Benang Kusut di Balik Pembebasan Lahan Bendungan Marangkayu

Warga Desa Sebuntal membatasi akses masuk ke wilayah pembangunan jembatan Marangkayu.
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangOleh: Kartika Anwar
Independen- Perjalanan menuju Bendungan Marangkayu ternyata tak semulus yang dibayangkan. Tidak sembarangan orang diizinkan masuk ke kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berlokasi di Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegaratersebut. Warga sekitar didapati menjaga ketat portal, dengan menggunakan pohon besar yang dilintangkan untuk menutup jalan utama.
Sikap warga RT 22 Desa Sebuntal bukan tanpa alasan. Mereka masih menuntut pembayaran lahan perkebunan yang masih terkatung-katung tanpa kejelasan. Sementara perkebunan mereka sudah disulap menjadi kawasan bendungan Marangkayu. Tuntutan dan kekecewaan itu jelas terlihat dari wajah-wajah para petani di Desa Sebuntal.
Sudah 16 tahun lahan perkebunan yang menjadi sumber mata pencarian mereka diambil alih pemerintah Kabupaten Kukar. Beragam jenis tanaman yang tumbuh dibabat habis, sejak mereka sepakat memberikan lahan perkebunan untuk kawasan pembangunan bendungan, meski belum dibayar.
Ancaman itu ternyata bukan omong kosong, saat redaksi kitamudamedia.com meninjau lokasi tersebut Selasa, (19/09/2023) terlihat tiga orang petugas dari BPN Kukar yang terpaksa menemui warga di luar portal, lantaran tidak diizinkan masuk. Rombongan BPN bermaksud melakukan pendataan ulang terhadap lahan warga.
“Tidak boleh ada aktivitas lapangan sebelum diselesaikan semua pembayaran, petugas dari BPN kami larang semua masuk,” ujar Aris, salah satu warga Desa Sebuntal.
Aris (41) mengaku jenuh menunggu realisasi pembayaran lahan perkebunan seluas 2,684 hektar miliknya.
“Kami (warga) di janji – janji aja terus. Dulu (tahun 2012) sudah diinventarisir sama Tim Sembilan, sekarang (2023) katanya mau dibayar sudah, tapi diukur ulang lagi, terus nasib kebun kita yang dulu bagaimana, kalau sekarang kan sudah tidak ada tanaman, sudah jadi hutan lagi. Bukan main lamanya itu, sekarang datang lagi petugas BPN Kukar mau mendata. Berarti tim kemarin itu (panitia sembilan) bisa dikatakan tidak resmi dong! Siapa sudah yang mau tanggung jawab?,” ungkap Aris saat ditemui di lokasi bendungan Marangkayu, Selasa (19/09/2023).
Aris tidak memungkiri, saat itu warga Desa Sebuntal mendukung sepenuhnya pembangunan bendungan Marangkayu. Sehingga dengan suka rela memberikan lahan perkebunan tanpa mempersoalkan harga, asal lahan, tanaman dan bangunan yang ada diperhitungkan secara proporsional.
“Kalau masyarakat disini, sangat- sangat mendukung bendungan ini, kenapa saya bilang saya mendukung, tanah itu, kita rela pak tanah itu diambil,” kata Aris.
Serupa dialami Thamrin (51), warga Desa Sebuntal yang merelakan perkebunannya ludes dibabat saat pembangunan bendungan dimulai, tahun 2007 lalu. Saat ini lelaku tua itu hanya bisa menatap nanar secarik kertas yang isinya data inventarisasi tanah, bangunan dan tanam tumbuh.
Dokumen tertanggal 12 September 2012 itu merincikan jenis tanaman yang tumbuh di atas lahan seluas 4 hektar, milik Thamrin saat itu. Ada pula tanda tangan pejabat lintas instansi yang membenarkan rincian tersebut. Kertas usang itu menjadi satu- satunya bukti tertulis yang diterima Thamrin dari Pemda Kukar, yang diwakili Panitia Sembilan.
