Ragu Ganti Kolom Agama di KTP: Penghayat Kepercayaan Masih Khawatir Diskriminasi

Para penghayat kepercayaan yang tergabung dalam Yayasan Puri Mustika Jawa (YPAMJ) Jember saat mengadakan ritual 1 Suro pada Kamis (20/07/2023).
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangOleh: M. Iqbal Al Fardi
Independen- Budi Siswanto masih ingat betul ketika dia diundang ke Surabaya untuk menghadiri sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 97/PU-XIV/2016 bersama Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Jember dan otoritas Kementrian Dalam Negeri.
Dia mendapat tawaran untuk mengubah kolom agama di kartu identitas (KTP) saat itu.
“Saya ngacung, ‘kalau seandainya kami tetap berkebatinan tapi tidak ganti KTP apakah kami kehilangan hak-hak kami?’ Waktu itu, beliau –pemerintah-- tidak bisa menjawab,” kata Budi pada Independen.id saat ditemui di rumahnya, Senin (21/08/2023).
Usai acara tersebut bersambung dengan acara Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Jawa Timur.
“Saya bersedia untuk masuk ke MLKI, tapi saya tidak bersedia mengubah KTP saya dari dari agama ke penghayat,” kisahnya. Saat itu Budi memang belum menjadi anggota MLKI
Sebelumnya pada 2016, empat penghayat kepercayaan mengajukan judical review atas UU nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang telah diubah dengan UU nomor 24 tahun 2013 pada Majelis Konstitusi (MK).
Empat penghayat kepercayaan itu adalah Komunitas Marapu di Pulau Sumba, penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Sumatera Utara, serta penganut kepercayaan Sapto Darmo di Pulau Jawa
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan permohonan uji materi terkait ketentuan pengosongan kolom agama di KTP dan KK dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Dengan keputusan itu Penghayat Kepercayaan bisa mencantumkan kepercayaan pada kolom agama di KTP dan KK.
MK pula menyatakan kata "agama" dalam pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 (1) UU Nomor 23/2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".
Melalui putusan tersebut para Penghayat Kepercayaan akhirnya berhak untuk mengisi kolom agama pada KTP dan KK sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing
***
Sebab akibat tidak mengganti kolom agama di KTP penghayat
Keengganan Budi untuk mengubah kolom agama di KTPnya bukan tanpa alasan.
Budi pernah memiliki masalah di KTP karena dia tidak mengisi kolom agama. Dia bahkan sempat dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dianggap tidak punya agama.
Sebutan “anggota PKI” ini adalah momok yang masih membuat banyak warga Indonesia ketakutan.
Budi kemudian berjuang mendapatkan KTP dan secara setengah hati mengisi kolom kosong itu dengan “agama Kristen”.
“’Ini PKI, KTPnya gak ada agamanya’ kan gitu, dimaki-maki begitu. Akhirnya saya memilih gereja untuk menjadi payung hukum saya,” tuturnya.
Dia berargumentasi mengubah kembali agama di KTP itu adalah persoalan baru hanya karena ada payung hukumnya. Persoalan yang bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk keluarga besar Budi yang juga Penganut Kepercayaan.
Alasan lain, perubahan agama di KTP tidak bersifat mutlak.
Menurut Budi, salah satu anggota MLKI Jember pernah kehilangan KTP saat sudah mengganti kolom agamanya menjadi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Namun saat mengurus KTP baru, di kolom agama kembali dengan agama asal alias agama sebelum diganti.
“Bukan kepercayaan lagi dan itu juga dialami beberapa teman,” katanya.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kabupaten Jember, Isnaini Dwi Susanti mengatakan elemen identitas yang terdapat di KTP sama dengan di Kartu Keluarga.
“Itu tidak kita ketik manual. Jadi KK diperbaiki dulu, kemudian sistemnya diteruskan ke pencetakan KTP,” jelasnya baru-baru ini.
