- 21 Jun 2019 08:42 am
- Editor: Bayu
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen, Jakarta – Penerapan hukuman mati masih menjadi perdebatan, bahkan di kalangan para hakim. Tidak sedikit hakim menerapkan hukuman mati dengan dalih efek jera dan sudah sesuai dengan konstitusi. Tapi ada juga yang mempertimbangkan hak terdakwa untuk diberi kesempatan memperbaiki diri selama dihukum penjara.
Perdebatan ini terbilang usang, sebab negeri Belanda sebagai induk hukum Indonesia telah menghapuskan hukuman mati sejak 1870. Saat itu, hukuman mati dihapus untuk narapidana umum kecuali terpidana militer dan kejahatan perang. Akan tetapi pada 1983, negeri kincir angin telah mengapus seluruh pasal vonis mati dalam perundang-undangannya.
Bukan hanya Belanda, ratusan negara telah menghapus vonis pidana mati sejak pemberlakuan Kovenan Internasional hak-hak sipil dan politik (Sipol) oleh Majelis Umum PBB pada 1976. Meskipun Indonesia telah meratifikasi konvensi ini, tapi sampai saat ini masih mempertahankan hukuman mati. Dalam Konvenan Internasional diatur pengetatan hukuman mati, salah satunya vonis pencabut nyawa harus memenuhi prinsip peradilan yang adil (fair trail).
Independen.id mengolah data putusan vonis pidana mati di tingkat pengadilan negeri periode 1997 – 2018. Putusan yang dikaji sebanyak 112 dari total 258 perkara dengan vonis pidana mati di pengadilan tingkat pertama.
Putusan pengadilan ini dikumpulkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam bentuk salinan foto kopi dari tingkat pengadilan negeri hingga peninjauan kembali.
Data Hakim berdasarkan jenis kelamin:
Dari total 112 perkara terdapat 134 terdakwa yang divonis pidana mati.
Total hakim persidangan yang memutus perkara pidana mati sebanyak 340 orang dengan komposisi masing-masing 38 perempuan dan 292 laki-laki.
Data Komposisi Perkara:
Dari 112 perkara, kasus narkotika dengan pidana mati menempati urutan tertinggi yaitu 63 perkara, disusul dengan pembunuhan sebanyak 46 perkara dan terorisme 3 perkara.
Alasan Hukuman Mati
Hakim yang menjatuhkan pidana mati dalam perkara narkotika memiliki sejumlah alasan yang hampir sama. Dari 63 perkara yang diputus dengan pidana mati, dalam pertimbangan yang memberatkan hakim menyatakan narkotika sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Alasan lainnya, narkotika dapat menghancurkan mental dan fisik generasi muda di masa mendatang, menjadi sumber kejahatan, mengganggu stabilitas ketahanan negara. Umumnya, terdakwa yang divonis mati memiliki barang bukti narkotika dengan jumlah besar atau lebih dari 1 kg.
Sementara itu, hal yang membuat hakim tak pikir panjang untuk menjatuhkan pidana mati lantaran pelaku menjadi bagian dari jaringan internasional, menyangkal perbuatan, lebih dari sekali berbisnis narkotika, dan sebagian mengendalikan bisnis dari balik penjara. Hakim pun menyatakan tak ada hal yang meringkankan dari perilaku terdakwa.
Dasar hukum yang menjadi pijakan hakim memvonis pidana mati dalam kasus narkotika adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 2/PUU-V/2007 dan No. 3/PUU-V/2007. Putusan ini menyatakan ancaman mati dalam Undang Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, hakim juga menggunakan pendapat ahli yang menguatkan pidana mati. Salah satu contoh putusan PN Banda Aceh dalam perkara 78 kg narkotika jenis sabu dengan terdakwa Abdullah alias Dullah yang diputus 2015 silam. Hakim menyitir sejumlah pendapat ahli hukum dari buku-buku mengenai hukuman mati.
Hakim Ketua, H. Sulthoni bersama dengan hakim anggota Makaroda Hafat dan Eddy salah satunya mengutip pendapat dari Lambroso dan Garofalo di dalam bukunya Andi Hamzah & A. Sumangelipu “Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985”.
“Pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime),” kata H. Sulthoni dalam pertimbangannya.
