- 27 Feb 2022 15:18 pm
- Editor: Bayu
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen --- Kabar terbaru dari Senayan (DPR), RUU Penyiaran akan segera dibahas oleh Komisi 1 DPR pada tahun 2022 ini. Sebelumnya RUU ini selalu masuk Prolegnas prioritas sejak tahun 2020 dan 2021, namun Komisi 1 DPR tidak segera membahasnya.
“Panja RUU Penyiaran telah rapat pada 15 Februari kemarin, agendanya mendengarkan draf awal RUU Penyiaran,” kata Irine Yusiana Roba Putri, anggota Komisi 1 DPR (24/2).
Pembuatan RUU Penyiaran ini adalah perubahan untuk UU no 32/2002 tentang Penyiaran yang sudah berumur 20 tahun. Usulan perubahan RUU ini sebenarnya sudah diajukan sejak DPR periode 2009 – 2014. Namun dalam 2 kali periode DPR (2009-2014 dan 2014-2019) selalu gagal disahkan menjadi UU. Isu kritikal yang membuat RUU ini gagal disahkan adalah soal migrasi digital, salah satunya soal penyelenggaraan penyiaran digital multi mux atau single mux.
Perdebatan multi mux atau single mux ini kemudian berakhir dengan UU Cipta Kerja no 11/2020. Migrasi penyiaran digital dalam UU Cipta Kerja ditetapkan dengan penyelenggaraan multi mux.
Setelah migrasi digital sudah diatur UU Cipta Kerja, maka isu-isu strategis apa yang akan dibahas di perubahan RUU Penyiaran?
“ Ada berbagai isu penting yang dibahas, misalnya tentang KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) yang anggarannya diusulkan dari APBN. KPID nantinya akan dipilih oleh KPI. Tapi masalahnya, perubahan ini nanti membuat penyiaran kita terlalu sentralistik. Hal ini masih akan dibahas lebih lanjut,” kata Irine.
Wacana lain dari sejumlah anggota DPR adalah bagaimana RUU Penyiaran ini juga mengatur konten siaran yang muncul di platform digital (Youtube, FB, dsb). Karena saat ini banyak konten TV yang muncul di platform digital dan juga sebaliknya.
“Ini tantangan besar karena belum ada best practice di negara lain yang bisa kita acu,”ungkap Irine sambil menambahkan bahwa isu-isu lain akan dibahas di rapat berikutnya.
Hal senada juga disampaikan Syafril Nasution, Ketua ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) dalam perubahan RUU Penyiaran ke depan perlu memasukkan pengaturan konten di internet.
“ Saat ini bukan lagi persaingan antara industri TV, tetapi industri TV (teresterial) dengan platform digital di internet. Ada perbedaan. Jika di televisi, konten dan iklan mempunyai aturan yang ketat, semua diatur di P3SPS. Sementara di internet, konten dan iklan tidak ada yang mengatur,”ucap Syafril.
Syafril mencontohkan iklan-iklan tertentu (seperti iklan rokok) hanya boleh ditayangkan di jam-jam tertentu di televisi. Sementara di internet tidak ada pembatasan usia maupun jam tayang. Atau beberapa jenis konten di televisi harus lolos sensor Lembaga Sensor Film (LSF) dan semua konten diawasi oleh KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia). Namun konten di internet tidak ada yang mengawasi seperti KPI, meskipun ada UU ITE.
“Menurut saya dalam revisi UU Penyiaran, pertama-tama yang perlu dibahas adalah definisi penyiaran itu sendiri, “kata Nina Mutmainnah, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.
Definisi penyiaran saat ini sudah tidak memadai untuk menjelaskan fenomena perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Maka menurut Nina, bagaimana melakukan redefinisi penyiaran di era digital ini menjadi penting.
Isu-isu lain yang perlu dibahas di RUU Penyiaran, bagi Nina adalah soal peran KPI sebagai regulator harus diperkuat. Isu pembatasan iklan rokok, memperkuat Lembaga Penyiaran Publik (LPP) juga penting diperhatikan.
“Karena bagaimana pun sampai beberapa tahun ke depan, televisi tetap menjadi tontonan masyarakat. Terlebih karena menggunakan frekwensi publik, maka pengaturan penyiaran dengan ketat perlu dilakukan, “ujar Nina Mutmainnah yang juga aktivis di KNRP (Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran).
Pendapat berbeda diungkapkan Paulus Widiyanto, pengamat media penyiaran yang juga mantan anggota DPR periode 1999-2004.
“Daripada parsial dengan membuat UU Penyiaran yang baru, lebih baik kita membuat UU payung yang mewadahi semuanya. Dari soal telko, penyiaran sampai internet. Kalau di Australia namanya Communication Act. Atau UU Komunikasi,”kata Paulus, yang dulu adalah Ketua Panja DPR yang membidani UU Penyiaran no 32/2022.
Hal senada juga disampaikan Bambang Santoso, ketua ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia).