Santi menduga perubahan itu dikarenakan elemen data yang diubah kembali seperti agama dalam KK saat mengurus KTP.
Padahal untuk mengubah data di KK harus menyertakan dokumen pendamping seperti pernyataan bermeterai atau dokumen negara lainnya. Biasanya data dimasukkan oleh pemerintah desa.
Data dari Dispendukcapil Jember menyebutkan ada 132 Penghayat Kepercayaan pada 2022. Mayoritas masyarakat di Jember memeluk Islam 2.553.888 jiwa, disusul dengan Kristen 19.892 jiwa, Katolik 8.367 jiwa, dan Hindu 1.615 jiwa.
Sementara, tiga agama dengan penganut terendah ialah Budha 1.315 jiwa, Penghayat Kepercayaan 132 jiwa dan Konghucu 66 jiwa
Penghayat Kepercayaan terbanyak di Jember ada di Kecamatan Sumberbaru berjumlah 20 orang. Sedangkan di 7 Kecamatan yakni di Sukowono, Sumberjamber, Pakusari, Jombang, Ledokombo, Sukorambi, dan Semboro, tidak terdapat penghayat kepercayaan.
Jumlah penduduk penghayat kepercayaan di Jember terpantau berkurang jika dibandingkan dengan data di tahun 2021 yaitu 177 orang.
Pengurangan itu terjadi akibat beberapa kemungkinan.
“Kemungkinan pertama ialah karena perpindahan domisili ke luar Jember, kemungkinan lainnya ialah karena kematian. Atau bisa juga ada dokumennya mengatakan dia kembali ke agama asal. Yang jelas, data ini sesuai dengan pengajuan dari warga dan kami akan mengubahnya dengan dokumen yang ada,” kata Santi.
Data Dukcapil memiliki selisih jumlah yang signifikan dengan MLKI Jember. Lembaga ini mencatat, terdapat 653 penghayat kepercayaan di Jember.
Jumlah tersebut terbagi lagi ke 6 organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Khawatir Tidak Bisa Dimakamkan
Alasan lain mengapa Penghayat Kepercayaan enggan menganti kolom agama di KTP berkaitan dengan makam.
Ada kekhawatiran mereka tidak bisa dikuburkan di tempat pemakaman umum (TPU) karena menjadi minoritas. Bukan apa-apa umat Kristiani saja sudah mengalami krisis lahan makam di Kelurahan Jember Kidul, Kecamatan Kaliwates, Jember beberapa waktu yang lalu.
Hal ini juga disampaikan Budi Siswanto.
Budi dan Penghayat Kepercayaan di Jember khawatir di mana dia dan anak cucunya kelak dimakamkan jika mengubah kolom agamanya.
“Kita (hidup) masih di Jember, kalau di Bali tidak ada masalah, kalau di Sulawesi tidak ada masalah, saya kan di Sulawesi 10 tahun, satu makam, campur-campur. Jadi keluhan teman-teman itu masuk akal,” kata Budi.
Budi bahkan tidak begitu yakin jaminan mendapatkan lahan pemakaman untuk Penghayat Kepercayaan kendati ada peraturan untuk itu.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 1980 tentang Kuburan Umum yang Dikuasai Oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Jember, pada Bab II disebutkan bahwa kuburan umum ditentukan menjadi tiga golongan, yakni golongan A untuk orang Islam, golongan B untuk orang Kristen dan golongan C untuk selain orang Kristen dan Islam atau menganut Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menjadi Penghayat Kepercayaan Lebih Rentan
Budi mengakui bahwa menjadi Penghayat Kepercayaan di Indonesia itu tidak mudah, dan semakin tidak mudah dengan mengganti kolom agama dalam KTP.
Kerentanan itu juga termasuk penerimaan kepegawaian, karyawan dan profesi lainnya apalagi masih banyak tempat kerja yang tidak tahu atau mengakui Penghayat Kepercayaan bagian dari agama yang dijamin pemerintah.