Selain itu H. Sulthoni juga memperkuat vonis pidana mati dengan survei yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) 2014 yang menyebutkan penyalahguna narkotika sebanyak 3,8 – 4,1 juta orang yang berisiko terpapar narkoba. “Penyalahgunaan narkoba berdampak sosial sangat besar, mendorong tindak kejahatan dan meningkatkan kerawanan sosial,” katanya.
Dalam kasus lainnya, yaitu 58,7kg ganja dengan terdakwa Mgs. Zainal Abidin divonis pidana mati saat banding di Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan pada 2001 silam. Hakim bahkan menggunakan ayat Al-Qu’ran dalam pertimbangannya.
Harifin A. Tumpa sebagai ketua majelis hakim mengutip surat Al-Baqarah 178 yang berbunyi, ‘Hai orang-orang beriman diwajibkan atas kamu melakukan qizas (balasan yang sama dengan perbuatan) sebab membunuh orang.’
“Majelis tidak bisa membayangkan sudah berapa banyak orang yang jadi korban dari perbuatan terdakwa tersebut, mungkin sudah ratusan, ribuan, puluhan ribu bahkan mungkin sudah ratusan ribu,” kata Ketua MA periode 2009 – 2012 ini dalam putusan bernomor 184/PID/2001/PT. PLG.
Beda pertimbangan antara perkara narkotika dengan pembunuhan berencana. Hakim yang menjatuhkan pidana mati dalam kasus pembunuhan berencana umumnya menilai terdakwa melakukan perbuatan sadis (umumnya mutilasi), membahayakan masyarakat, membuat derita dan trauma kepada keluarga korban.
Hakim yang menangani perkara pembunuhan berencana menjatuhkan vonis mati, menilai tak ada satu pun yang meringankan dari terdakwa. Artinya, pelaku tidak menyesali perbuatannya, memberikan keterangan berbelit-belit serta sebagian pelaku pernah dipenjara.
Bagi mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun, pidana mati merupakan hukum positif yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Ia berpegangan pada UUD 1945 Pasal 28 huruf J yang menjelaskan dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Artinya, hak dan kebebasan seseorang dapat dibatasi sesuai Undang Undang, termasuk hak untuk hidup.
“Nah di (huruf-red) J itu mengatakan, hak asasi manusia, itu disebut harus dilindungi. Tapi sekali lagi harus diatur secara UU. Nah, beberapa UU itu di hukum positif kita masih ditentukan dengan hukuman mati maksimal,” katanya kepada independen.id, Senin (27/05).
Selama duduk sebagai majelis hakim agung, Gayus telah menjatuhkan pidana mati terhadap belasan terdakwa dengan kasus pembunuhan berencana. Salah satunya, kasus pembunuhan berencana oleh Wawan dengan korban Sisca Yofie. Semula Wawan divonis seumur hidup, namun di tangan Gayus dan majelis hakim diubah menjadi pidana mati di tingkat Kasasi.
“Kalau takut dihukum mati, ya jangan melanggar pasal-pasal yang diatur dengan ancaman hukuman mati… Membangun kultur bangsa kita untuk tidak mudah untuk melanggar hukum yang telah ditentukan oleh ancaman hukuman mati,” kata Gayus.
Selain itu, menurutnya, vonis pidana mati bukan hanya sekadar memberi efek jera. “Nah dengan hukuman mati saja masih banyak orang yang melakukan (kejahatan-red) apalagi kalau tidak ada ancaman hukuman mati. Jangan dibolak-balik,” katanya.
Namun di sisi lain, Gayus sepakat dengan pengubahan hukuman mati menjadi bentuk hukuman lainnya, seperti penjara seumur hidup di tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Tapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Terdakwa atau terpidana, kata dia, wajib menjadi justice collaborator atau orang yang berkerjasama untuk mengungkap sindikat kejahatan seperti terorisme dan narkotika.
“Misalnya, kalau dia pengedar narkoba, dia harus bisa memutus sel-sel, geng-gengnya di luar itu untuk tidak mengulang lagi. Kalau dia, misalnya terorisme harus bisa membujuk kepada selnya juga untuk tidak melakukan lagi atau menghentikan (kejahatan-red),” kata Gayus.
Barisan Hakim Kontra Pidana Mati
Namun tidak semua hakim mendukung hukuman mati. Dari 46 perkara vonis pidana mati dalam perkara pembunuhan berencana, terdapat satu kasus di mana terjadi pendapat berbeda (dissenting opinion) di antara majelis hakim.
