Alif yang harus meninggalkan kampung halamannya karena dipandang berbeda secara orientasi seksual dan identitas gender.
Temuan yang bertolak belakang lainnya adalah jumlah 62,5 persen penduduk wilayah Jawa Barat yang menyatakan LGBTIQ punya hak hidup, sementara dalam Catatan Kelam: 12 tahun persekusi LGBT di Indonesia yang disusun oleh Arus Pelangi di tahun 2018 Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, berkata sebaliknya. “Kalau ada di lingkungan kita yang seperti itu (LGBT, red), tembak saja,” ujarnya.
Jawa Barat juga menjadi provinsi dengan kasus stigma dan diskriminasi tertinggi di tahun yang sama, yakni 39 kasus. Disusul DKI Jakarta 27 kasus, Sumatera Barat 21 kasus, Riau 11 kasus dan Jawa Timur 10 kasus.
Sumber: "Kelompok Minoritas Seksual Dalam Terpaan Pelanggaran HAM" Seri Monitor dan Dokumentasi 2019, LBH Masyarakat
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vTrZ-Yg3osUP6TqzD88eWqRrPBxNjov9CZ9AZAy0PiFyDyT8Flnx1HEB6NyRxiOqel6fUPfIJ2sAot7/pubchart?oid=1633953669&format=interactive
Ryan Korbarri, ketua Arus Pelangi saat ini, mengonfirmasi bahwa sejak tahun 2016 ada rekognisi cukup besar dalam lingkup negatif terkait isu orang-orang LGBTIQ di Indonesia.
“Stigma yang mulai dikembangkan dari mulai (orang LGBT) sakit dan menyimpang jadi mengganggu di masyarakat, merusak generasi bangsa, proxy war, dan lain sebagainya, ada eskalasi ke situ, memang, bahwa kita sudah mulai diidentifikasi sebagai ‘musuh’ dalam kampanye politik mereka,” jelas Ryan ketika diwawancara Senin, (22/09).
Sumber: Pendokumentasian berita di 4 media daring diolah oleh Alvi dan dokumentasi berita 2020 oleh Arus Pelangi
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vQ78kZb8rQBi6bBQ0Q5H71qKdqosWZQT_E_zM06VLtDOO6MmRAmFys8O6XPRidm-FQUnuaZ_qNekWNC/pubchart?oid=1565880179&format=interactive
Kebijakan diskriminatif pun menunjukkan peningkatan signifikan setelah pengesahan same-sex marriage di Amerika Serikat tahun 2015. PKS bahkan menggagas RUU Anti-LGBT untuk didesakkan pada DPR pada tahun 2016. Di tahun ini juga Guru Besar IPB mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar LGBTIQ dipidana. Ketika Putusan MK menolak permohonannya, kelompok yang menamakan diri Aliansi Cinta Keluarga (AILA) ini mengusung RUU Ketahanan Keluarga yang bertujuan merehabilitasi LGBTIQ. Beberapa kampus seperti UGM dan UII Yogyakarta menerapkan aturan pemecatan dan pelarangan individu LGBTIQ masuk kampus di tahun 2018.
“Kebijakan sudah banyak yang diskriminatif, tapi kemudian jadi kebijakan yang menyasar spesifik ke kelompok LGBT. Mereka menjadikan LGBT sebagai isu bersama. Jadi yang lebih kejam ke LGBT dibilang lebih bermoral,” imbuh Riska Carolina dari Crisis Response Mechanism (CRM) yang juga co-founder SGRC (Support Group and Resource Centre on Sexuality) Universitas Indonesia, Minggu (09/10).
“Jualan” Isu LGBTIQ di Tahun Politik
Selain kategorisasi ujaran kebencian, persekusi dan kebijakan diskriminasi, pendokumentasian berita media 2012-2020 juga mengelompokkan kategori berdasarkan jabatan publik, yakni sebagai anggota eksekutif, anggota legislatif, dinas, kepala daerah, partai politik, LSM/Ormas, Aparat Penegak Hukum (APH), akademisi dan organisasi profesi.
Selanjutnya, anggota eksekutif, legislatif, kepala daerah, dinas dan partai politik disatukan menjadi kelompok politik karena berada di satu garis dalam konstelasi politik. Pengelompokkan ini untuk mengenali siapa aktor politik di balik layar pelaku stigma, diskriminasi dan persekusi serta pembuat kebijakan diskriminatif yang berdampak pada kelompok LGBTIQ di tahun politik.
