PLTS Atap Adalah Solusi (1)
Rumah walet dengan menggunakan panel surya.
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangLaporan Winahyu Dwi Utami
Independen --- Berkendara roda dua melewati jalan tanah sempit berumput di antara perkebunan kelapa sawit berbuah pasir, pandangan menjadi sempit tertutup oleh pokok-pokoknya. Beberapa daun runcing menjorok ke jalan mampu melukai bila tak diwaspadai.
Beberapa menit berjalanan, pandangan pun mulai terasa luas saat memasuki areal perkebunan jeruk. Pohon jeruk tumbuh subur di tanah berkontur, bak oase di antara rimbunan kelapa sawit. Tak banyak yang tahu ada praktik baik penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di sini.
Perkebunan jeruk ini berada persis di pinggir kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Letaknya seperti tersembunyi di ribuan pohon sawit dan hutan. Posisinya tidak jauh dari Kantor Seksi I TNTN di Desa Lubuk Kembang Bunga, sekitar 10 menit perjalanan menggunakan sepeda motor.
Ratusan pohon jeruk ditanam rapi dengan jarak 5x6 meter persegi. Di sebelah kanan jalan setapak, buah jeruk sudah banyak bergelayut di dahannya. Ada yang sudah menguning ada pula yang masih hijau dengan ukuran lebih kecil. Di kiri jalan, tanaman jeruknya sedang belajar berbuah. Hanya ada beberapa jeruk yang mengintip dari rimbun dedaunan.
Adalah Abdurrahman (61 tahun), pemilik kebun jeruk yang sudah berbuah dan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Sejak tahun 2014, bersama istri, Rahman, begitu ia disapa oleh petani-petani jeruk di sana, merintis bertanam jeruk manis di wilayah yang merupakan daerah lintasan gajah sumatera. TNTN adalah satu kantong gajah dan tempat konservasi gajah sumatera di Riau.
Sebelumnya, tanah yang dia beli tahun 1997 itu ditanami sawit sebagaimana lazimnya diusahakan masyarakat di kampung tersebut. Sayangnya, tanaman sawitnya itu tidak pernah bisa hidup dan tumbuh dengan baik lantaran diganggu gajah. Alhasil bukan keuntungan yang ia peroleh tetapi justru kerugian. Kerja kerasnya membuka kebun dengan bantuan alat sederhana menjadi sia-sia. Gajah sering masuk ke kebun mencabut dan memakan tanaman sawit milik Rahman.
“Setelah gagal bertanam sawit di tahun 2008 itu, kemudian saya mencoba menanam jeruk. Untuk tahap awal saya menanam di lahan seluas 2 hektare (ha). Tanaman saya tumbuh baik dan tak pernah diganggu gajah. Ternyata gajah tidak suka dengan tanaman jeruk ini. Kalaupun ada kelompok gajah masuk ke kebun, mereka tidak merusaknya,” kata Rahman yang kini sudah memiliki 3 ha kebun jeruk.
Rahman tinggal cukup jauh dari kebun dan Desa Lubuk Kembang Bunga, di Desa Lubuk Kembang Sari SP 5. Setiap hari ia bersama istri pulang pergi ke kebun menggunakan sepeda motor. Namun sejak tiga tahun belakangan, mereka sudah tinggal di kebun lantaran tanaman jeruknya sudah berbuah dan perlu dijaga. Rahman membangun sebuah pondok sederhana dari papan dan kayu di pinggir kebun dekat jalan setapak yang mereka rintis.
Hal yang tampak unik di pondok sederhana itu adalah sumber energi yang digunakan. Rahman memanfaatkan energi surya untuk penerangan dan kebutuhan di kebun. Di samping rumah, Rahman juga memasang sebuah antena parabola agar bisa mendapatkan siaran televisi. Dengan energi listrik dari panel surya miliknya, ayah 5 anak ini tidak kesulitan untuk mengecas alat semprot hama yang biasa ia gunakan untuk merawat tanaman jeruk.
“Saya memilih memakai panel surya agar istri tidak sulit menghidupkan lampu kalau saya tidak di rumah. Karena mesin diesel agak susah menghidupkannya. Perlu tenaga untuk mengengkol mesin sampai bisa hidup,” terang Rahman sambil tersenyum.