Dalam menangani kasus pembunuhan berencana yang terjadi di Depok, Jawa Barat pada 2008 silam, Ketua Majelis Hakim Budi Prasetyo tidak sepakat untuk menjatuhkan vonis pidana mati. Saat itu, Budi Prasetyo berharap 3 remaja yang menjadi pelaku pembunuhan berencana dihukum seumur hidup.
Salah satu argumen yang diajukan adalah hidup matinya manusia sepenuhnya kewenangan Tuhan.
“Dan secara yuridis Pasal 28 huruf i Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen menentukan bahwa hak hidup seseorang tidak boleh dikurangi,” kata Budi Prasetyo.
Tapi, dua hakim anggota lainnya Asep Saefudin dan Agung Sulistyo berbeda pandangan. Mereka sepakat hukuman mati dengan alasan demi melindungi masyarakat dari suatu tindak pidana yang sangat membahayakan.
“Setelah majelis bermusyawarah telah mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak (cq.Hakim Anggota I dan Hakim Anggota II) yaitu kepada Terpidana dijatuhkan Pidana Mati,” jelas putusan tersebut.
Perdebatan sengit mengenai pidana mati juga terjadi antara majelis hakim Pengadilan Tinggi Banten dengan majelis hakim tingkat Mahkamah Agung.
Hal ini terjadi dalam proses persidangan kasus narkotika dengan narapidana warga Nigeria, Simon Ikechukwu Ezeaputa. Simon divonis mati di tingkat PN Tangerang pada 2015 silam, tapi kemudian hukumannya diringankan di tingkat Pengadilan Tinggi Banten menjadi penjara seumur hidup dengan sejumlah pertimbangan.
Ketua Majelis Hakim PT Banten, Abdul Hamid Pattiradja menilai hukuman mati bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
“Hukuman mati hampir tak punya tempat di masyarakat yang demokratis dan berbudaya,” katanya.
Selain itu, majelis hakim PT Banten juga menilai hukuman mati merupakan pidana paling kejam karena tidak ada lagi harapan bagi narapidana untuk memperbaiki kejahatannya. “Pemberlakuan hukuman mati cenderung menekankan aspek balas dendam,” tambah putusan tersebut.
Namun, di tingkat Kasasi, majelis hakim yang diketuai Surya Jaya kembali menjatuhkan pidana mati bagi Simon. Majelis hakim menilai putusan PT Banten hanya mengutip dari satu pihak, yaitu pendapat yang menolak hukuman mati.
“Pengadilan Tinggi hanya mempertimbangkan kepentingan terdakwa semata, tidak mempertimbangkan akibat dari perbuatan terdakwa mengorbankan masyarakat Indonesia,” ungkap Surya Jaya dalam putusan bernomor 2629 K/Pid.Sus/2015.
Hal yang memberatkan lainnya, terdakwa Simon Ikechukwu Ezeaputa berperan sebagai pengendali bisnis narkotika dari balik penjara. “Terdakwa masih berperan untuk masuknya narkotika ke Indonesia dan memberi perintah serta mengendalikan di balik penjara,” lanjut Surya Jaya.
Dalam kasus lainnya, kekompakan menolak hukuman mati ditunjukkan majelis hakim Pengadilan Negeri lainnya. Dalam kasus pembunuhan dengan terdakwa Sumardi alias Podreng di PN Sungailiat pada 2015 lalu, majelis hakim sepakat untuk menolak dakwaan hukuman mati dari jaksa penuntut umum.
Ketua Majelis Hakim PN Sungailiat, Andreas P. Setiadi dengan dua anggotanya Yoedi Anugrah Pratama dan Erven Langgeng Kasih mengetuk palu hukuman penjara seumur hidup untuk terdakwa.
“Nilai keadilan tidak semata ditujukan untuk memuaskan keinginan negara, masyarakat dan korban dengan mendera dan menista pelaku—mata ganti mata/gigi ganti gigi. Tapi keadilan pelaku untuk direhabilitasi dan dikembalikan ke masyarakat,” kata Ketua Majelis Hakim PN Sungailiat Andreas P. Setiadi dalam surat putusan bernomor 151/Pid.B/2015/PN Sgl.
