- 19 Sep 2023 03:39 am
- Editor: Betty Herlina
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangOleh : Betty Herlina
Independen- Korupsi! Masalah yang telah lama menghantui masyarakat Indonesia dan terus menjadi sorotan utama. Menjadi perbincangan tak hanya di media namun juga merambah di warung kopi.
Kisah-kisah tentang korupsi selalu menjadi bahan obrolan hangat. Ibarat penyakit, korupsi sepertinya sudah kronis, sulit untuk disembuhkan.
Di Indonesia, korupsi hampir terjadi di setiap lini. Aktor yang terlibat mulai dari pejabat tinggi, selebritis dan kaum crazy rich sebagai ladang “cuci uang”.
Bentuknya beragam dengan modus yang berbeda. Entah itu sifatnya penyuapan, penggelapan untuk memperkaya diri sendiri ataupun benturan kepentingan pengadaan.
Di balik candaan dan meme-meme yang beredar, perkara korupsi jelas merusak kehidupan masyarakat Indonesia. Menguras keuangan negara, menghambat pembangunan, dan memperburuk ketidaksetaraan ekonomi.
Kerugian negara akibat korupsi tidak tanggung-tanggung. Contohnya saja, kasus korupsi tersangka bos produsen minyak goreng merek Palma, Surya Darmadi, merugikan negara hingga Rp78 triliun. Kemudian ada pula, mega korupsi Asabri yang menyeret sejumlah nama dan merugikan negara Rp23 triliun.
Jumlah kasus korupsi di Indonesia pun dari tahun ke tahun meningkat. Laporan Transparency Internasional merilis, poin Indeks Persepsi Korupsi Indonesia anjlok dari 38 menjadi 34 poin untuk skala 0-100. Skor ini membuat Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara.
Secara global turunnya poin Indeks Persepsi Korupsi Indonesia juga berimbas pada turunnya peringkat Indonesia, menjadi 110 dari 180 negara sepanjang tahun 2022. Padahal sebelumnya, Indonesia pernah berada diurutan ke 96. Ini menjadi preseden terburuk sepanjang reformasi.
Indonesia pernah meraih poin Indeks Persepsi Korupsi yang cukup tinggi di tahun 2019, yakni 40 poin. Namun setelahnya kembali berfluktuasi turun menjadi 37 poin di tahun 2020.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai salah satu indikator yang menyebabkan penurunan IPK adalah penegakan hukum antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi tahun 2022 yang dikeluarkan Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Februari 2023, sepanjang tahun 2022, total anggaran yang dialokasikan untuk penindakan kasus korupsi (penyelidikan/penyidikan) seluruh APH (meliputi Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) mencapai Rp449 Miliar (sumber Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2022, Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK) dengan target perkara sebanyak 2.772 perkara tindak pidana korupsi.
“Namun realisasinya APH hanya mampu merealisasikan sebanyak 1.396 perkara atau sekitar 50 persen. Sehingga kinerja penindakan kasus korupsi hanya mendapatkan nilai C. Secara umum masih belum memuaskan antara target penyidikan dibandingkan dengan realisasi,” terang Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Diky Anandya.
“Bahkan hingga September 2023, tidak ada perubahan, penindakan korupsi di Indonesia oleh APH masih suram, meskipun secara kuantitas ada peningkatan baik jumlah tersangka dan kasus,” lanjutnya,
Dilihat dalam 5 tahun terakhir, penindakan kasus korupsi mengalami peningkatan dari segi jumlah kasus maupun tersangka. Namun menurut Diky, ICW menilai APH perlu memastikan agar penangan kasus tidak berhenti pada proses penyidikan, melainkan hingga penuntutan hingga eksekusi putusan.
“APH juga perlu didorong untuk melakukan pengembangan kasus hingga menyasar aktor-aktor intelektual yang diduga turut terlibat. Ibaratnya menangkap big fish lah,” katanya.
Dari sisi potensi nilai kerugian, ICW juga melihat secara konsisten ada peningkatan setiap tahun. Ini menunjukan, pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah setiap tahun semakin buruk dari segi pengawasan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Akibatnya sangat mempengaruhi arah pembangunan nasional dan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
"Negara harus lebih transparan, profesional, dan bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan negara, sehingga potensi merugi tidak perlu terjadi," lanjut Diky.
Korupsi Dana Desa Mendominasi
Bila dilihat berdasarkan sektor, temuan ICW menunjukan sepanjang tahun 2022 kasus korupsi dana desa mendominasi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni 2015 sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan.
Diky mengatakan ada tren kenaikan jumlah kasus dan tersangka untuk kasus korupsi Dana Desa setiap tahun. Modus yang digunakan perangkat desa untuk melakukan korupsi Dana Desa umumnya mulai dari tahap perencanaan yang terkesan nepotisme dengan melibatkan orang-orang terdekat, sehingga proyek mudah untuk dikendalikan, serta tidak transparan.