Ia juga merasa lebih hemat menggunakan panel surya. “Kalau pakai diesel, setiap hari saya harus beli bahan bakar minyak (BBM) yang tempatnya juga jauh dari kebun. Dengan panel surya, kita tidak perlu beli apa-apa lagi,” katanya.
Tiga tahun lalu Rahman membeli panel surya kapasitas 100 watt seharga 2 juta rupiah di Toko Haji Iskandari Pasar Ukui, pasar kecamatan. Harga Itu belum termasuk baterai, kabel dan lampu khusus energi surya.
“Kalau sekarang harganya sudah lebih murah. Teman saya beli panel surya dengan kapasitas sama hanya 950 ribu rupiah. Kalau lengkap dengan baterainya mungkin hanya sekitar 2,5 juta rupiah,” jelas Rahman yang mendapat ide mengunakan panel surya dari melihat orang menggunakannya saat listrik PLN belum masuk ke desa-desa.
Pemasangan jaringan listrik di pondok, Rahman dibantu oleh anaknya yang sudah duduk di perguruan tinggi.
Selain pondoknya, Rahman juga menggunakan panel surya di rumah walet yang ia bangun 1 tahun lalu. Untuk menghidupkan mesin bunyi-bunyian secara nonstop di rumah walet tersebut, sangat aman dengan listrik tenaga surya. Tidak pernah terjadi kerusakan ataupun listrik mati adalah kemudahan lain pemanfaatan energi surya. Tidak ada perawatan khusus. Hanya perlu membersihkan panel surya enam bulan sekali. Hanya saja kemampuan baterainya yang memang semakin lama semakin menurun.
“Kalau baterainya bagus, bisa bertahan lebih dari empat tahun. Saya baru ganti baterai setelah 3 tahun. Baterai yang sebelumnya tidak bagus kualitasnya karena tidak asli. Bahkan kalau mau, pakai baterai mobil juga bisa. Tidak sulit kok,” jelas petani tamatan SMA tersebut.
Tidak hanya jeruk, Rahman mulai menanam pohon durian yang juga punya nilai ekonomi tinggi. Selain itu, ia ingin lahannya ada berbagai macam tanaman. Bahkan ia juga berternak bebek untuk dijual telurnya.
Kini kebunnya tidak hanya didatangi oleh para pedagang jeruk saja, tetapi sudah dikunjungi orang-orang yang ingin melihat kebun jeruk, memetiknya dan menikmatinya langsung dari pohon.
“Kalau makan di kebun gratis. Tetapi kalau dibawa pulang hasil petik sendiri, harga jualnya Rp12.000 per kg,” ucap Rahman.
Saat ini Rahman telah memetik hasil dari kerja kerasnya. Sejak dua tahun belakangan, ia sudah merasakan manisnya panen raya. Ada dua kali panen raya dalam setahun, biasanya di pertengahan dan di akhir tahun. Saat panen raya, kebun jeruknya bisa menghasilkan 15 ton jeruk dengan harga jual Rp 8.000 per kg. Sekali panen raya, Rahman mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah hingga 120 juta rupiah dari 600 pokok jeruknya. Itu belum termasuk panen kecil yang dilakukan setiap dua hari sekali.
“Menurut saya, lebih menguntungkan berkebun jeruk daripada sawit. Hasil yang saya peroleh dari 2 ha kebun jeruk, setara dengan 4 ha kebun sawit,” ungkap Rahman.
Keberhasilan Rahman tersebut mulai diikuti beberapa petani lain. Dari awalnya hanya ada 2 ha kebun jeruk di sana, kini sudah hampir 20 ha kebun jeruk. Rahman tidak hanya menginspirasi bertanam jeruk, tetapi juga dalam memanfaatkan EBT di kalangan petani. Kini sudah 6 orang yang menggunakan panel surya di kebun mereka.
Salah satunya adalah pasangan muda, Anton dan Mariati. Duduk berbincang di balai-balai papan pondok milik pasangan ini terasa sungguh nyaman, meskipun siang itu matahari di luar sana cukup terik. Ditemani jeruk manis yang baru dipetik dari pohonnya, memunculkan perasaan tenang dan damai.
