- 26 Aug 2023 05:40 am
- Editor: Nani Afrida
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarang
Tim Independen
INDEPENDEN – Indonesia, negeri dengan ragam budaya dan etnis, saat ini menghadapi isu serius terkait diskriminasi terhadap kelompok rentan. Data terbaru menunjukkan, kelompok seperti disabilitas, minoritas agama, perempuan, serta minoritas gender dan seksualitas makin sering menjadi korban.
Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) pada Jumat (25/8) mendesak pemerintah untuk membuat Undang- Undang (UU) Anti Diskriminasi.
“Kami menuntut pemerintah membentuk UU penghapusan segala bentuk diskriminasi yang komprehensif untuk pengakuan, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan hak-hak korban diskriminasi,” demikian pernyataan KAIN yang diterima Independen.id, Jumat siang.
Koalisi nasional ini mencakup kelompok disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok perempuan, kelompok penyandang HIV dan kelompok populasi kunci – yang terdiri atas wanita pekerja seks (WPS), transgender, lelaki yang menjalin hubungan seks dengan sesama jenis, dan pengguna napza suntik (penasun).
“Perlu juga dicatat bahwa dengan datangnya tahun politik, nilai penghapusan diskriminasi ini harus dipertahankan di pusaran politik yang akan mendatang. Isu yang diangkat perlu memperhatikan persoalan konkret dari kelompok rentan, seperti aksesibilitas bagi kelompok disabilitas, dan menghindari ujaran kebencian terhadap kelompok rentan,” bahas pernyataan rilis itu.
Pasal 28 UUD 1945 sudah menjamin bahwa “setiap orang berhak dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun.” Kendati demikian diskriminasi di Indonesia semakin memburuk dari tahun ke tahun.
Menurut Global Inclusiveness Index 2022, Indonesia berada di peringkat 103 dari 136 negara, turun dari posisi ke-96 tahun lalu. Ironisnya, kondisi Indonesia bahkan lebih buruk dibanding Kenya dan Uni Emirat Arab.
Sementara itu dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak juga menunjukkan ada 987 laporan kasus kekerasan yang dialami kelompok disabilitas. Data kasus yang diterima Crisis Response Manajemen (CRM) menemukan 161 orang dari kelompok minoritas gender dan seksual menerima kekerasan dan diskriminasi karena identitasnya.
Ditambah lagi, Litbang Kompas 2022 menemukan bahwa diskriminasi hak atas proses hukum dilatarbelakangi oleh gender sebanyak 9.5 persen dan 3.5 persen karena transgender dan orientasi seksualnya.
Selain itu, Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada tahun 2022 menyebutkan data pelaporan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan pekerja tahun 2021 ada sebanyak 7.029 kasus kekerasan berbasis gender dengan ragam jenis pekerjaan.
Koalisi menekankan bahwa UU anti diskriminasi itu harus membahas secara detil terutama definisi diskriminasi, kategorisasi kerentanan yang inklusif, mekanisme penyelesaian diskriminasi (termasuk pemulihan hak korban), penegakan hukum, penguatan & pembentukan kelembagaan untuk mewujudkan kesetaraan, serta mekanisme implementasi untuk penghapusan diskriminasi di segala tingkat.
Kerentanan kelompok ini juga harus dilihat tidak hanya dari satu sisi, tapi dari berbagai dimensi, seperti status kesehatan, usia, ketimpangan ekonomi, kepercayaan dan agama, masyarakat adat, dan lainnya.
Payung hukum ini diperlukan, mengingat hukum yang sekarang ada tersebar dan kurang melindungi kerentanan yang berlapis, malah terbatas definisinya.
Riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengungkapkan, lebih dari 200 peraturan di daerah bisa digunakan untuk kriminalisasi kelompok rentan, terutama bagi orang dengan HIV dan populasi kunci.
Data Komnas Perempuan menyebutkan bahwa jumlah kebijakan diskriminatif di daerah adalah 154 kebijakan pada tahun 2009, namun pada tahun 2016, jumlah kebijakan diskriminatif menjadi 421.
Lembaga Arus Pelangi juga mencatat setidaknya ada 45 regulasi Anti LGBT di Indonesia sepanjang tahun 2006-2018.
Isu yang diangkat dalam tahun politik perlu memperhatikan persoalan konkret dari kelompok rentan