- 25 Oct 2019 18:23 pm
- Editor:
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen --- Potensi energi surya di Indonesia dengan memanfaatkan atap rumah adalah sangat besar, kajian IESR atau Institute for Essential Services Reform (2019) menunjukkan potensi PLTS atap untuk bangunan di Indonesia dapat mencapai 655 GWp. Sayangnya ini belum dimanfaatkan maksimal karena kendala regulasi maupun implementasi.
Menjelang akhir masa jabatannya Menteri ESDM 2016 – 2019, Ignasius Jonan, melakukan terobosan regulasi dengan merevisi terhadap Permen ESDM No. 49/2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh pelanggan PLN, mengeluarkan Permen ESDM No. 12/2019 tentang kapasitas pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri berdasar izin operasi, dan Permen ESDM No. 16/2019 tentang perubahan kedua Permen ESDM No. 49/2019 tentang biaya kapasitas untuk pelanggan industri.
IESR merespon positif pada ketiga Permen ESDM tersebut, karena dipercaya dapat meningkatkan minat masyarakat umum, industri, dan bisnis untuk berinvestasi pada pembangkit listrik tenaga surya pada atap bangunan..
“Dengan potensi energi surya yang cukup tinggi dan dalam upaya mengejar pencapaian target rencana umum energi nasional (RUEN), tiga regulasi terkait PLTS atap yang dikeluarkan oleh Menteri Jonan kami yakini dapat mendorong minat konsumen PLN untuk memasang listrik tenaga surya atap dan memicu pemanfaatan energi surya di Indonesia untuk mencapai target 6,5 GW pada 2025,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Ketiga peraturan menteri tersebut secara garis besar mempermudahkan pihak-pihak yang hendak memasang panel solar cell di atap bangunannya. Misalnya tidak memerlukan izin operasi dan sertifikat laik operasi jika kapasitas terpasang di bangunan , masih di bawah 500 kVA. Sehingga pemilik rumah maupun bangunan tidak lagi direpotkan permintaan izin dan prosedural yang lain.
Sebuah rumah jika menggunakan panel surya di atap bangunan, diperkirakan mampu menghemat sampai 30% dari listrik yang disalurkan PLN. "Kalau rumah saya pasang 2200 VA, tagihan listrik saya bisa turun 30% jika menggunakan tenaga surya,"ungkap Dr. Ir Hariyanto, M.T., direktur Konservasi Energi, Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM.
Menurut Haryono, energi surya dalam kategori terbarukan, potensinya di Indonesia menduduki ranking 3. "Potensi pertama adalah tenaga air, kedua panas bumi, ketiga baru tenaga surya, "ujar Hariyanto. Oleh karena itu dalam waktu terakhir, penggunaan energi surya meningkat, sejak dikeluarkan Permen ESDM no 49/2018. Karena ini memberikan kepastian hukum bagi mereka yang hendak memasang PLTS (pembangkit listrik tenaga surya)
Namun regulasi yang memudahkan tidak akan berarti apa-apa jika tidak diikuti implementasi di lapangan. Pemerintah bisa memulai dengan memanfaatkan atas bangunan kantor-kantor pemerintahan. IESR mempunyai perhitungan bahwa potensi PLTS atap di berbagai gedung perkantoran milik Pemda DKI Jakarta maupun Pemerintah Pusat yang berada di Jakarta, bisa mencapai 9,3 MWp. Ini jumlah yang signifikan.
Untuk percepatan penggunaan energi surya di Indonesia, IESR merekomendasikan kepada Menteri ESDM yang baru, Arifin Tasrif, untuk membuat terobosan-terobosan. Pertama yang bisa dilakukan adalah mendorong BUMN menggunakan PLTS atap dan pemberlakukan mandatori PLTS atap untuk bangunan pemerintah.
Kedua, mengganti subsidi listrik untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA dengan pemasangan PLTS atap rumah mereka. Ini pasti akan menghemat pengeluaran rumah tangga tersebut. Ketiga, bekerja sama dengan Kementerian PUPR dengan mandatori memasang PLTS atap pada Program Sejuta Rumah. Selain pemerintah bisa juga memberi insentif pada pengguna PLTS atas rumah dengan diskon PBB atau kredit murah untuk pembelian perlengkapan PLTS.
Jika langkah-langkah ini dilakukan, maka kapasitas listrik dari energi terbarukan akan meningkat. "Saat ini listrik yang berasal energi terbarukan baru 12% dari total listrik," kata Hariyanto. Jika pemakaian panel surya terjadi masif, menurut Hariyanto akan berdampak juga pada penurunan harga perangkat PLTS. "Sekarang ini kita masih impor bahan baku panel surya, di sini kita rakit. Untuk kandungan lokal PLTS kita masih sekitar 40%. Sisanya impor,"kata Hariyanto. Jika pemakaian perangkat PLTS meningkat dalam jumlah besar, tentu harga bahan impornya pun akan turun, demikian Hariyanto berharap. (D02).