- 15 Oct 2023 22:18 pm
- Editor: Betty Herlina
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangOleh: Betty Herlina
Independen- Akhir September lalu, sekitar 30 hektare hutan dan lahan di Gunung Lawu di Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Timur terbakar. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Laporan dari Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyatakan titik api muncul pertama kali di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Manyul dan Campur Rejo, Kecamatan Jogorogo, kawasan Gunung Gede area Gunung Lawu sisi utara Ngawi.
Hanya dalam hitungan detik, titik api meluas ke petak 38, 39,40 dan 41, Lawu Utara, serta hutan lepas blok Trincing (timur ngudal,red). Kondisi api saat ini masih cukup besar dan bergerak ke arah utara, mengarah ke puncak. Sebanyak 130 petugas diturunkan ke lapangan untuk melakukan pemadaman. Namun kondisi medan yang curam dan angin yang kencang membuat proses ini tidak berjalan dengan mudah.
Peristiwa tersebut bukan kali pertama bencana di Indonesia sepanjang tahun 2023. Hingga 9 Oktober 2023, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 3.123 kejadian bencana di Indonesia. Dari jumlah tersebut, banjir menjadi bencana yang paling sering terjadi sebanyak 900 kali. Menyusul cuaca ekstrem, 876 kali kejadian. Serta kebakaran hutan dan lahan (karhutala) sebanyak 721 kejadian.
Lainnya, tanah longsor sebanyak 451 kejadian, kekeringan 125 kejadian, gelombang pasang dan abrasi serta gempa bumi masing-masing 24 kali kejadian. Dari jumlah bencana tersebut menyebabkan 5.501.750 jiwa menderita dan terpaksa mengungsi, serta 205 dinyatakan meninggal dunia.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, Ph.D, mengatakan letak geografis Indonesia dan bentangan alam yang terdiri dari dataran rendah dan tinggi, menjadi salah satu penyebab Indonesia rawan bencana hidrometrologi. Bencana-bencana tersebut sifatnya berulang dengan intensitas yang terus bertambah.
“Karena sifatnya berulang maka mitigasi untuk mengurangi dampak akibat ini yang lebih banyak dilakukan BNBP. Termasuk mempercepat respon terhadap bencana yang terjadi,” kata Abdul Muhari.
Bencana Hidrometeorologi adalah adalah suatu fenomena bencana alam atau proses merusak yang terjadi di atmosfer (meteorologi), air (hidrologi), atau lautan (oseanografi) yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak kesehatan lainnya.
Menyebabkan kerusakan harta benda, hilangnya mata pencaharian dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan. Contohnya badai siklon tropis, badai petir, badai es, tornado, curah hujan ekstrem, banjir, embun dan suhu dingin.
Di Indonesia, Abdul Muhari mengatakan ada dua jenis bencana hidrometrologi yang terjadi, yakni hidrometrologi kering berupa kekeringan dan karhutala dan hidrometrologi basah meliputi, banjir, tanah longsor, serta gelombang pasar dan abrasi.
Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, lanjut Abdul Muhari, sepanjang tahun 2023 di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kejadian bencana hidrometrologi kering, yakni karhutala. Ada peningkatan jumlah yang cukup signifikan, dari sebelumnya hanya 252 kejadian, hingga 11 Oktober 2023 sudah terjadi 721 kejadian kebakaran.
Beberapa wilayah yang mengalami karhutala diantaranya pulau Jawa dipicu oleh kekeringan, dimana kekeringan menjadi katalis api dan penyebarannya didukungan dengan cuaca yang panas. Kemudian Sumatera Selatan yang didominasi kebakaran lahan gambut.
Serta wilayah Kalimantan seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat yang sempat memberlakukan status tanggap darurat bencana asap akibat karhutla 1-30 September 2023.
“Kondisi ini di pengaruhi dengan fenomena El Nino dan perubahan iklim di Indonesia. Sehingga bencana hidrometrologinya lebih banyak,” katanya.
El Nino dan La Nina merupakan dua fenomena iklim yang terjadi di Samudra Pasifik dan memiliki dampak besar terhadap cuaca dan iklim di berbagai wilayah dunia, termasuk Indonesia. Keduanya memiliki siklus setiap 3-4 tahun.
El Nino, merupakan fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya, yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Sedangkan La Nina adalah fenomena yang berkebalikan dengan El Nino. Ketika La Nina terjadi, Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya.