“Dan seandainya KTP itu bisa dikamuflase,” kata Budi menambahkan kamuflase yang dimaksud dengan memilih salah satu agama yang duluan diakui pemerintah.
Kerentanan Penghayat Kepercayaan akan semakin besar jika penghayat adalah perempuan.
“Nek wong lanang gak masalah mungkin. Nek wong wedok gak hijaban ‘kamu KTPnya Islam gak hijaban’, kadang tuh bagian seleksi data seperti itu. Ya, (beruntung) sekarang sudah banyak yang wawancara secara online,” katanya.
Budi pernah bertemu Penghayat Kepercayaan perempuan yang akan mengikuti wawancara secara daring. Perempuan itu mengenakan hijab atau kerudung.
“Kok tager (sampai) hijab-hijaban?’ saya bilang begitu. ‘Wah, mengko (nanti) masalah, pak’ seperti itu (kata si perempuan tersebut),” cerita Budi.
Ada yang Ingin Mengubah Agama di KTP
Wagimah adalah seorang perempuan penganut kepercayaan Sapta Darma.
Dia beragama Islam di kolom KTP-nya. Saat menikah dulu Wagimah dan suaminya juga menjalani prosesi menikah secara Islam pada 2001 lalu. Alasannya ia masih ber-KTP Islam dan suaminya masih menganut agama sesuai di kartu identitas itu.
Tidak hanya Wagimah, semua anggota keluarga kecilnya mengisi kolom agama KTP atau KIA (Kartu Identitas Anak) dengan Islam.
Kendati demikian Wagimah bercita-cita mengantinya dengan Penghayat Kepercayaan.
Iktikad mengubah kolom agama di KTP itu mulai muncul sejak permintaan anak bungsunya. Si anak yang sedang duduk di kelas 4 SD itu tidak mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya.
“Apalagi jaman sekarang kurikulum agama di sekolah itu disesuaikan. Jadi anak saya yang kecil itu sering kali minta juga ‘ayo, Ma, ndang diganti’ gitu,” jelas Wahimah pada Independen.id baru-baru ini.
Anak bungsu Wagimah mengenyam pendidikan di salah satu SD Katolik di Jember. Dia mengisahkan bahwa di sekolah itu anaknya mendapatkan pelajaran agama Katolik meski menganut kepercayaan Sapta Darma dan ber-KTP Islam.
Selain desakan anak, Wagimah ternyata ingin terang-terangan menegaskan identitasnya sebagai penganut kepercayaan. Uniknya Wagimah meyakini bahwa ia tidak akan mendapatkan perilaku berbeda jikalau sudah mengganti kolom agama di KTP menjadi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“Karena kita sudah mantap dengan ajaran ini mengapa kita harus takut, kan. Semua, Yang Maha Kuasa yang ngatur,” ungkapnya dengan gelak tawa.
Wagimah tidak sendirian.
Ada juga diantara Penghayat Kepercayaan yang punya niat yang sama. Bahkan ada yang sudah menganti kolom agama mereka dengan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah sebelumnya “terpaksa” memilih salah satu dari agama yang diakui negara.
Sunyoto misalnya.
Sunyoto yang penghayat kepercayaan Sapta Darma, memilih untuk menyematkan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di kartu identitasnya. Sebelumnya, kolom agama di KTP milik Sunyoto bertuliskan Islam.
Ia memilih mengganti kolom agama saat mengetahui adanya putusan MK itu.
“Kalau dulu kan manut orang tua. Kita masih belum bisa memilih (agama) yang cocok untuk kita, mana yang bisa kita hayati atau dalami. Yang penting identitas orang tua Islam, ya ikut Islam,” papar pria yang akrab disapa Nyoto awal Agustus.
Dan usai putusan MK itu, Nyoto mulai membereskan administrasi.
Dia mengurus penggantian KK dan KTP melalui pihak desa dan dilanjut ke kecamatan yang memakan waktu panjang.
