- 05 Jun 2017 06:47 am
- Editor: Hesti
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangINDEPENDEN, Jakarta – Niken Arumsari belum bisa bernapas lega, meski dua bulan lalu perempuan 35 tahun ini diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Ia masih keberatan dengan regulasi yang ditetapkan lembaga yang berada di bawah Kementerian Kesehatan ini tentang larangan hamil bagi Calon PNS (CPNS). “Kalau ada rekrutmen baru dan masih berlaku aturan ini, artinya perang buat saya,” katanya dengan nada tinggi, di lingkungan kantor BKKBN di Jakarta Timur, Selasa (30/05).
Maret 2017, Niken baru diangkat menjadi PNS setelah hampir tiga tahun menjabat sebagai CPNS. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 98 tahun 2000 jo. PP No. 11 tahun 2012 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, syarat pengangkatan dari CPNS menjadi PNS maksimal 2 tahun. Jika lebih dari dua tahun, maka harus melampirkan surat keterangan keterlambatan yang diketahui oleh atasan langsung.
“Di situs BKN (Badan Kepegawaian Negara—red) status saya sudah diangkat jadi PNS. Tapi, surat-surat saya belum diproses. Saya tidak dilantik, tanpa penjelasan apa pun. Saat itu saya dibilang melanggar kesepakatan, karena hamil selama menjadi CPNS,” kata Niken.
Desember 2013 lalu, Niken diterima sebagai CPNS di BKKBN. Dia harus menandatangani kontrak dengan syarat khusus, CPNS bersedia tidak hamil sampai diangkat menjadi PNS. Setelah ditelusuri, aturan tersebut tak memiliki dasar hukum. “Aturan itu cuma tradisi yang berlaku turun temurun,” ujar Niken.
Ketika menandatangani kontrak sebagai CPNS di BKKBN, Niken belum hamil. September 2014, ia tak menyangka sudah hamil 6 minggu. Perempuan yang telah menikah pada 2012 dan dua kali mengalami keguguran itu pun melaporkan kehamilannya pada Bagian Kepegawaian BKKBN.
Kabar kehamilan Niken kemudian menyebar luas. Ia sempat mendapat intimidasi agar mengundurkan diri. Akhirnya, Niken melayangkan protes dan mengadukan hal ini ke Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN). Komisi ASN menyatakan tak ada aturan yang jelas tentang kewajiban untuk mengundurkan diri dari CPNS lantaran hamil. “Aturan ini sudah saya katakan tadi, bertentangan dengan aturan lainnya,” katanya.
Aturan larangan hamil bagi CPNS bertentangan dengan Undang Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 49 ayat dua (2) menyebutkan tentang hak atas perlindungan khusus bagi perempuan berkenaan dengan fungsi reproduksinya. Aturan lainnya yaitu Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Sampai tiba waktu melahirkan, Niken tak mendapatkan hak cuti dari BKKBN. Ia hanya diberikan keterangan dalam status dinas perjalanan dan izin sakit selama 4 hari kerja. Padahal kondisinya belum memungkinkan kembali bekerja karena harus menempuh jalur operasi untuk proses kelahiran anaknya. “Masuk hari pertama, itu sayatan operasi masih basah, dan sempat robek. Jalan saya masih terhuyung-huyung,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Ditambah lagi, ditempatnya bekerja tak ada ruang memerah ASI (laktasi). Niken harus memperjuangkan hak ASI ekslusif anak pertamanya di tengah-tengah kesibukannya bekerja. “Saya memerah ASI itu di toilet,” katanya sambil melanjutkan, “Karena waktu libur hamil saya hanya 4 hari, ASI saya tak mendapat stimulus dari bayi akhirnya tak banyak keluar.”
Selama masa rentan ini, dokter menyatakan bayi Niken memiliki bilirubin tinggi yang membuat kuning pada bayi karena kurang mendapat ASI. Dalam kasus hak maternitas yang diabaikan, Niken telah melaporkan ke sejumlah organisasi pemerhati perempuan seperti Perempuan Mahardhika, LBH APIK, LBH INPARTIT, LBH Jakarta sampai ke Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan bahkan melayangkan surat ke Kepala BKKBN yang berisi tentang rekomendasi untuk tidak berlaku diskriminatif terhadap perempuan serta menghormati hak reproduksi dan hak maternitasnya. “Yang saya gugat persoalan kemanusiaannya, bukan persoalan administrasi,” katanya.