Thamrin mengatakan, lokasi lahannya berada sekitar 200 meter dari bangunan utama bendungan Marangkayu. Meskipun tidak termasuk kawasan inti, namun lahannya ikut dimanfaatkan. Saat itu, tanah di perkebunannya dikeruk untuk digunakan sebagai bahan penimbun bangunan as bendungan.
Sejak saat itu, janji ganti rugi secara lisan ditelan mentah- mentah Thamrin hampir selama 5 tahun. Barulah di akhir tahun 2012 lahan Thamrin masuk daftar inventarisasi tanah yang akan dibayar. Namun lagi-lagi asanya hilang. Hingga September 2023 ternyata masih nihil.
“Di lahan saya itu ada tanam tumbuhnya, ada pohon kopi, karet sama sawit. Waktu itu (2007) sudah dihabisin, dikeruk tanahnya, kan tanahnya itu tanah klei, (tanah liat atau lempung) diambil untuk timbunan as bendungan. Sudah didata semua, ini ada bukti kertasnya (sambil menyodorkan kertas), ada semua saksi bertanda tangan BPN Kukar, Polsek, Koramil, dari pemerintah juga. Kurang apa lagi. Sejak kita (warga,red) serahkan lahan itu, diinventarisir kan warga sudah tidak boleh lagi menggarap kebunnya, dijanji aja terus, baru tahun 2012 dibuatkan kami surat itu, sudah jelas ada tanaman kami, kok sampai sekarang belum dibayar padahal tanaman sudah ludes,” ungkap Thamrin yang tidak mampu menyembunyikan emosinya, saat dikunjungi Selasa (19/09/2023).
Ungkapan sabar ada batasnya, seperti tidak berlaku bagi warga Desa Sebuntal yang lahannya masuk kawasan PSN bendungan Marangkayu. Kesabaran mereka terus diuji, mundur tak bisa, maju pun tak jelas kapan pembayaran lahan mereka terima. Alih – alih pembebasan lahan memberi untung, justru buntung.
Lahan Petani Didata Ulang
Tepat 6 September 2023, Presiden Joko Widodo mengeluarkan arahan agar semua PSN di Indonesia rampung pada tahun 2024 mendatang. Arahan ini jelas menjadi angin segar bagi warga Desa Sebuntal. Akhirnya pembayaran lahan mereka setelah 16 tahun tersandera akan tuntas. Namun alih-alih menyelesaikan kisruh pembayaran, ternyata Organisasi Perangkat Daerah (OPD) setempat malah kembali melakukan pendataan ulang tanah milik para petani di Desa Sebuntal yang masuk kawasan bendungan Marangkayu.
Ternyata Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kutai Kartanegara tidak serta merta menggunakan data inventarisasi lahan yang dibuat 2012 silam. Petugas kembali turun ke lapangan untuk melakukan pendataan ulang.
Upaya pendataan ulang ini jelas ditentang warga. Mereka merasa dirugikan karena lahan yang sebelumnya adalah perkebunan kini tak ubahnya hutan. BPN tidak lagi menghargai tanaman yang dulunya tumbuh subur di lahan petani Desa Sebuntal.
Aris, petani wijen keberatan jika pendataan ulang tidak menghitung kompensasi tanaman di lahan miliknya dulu. Dijelaskan Aris, inventarisasi lahan tahun 2012 yang dilakukan Tim Sembilan, menaksir harga 72 pohon wijen dari kebunnya senilai Rp 297 juta. Belum termasuk harga lahan seluas 2,684 hektar dengan harga yang ditawarkan BPN saat itu Rp 17 ribu per meter persegi.
“Kok sekarang tidak mau dibayar lagi tanam tumbuhnya, padahal dulu (tahun 2012) pemerintah loh yang data inven, pemerintah loh yang tanda tangan, kami punya catatanya, ada hitam di atas putih, itu pun tidak mau diselesaikan, jadi siapa yang mau kita (warga) percaya. Sekarang katanya mau dibayar, di suruh kita tanda tangan nilainya, untung saya bisa membaca, coba ndak, selesai saya. Bagaimana mau setuju, na… ada tanaman ndak ada harganya,” keluh Aris.
