- 21 Sep 2023 01:53 am
- Editor: Betty Herlina
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangOleh : Rangga Prasetya Aji Widodo
Independen- Tutus Setiawan (43), disabilitas netra yang tinggal di Jalan Karah, Surabaya hanya bisa terdiam. Mengenang medio 2020, saat salah satu petugas bank mengatakan namanya tidak bisa dipakai untuk meminjam Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena kondisinya disabilitas.
"Jelas dia ngomong, 'Kalau bisa jangan pakai nama Pak Tutus, pakai nama istri saja'. Waktu itu saya nggak ngeyel, karena saya butuh," katanya pada kontributor Independen, Jumat (18/08/2023).
Sebetulnya, istri Tutus pun disabilitas netra. Namun, petugas bank tersebut menegaskan bahwa penampilan perempuan tersebut cenderung seperti non disabilitas sehingga namanya dapat digunakan untuk memenuhi syarat peminjaman modal usaha.
Syarat yang harus dipenuhi untuk mencairkan peminjaman modal usaha sebesar Rp20 juta adalah fotokopi KTP/KK, slip gaji, survei rumah, foto barang dagang, lokasi produksi, surat dari RT/RW, dan mengisi formulir.
"Ketika disabilitas ingin mengajukan peminjaman modal untuk KUR (usaha, red), kami belum dipercaya pihak perbankan. Itu pengalaman saya, entah disabilitas lain mungkin mengalami," tuturnya.
Usaha yang dibangun Tutus dari peminjaman modal ialah berjualan tongkat adaptif, globe timbul, peta timbul, dan berbagai peralatan bantuan untuk disabilitas. Selain itu, ia pun membuka usaha dengan pasar yang lebih umum, seperti berjualan deodorant spray.
Selama 2 tahun, Tutus tidak pernah telat membayar cicilan Rp900 ribu per bulan dengan bunga sekitar 4-5 persen. Tahun 2022, cicilan Tutus lunas. Petugas bank menawarkan kepada lelaki itu peminjaman modal usaha yang lebih besar, yaitu Rp50 juta.
Namun, Tutus menolak tawaran tersebut. Untuk kedua kalinya, ia diminta petugas bank memakai nama istri demi mencairkan peminjaman modal itu.
"Kalau saya yang menandatangani sendiri (peminjaman tersebut, red), saya mau, sebab harus memakai tanda tangan istri untuk mewakili saya, istri tidak setuju, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti di situ," tegasnya.
Hingga saat ini, banyak disabilitas yang ingin membuka usaha, namun perbankan terjebak dalam stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap disabilitas. Sementara, di sisi lain, pemerintah sibuk memberi perhatian lebih kepada UMKM non disabilitas.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, menunjukan Jawa Timur merupakan wilayah dengan persentase terbesar jumlah penyandang disabilitas yang tidak memiliki rekening dari 38 provinsi di Indonesia, yakni sebanyak 77,6 persen.
Menyusul, Jawa Tengah 77,3 persen dan Jawa Barat 76,4 persen. Ini menandakan pemerintah Jawa Timur belum menjalankan keuangan inklusif dengan optimal.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Jawa Timur, Andromeda Qomariah mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan ketentuan untuk mengakses kredit antara disabilitas atau non disabilitas. Kelayakan untuk mendapatkan akses kredit ditentukan oleh kualitas usaha produktif yang dijalankan.
Berdasarkan laporan perekonomian Bank Indonesia (BI), proporsi kredit UMKM terhadap total kredit di Jawa Timur terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2020 sebesar 28,89 persen, tahun 2021 sebesar 31 persen, dan tahun 2022 meningkat menjadi 31,64 persen.
"Kondisi tersebut tidak terlepas dari ekosistem yang kondusif untuk perluasan akses kredit modal bagi UMKM, termasuk bagi para penyandang disabilitas," katanya pada kontributor Independen, Kamis (31/08/2023).
Sayangnya, Andromeda mengatakan pihaknya tidak memiliki data-data terkait jumlah UMKM disabilitas di Jawa Timur. Sehingga, pihaknya tidak dapat merincikan apakah terjadi kenaikan proporsi kredit UMKM yang dapat diakses oleh disabilitas selama tiga tahun terakhir.
Menurut Dinas Sosial setempat, berdasarkan hasil survei E-Disabilitas terjadi peningkatan jumlah disabilitas di Jawa Timur dalam tiga tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan potensi disabilitas tidak dapat mengakses bantuan modal UMKM semakin meningkat.