Di sisi lain, BKKBN juga tak bisa memberhentikan Niken karena memang tak ada dasar hukum memecat CPNS karena hamil. Status CPNS Niken pun digantung, meski namanya sudah masuk di dalam situs resmi BKN sebagai PNS. Dia tak juga dilantik sebagai PNS.
CPNS yang sedang hamil di BKKBN untuk angkatan 2013 bukan hanya Niken. Sedikitnya tercatat enam CPNS hamil yang mendapat perlakuan sama dengan Niken: tak mendapatkan hak cuti melahirkan, mendapat tekanan untuk mengundurkan diri, dan tak mendapatkan informasi yang jelas tentang status mereka.
Ana Dwi Rahmawati, salah satu CPNS yang hamil di BKKBN mengaku mengaku dipaksa menandatangi surat pernyataan pengunduran diri. Dia kemudian harus membayar penalti Rp30 juta sebagai konsekuensi dari pengunduran diri dari jabatan CPNS.
Di bawah ancaman namanya akan di-blacklist dari catatan Badan Kepegawaian Negara, akhirnya ia terpaksa menandatangani surat tersebut. “Saya takut tidak bisa lagi mendaftar di kementerian atau lembaga lainnya. Daripada saya tak bisa jadi PNS, akhirnya saya terpaksa mengundurkan diri,” katanya, Selasa (31/05).
Ana juga sempat meminta kelonggaran atau meminta toleransi karena kehamilannya tersebut. Akan tetapi, pihak kepegawaian BKKBN justru memintanya mengundurkan diri karena dianggap melanggar kesepakatan. “Ibu hamil itu bukan pelanggaran. Saya sakit hati dengan aturan BKKBN itu,” katanya.
Kini usia Ana sudah masuk 35 tahun, batas maksimal usia untuk mendaftar menjadi pengabdi negara. Banyak kesempatan terbuka di kementerian dan lembaga lain, tapi waktunya sudah banyak habis untuk mengurus status kehamilannya selama menjabat CPNS di BKKBN. “Dengan aturan itu saya sudah mengalami kerugian material dan immaterial,” katanya.
Sementara itu, 5 CPNS yang sedang hamil lainnya, termasuk Niken tetap bertahan di tengah ketidakpastian status mereka. Akhirnya, mereka terpaksa harus mendaftar ulang menjadi PNS dengan melakukan pemberkasan setelah melahirkan. Padahal, pemberkasan tersebut sudah dilakukan pada 2014 silam. Semua lengkap, tanpa cacat.
Setelah perjuangan Niken mempertanyakan status ini ke Biro Hukum, akhirnya keluar memo dari Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty ke bagian Biro Kepegawaian BKKBN. Isi dari memo tersebut adalah mengangkat semua CPNS yang sedang hamil menjadi PNS, termasuk di dalamnya terdapat nama Ana Dwi Rahmawati yang dipaksa keluar sebelumnya. Namun, sampai memo ini keluar, Ana tak kunjung dipanggil kembali.
“Kalau ada kesempatan kembali lagi, kesempatan hak saya, saya mau bisa kembali lagi ke sana. Kemarin sempat berkomunikasi dengan bagian biro hukum, tapi sekarang sudah lost contact,” kata Ana.
Aturan CPNS dilarang hamil merupakan kebijakan warisan dari rezim orde baru. Setidaknya hal ini yang dikatakan Kukuh Dwi Setiawan, atasan Niken di Bidang Analisis Dampak Kependudukan di BKKBN, yang saat ini mengambil sedang cuti tugas belajar. Ia ikut mendampingi perjuangan Niken di lembaga pemerintah tersebut. “Peraturan ini istilahnya nggak punya sensitivitas gender. Ini mesti ada perubahan,” katanya, Rabu (31/05).