Hal yang sama juga diaminkan Thamrin. Pohon kelapa, karet, kopi durian dan sawit miliknya yang sebelum masuk daftar inventarisasi pembebasan lahan kini sudah menjadi hutan belukar. Padahal dari getah karet yang ditakik, ia bisa mendapatkan penghasilan Rp 2 juta per tiga hari jika cuaca bagus. Ditambah hasil kebun sawit, minimal dapat Rp 15 juta per bulan.
“Penghasilan kami dari kebun itu, dari menyadap pohon karet, ada juga sawit, lumayan lah penghasilannya. Cuma kan sejak tanah kami di inven sudah tidak boleh lagi digarap lahannya, jadi terpaksa cari penghasilan lain, padahal sampai sekarang belum dibayar. Baru mau didata lagi, ribuah pohon dulu ada di situ (lahan sekitar bendungan Marangkayu), kalau sekarang nyata sudah kaya hutan, sudah belasan tahunan,” kenangnya.
Tawaran harga dikisaran Rp 22 ribu hingga Rp 30 ribu per meter yang diberikan ke warga pun ditolak tegas. “Sekarang itu, kita (warga) dikasi harga Rp 28 ribu per meter, tergantung posisi tanah juga sih, ada juga yang Rp 30 ribu per meter. Paling murah itu Rp 22 ribu, cuma kan tidak mau kita (warga) kalau tanam tumbuhnya tidak dihitung,” keluh Thamrin.
Tumpang Tindih Aturan Pembebasan Lahan
Dikonfirmasi, BPN Kabupaten Kukar tak menampik, berlarut – larutnya persoalan ganti rugi lahan salah satunya disebabkan adanya perpindahan instansi. Tidak hanya itu, dasar hukum yang menjadi acuan juga berganti. Kepala BPN Kukar, Aag Nugraha mengatakan inventarisasi oleh Panitia Sembilan dilakukan sesuai aturan Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005, namun saat ini panitia pengadaan tanah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sesuai Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2021 dan Permen Agraria/Kepala BPN No 19 Tahun 2021.
“Inventarisasi oleh Panitia Sembilan sesuai aturan Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan belum tuntas, namun saat ini panitia pengadaan tanah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sesuai Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Permen Agraria/Kepala BPN No 19 Tahun 2021 karena proses pembebasan lahan yang berlarut larut dan terlalu lama (sekira 16 tahun,red) menyebabkan terjadi perpindahan instansi yang memerlukan tanah,” papar Aag melalui pernyataan tertulis yang diterima Sabtu (23/09/2023).
Aag merinci, dari luasan lahan kawasan bendungan 678, 59 hektar tersebut, Panitia Sembilan Pemkab Kukar telah membebaskan 72,66 hektar lahan warga. Dilanjutkan pada tahun 2023, pembebasan lahan dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama yang saat seluas 185,89 hektar, terdiri dari 28,6 hektar lahan yang telah dibebaskan lebih dulu, sisa 156,99 hektar yang akan dibebaskan.
“Sesuai rencana genangan yang dilakukan oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan Timur, terbagi genangan tahap 1 dan tahap 2. Tahun ini kita fokus untuk genangan tahap 1 seluas 185,59. Sisa yang belum dibebaskan 156,99 hektar akan dibebaskan tahun 2023 dan yang belum diinventarisasi sejumlah 1,9 hektar. Tahap 1 jumlah bidang yang sedang di inventarisasi sebanyak 181 bidang,sementara anggaran yang akan dibayarkan masih menunggu penilaian harga dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP),” urainya.
Penelurusan redaksi, aturan baru ini muncul dipicu keluarnya Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 66 Tahun 2020 tentang Pendanaan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Sementara itu, Zulaidi ST, MT Satker Pembangunan Bendungan BWS Kalimantan IV menjelaskan, sejak keluarnya aturan baru, Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) hanya diizinkan membiayai apabila instansi yang memerlukan tanah adalah kelembagaan atau kementerian, bukan instansi pemerintah daerah, akhirnya September 2022 beralih ke Balai Wilayah Sungai (BWS). Sejak saat itu mulai dilakukan penataan dari awal kembali.