***
Asti As'adah (42), disabilitas daksa yang tinggal di Jalan Tambaksari, Surabaya mengatakan belum berani mengambil KPR ataupun meminjam modal UMKM. Bukan karena tidak ingin, perempuan itu menyadari penghasilan disabilitas kerap dihargai rendah dan banyak lapangan kerja tidak inklusif.
"Kalau berdasarkan data, kami (disabilitas, red) punya penghasilan yang relatif sedikit. Kesempatan disabilitas untuk dapat pekerjaan juga sulit," katanya pada kontributor Independen, Jumat (25/08/2023).
International Labour Organization (ILO) merilis temuan survei Sakernas tentang perbandingan distribusi pendapatan antara disabilitas dan non disabilitas antara tahun 2017-2020. Hasilnya, mayoritas penyandang disabilitas bekerja dengan penghasilan rendah, sebanyak 82-85 persen di bawah Rp2 juta.
Padahal, Peraturan Daerah (Perda) Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2013 jelas menyatakan, pemerintah harus memberikan perlindungan dan pelayanan kepada disabilitas. Seperti menyediakan aksesibilitas transportasi, fasilitas umum, dan lapangan pekerjaan dengan penghasilan layak.
Perda tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup disabilitas di Jawa Timur. Dan, memberikan pelayanan yang setara dengan hak-hak masyarakat lainnya. Akan tetapi, Perda Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2013 itu belum diterapkan sepenuhnya oleh perbankan, lembaga keuangan, dan lapangan pekerjaan.
"Saya berharap pemerintah peduli terhadap kesejahteraan disabilitas. Kalau pemerintah tidak peduli, akibatnya akan memberatkan mereka. Kami (disabilitas, red) tidak minta diistimewakan, bagi kami kesetaraan itu harus ada," katanya.
Menurut data Susenas persentase kepemilikan rekening tabungan penyandang disabilitas dan non disabilitas mengalami kesenjangan dalam 3 tahun terakhir. Pada tahun 2018 kesenjangan itu mencapai 6,8 persen sedangkan, tahun 2019, memiliki kesenjangan 8,8 persen dan tahun 2020, memiliki kesenjangan 10,3 persen. Dari kesenjangan yang semakin meningkat itu, dapat menjadi indikator bahwa pemerintah belum menerapkan kesetaraan antara penyandang disabilitas dan non disabilitas.
Selain yang telah dijelaskan, sebetulnya pemerintah memiliki banyak UU, Perda, atau kebijakan pemerintah terkait hak-hak disabilitas dalam mendapatkan KPR dan modal UMKM. Namun, semua aturan itu belum diterapkan secara optimal dan inklusif oleh pemerintah di level kota atau provinsi.
Tahun 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diketahui masif melakukan kampanye program inklusi keuangan. Mereka menggenjot program itu melalui Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang mencapai 495 TPAKD di 34 provinsi. Serta, membuat program bernama Ekosistem Keuangan Inklusif yang telah terbentuk di 35 desa.
Dikutip dari instagram @ojkindonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menegaskan bahwa terus berupaya meningkatkan keuangan inklusif di pedesaan untuk mendorong perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"OJK mendorong kualitas inklusi keuangan melalui peningkatan program literasi keuangan yang dapat meningkatkan kapasitas masyarakat agar tidak rentan aktivitas ilegal di sektor jasa keuangan," tegasnya.
Sayangnya, program keuangan inklusif yang digaungkan OJK, tampak belum memberikan perhatian untuk disabilitas dalam akses mendapatkan KPR dan modal UMKM yang bebas dari stigma dan diskriminasi.
Seperti disampaikan Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Jawa Timur, Budi Raharjo dalam Festival Keuangan Inklusif yang diadakan D-Link Project dan OJK Jawa Timur. Menurutnya, akses keuangan inklusif untuk penyandang disabilitas belum optimal.
“Untuk masyarakat secara keseluruhan kita sudah bagus, tapi yang spesifik untuk penyandang disabilitas belum. Sehingga, kesempatan ini bisa dipakai untuk sosialisasi literasi keuangan khusus bagi penyandang disabilitas,” katanya.
Padahal, program-program inklusif terkait bantuan modal UMKM untuk disabilitas dapat membantu mereka lebih mandiri dalam mencukupi kebutuhan hidup. Hasil Susenas menunjukan pekerja informal penyandang disabilitas mencapai 71,4 persen dan pekerja formal penyandang disabilitas mencapai 28,6 persen. Artinya, masih banyak penyandang disabilitas yang membutuhkan dukungan untuk mengembangkan usaha mereka.
***
Sugi Hermanto (39), seorang disabilitas netra pernah mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kepada Bank Tabungan Nasional (BTN) dengan bunga sekitar 10 persen. KPR dengan luas bangunan 36 m² itu terletak di Cerme Indah, Gresik.