Pada 2015 lalu, majelis hakim di PN Medan juga menolak menjatuhkan pidana mati dalam kasus narkotika yang melibatkan terdakwa Robinson Tambunan dan Yusri Iskandar. Barang bukti dalam kasus ini cukup besar yaitu 154kg ganja.
Ketua Majelis Hakim PN Medan, Jhony J.H. Simanjuntak bersama dua anggotanya Aksir dan Wismonoto mempertimbangkan yurispudensi dari Mahkamah Agung yang pernah memutus menolak hukuman mati.
Selain itu, mereka juga mempertimbangkan tujuan pidana yang bersifat korektif, preventif, dan edukatif. Majelis hakim berpendapat pidana mati tidak memberikan kesempatan bagi para terdakwa untuk memperbaiki pola perilakunya.
Majelis Hakim PN Medan menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa dengan merampas kemerdekaan mereka: penjara seumur hidup.
“Belum dapat dibuktikan pula jika pidana mati dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana yang lain,” kata Ketua Majelis Hakim PN Medan, Jhony J.H. Simanjuntak dalam putusannya.
Tak sedikit kasus lainnya di mana hakim bersikap menolak pidana mati meskipun dalam pertimbangan memberatkan: narkotika dalam jumlah besar dan pembunuhan berencana yang sadis.
Hal ini bisa dilihat dalam kasus-kasus lainnya yang menjadi sorotan publik, di mana terdakwa tidak dipidana mati tapi dihukum penjara seumur hidup atau pidana 20 tahun. Di antaranya kasus Babe dengan korban 4 bocah yang dimutilasi, kasus narkotika dengan terdakwa Edo Rinaldi, Hermanto Kusuma, Iwan Setiawan, Jhon Sebastian dan lainnya.
Cacat Sejak Proses Penyidikan
Berdasarkan catatan ICJR, pertimbangan yuridis, filosofis dan sosial semestinya tidak menjadi satu-satunya patokan dalam menjatuhkan hukuman mati. Dalam proses persidangan, para terdakwa yang divonis hukuman mati umumnya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Saat penyidikan polisi pun, banyak yang tidak didampingi penasihat hukum.
Hal ini menimbulkan kecurigaan proses pengadilan cacat sejak dalam penyidikan. Terdakwa dipaksa dengan cara disiksa untuk mengakui berita acara pemeriksaan (BAP).
Kasus yang menyita perhatian adalah Yusman Telaumbanua. Yusman baru menghirup udara bebas 2018 setelah mendapat remisi 17 Agustus.
Sebelumnya, Yusman remaja asal Nias divonis pidana mati pada 2013 oleh PN Gunung Sitoli dalam kasus pembunuhan sadis. Saat divonis ia masih berusia 16 tahun, yang kemudian belakangan ia mengaku berusia 19 tahun karena paksaan penyidik.
Dalam kasus ini polisi dan jaksa menuduh Yusman berperan ikut membuang mayat korban. Padahal menurut pendamping hukumnya, Arif Nurfikri, tak ada saksi peristiwa. “Karena 4 orang masih DPO yang pelaku utamanya. Jadi tak ada saksi yang melihat,” katanya, Rabu (12/06).
Arif menambahkan, Rusula Hia satu-satunya saksi dalam prristiwa ini membantah keterlibatan Yusman. Rusula adalah kakak dari Yusman yang juga ditetapkan sebagai tersangka.
“Rusula juga membantah,” kata aktivis KontraS yang mengurus kasus Yusman di tingkat PK ini.
Selain itu, berdasarkan catatan Kontras, hal yang menjadi cacat proses hukum bukan hanya Yusman masih berusia anak saat divonis mati, tapi juga saran tim kuasa hukum di tingkat PN Gunung Sitoli, agar Yusman dihukum mati. Padahal jaksa tidak menuntut hukuman mati pada Yusman.
Kasus yang cukup kontroversi lainnya adalah pembunuhan berencana yang melibatkan Dita Desmala Sari. Dita divonis pidana mati pada 2015 lalu oleh PN Siak Sri Indrapura.
Dalam catatan ICJR, Dita dipaksa oleh M. Delfi untuk membunuh 3 orang dengan cara menjerat leher korban. Saat peristiwa terjadi, Dita berusia 17 tahun, yang semestinya diberlakukan Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selama proses persidangan, kuasa hukum Dita bekerja tidak efektif. Tidak ada agenda nota pembelaan dan saksi meringankan yang dihadirkan dalam persidangan.