“Berhubung saat itu menjadi kebutuhan yang menjadi tuntutan, KK sudah jadi atas nama penghayat, kita coba ke Dispenduk. Ternyata di sana lebih cepat terlayani. Kalau menurut teman yang saya mintai tolong di sana ya tidak ada masalah, cuma ditanya ‘kenapa kok ganti’ cuman di Jember saat itu belum ada dan pertanyaannya agak banyak,” paparnya.
Nyoto memilih untuk mengganti KTPnya karena belajar untuk bersikap jujur. Meski hanya kartu, dia mengungkapkan, identitas kepercayaannya dirasa butuh untuk disesuaikan dengan apa yang dia percayai.
Bukan hanya dirinya, Nyoto mengatakan bahwa dua anak dan istrinya turut mengganti kartu identitas dengan agama yang sekarang dianutnya.
Nyoto menganut kepercayaan Sapta Darma sejak kecil. Dia mengungkapkan bahwa kepercayaan tersebut telah dianut secara turun temurun sejak buyutnya. Bahkan sang anak pun turut menganut kepercayaan yang sama dengannya.
Saat menikah pada tahun 2008, Nyoto menuturkan bahwa dia dan istrinya menikah dengan cara Islam sebab masih ber-KTP Islam. Setelah itu, dia mengatakan, pernikahannya dikukuhkan secara adat kepercayaannya.
***
Masih mengalami diskriminasi
Selama menjalani ajarannya, Budi mengungkapkan, dirinya kerap mendapatkan diskriminasi yang bahkan itu datang dari komunitas agama Kristen yang menjadi pilihan agama Budi di KTP.
Dia mengatakan bahwa dirinya sering dianggap menyimpang oleh gereja karena akrab dan aktif dengan komunitas Penghayat Kepercayaan. Meski begitu, dia mengatakan, dirinya sering menyampaikan kepada pihak gereja bahwa ajaran yang dianutnya merupakan warisan budaya tak berbenda.
“Ya (kegiatan kepenghayatan) harus kami lakukan. Jadi, anak-anak saya ini saya tingkepi (sebuah tradisi ritual saat kehamilan), tedak siten. Sementara di Kristen tidak ada yang seperti itu. Tetapi ketika saya semacam diuji materi, ya, saya menjalani kekristenan itu bukan melebihi orang Kristen, ya sudah sesuai dengan tupoksi orang Kristen,” paparnya.
Budi menceritakan bahwa dirinya juga dibaptis, mengikuti perjamuan setiap bulannya. Selain itu, dia mengatakan bahwa dirinya turut merayakan hari besar Kristen seperti Paskah dan Natal.
“Dan ketika anak-anak kami lahir juga harus kami baptiskan dan menerima sakramen itu di gereja. Dan kalau anak saya menikah ya saya nikahkan di gereja dengan sebutan di sana Daud Suci atau pemberkatan nikah,” paparnya.
Budi menolak dianggap sesat karena dia menjalankan aturan gereja. Sedangkan dalam koridor kepercayaan, orang lain tidak dapat menilai yang lainnya.
Budi bahkan pernah dipanggil oleh pihak gereja akibat aktivitasnya di kelompok Penghayat Kepercayaan. Dia ditanya mengapa menjalani ritual di luar gereja. Bahkan Budi mendapatkan teguran sebanyak tiga kali yaitu di tahun 2003, 2007 dan 2017.
Pendeta yang mendatanginya bukan hanya dari gerejanya, tetapi juga dari aliran lainnya.
“Terus saya harus berhenti? Enggak, saya jalan terus! Ganti pendeta dipanggil lagi, ‘Pak Budi, kenapa seperti ini, kok laporan dari luar’ ‘iya, saya melakukannya. Tetapi tak satupun saya mempengaruhi orang-orang gereja’ saya hanya melakukannya untuk teman-teman Kejawen itu, kan mereka tetap butuh fasilitas. Kan kasihan kalau mereka gak ada yang nulungi (menolong),” ungkapnya.