Dari pendokumentasian didapat empat elemen teratas yang mendiskriminasi LGBTIQ sepanjang tahun 2012-2020 secara berurutan, yakni Kelompok Politik (56,9%), APH (22,4%), Akademisi (12,1%) dan LSM/Ormas (8,6%)
Sumber: Pendokumentasian berita di 4 media daring diolah oleh Alvi dan dokumentasi berita 2020 oleh Arus Pelangi
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vQ78kZb8rQBi6bBQ0Q5H71qKdqosWZQT_E_zM06VLtDOO6MmRAmFys8O6XPRidm-FQUnuaZ_qNekWNC/pubchart?oid=878194360&format=interactive
Sejak tahun 2012, ormas berbasis agama sudah gencar melakukan pembubaran kegiatan ‘berbau’ LGBTIQ. Contohnya, pembubaran diskusi buku Irshad Manji berjudul Allah, Liberty and Love di Jakarta dan Yogyakarta yang berujung pengrusakan dengan kekerasan dimana pelakunya tak pernah ditahan. Aktivitas ormas berbasis agama meredup di tahun politik 2019. Bahkan salah satu ormas berbasis agama terbesar saat itu resmi secara de jure dibubarkan sebagai ormas.
Tahun 2018, pemegang kekuasaan eksekutif mulai dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, hingga Menteri Agama, Menteri Sosial dan jajaran di bawahnya serta petinggi partai politik mengeluarkan ujaran kebencian terhadap kelompok LGBTIQ. Sementara kekuasaan legislatif, baik DPR RI maupun DPRD di beberapa daerah, aktif membuat rancangan kebijakan yang mengkriminalisasi LGBTIQ. Kebijakan diskriminatif juga diinisiasi oleh Kepala Daerah misalnya di Pariaman, Depok dan yang terbaru Perda Penanggulangan dan Pencegahan Penyimpangan Seksual (P4S) Kota Bogor.
Gejolak politik identitas menguat seiring Pilkada DKI Jakarta. Saat itu terjadi polarisasi antara pemilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan yang mewakili dua kelompok masyarakat yang berseberangan dalam pilihan politik.
Menurut Yuli Rustinawati, ketua Arus Pelangi periode 2014-2018, Pilkada Jakarta berdampak pada kelompok LGBTIQ seperti temuan pendokumentasian berita media daring 2012-2020.
“Proses politik di Pilkada Jakarta waktu Anies vs Ahok itu juga ada pengaruhnya ke komunitas (LGBT). Organisasi LGBT banyak yang tiarap dulu waktu itu, seperti AP (Arus Pelangi) sampai harus pindah kantor karena sering disatroni ormas,” ujar Yuli, (08/10).
Tak hanya organisasi LGBTIQ di Jakarta saja yang terkena dampak, Yuli menuturkan banyak organisasi LGBTIQ di berbagai daerah memilih menghentikan seluruh aktivitasnya sementara dengan alasan keamanan.
Riska menambahkan bahwa konservatisme berbasis agama menguat di 2016 dan menggunakan isu bersama sebagai musuh akan lebih mudah menarik simpati massa. “Ketika itu Ahok kan ya, mereka melihat Ahok beragama selain Islam, rasnya bukan Jawa, bukan dari Jakarta, itu dipolitisasi menjadi Ahok itu amoral,” jelas Riska
Sumber: Catatan Kelam Persekusi LGBTIQ di Indonesia 2018-2020, Arus Pelangi, diolah oleh Alvi
Tautan: https://docs.google.com/spreadsheets/d/e/2PACX-1vT_evALwRuEcvPu9VXxxo8FaSAEzvUOFlZ38kZafMvGfGPmd3KCQDKYjXjwzDZa89Lz7cqwO6FGtQzd/pubchart?oid=1398089267&format=interactive
Korelasi tahun politik dengan kebijakan diskriminatif tergambar jelas dalam Catatan Kelam Persekusi terhadap LGBTIQ 2018-2020 yang diterbitkan Arus Pelangi. Tahun 2014 lahir kebijakan di beberapa daerah seperti Perda di Kabupaten Tulang Bawang, Ogan Komering, Garut, Serang dan Kerinci, namun belum menyasar langsung LGBTIQ. Baru di tahun 2018, terdapat 1 Nota Dinas dan 4 Surat Edaran yang isinya menyebut LGBTIQ secara spesifik dan 1 Perda tentang Ketertiban Umum yang mengganjar LGBTIQ dengan denda satu juta rupiah jika menimbulkan keresahan.
Sebelas Perda yang diterbitkan tahun 2019 kesemuanya mengenai Ketahanan Keluarga. Di tingkat nasional, RUU Ketahanan Keluarga diusung Aliansi Cinta Keluarga (AILA) usai permohonan Judicial Review mengenai perluasan pasal Zina dalam pasal 284, 285 dan 292 KUHP ditolak Mahkamah Konstitusi di tahun 2017. Perda-Perda Ketahanan Keluarga ini, baik langsung maupun tidak, memberikan wewenang bagi keluarga untuk melakukan upaya korektif jika ada anggota keluarga yang LGBTIQ.
Amek mengamini bahwa keberadaan Perda-Perda ini akan berimbas pada individu LGBTIQ yang masih tinggal seatap dengan keluarga. “Individu LGBTIQ dengan ekspresi berbeda yang tinggal bersama keluarga semakin mengalami intimidasi hingga upaya korektif seperti terapi konversi,” kata Amek.