“Di tahun 2022, antara September atau November akhir beralih yang tadinya inisiasi melalui pihak Provinsi (Kaltim) melalui bidang SDA beralih ke BWS, sejak saat itu kami (BWS,red) menata ulang kembali. Karena data – data itu kan kemarin tidak hanya sekedar pelimpahan begitu saja, jadi kami menyusun lagi, melaporkan lagi ke Pemda, penloknya (penetapan lokasi) diubah, setelahnya mengajukan lagi ke Kanwil, dari Kanwil menyerahkan ke Kantah (Kantor Pertanahan)Tenggarong (Kukar) baru dibentuk tim Satgas A, Sasga B, nah itu yang berproses sampai saat ini,sementara masyarakat menunggu pembayaran lahan sejak tahun 2015, belum ada realisasi,” jelas Zulaidi saat ditemui di Kantor BWS Kalimantan IV, Samarinda, Kamis (26/09/2023).
Sementara itu, Zulaidi tidak berkomentar banyak terkait tanam tumbuh yang saat ini tidak lagi diperhitungkan dalam pendataan inventarisasi lahan. Ia menyakini, pihaknya tidak pernah membabat di area genangan. Pembabatan dilakukan hanya di area konstruksi, itupun dengan status lahan dan pembayaran clear and clean. Seharusnya masalah ada tanam tumbuh sudah menjadi kajian Tim Satgas.
“Kami (BWS) tidak pernah membabat di area genangan, yang kami laksanakan yang sudah clean dan clear di area konstruksi. Kalau tanah timbunannya diambil, itu pasti sudah ada kompensasinya, tidak mungkin masyarakat tidak menerima kompensasi pada saat itu, saat itu yang melakukan Provinsi Kaltim, tentunya mereka (Pemprov) mengambil atas sepengetahuan masyarakat sendiri,” katanya.
Zulaidi menekankan saat ini pihaknya hanya berpatokan pada kondisi ril di lapangan. Sehingga jika ada perbedaan hasil inventarisasi yang dulu dengan sekarang, diperlukan legal opinion dari Aparat Penegak Hukum (APH).
“Kita berbicara yang ril sekarang, kalau berbicara kemarin kerepotan, siapa yang mau bertanggung jawab, dengan tim yang sekarang mau bertanggung jawab kah? Kalau kita diperiksa sama aparat penegak hukum, siapa yang bertanggung jawab. Kalau misal ada akomodir tanam tumbuh terdahulu, kami akan berkonsultasi dengan pihak Kejaksaan, meminta legal opinion dulu, seperti apa ini yang pernah didata oleh Panitia Sembilan, kalau hasilnya boleh di bayar ya akan dibayar,” ujarnya.
BWS Kalimantan IV sendiri lanjutnya, intens menjalin komunikasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait upaya teknis ganti rugi tersebut.
“Kami sudah berkoordinasi dengan pihak BPKP sebagai instansi yang mengaudit kalau ada kerugian negara. Intinya dari BPKP kalau misalnya bangunan ada, itu akan dinilai tapi kalau tanam tumbuh setelah dibabat, siapa yang bisa mempertanggungjawabkan, bahaya, barang yang tidak ada dasarnya hanya sejarah dan foto tidak bisa mengikuti aturan sekarang,” katanya.
Zulaidi berharap dalam waktu dekat (Oktober,red) mulai dilakukan proses pembayaran terhadap lahan warga. Sehingga Proyek Strategis Nasional (PSN) bendungan Marangkayu bisa segera berjalan.
“Harapan kita (BWS) Oktober ini semua lahan sudah terbayar. Jadi proyek bisa dilanjutkan, kemudian paling tidak di semester pertama tahun depan (2024) maksimal Juni lah, penggenangan tahap pertama bisa dilakukan. Area genangan tahap pertama itu sekira 185 hektar dengan daya tampung 4 juta meter kubik, dari total 12 juta,” pungkas Zulaidi.
Tulisan ini sudah tayang terlebih dahulu di kitamudamedi.com, sebagai bagian dari program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.
“Tidak boleh ada aktivitas lapangan sebelum diselesaikan semua pembayaran, petugas dari BPN kami larang semua masuk,”