Ketimpangan Penguasaan Lahan antara Korporasi dan Rakyat

Ilustrasi perkebunan sawit di Indonesia
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangOleh : Betty Herlina
Independen- Ratmatisidi, warga Desa Talang Baru Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, sempat merasakan pekatnya hotel "prodeo" akhir September 2022 lalu.
Rumahnya disambangi aparat malam hari, tepatnya sekitar pukul 23.30 WIB. Lima orang aparat dengan pakaian preman memaksa masuk untuk menggeledah rumah.
Aminah, istri Ratmatsidi ditanyai, perihal keberadaan suaminya. Menurut aparat, Ratmatsidi diduga melakukan tindak pidana pencurian Tandan Buah Sawit (TBS) milik PT. DDP.
Aminah sempat menolak rumahnya digeledah. Namun lagi-lagi aparat menunjukan selembar surat yang berisikan informasi, bahwa suaminya masuk daftar pencarian orang.
Tak ada pilihan, Ratmatisidi ditangkap. Kedua tangannya langsung diborgol. Peristiwa ini turut disaksikan kades Talang Baru.
Esoknya, usai pemeriksaaan, Ratmatisidi resmi ditetapkan sebagai tersangka. Terhitung 30 September Ratmatisidi resmi ditahan. Setahun kemudian kemudian, 7 Oktober 2023 Ratmatisidi bebas.
Rahmatsidi ditangkap, buntut dari konflik berkepanjangan antara masyarakat Malin Deman dengan PT DDP. Kedua belah pihak menyatakan mempunyai hak atas tanah yang ditinggalkan PT BBS sejak tahun 2006 lalu.
Sebelum Rahmatsidi, ada dua warga lain di Malin Deman yang mengalami nasib serupa. Ditangkap, divonis hukum kurungan. Namun keduanya sudah bebas.
Aksi lapor melapor ke aparat tak hanya dilakukan PT. DDP. Sebelumnya masyarakat Malin Deman sempat melaporkan aksi pencurian sawit yang berulang kali dilakukan oleh lima oknum PT tersebut.
Oknum tersebut memanen sawit yang ada di lahan milik Edi Supri, petani penggarap lahan yang ditelantarkan PT. BBS. Edi sudah merawat sawit tersebut sejak tahun 2016. Selama ini ia rutin memanen buah sawit tersebut tanpa gangguan pihak lain.
Selama ini masyarakat penggarap lahan yang ditelantarkan PT. BBS sudah memperjuangkan legalitas untuk menguasai lahan tersebut. Mereka mengurus surat keterangan tanah dan surat keterangan garap dari perangkat desa setempat.
Sekurangnya ada 36 orang petani yang mengantongi surat keterangan tanah atau surat keterangan garap tersebut. Penguasaan lahan ini juga dikuatkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2009 sesuai surat nomor 3207/22.1-500/VIII/2009 yang menyebutkan bahwa lahan HGU PT BBS masuk dalam daftar lahan terlantar.
Cerita Rahmatsidi, dan Edi Supri, menjadi potret rakyat yang bersengketa dengan korporasi perihal kuasa atas tanah. Tidak bisa dinafikan, ini terjadi tak hanya di Malin Deman. Namun juga di daerah Indonesia lainnya.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam peluncuran Catahu KPA 2022, awal Januari lalu mengatakan terjadi peningkatan konflik agraria sepanjang tahun 2022 menjadi 212 kasus, sebelumnya tahun 2021 konflik agraria yang terjadi sebanyak 201 konflik.
"Ledakan" konflik agraria ditahun 2022 menyasar 1.035.613 hektare lahan dan 346.402 KK terdampak. Sebelumnya di tahun tahun 2021 dimana luas lahan terdampak 500.062 hektare dan 198.895 KK menjadi korban.
Konflik paling banyak terjadi akibat gesekan masyarakat dengan koporasi perkebunan dengan komoditi sawit, sebanyak 99 kasus.
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Uli Arta Siagian mengatakan, konflik agraria tidak perlu terjadi jika dalam pengelolaan sumber daya pemerintah merujuk pada UUD 1945.
Dimana, pada pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dimana bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
"Tapi praktiknya timpang, penguasaan lahan didominasi oleh koorporasi, hanya sekelompok orang, bukan oleh rakyat,” kata Uli.
Menurut catatan Walhi dan Auriga, dari 53 juta hektare pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, lebih didominasi korporasi sebanyak 94,8 persen. Sisanya hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat.
Penguasaan tersebut merata di setiap pulau di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Papua, Maluku, Kalimantan dan Sulawesi.
Penguasaan lahan oleh korporasi meliputi Logging (HPH atau kini PBPH-HA), Dari seluruh perizinan berusaha, konsesi logging (HPH, atau kini PBPH-HA) merupakan penguasa lahan terbesar 47 persen.