Dari dua kasus ini, Arif Nurfikri menilai tak perlu berdebat tentang hukuman mati. Jika prosesnya tidak dijalani dengan benar, apa pun putusan hakim tak akan pernah adil. “Yang jadi problem utama, proses penyidikan kita, proses peradilan kita itu sudah sesuai hukum yang berlaku atau belum,” katanya.
Lebih lanjut, Kontras berharap lembaga penegak hukum seperti polisi dan kejaksaan sama-sama saling mengawasi suatu proses kasus. Sehingga ketika mencapai tahap putusan, tidak prematur.
“Nah tapi mekanisme pengawasan yang dilakukan pihak kejaksaan ini, kerap diabaikan. Jadi penyidik, jangan heran ada bolak balik berkas,” jelas Arif.
Tren Hukuman Mati Pasca Reformasi
Hukuman mati terus menjadi perdebatan di kalangan hakim. Namun, tren vonis pidana mati terus menunjukkan peningkatan dari masa ke masa.
Sejak 1997 – 2018, ICJR mencatat sedikitnya 258 vonis pidana mati. Puncaknya di masa pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo.
Juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro mengakui vonis pidana mati melonjak di era Jokowi. Menurutnya, selama periode I, Jokowi sudah menabuh genderang perang untuk memberantas jaringan narkotika. Salah satu caranya dengan hukuman mati bagi para bandar besar.
Pengadilan juga masih menjatuhkan vonis pidana mati bagi pelaku pembuhan berencana yang tergolong sadis atau korbannya lebih dari satu orang.
“Beberapa waktu belakangan ini pengadilan baik di pengadilan tingkat pertama, banding bahkan di tingkat kasasi, telah menjatuhkan pidana mati, terutama dalam perkara-perkara tindak pidana Narkotika, dan ada juga perkara pembunuhan berencana yang dilakukan dengan cara sadis atau korbannya beberapa orang,” kata Andi dalam pesan tertulis kepada Independen.id, Jumat (14/06).
Sementara itu, Peneliti ICRJ Iftitah Sari menilai pernyataan Jokowi untuk perang terhadap narkotika pada momen Hari Anti Narkotika Internasional, 26 Juni di tahun 2015 dan 2016 sangat mempengaruhi pandangan para hakim.
“Nah, itu benar-benar tahun 2015 itu kelihatan banget jomplang vonis dan tuntutan (pidana mati-red). Setelah itu, kan presiden langsung eksekusi banyak WNA (kasus-red) narkotika,” kata perempuan yang akrab disapa Tita, Kamis (16/05).
Langkah ini dinilai sebagai ajang Presiden Jokowi untuk membuktikan kekuatannya sebagai kepala negara. Tita melihat terdapat unsur politis di dalamnya demi meraih simpati masyarakat.
“Narkotika itu isu seksi. Untuk meraih simpatisan strategis banget. Buat narik simpatisan buat narik populernya itu,” tambah Tita.
Data Tren Hukuman Mati:
Tita menilai dengan menjatuhkan vonis mati, ada kebanggaan tersendiri bagi hakim. Ia mencontohkan pemberian karangan bunga untuk hakim PN Kelas IA Palembang, Sumatera Selatan yang menjatuhkan vonis terhadap 9 terdakwa kasus narkotika, Februari 2019 lalu.
“Karena apresiasi dari masyarakat entah dari mana dipuja-puja karena mereka menjatuhkan hukuman mati, dan hal yang aneh harusnya. Kok bangga hukum mati orang,” kata Tita.
ICJR bersikukuh menilai vonis pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia. Walaupun ada hak asasi manusia yang bisa dibatasi, tapi tidak untuk hak hidup.
Selain itu, masa tunggu eksekusi telah menjadi penyiksaan tersendiri bagi narapidana mati. Dalam catatan ICJR, masa tunggu eksekusi narapidana mati tidak jelas, ada yang 10 hingga 29 tahun.
“Di RUU KHUP kita sedang dorong juga untuk dihapuskan. Paling tidak dibikin susah untuk diterapkan, dibuat standard lebih tinggi dari hukuman yang lain. Kalau di RUU KUHP ada otomatis pergantian hukuman (mati-red). Kalau (masa penantian-red) 10 tahun tidak perlu dieksekusi,” tutup Tita.
Penulis : Irham Duillah