El Nino dan La Nina terjadi akibat interaksi antara permukaan laut dan atmosfer di Pasifik tropis. Perubahan suhu muka laut di wilayah ini mempengaruhi atmosfer di atasnya.
"Makanya jika dilihat beberapa tahun ke belakang, sepanjang 2020 lebih banyak banjirnya karena dipengaruhi La Nina, sementara tahun ini kathutala yang banyak terjadi. Ini akan terus meningkat hingga 2024," imbuhnya.
Abdul Muhari mengatakan, manusia turut mengambil peran dari meningkatkan jumlah bencana hidrometrologis di Indonesia saat ini. Mulai dari semakin berkurangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan akibat berubahnya kondisi lingkungan tersebut. Misalnya saja hutan yang terus dibabat habis, sehingga ketika terjadi peningkatan hujan di hulu dan kawasan tersebut minim resepan, akibatnya terjadi banjir di hilir.
“Melakukan restorasi lahan, menata kembali pemukiman, termasuk menjaga hutan yang ada saat ini. Memperhatikan lagi perilaku manusia di alam itu juga harus dilakukan, karena karhutala yang relatif sering terjadi saat ini lebih karena ulah manusia,” lanjutnya.
Data dari Global Forest Watch yang diakses Jumat (13/10/2023) menunjukan pada tahun 2001, Indonesia memiliki 93.8 Mha hutan primer, yang membentangi 50% area lahannya. Pada tahun 2022, itu kehilangan 230 kha hutan primer, setara dengan emisi sebesar 177 Mt CO₂. Sejak tahun 2001 hingga 2022, Indonesia kehilangan 29.4 Mha tutupan pohon, setara dengan penurunan 18% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 21.1 Gt emisi CO₂e.
Menurut catatan World Bank yang diolah dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), selama dua dekade proporsi area hutan di Indonesia terhadap daratan terus menurun.
Senada disampaikan Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi. Ia mengatakan menurut catatan Walhi, kejadian bencana hidrometrologis di Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan semakin bertambahnya wilayah kelola korporasi khususnya perkebunan sawit.
“Jumlah izin yang negara berikan kepada koorporasi itu linear dengan bencana hidrometrologis yang terjadi di Indonesia,” tegas Uli.
Dilansir dari laporan WALHI dan AURIGA dengan judul Indonesia Tanah Air Siapa (2022), penguasaan sumber daya alam kepada konsesi diberikan dalam berbagai bentuk. Tidak hanya pengusahaan, tapi sekaligus penguasaan, kawasan hutan diberikan dalam bentuk konsesi logging (HPH atau kini PBPH-HA) dan kebun kayu (HTI atau kini PBPH HT. Namun, ada juga pelepasan kawasan hutan (PKH) yang ujung-ujungnya pengalihan penguasaan lahan kepada konsesi, terutama sawit.
Sementara untuk pertambangan, konsesi ini pada tiga bentuk, yakni kontrak karya (KK) untuk tambang mineral, PKP2B (untuk tambang batubara), dan IUP yang merupakan penyeragaman konsesi tambang setelah reformasi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan pemberi konsesi terluas dari semua presiden Indonesia, yakni memberikan penguasaan konsesi seluas 23,9 juta hektare. Sedangkan, Presiden Jokowi yang berkuasa selama dua periode, telah memberikan penguasaaan lahan konsesi seluas 11,7 juta hektare, terbanyak untuk sektor tambang. Bahkan, dari semua presidensi izin tambang (ke konsesi) Jokowi lah pemberi izin tambang terluas. Sementara Presiden Megawati menjadi satu-satunya presiden yang selama pemerintahanya tidak memberikan izin konsesi untuk perkebunan sawit.
WALHI, lanjut Uli mendesak untuk tidak sembarangan menerbitkan izin di wilayah kelola rakyat, karena tidak hanya menimbulkan bencana namun juga menimbulkan konflik seperti yang baru-baru ini terjadi di Desa Bangkal, Kalimantan Tengah.
“Kami mendesak pemerintah mengevaluasi lagi, jangan sampai bebannya lagi-lagi rakyat yang menanggung. Rakyat yang terbatas akses kesehatannya, akses pendidikan dan akses kehidupan yang lebih baik. Contohnya saja kabut asap yang terjadi di Kalimantan. Ini menjadi kejahatan lingkungan yang terjadi secara terstruktur, mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan dampak,” pungkasnya.
“Jumlah izin yang negara berikan kepada koorporasi itu linear dengan bencana hidrometrologis yang terjadi di Indonesia,” (Uli Arta, Walhi)