Menurut Kukuh, selama menjabat CPNS di BKKBN, Niken bekerja dengan baik. Hanya saja, Niken mendapat persoalan ketika hamil. Ia membantu advokasi status kepegawaian Niken ke sejumlah bagian, termasuk Biro Kepegawaian dan Biro Hukum BKKBN. "Kalau (ada,red) orang yang bekerja dengan baik, mampu menyelesaikan pekerjaannya, dan menunjukkan pemikiran yang berguna untuk organisasi akhirnya terbentur (karirnya, red) dengan hal-hal seperti ini (aturan larangan untuk hamil, red), sayang gitu loh,” katanya.
Saat ini proporsi pegawai laki-laki dan perempuan di BKKBN 30 persen banding 60 persen. Jumlah perempuan yang menempati posisi strategis lebih banyak ketimbang laki-laki. Dengan kondisi seperti ini, bisa dibilang, kelembagaan BKKBN sangat ideal untuk menyuarakan kesetaraan gender, memperjuangkan hak-hak maternitas, termasuk di kementerian atau lembaga pemerintahan lainnya. “Jadi menurut saya, BKKBN bisa menjadi lembaga yang lebih kuat lagi menyuarakan hak-hak kesetaraan gender,” tambah Kukuh, "Ini momentumnya."
Perubahan Aturan CPNS Dilarang Hamil Belum Jelas
Wahidin, Kepala Biro Kepegawaian BKKBN mengatakan sejauh ini belum ada kepastian perubahan aturan syarat kehamilan bagi CPNS. Sebab, syarat dan ketentuan bagi CPNS di kementerian atau lembaga pemerintahan nantinya akan diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Di dalam regulasi ini seluruh syarat dan ketentuan rekrutmen PNS akan ditentukan Panitia Seleksi Nasional. Panitia Seleksi Nasional nantinya akan membuat syarat-syarat bagi CPNS, termasuk apakah memasukkan larangan hamil selama menjabat CPNS. Aturan ini akan berlaku di seluruh kementerian dan lembaga.
Sebelum aturan ini dikeluarkan, masing-masing kementerian dan lembaga memiliki otoritas dalam menentukan syarat dan ketentuan bagi CPNS. Termasuk BKKBN yang membuat aturan sendiri tentang CPNS dilarang hamil.
“Jadi, nanti aturan-aturan ditentukan Pansel Nasional di bawah koordinasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi secara keseluruhan. Mirip dengan Ujian Nasional,” kata Wahidin saat di temui di ruang kantornya, Jumat (2/6).
Menurut Wahidin yang baru menjabat 2 bulan sebagai Kepala Biro Kepegawaian di BKKBN, aturan tentang larangan hamil bagi CPNS di BKKBN kemungkinan tidak akan berlaku lagi. “Karena peraturan itu kan nggak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Itu saja yang penting,” katanya.
Sebelumnya, aturan CPNS dilarang hamil di BKKBN telah melahirkan bentuk diskriminasi nyata negara terhadap perempuan. Regulasi yang tak berdasarkan hukum ini, membuat hak reproduksi perempuan diabaikan. Tak ada cuti melahirkan bagi CPNS dan status kepegawaian mereka dibuat menjadi tidak jelas.
Pemerintah perlu memberi perhatian serius terhadap hal ini. Apalagi BKKBN sebagai lembaga negara yang menjadi ujung tombak mengkampanyekan kesehatan reproduksi perempuan. “Kita bicara soal bagaimana ibu diperlakukan secara diskriminatif dan dampak kesehatan terhadap anak dalam kandungannya. Ini menjadi contoh negara melakukan diskriminasi terhadap perempuan,” kata Niken.
Muhammad Irham
Ralat: Redaksi meminta maaf atas kesalahan penulisan jabatan Kukuh Dwi Setiawan. Sebelumnya tertulis Direktur Analis Dampak Kependudukan. Mohon maaf atas ketidaknyamanan.
Redaksi juga menyampaikan telah melakukan edit ulang kata dan kalimat yang tidak relevan. Terima kasih