Tidak hanya dari kalangan gereja Budi sempat dilaporkan kepada kepolisian saat menjalankan ritual ruwatan di tahun 2014. Saat itu, dia menyebutkan, terdapat sekitar 70 orang penghayat di rumahnya yang menjalankan ritual. Namun tiba-tiba pihak kepolisian mendatangi rumahnya.
Kedatangan polisi itu berdasarkan laporan masyarakat yang menilai kegiatan tersebut tidak umum dilakukan. Berdasarkan laporan tersebut, aktivitasnya dinilai mengganggu kenyamanan masyarakat. Bukan hanya itu, dia mengatakan, polisi tersebut menyampaikan bahwa kegiatan yang dilakukan pihaknya tidak berizin.
“’Kalau dibilang kegitan ini mengganggu kenyamanan masyarakat, di sisi mana? Kalau berbicara tentang sepeda motor berjejer, tapi kami sudah mepetkan tembok supaya ada orang keluar masuk itu enak. Dan jujur ya, Pak, saya sudah izin tetangga numpang halamannya. Kami tidak menggunakan bunyi-bunyian. Jadi kalau dibilang mengganggu, saya rasa tidak. Kalau dibilang gaduh, saya rasa tidak, karena kami semedi’,” kisah Budi.
Terkait izin kepada pihak kepolisian, Budi mengatakan, dia mempertanyakan apa yang harus diurus terkait perizinannya. Kendati demikian, dia menjelaskan, pihak kepolisian tidak mempermasalahkannya. Sebab, dia menilai, kebetulan polisi yang datang merupakan Penghayat Kepercayaan juga.
Budi meyakini sikap tersebut hanya datang dari segelintir orang saja. Jika respons tersebut datang dari sebuah institusi, dia mengungkapkan, perlu untuk disikapi. “Karena itu, orang-orang seperti kita harus merangkul, dialog, saling memahami, kan dan itu saya tularkan,” katanya.
Saat putusan MK tersebut ada, Budi tersadar. Dia kaget bahwa selama ini sebagai Penghayat Kepercayaan, dia tidak dapat pelindungan dari negara. Meski negara telah mengakui penghayat kepercayaan, tetapi dia masih meragukan penerimaan agamanya dari kebanyakan masyarakat.
***
Penerimaan Penghayat Kepercayaan di Desa “Pancasila” Sukoreno
Beda halnya di Desa Sukoreno, Nyoto maupun Wagimah sebagai warga tidak pernah mendapatkan diskriminasi seperti yang dialami oleh Budi.
Masyarakat di Desa Pancasila itu dinilai lebih dewasa dalam menyikapi keberagaman, khususnya urusan kepercayaan.
Wagimah menilai, bahwa kepercayaannya dapat diterima di desanya karena sudah ada sejak lama di sana. Dia mengatakan jika tidak ada satu pun konflik horizontal yang terjadi akibat perbedaan keyakinan.
“Di sini itu ya orangnya memang kerukunan saya acungi jempol lah. Dalam bermasyarakat kita juga rukun, kita bertetangga juga rukun, jadi ndak ada masalah. Mau apa aja ndak ada masalah,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Nyoto. Dia menjelaskan bahwa antar penganut agama maupun kepercayaan di sana saling mengundang jika ada hajatan.
“Khususnya di Sukoreno, mungkin kalau njenengan (Anda) di tempat lain enggak pernah menemui ada yang punya hajat misalkan agama Hindu mengundang Islam,” ungkapnya.
Bahkan pemerintahan desa pun mengakomodir kerukunan antar agama.
Sebagai contoh, pemerintah di sana menyediakan pertemuan lintas agama untuk membahas jikalau ada masalah terkait keyakinan antar masyarakat.
“kalau seandainya kami tetap berkebatinan tapi tidak ganti KTP apakah kami kehilangan hak-hak kami?’ (Budi, penghayat)