PLTS Atap Adalah Solusi (2)

Panel surya milik Universitas Islam Riau yang telah memanfaatkan energi terbarukan sejak 2011.
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangLaporan Winahyu Dwi Utami
Independen --- Tinggal dan berkebun di dekat taman nasional sudah pasti tidak akan pernah mendapatkan aliran listrik PLN. Jaringan PLN tidak dibolehkan terpasang di sana. Pemanfaatan sumber energi alternatif seperti matahari atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah solusi bagi masyarakat. Demikian juga bagi masyarakat yang berada di daerah terpencil lain yang belum mendapatkan listrik. Jumlahnya yang melimpah dan energi bersih yang dihasilkan, baik untuk lingkungan karena mampu mengurangi jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Kebijakan Provinsi Riau terhadap pemanfatan EBT dan pembangunan rendah karbon tertuang dalam konsep pembangunan Riau Hijau. Sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan yang ada dalam Peraturan Gubernur No.9 Tahun 2021.
“Kita sudah membangun PLTS terpusat di Kabupaten Inderagiri Hilir untuk masyarakat yang tinggal di wilayah sulit jangkauan PLN. Tahun ini dengan dana APBN 2020, kita juga membangun 11 titik PLTS atap on grid tanpa baterai di sejumlah gedung milik pemerintahan di Pekanbaru. Termasuk di kantor ini,” kata Kepala Bidang Energi, Energi Terbarukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Riau, Zulkarnain, saat ditemui di ruang kerjanya, 13 Agustus 2021.
Bantuan 11 PLTS tersebut antara lain di Kantor Dinas ESDM, Masjid Akramunas Universitas Riau, gedung perpustakaan daerah, kantor gubernur, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Riau, kantor Bappeda, Bapenda, BPKAD, BKD, SMAN 1 dan SMU 8. Kapasitasnya beragam mulai dari 25 KWP hingga 100 KWP.
Dinas ESDM mendapatkan panel surya berkapasitas 25 KWP. Harga 1 KWP atau 1000 Watt senilai Rp26 juta, hingga total biaya untuk 25 KWP mencapai 650 juta rupiah. Masa pemakaianya hingga 20 tahun tanpa perlu biaya lain. Perawatannya pun hanya berupa pembersihan panel dari debu dan kotoran. Posisi penempatan panel haruslah di tempat terbuka, tidak boleh ada bayangan yang menghalangi tangkapan cell surya.
Energi listrik yang dihasilkan tersebut, digunakan Dinas ESDM Riau untuk pamakaian listrik pada siang hari saja. “Dari tagihan 14 juta rupiah setiap bulan, saat ini kita hanya membayar 8 juta rupiah saja. Bisa hemat sekitar 40 persen,” terang Zulkarnain.
“Di APBD Tahun 2021, kita telah menganggarkan pemasangan 3 titik lagi. Yaitu di Kantor DPRD Riau, kediaman gubernur dan Rumah Sakit Petala Bumi,” lanjutnya.
Agar lebih banyak lagi yang menggunakan energi bersih, pemerintah Provinsi Riau telah memberi himbauan agar setiap gedung pemerintahan dan swasta menggunakan PLTS atap. Kebijakan itu akan didukung oleh Peraturan Daerah (Perda) yang sedang dalam proses pembahasan.
Secara nasional sudah ada kebijakan mengenai hal tersebut yaitu Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN. Pengguna panel surya dengan sistem hybrid atau on-grid dapat menjual kelebihan produksi listrik ke PLN. Meskipun PLN hanya membeli listrik hasil panel surya sebesar 65 persen dari tarif listrik per KWH, jumlah itu sudah dinilai mampu menekan angka tagihan listrik pelanggan. Pelanggan PLN hanya dapat memasang panel surya dengan kapasitas maksimal setara 90 persen daya listrik terpasang.
Menurut Humas PLN wilayah Riau dan Kepulauan Riau, implementasi soal pembelian kelebihan arus dari PLTS rooftop di Riau masih belum berjalan. Sejauh ini masih dalam tahap uji coba.
“Petunjuknya sudah ada. Sejauh ini baru pada taraf uji coba,” kata Tajuddin saat dihubungi via telepon.
Riau memiliki potensi EBT cukup besar mencapai 5.950 MW, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Baru 14,27 persen saja yang sudah terpanfaatkan.
Berikut Potensi EBT Provinsi Riau Tahun 2020
Kampus Teknik Universitas Islam Riau (UIR) adalah salah satu institusi yang sudah memanfaatkan EBT sejak 2011 lalu. Khusus Gedung C berlantai 3 yang memiliki 12 kelas, listriknya dipasok dari panel surya berkapasitas 16.000 KWH. Jumlah tersebut mampu menghidupkan semua lampu di Gedung C, kipas angin, infokus dan laptop dosen.
Biaya pengadaan 56 panel surya dengan inverter dan 48 baterai saat itu mencapai 700 juta. Di Tahun 2014 UIR mendapatkan tambahan 15 panel surya lagi dari bantuan Balitbang Provinsi Riau.
Indonesia sebagai negara Khatulistiwa memiliki sumber daya panas matahari yang berlimpah. Puncak panas matahari setiap hari ada di rentang waktu pukul 09.00 WIB hingga 15.00 WIB. Jadi ada waktu 6 jam setiap harinya untuk mengisi baterai. Panas itu sudah mampu mengisi penuh baterai yang ada.