Pondok milik Anton sederhana, serupa dengan pondok kebanyakan di kebun jeruk, berbentuk panggung terbuat dari kayu dan hanya memiliki ruang tamu, dapur dan satu kamar tidur, tanpa perabotan. Meskipun sederhana, Anton senang tidak kesulitan mengecas alat semprot tanaman dan Hp sederhana miliknya di pondok itu. Bahkan saat listrik PLN masih sering hidup mati, mereka memiliki cukup daya untuk kebutuhan listrik di siang dan malam hari.
“Kami belajar dari Uwak Rahman. Termasuk pakai panel surya ini. Sebelumnya kami memakai lampu minyak,” kata Anton yang juga bekerja sebagai supir.
“Kata Wak Rahman, panel surya ini lebih mudah digunakan dan tidak perlu membeli bahan bakar minyak lagi. Kalau dihitung-hitung memang lebih irit,” kata Anton.
Anton baru memasang panel surya sekitar 8 bulan lalu. Ia membeli secara kredit sekitar 2,5 juta rupiah. Harga itu sudah termasuk baterai 100 Ampere. “Kalau beli kontan mungkin jauh lebih murah. Saya tidak punya cukup uang untuk membeli secara kontan. Kebun jeruk kami belum menghasilkan, baru berusia 2 tahun dan masih belajar berbuah,” terang ayah satu anak ini.
Ramah Lingkungan
Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (BTNTN), Heru Sutmantoro sudah mengetahui keberadaan kebun jeruk di pinggir kawasan TNTN tersebut. Kebun itu berada di luar kawasan. Warga setempat menyebutnya sebagai kawasan penyangga.
Heru menyambut baik masyarakat yang mulai meninggalkan sawit dan beralih ke tanaman lain yang lebih ramah lingkungan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) masih menjadi ancaman di TNTN, masyarakat diimbau untuk tetap berkebun ramah lingkungan.
“Berangsur-angsur kita akan memberikan contoh bahwa ada komoditas lain yang lebih baik dari sawit. Bertanam sawit perlu perlakuan khusus dan perlu banyak pupuk kimia yang memiliki nilai kerusakan lingkungan tinggi. Menanam tanaman hutan seperti durian, jengkol, jahe, kencur, porang dan lain sebagainya juga punya nilai ekonomi tinggi. Budaya meniru masyarakat kita masih tinggi, perlu sebuah contoh keberhasilan agar mereka mau beralih,” terang Heru.
Menurut Dosen Fakutas Pertanian Universitas Riau, Delfi Roza, tanaman buah-buahan memang paling ramah lingkungan dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Sawit membutuhkan air yang banyak. Pada sawit berumur tua dengan tajuk yang sudah menutup, tanah di sekitarnya menjadi sangat padat.
“Kalau tanaman buah-buahan akan memperbaiki tekstur tanah,” jelas Delfi.
TNTN adalah kawasan hutan produksi yang ditetapkan menjadi hutan konservasi pada Tahun 2014. Sebelumnya kawasan tersebut dikelola oleh beberapa perusahaan pemegang izin konsesi. Diantaranya adalah PT Dwi Marta, Inhutani dan PT Nanjak Makmur. Dari luas 81.793 Ha pada awal penetapan, kini hutan tersisa di TNTN hanya 14.000 ha.
“Hutan tersisa itu harus kita jaga dari bahaya perambahan dan Karhutla yang selama ini menjadi ancaman utama TNTN,” kata Kepala Balai TNTN.
Sebagai habitat satwa dilindungi, yaitu gajah sumatera dan harimau sumatera, keberadaan hutan TNTN sangat penting untuk hidup mereka. Tidak hanya sebagai tempat hidup, mencari makan dan berkembang biak, hutan dengan keanekaragaman hayatinya juga merupakan rumah sakit dan apotek bagi semua satwa.
“Bila hutan terjaga, keanekaragaman hayati dan kualitas lingkungan akan lebih baik,” terang sarjana kehutanan ini.
Laporan berikutnya: PLTS Atap adalah Solusi (2)