” Saya cenderung mengusulkan UU Konvergensi Media dari pada revisi UU Penyiaran. Sehingga televisi streaming juga dilindungi. Saat ini banyak anggota kami yang berpindah ke internet ,”ungkap Bambang Santoso.
Direktur Penyiaran, Kementerian Kominfo, Geryantika Kurnia memandang bahwa Undang-undang Cipta Kerja sudah mampu menjawab sebagian isu prioritas di sektor penyiaran yaitu digitalisasi dan perizinan. Mengenai relevansi pentingnya membahas RUU Penyiaran, Geryantika menjawab bahwa itu menjadi ranahnya DPR.
“Usulan perubahan UU Penyiaran telah disepakati oleh Pemerintah dan DPR untuk kembali menjadi insiatif DPR, sehingga Pemerintah akan mempelajari isu-isu yang menjadi perhatian dari DPR saat pembahasan bersama nanti, “jawab Geryantika.
Bagi Geryantika, tantangan di sektor penyiaran masih banyak, seperti isu pemerataan siaran yang belum tercapai seluruhnya dan keberagaman konten siaran yang belum terwujud merata. Sementara soal konten atau penyiaran di internet, Geryantika mengatakan saat ini masih menjadi diskursus apakah perlu masuk di RUU Penyiaran atau tidak. Meski saat ini konten internet sudah memiliki pengaturan melalui Undang-undang ITE dan Undang-undang Telekomunikasi.
Macet di Migrasi Digital
Jalan panjang perubahan RUU Penyiaran sejak DPR periode 2009-2014 sudah mengakomodasi isu migrasi digital. Indonesia termasuk negara yang terlambat melakukan migrasi digital pada penyiaran, karena UU Penyiaran no 32/2002 belum mengaturnya. Di Asia Tenggara, hanya Indonesia dan Myanmar yang masih berkutat dengan penyiaran analog.
RUU Penyiaran yang merupakan RUU Inisiatif DPR sudah 2 periode DPR belum kelar menjadi sebuah UU. Dimulai sejak DPR periode 2009 – 2014, muncul inisiatif untuk mengubah UU Penyiaran yang ada, karena kebutuhan migrasi digital. Komisi 1 DPR sempat membentuk Tim Pakar Pendamping untuk membantu para anggota dalam menyusun draft RUU. Tim Pakar Pendamping ini terdiri 7 orang yaitu: Ade Armando, Amir Effendi Siregar, Ishadi SK, Paulus Widiyanto, Parni Hadi, Sasa Djuarsa Sendjaja (alm) dan Soekarno Abdurrahman.
Pada tahun 2012, Tim Pakar menghasilkan 2 draft RUU, yaitu alternatif I dan alternatif II. Perbedaan dari kedua draft ini adalah pada model penyelenggaraan penyiaran digital. Pada draft alternatif I, penyelenggara multipleksing (pemancaran frekwensi digital) dilakukan oleh konsorsium yang bisa terdiri dari BUMN, TVRI maupun badan usaha swasta. Sementara pada draft alternatif II, penyelenggara multipleksing adalah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang sudah ada dan TVRI.
“Saat itu kami kemudian membuat 2 draft. Perbedaannya di soal model penyelenggaraan penyiaran digital,”ungkap Paulus Widiyanto.
Komisi 1 DPR kala itu memilih draft alternatif I, dengan penyelenggara multipleksing diselenggarakan oleh perusahaan konsorsium. Drat RUU ini berjalan mulus melewati Badan Legislasi dan sampai akhirnya disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR.
Proses berikutnya adalah pembahasan RUU antara DPR dan Pemerintah. Ternyata pemerintah mengambil draft alternatif II yang tidak dipakai oleh Komisi I DPR. Perbedaan naskah RUU inilah kemudian terjadi perbedaan tajam antara DPR dan Pemerintah.
Pembahasan RUU ini berhenti pada pasal-pasal awal, atau DIM ke-40. Ahmad Budiman dalam jurnalnya (Perdebatan Kepentingan Kebijakan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia: 2020) menyebutkan pembahasan RUU Penyiaran menemui jalan buntu ketika masih membahas tentang definisi penyiaran. Di samping itu, menjelang tahun pemilu 2014 sehingga pembahasan RUU ini tidak selesai sampai masa akhir jabatan DPR.
Memasuki periode DPR 2014-2019, pembahasan RUU Penyiaran harus dimulai dari nol lagi. Karena perundangan saat itu menyebutkan RUU yang tidak selesai di periode sebelumnya, tidak bisa carry over atau diteruskan pada periode berikutnya. Beda dengan sebelumnya, Komisi 1 DPR 2014-2019 tidak membentuk Tim Pakar Pendamping, tetapi cukup mempercayakan pada Tim Ahli dari Kesekjenan DPR.
