Keterwakilan Perempuan di Parlemen dari Partai Berbasis Massa Islam

Penyerahan buku laporan kinerja DPR RI selama tahun sidang 2022-2023 dalam Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangOleh : Betty Herlina
Independen- Keterwakilan perempuan di parlemen menjadi sebuah indikator penting dalam mengevaluasi sejauh mana suatu masyarakat mampu mewujudkan kesetaraan gender dan inklusi politik. Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis, budaya, dan agama, memiliki beragam partai politik yang mewakili berbagai ideologi, pandangan dan basis massa.
Dalam spektrum politik di Indonesia, ada dua basis massa yang cukup signifikan, yakni nasionalis dan basis massa Islam. Keduanya memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk pandangan politik dan arah kebijakan partai-partai yang mengusungnya.
Lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengklasifikasikan beberapa partai berikut sebagai partai dengan basis massa Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan basis massa didominasi kalangan Nahdatul Ulama (NU).
Kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan basis massa dari kalangan Muhammadiyah. Ada juga Partai Gelombang Rakyat (Gelora), yang sebagian besar pentolannya merupakan pecahan dari PKS. Serta Partai Ummat (PU) yang akan meramaikan pemilu 2024 mendatang.
Meskipun memiliki basis massa Islam, tidak semua partai politik di atas menggunakan Islam sebagai ideologi utama partai selain Pancasila. PKB lebih mengaku berideologi moderat. Serta PAN dengan ideologi Pancasila Demokrasi Islam Nasionalisme religius.
Di beberapa negara, partai politik basis massa Islam memiliki peran yang signifikan dalam arena politik. Namun, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam partai dengan basis massa Islam seringkali memantik persoalan kontroversial dan kompleks.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bengkulu (Unib), Wahyu Widiastuti, S.Sos.,M.Sc mengatakan, salah satu tantangan yang masih dihadapi dalam persoalan keterwakilan perempuan di partai dengan basis massa Islam adalah karena masih adanya pandangan tradisional tentang peran gender yang cenderung dianut oleh banyak partai Islamis.
"Beberapa interpretasi agama dan pandangan budaya mengharapkan perempuan untuk lebih berfokus pada peran domestik dan keluarga, daripada terlibat dalam politik yang sering kali dianggap sebagai domain laki-laki," katanya.
Bila dilihat dari data yang ada, kurun 3 periode pemilihan DPR RI di Indonesia, 2009-2014, 2014-2019 dan 2019-2024, jumlah anggota legislatif (Aleg) perempuan dari partai dengan basis massa Islam masih belum memenuhi affirmative action. Namun secara umum ada tren kenaikan dari tiga periode tersebut.
Ada empat partai politik yang berhasil mendudukan politisi perempuan di DPR RI selama tiga periode pemilihan, yakni PKS, PPP, PKB dan PAN. Sementara PBB selama 3 periode pemilihan tidak berhasil menempatkan aleg perempuan.
Dari jumlah tersebut, PKB menjadi salah satu partai yang menunjukan tren kenaikan terhadap jumlah aleg perempuan dalam setiap periode. Terbesar jumlah aleg perempuan PKB pada pemilihan 2014-2019, yakni 12 orang.
Berbeda dengan PPP dan PAN, kedua parpol tersebut mengalami tren fluktuasi jumlah aleg perempuan selama 3 periode pemilihan. Keduanya sama-sama mendapatkan 10 kursi pada pemilu 2014-2019, namun turun lagi di pada periode 2019-2024. Sementara PKS baru di periode pemilih 2019-2024 memberikan porsi yang lebih besar untuk aleg perempuan, yakni 8 orang.
Meskipun semua partai menunjukan tren positif terhadap komposisi aleg perempuan, namun jumlah yang ada hingga saat ini belum merepresentasikan 30 persen affirmative action yang sudah digaungkan sejak pemilu 2009. Keempat parpol, masih menempatkan aleg perempuan di bawah 27 persen bila dibandingkan dengan jumlah kursi aleg laki-laki.
Sementara itu, Widi mengatakan ada beberapa tanda perubahan positif dalam keterwakilan perempuan di parlemen dari partai politik dengan basis massa Islami. Indikatornya bisa dilihat dari beberapa partai dengan basis massa Islam mulai merevisi interpretasi agama yang menghalangi partisipasi perempuan dalam politik. Sehingga dimana muncul pendapat bahwa kesetaraan gender sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Selain itu, lanjut Widi, beberapa partai politik dengan basis massa Islami mulai mengkampanyekan pentingnya kesadaran keterlibatan perempuan dalam politik dengan menempatkan perempuan di posisi-posisi kepemimpinan.
Salah satu caranya dengan menerapkan kuota atau langkah-langkah afirmatif action mulai dari tahapan pencalonan, memberikan nomor urut 1 serta mendorong keterwakilan perempuan dalam struktur organisasi dan parlemen.
"Namun kita juga tidak bisa mengabaikan, meskipun ada perubahan dalam beberapa partai politik dengan basis massa Islam yang berusaha untuk meningkatkan partisipasi perempuan, resistensi internal terkadang muncul dari kelompok-kelompok yang masih mempertahankan pandangan konservatif,” terang Kandidat doktor di Universiti Malaysia Terengganu (UMT), dengan spesialis Political Branding.
Komposisi aleg perempuan dari partai berbasis massa Islam, bila dibandingkan dengan partai nasionalis dan moderat, jumlah aleg perempuan yang duduk di DPR RI jauh lebih besar. Hal ini bisa dilihat pada periode pemilihan 2019-2024.
Bahkan, jika dilihat dari sisi afirmative, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) menjadi satu-satunya partai yang sudah memenuhi kuota 30% affirmative action untuk jumlah aleg perempuan di DPR RI.
“Komposisi perempuan di parlemen itu akan terasa dampaknya secara kolektif jika jumlahnya minimal 30%-35%, seperti yang ditetapkan PPB tentang Status Perempuan (UN Commission on the Status of Women),” terang Peneliti Senior Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kurniawati Hastuti Dewi.
“Kita memang tidak bisa berharap banyak dengan ideologis partai, ataupun partai dengan basis massa tertentu. Karena umumnya parpol hanya sekadar memenuhi kuota, tapi tidak mendampingi caleg tersebut. Akibatnya caleg terjun bebas. Caleg yang menang ya caleg karbitan menang dengan uang, bukan caleg akar rumput,” lanjutnya.
Kurniawati mengatakan, diperlukan upaya bersama untuk mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR RI. Salah satunya dengan mendorong organisasi perempuan seperti NGO untuk menyiapkan caleg-caleg potensial.
“Misalnya saja organisasi perempuan yang menjadi tempat belajar berorgansasi itu yang dikuatkan kapasitasnya, bisa melalui seri workshop untuk konsolidasi organisasi perempuan, sehingga Bacaleg yang muncul benar-benar yang bisa mewakili suara perempuan,” pungkasnya.
“Komposisi perempuan di parlemen itu akan terasa dampaknya secara kolektif jika jumlahnya minimal 30-35 persen" (Kurniawati, BRIN)