Selain itu adanya mark up hingga fiktif pada pengadaan barang dan jasa dalam konteks penyaluran dan pengelolaan dana desa. Termasuk proses penyerahan administrasi yang telat ketika dilakukan monitoring dan evaluasi.
Padahal lanjut Diky pemerintah sudah berupaya meminimalisir dengan memberikan edukasi pada perangkat desa, serta membentuk Satgas Dana Desa. Namun strategi tersebut sepenuhnya belum efektif, karena kewenangan Satgas Dana Desa sangat terbatas.
“Peran Satgas untuk melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap penggunaan dana desa harus diperkuat, mulai dari kompetensi hingga kewenangan kerjanya,” terangnya.
Diky mengatakan wacana menambah anggaran Dana Desa sebanyak 15% atau memperpanjang masa jabatan kades menjadi tiga periode bukanlah langkah yang tepat. “Narasi-narasi seperti itu hanya untuk kepentingan politik saja, bukan upaya memberantas korupsi Dana Desa,” lanjutnya.
Penindakan Kepolisian Menurun, KPK Stagnan
Diky mengatakan jika dilihat dari kinerja penegak hukum, ada tren peningkatan penanganan kasus dan jumlah tersangka di Kejaksaan Agung, bila dibandingkan dengan Kepolisian dan Komisi Pemberantahas Korupsi (KPK).
Sepanjang tahun 2022 saja, Kejagung dapat menyelesaikan 405 kasus dengan 909 tersangka, serta total uang negara yang diselamatkan Rp 39,2 triliun. Sementara Kepolisian hanya menyesaikan 138 kasus, denga 307 tersangka dan uang negara yang diselamatkan Rp 1,3 triliun. Sedangkan KPK sebagai lembaga yang didirikan dengan tujuan untuk memberantas korupsi hanya menyelesaikan 36 kasus dengan 150 tersangka dan nilai kerugian Rp 2,2 triliun.
“Sejauh ini tidak ada APH yang seefektif Kejagung, baik secara kualitas maupun kuantitas, mulai dari aktor yang besar dan potensi korupsi yang cukup besar. Berbeda dengan kepolisian yang cenderung menurun dan KPK yang stagnan, kita tidak tidak bisa berharap banyak, ada tren penurunan yang cukup signifikan di KPK sejak 2019, ketika bergulir revisi UU KPK dan pergantian pemimpin. Masih jauh dari harapan,” katanya.
Segera sahkan UU Perampasan Aset
ICW kata Diky merekomendasikan agar ke depan kerja-kerja penindakan yang berkaitan dengan penyidikan kasus korupsi oleh APH harus dilakukan dengan prinsip transparansi dan mengedepankan akuntabilitas, sejalan dengan mandat dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tak hanya itu, APH diminta lebih aktif untuk memaksimalkan upaya pemulihan aset hasil kejahatan dengan cara memaksimalkan forum uji pembuktian dan penulusuran aset hasil kejahatan melalui penggunaan pasal TPPU.
"Antara APH dan PPATK perlu membangun sinergi yang baik guna mendorong optimalisasi penelusuran aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi. Termasuk melakukan evaluasi dan peningkatan kapasitas secara berkala bagi para penyidiknya agar penindakan kasus korupsi dapat berjalan lebih efektif," terangnya.
Untuk memaksimalkan penanganan korupsi, Pemerintah dan DPR harus memprioritaskan proses legislasi dengan segera mengesahkan sejumlah regulasi antikorupsi seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai dan Revisi UU Tindak Pidana Korupsi guna menunjang kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh APH. Termasuk memangkas pagu anggaran aparat penegak hukum yang terbukti kinerjanya buruk dalam menangani kasus korupsi.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai Undang-Undang menjadi hal yang sangat penting saat ini, karena karena perbedaan kerugian keuangan negara dengan uang pengganti yang telah dibayar masih sangat tinggi.
"Harus segera disahkan, karena RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sudah diinisiasi sejak tahun 2006 namun sampai saat ini belum ada langkah kongkret. RUU ini belum menjadi prioritas utama, kita tidak melihat ada willingness dari DPR," terangnya.
Serupa disampaikan Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengatakan, konsistensi penindakan adalah cara pencegahan korupsi yang efektif. Kejagung sangat mendukung hadirnya UU Perampasan Aset sebagai penindakan terhadap kasus korupsi dengan nilai kerugian besar. Hal ini diyakini dapat menimbulkan efek jera.
"Penindakan yang konsisten dan menimbulkan efek jera menjadi cara pencegahan yang efektif. Harus melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi big fish dengan nilai kerugian yang besar," pungkasnya.
"Segera disahkan, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai UU," (Diky Anandya-ICW)