Uang muka KPR yang dibayarkan lelaki itu Rp18 juta dan cicilan Rp800 ribu per bulan selama 14 tahun, mulai 2013 sampai 2027. Apabila ditotal, harga KPR itu mencapai Rp134 juta. Namun, ketika dibeli lunas rumah dengan luas tanah 84 m² itu memiliki harga Rp80 juta pada tahun 2013.
Syarat yang perlu dilengkapi Sugi ketika mengajukan KPR ialah slip gaji, fotokopi KTP/KK, mengisi formulir pengeluaran dan pemasukan yang disediakan petugas bank, serta SK PNS. Untuk diketahui, Sugi merupakan guru di UPT SDN 13 Gresik.
Kendati ia berhasil mendapatkan KPR, Sugi merasa lokasi rumah yang diperoleh tidak memiliki aksesibilitas yang baik. Letak tempat tinggal yang jauh dari pusat kota, layanan publik belum memadai, dan transportasi umum tidak mudah dijangkau disabilitas.
"Sangat tidak punya aksesibilitas. Aku beli rumah itu di Gresik pinggiran. Lebih memilih pulang ke Surabaya, meski rumah kecil, ketimbang pulang ke Cerme. Karena, transportasi nggak mudah dijangkau," tegasnya.
Guru besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Purnawan Basundoro menegaskan bahwa banyak perumahan yang dibangun jauh dari pusat kota, karena lahan-lahan kosong di pusat kota telah sedikit.
Namun, lanjut Purnawan, apabila terdapat lahan kosong atau bangunan yang dijual di pusat kota, harganya begitu mahal. Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair Surabaya itu sepakat bahwa aksesibilitas perumahan yang jauh dari pusat kota dapat menyulitkan disabilitas.
"Perumahan yang inklusif, tentu saja dilengkapi dengan sarana yang mempermudah pergerakan disabilitas. Mulai dari rumah, hingga ke lokasi tujuan mereka," tegasnya pada Kontributor Independen, Senin (04/09/2023).
Padahal, hal itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Perlindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas.
Peraturan tersebut berkaitan dengan permukiman dan pelayanan publik yang mudah diakses disabilitas, perlindungan dari bencana bagi penyandang disabilitas, serta pendanaan untuk disabilitas.
Dari begitu banyak penerapan kebijakan pemerintah yang tidak inklusif, menyebabkan Indonesia berada di peringkat 125 menurut 2020 Inclusiveness Index, Measuring Global Inclusion and Marginality, dengan indeks inklusif 26,5. Hal itu, menunjukkan bahwa Indonesia memang negara yang tidak inklusif dalam berbagai aspek, khususnya keuangan dan permukiman.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jawa Timur, Soelistyowati menegaskan bahwa akses disabilitas untuk mendapatkan KPR dan modal UMKM memang begitu sulit.
"Jangankan KPR, teman-teman disabilitas mengakses bank saja kadang banyak hambatan, mereka tidak bisa datang langsung ke bank tersebut," katanya pada Kontributor Independen, Jumat (25/08/2023).
Menurut perempuan itu, banyak proses pengajuan KPR dan peminjaman modal UMKM dari disabilitas ditolak petugas bank karena dianggap tidak mampu membayar angsuran.
"Pemerintah perlu memberi kemudahan kepada disabilitas untuk mendapatkan KPR atau modal usaha. Berbicara tentang kebijakan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 sudah dicantumkan jelas terkait hak-hak kami (disabilitas, red)," tuturnya.
Soelis menegaskan bahwa pemerintah dan perbankan harus memberi perhatian terhadap disabilitas, sehingga mereka dapat menambah penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang relatif tinggi.
"Pemerintah kudu sadar bahwa kami (disabilitas, red) bukan beban. Kami mampu menciptakan usaha-usaha. Justru, itu dapat mengangkat ekonomi kami," imbuhnya.
Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas telah diatur dengan jelas, bahwa pemerintah wajib memberi jaminan sosial, pemberdayaan, perlindungan sosial, serta pendanaan untuk disabilitas.
Kepala Dinas Sosial Jawa Timur, Restu Novi Widiani mengatakan bahwa pihaknya memang belum memiliki kebijakan spesifik terkait hak-hak disabilitas dalam mendapatkan KPR dan modal UMKM.
"Disabilitas di provinsi Jawa Timur belum kami fasilitasi untuk pemenuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR, red) maupun Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM, red)," pungkasnya.
“Untuk masyarakat secara keseluruhan kita sudah bagus, tapi yang spesifik untuk penyandang disabilitas belum" (Budi Raharjo, Pemprov Jatim)