Andra menambahkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim tidak akan cukup jika didukung oleh orang muslim saja. “Jadi ‘jualan’ moral dan agama itu nggak akan cukup. Nah, tentu saja kemudian orang-orang dalam konstelasi politik itu perlu membangun citranya. Cara yang paling strategis adalah dengan mencitrakan diri sebagai orang yang ikut membenci atau menunjukkan kebencian pada hal-hal atau isu yang dibenci oleh mayoritas dari agama mana pun, yaitu isu LGBTIQ,” ujar Andra.
Menengok kembali peristiwa enam tahun silam, Pondok Pesantren Waria Al-Fatah pernah digeruduk massa ormas Front Jihad Islam (FJI) yang melarang tempat belajar agama para transpuan itu beroperasi. Bunda Rully yang hingga kini menjadi sukarelawan di Ponpes Al-Fatah tak menampik bahwa aksi tersebut adalah bagian di mana kelompok LGBTIQ menjadi komoditas politik. “Saya melihat ada keterkaitan antara tahun politik dengan isu LGBT, seperti penggerudukan Ponpes itu kan salah satu move politik menarik simpati masyarakat,” kata Bunda Rully ketika ditemui pada Senin, (26/09).
“Tahun politik itu menambah kerentanan teman-teman dapat kekerasan. Kami didekati parpol hanya dijadikan alat saja, tapi ketika mereka sudah menduduki jabatannya, kami belum pernah ada yang dilibatkan dalam urusan yang lebih strategis. Jadi ya cuman dimanfaatkan saja,” geram Amek.
Kekosongan Regulasi Antidiskriminasi
Arus Pelangi dua kali menerbitkan Catatan Kelam tentang Persekusi terhadap kelompok LGBTIQ di tahun 2018 dan 2022. “Evidence-based research dalam Catatan Kelam yang kita buat memang untuk membuktikan bahwa ada kekerasan yang sistematis kepada satu kelompok tertentu yaitu kelompok LGBTIQ,” kata Ryan.
Alasan kedua, bagaimana kekerasan tersebut memang berkelanjutan dan masif sehingga bisa disebut sebagai kejahatan kemanusiaan atau mengarah pada genosida (memberantas suatu kelompok).
“Ada pola-pola yang kentara di tiap tahun politik memasukkan isu LGBT ke dalam narasi kampanye politisi. Untuk tahun 2022 ini hampir setiap bulan ada saja isu LGBT yang dinaikkan, dari mulai Citayam Fashion Week, hingga kasus Sambo juga pernah dialihkan kesana, kan. Jadi seperti tidak kelihatan, tapi tersistem sebagai cara untuk mendapat atensi masyarakat,” kata Ryan.
Senada Ryan, Edison Butar-Butar atau lebih akrab dipanggil Ichon dari Crisis Response Mechanism (CRM) menjelaskan bahwa menghadapi tahun politik 2024, mau tidak mau Arus Pelangi dan CRM harus siap.
CRM fokus melakukan advokasi kebijakan legislasi anti diskriminasi sebagai langkah advokasi nasional untuk menghapuskan diskriminasi kepada kelompok rentan, termasuk LGBTIQ. “Advokasi ini dilakukan dalam koalisi bernama Koalisi Nasional Indonesia Kelompok Rentan Anti-diskriminasi. Selain itu, CRM selalu memastikan ketersediaan pundi dana darurat tetap tersedia, sehingga apabila eskalasi kasus meningkat menjelang pemilu, tersedia akses dana darurat untuk melakukan respon terhadap kasus dan krisis, seperti evakuasi, dan lainnya,” ungkap Ichon.
“Jika ada kasus ya kita tangani, dengan pembagian peran bersama jejaring, baik di nasional maupun daerah,” ujar Ryan.
Menghadapi kekosongan regulasi anti-diskriminasi, Bunda Rully dan transpuan di Yogyakarta memulai menginisiasi ruang aman. Mereka membentuk Waria Crisis Center (WCC). Bunda Rully berharap WCC menjadi bagian dari sistem perlindungan, termasuk ketika isu LGBTIQ dinaikkan jelang 2024. Hal lainnya, WCC juga berkoordinasi intensif dengan jejaring seperti AJI Yogyakarta, Sejuk, ulama-ulama progresif dan para akademisi.
Dina Listiorini, pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, berpendapat bahwa negara harus bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan, tak terkecuali untuk kelompok LGBTIQ. Hal ini menurut Dina bisa direalisasikan dengan memasukkan isu yang masih sensitif seperti keragaman seksualitas menjadi kurikulum pendidikan untuk kader di setiap partai politik.
“Sebelum sampai pada persoalan melindungi, bisa tidak semua kelompok rentan, termasuk kelompok LGBTIQ dihargai sebagai manusia? Negara punya tanggung jawab memenuhi hal itu,” ujar Dina. (Alvi/D02)
----------------------------------
Liputan ini merupakan hasil "Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Jurnalis" yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.