Sepanjang tahun 2022, konsesi logging seluas 19 juta hektare seluruhnya dikuasai 258 badan usaha. Dimana seluas 4,3 juta hektare atau 22 persen konsesi logging ini dimiliki oleh 10 grup usaha.
Yakni, Sinar Wijaya 718.913 hektare, Alamindo 699.755 hektare, BUMN 675.116 hektare, Kayu Lapis Indonesia 608.776 hektare, dan Korindo 592.854.
Menyusul Artha Graha Network 313.107 hektare, Bumi Teknokultura Unggul Tbk 224.519 hektare, Mega Masindo Group 177.795 hektare, Patria Group 164.952 hektare, dan Mitra Jaya Group 157.802 hektare. Sisanya 14.704.199 hektare dikuasai oleh pihak lain.
Dari sektor penguasaan lahan oleh korporasi untuk Kebun kayu (HTI atau kini PBPH-HT), diketahui sepanjang tahun 2022 kebun kayu di Indonesia seluas 11 juta hektare, seluruhnya dimiliki 297 badan usaha.
Lebih dari separuh badan usaha tersebut terkonsolidasi pada 20 grup usaha. Namun demikian, integrasi vertikal juga terjadi pada sektor ini, terutama dengan pengusaan pada sektor industrinya.
Dengan menghitung integrasi horisontal dan vertikal ini, praktis sektor kebun kayu dikuasai oleh Sinar Mas dan APRIL. Pada pengusaan lahan, kedua grup ini menjadi pengendali pengusaan lahan 3,8 juta atau 61 persen dari seluruh alokasi lahan pengusahaan kebun kayu.
Sementara pengusaan konsesi pada kebun sawit dapat melalui berbagai proses, seperti pelepasan kawasan hutan (PKH) untuk kebun sawit, penerbitan izin usaha perkebunan (IUP) pada Area Penggunaan Lain.
Hingga April 2022, pelepasan kawasan hutan untuk (perusahaan) sawit seluas 6 juta hektare. Lebih dari seperempat atau 28 persen pelepasan kawasan hutan untuk konsesi sawit ini diberikan kepada 10 grup usaha.
Hingga saat ini HGU sawit sendiri tercatat setidaknya 7,4 juta hektare perkebunan sawit. Seperempat dari HGU ini dikuasai 10 grup usaha.
Seperti First Resources, KPN Corp, Musim Mas, Korindo, Sinar Mas dan Astra Agro Lestari. Ada pula Royal Golden Eagle, Incasi Raya, PTPN dan Sime Darby.
Sedangkan dari sektor tambang, penguasaan konsesi tambang oleh korporasi hingga Juli 2022 mencapai 10 juta hektare. Lebih dari seperlima atau 21 persen konsesi tambang tersebut 10 grup usaha.
Dimana Perusahan milik BUMN melalui PT. Timah dan PT. Antam merupakan 2 grup teratas yang menguasai hampir sejuta hektare izin pertambangan.
Uli mengatakan hingga saat ini wilayah Kelola Rakyat (WKR) mengacu kategorisasi yang diterbitkan KLHK WKR berupa perhutanan sosial, dengan realisasi baru mencapai 3 juta hektare. Sebelumnya Presiden Jokowi menjanjikan 12,7 juta hektare perhutanan sosial dan 4,9 juta hektare tanah obyek reforma agraria.
“Namun sepanjang era pemerintahan Presiden Jokowi baru menerbitkan 2,9 juta hektare untuk perhutanan sosial,” imbuhnya.
Berkaca dari kondisi yang ada, pemerintah, lanjut Uli, harus harus mempercepat pengakuan serta memperkuat perlindungan Wilayah Kelola Rakyat yang selama ini berkonflik dengan perusahaan maupun negara (kawasan hutan). Pola yang digunakan dapat melalui skema yang sudah ada saat ini seperti Perhutanan Sosial, TORA, pengakuan Hutan Adat dan enclave.
Tak hanya itu, pemerintah juga perlu menerbitkan kebijakan stop perizinan baru untuk perkebunan, pertambangan dan sektor kehutanan di seluruh wilayah yurisdiksi Indonesia.
“Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi dan pencabutan izin perusahaan-perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat serta perusahaan yang melakukan kejahatan terhadap lingkungan. Termasuk membatalkan UU Cipta Kerja serta aturan turunannya yang akan menjadi legitimasi hukum penerbitan izin dan investasi yang masif di Indonesia,” pungkasnya.
"Tapi praktiknya timpang, penguasaan lahan didominasi oleh korporasi, hanya sekelompok orang, bukan oleh rakyat,” -- EkNas Walhi, Uli Arta Siagian