UIR telah menjadi rujukan pemanfaatan teknologi panel surya di Riau dan tempat belajar banyak kalangan. Bahkan telah mendapat Penghargaan Efisiensi Energi Nasional tahun 2014 kategori Prakarsa Kelompok Masyarakat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia.
“Kita membangun PLTS sebagai komitmen lembaga pendidikan mengurangi emisi GRK dan menjadi tempat belajar pemanfaatan energi matahari yang berlimpah,” kata Mursidah, doktor di bidang energi surya yang juga ikut dalam pengadaan panel surya di kampusnya.
Energi surya bisa dimanfaatkan secara masif. Semua itu tergantung dari komitmen pemerintah. “Khusus di daerah terpencil, energi surya adalah solusi kebutuhan akan listrik masyarakat. Namun untuk pemasangan secara mandiri, kendalanya ada pada biaya investasi awal. Tidak semua memiliki kemampuan itu,” lanjut Mursidah.
“Untuk jangka panjang, energi surya cukup menguntungkan. Zero maintenance,” katanya.
Dijelaskan Ketua Jurusan Teknik Mesin UIR, Jhonni Rahman, berbagai macam pembiayaan sudah banyak ditawarkan untuk pemasangan panel surya. Ada dengan sistem rental selama 20 tahun. Setelah 20 tahun, akan menjadi milik pengguna.
“Harga panel surya saat ini sudah jauh lebih murah dibandingkan beberapa tahun lalu. Tawaran pembiayaan untuk memasangnya juga sangat banyak. Bila semakin banyak yang menggunakan energi bersih, maka semakin terjaga lingkungan kita,” jelas Jhonni.
Riau Hijau
Saat ini Riau menjadi salah satu provinsi pilot atau percontohan perencanaan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Upaya ini dilakukan sinergi dengan kebijakan Riau Hijau yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau Tahun 2019-2024.
Ada tiga rencana aksi Riau Hijau Tahun 2020-2024. Aksi pertama meningkatkan pengendalian kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan hidup. Salah satu yang akan dilakukan pada aksi ini adalah pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Aksi kedua yaitu meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dan aksi ketiga, meningkatkan Bauran Energi dari sumber daya energi terbarukan (EBT).
“Di aksi ketiga inilah kita mendorong pengembangan EBT di lingkup perkantoran Pemerintah Provinsi Riau maupun industri,” kata Kasubbid Lingkungan Hidup Kehutanan Pertanian Kelautan dan Perikanan Bappedalitbang Provinsi Riau, Rizky Rachmawati.
Di Tahun 2014-2015, Provinsi Riau menjadi daerah penyumbang emisi terbesar di Indonesia dari sektor kehutanan. Karhutla yang terjadi cukup luas saat itu menyumbang emisi cukup banyak.
“Riau selalu aktif melaporkan penurunan emisi setiap tahunnya ke Bappenas. Indek emisi GRK ini masuk dalam penilaian kinerja gubernur,” lanjutnya.
Capaian penurunan emisi GRK Riau dari aksi mitigasi Tahun 2010-2019 sebesar 204,6 juta ton CO2e. ”Angka tersebut dari hasil upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi dan Kab/Kota di Riau,” tegas Rizky.
Berikut data status emisi GRK Provinsi Riau Tahun 2013-2020
Dari grafik di atas menunjukan nilai emisi GRK Provinsi Riau fluktuatif namun cenderung menurun. Tahun 2014 angkanya cukup menonjol karena pada saat itu terjadi Karhutla cukup besar.
“Angka emisi GRK tertinggi kita ada pada Tahun 2014. Setelah itu ada kecenderungan menurun. Memang sektor kehutanan masih menjadi penyumbang terbesar emisi Riau,” jelas Kabid Perubahan Iklim Dinas LHK Provinsi Riau, Setyo Widodo.
Data Emisi GRK Nasional Tahun 2013-2018
Hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan tingkat emisi GRK juga fluktuatif. Terbesar ada pada tahun 2015. Setelahnya menurun dan kembali meningkat di tahun 2017 dan 2018. Namun di tahun 2020, nilainya turun cukup tajam.
Secara nasional, sektor kehutanan dan kebakaran gambut juga menjadi penyumbang emisi terbesar setiap tahunnya. Dalam rentang waktu 5 tahun terakhir, emisi tertinggi ada di Tahun 2018. Sektor kehutanan dan kebakaran gambut menyumbang 44%, diikuti oleh sektor energi 36%, limbah 8%, pertanian 8%, dan IPPU 4%.
Dalam dokumen Laporan inventarisasi GRK dan MPV tahun 2019 disebutkan bahwa kontribusi penurunan emisi secara nasional pada tahun 2018 terhadap target yang ditetapkan dalam NDC tahun 2030 adalah sebesar 7,85% dari target penurunan emisi sebesar 834 Juta Ton CO2e atau 29% dari BAU (Bussines as Usual).
Upaya kecil Rahman, seorang petani sederhana beradaptasi dengan keadaan lingkungan, telah memberi kontribusi bagi penurunan emisi GRK. Namun bila banyak Rahman-Rahamn lain melakukan hal serupa dan masif, kontribusi yang sangat kecil itu tentu akan membesar dan berdampak nyata pada lingkungan, krisis energi dan krisis iklim.
Laporan sebelumnya: PLTS Atap Adalah Solusi (1)