Pada periode ini persoalan migrasi digital tetap menjadi topik panas. Namun perdebatan yang muncul bukan siapa penyelenggara multipleksing tetapi soal pilihan sistem multipleksing yang akan diterapkan. Dari sisi teknis, multipleksing dapat diselenggarakan dengan 2 cara yaitu multi mux atau single mux. Multi mux berarti ada beberapa mux yang dapat digunakan untuk kanal-kanal siaran teresterial. Sementara bila single mux hanya ada satu mux untuk menampung semua kanal televisi yang ada. Pilihan multi atau single mux ini pada akhirnya menentukan siapa yang menjadi penyelenggara multipleksing.
El Nino, anggota Komisi 1 DPR periode 2014-2019, menceritakan mereka yang mengusung konsep single mux berasumsi nantinya TVRI yang mengelola mux. Sementara Lembaga Penyiaran Swasta (dan lembaga penyiaran lainnya) akan menyewa kanal di mux untuk bersiaran. Kelebihan pilihan single mux ini adalah menghemat frekwensi sehingga digital deviden (lebar pita frekwensi yang ditinggalkan oleh penyiaran) menjadi lebih besar.
Namun sebagian fraksi di Komisi 1 DPR mengusung pilihan multi mux dengan memberi kesempatan pada LPS dan TVRI menjadi pengelola multipleksing. Meskipun terjadi perbedaan pendapat di Komisi 1, namun akhirnya mereka sepakat untuk memasukkan pilihan single mux di RUU. El Nino (fraksi Gerindra) yang mendukung konsep single mux, berkisah bahwa dirinya harus menjelaskan satu per satu pada anggota Komisi 1 yang lain, tentang apa itu multipleksing dan perbedaan antara multi mux dan single mux. Sebenarnya tidak banyak anggota DPR yang menguasai isu penyiaran. Motor pembahasan RUU Penyiaran saat itu hanya beberapa orang saja seperti El Nino (Gerindra), Evita dan Irine Yusiana (PDIP), Budi Youyastri (PAN), Meutya Hafid dan Tantowi Yahya (Golkar), Abdul Kharis dan Sukamta (PKS).
Proses selanjutnya draft RUU ini masuk ke Baleg (Badan Legislasi) pada awal tahun 2018. Tugas pokok Baleg adalah harmonisasi RUU agar tidak berbenturan dengan perundangan yang lain. Namun ketika RUU Penyiaran ini masuk di Baleg, justru banyak perubahan dilakukan oleh Baleg.
Dua isu krusial yang diubah oleh Baleg adalah soal sistem multipleksing dalam migrasi digital dan iklan rokok. Konsep draft RUU dari Komisi 1 adalah sistem multipleksing single mux dan iklan rokok dilarang 100% di televisi. Namun oleh Baleg diubah menjadi sistem multiplesing multi mux dan iklan rokok hanya dibatasi jam tayang.
Perubahan ini menimbulkan reaksi keras dari Komisi 1 DPR. Beberapa kali pertemuan Komisi 1 dan Baleg, tidak menemukan titik temu untuk sistem multipleksing. Sementara untuk isu iklan rokok tercapai kesepakatan bahwa tetap boleh tayang di televisi tetapi pada jam-jam tertentu saja (dibatasi).
Baleg beranggapan sistem single mux berpotensi melanggar UU Anti Monopoli. Sedang Komisi 1 bersikukuh dengan single mux dan menyebutkan jika TVRI satu-satunya penyelenggara multipleksing bukan monopoli karena ini lembaga penyiaran yang dibiayai APBN. Akhirnya perbedaan ini menggantung terus dari awal 2018 sampai akhir masa jabatan DPR di tahun 2019 dan RUU Penyiaran tidak berhasil disahkan.
“Ada kepentingan bisnis yang tidak ketemu sehingga RUU saat itu gagal dilanjutkan. Selain itu ada faktor proud dari masing-masing perusahaan penyiaran,”kata Bambang Santoso.
Kepentingan bisnis yang dimaksud Bambang Santoso adalah bagaimana migrasi digital dilakukan apakah memberi keuntungan atau kerugian. Dan ada proud/harga diri yang perlu dipertahankan, sehingga sebagian perusahaan penyiaran swasta merasa perlu memiliki multipleksing sendiri, tidak hanya sekedar sewa.
Migrasi Digital Lewat UU Cipta Kerja
Tahun 2020, pemerintah mendorong munculnya UU Omnibus Law yang diharapkan dapat mengurangi hambatan-hambatan dalam investasi dan membuka lapangan kerja. Dan soal penyiaran ini masuk dalam UU Cipta Kerja no 11/2020 sebagai bab tersendiri.
Pada bab penyiaran, UU Cipta Kerja menegaskan migrasi digital di televisi dilakukan dengan sistem multipleksing multi mux. Dan ketentuan berikutnya akan diatur oleh pemerintah. Hal ini menguatkan wewenang pemerintah untuk mengatur sistem migrasi digital.
Selain soal migrasi digital, UU Cipta Kerja juga mengubah soal perizinan dan sistem siaran dari UU Penyiaran no 32/2002. Pada UU Penyiaran no 32/2002 perizinan lembaga penyiaran swasta dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi harus melalui rekomendasi dari KPI/KPID. Pada UU Cipta Kerja, peran KPI/KPID dihapuskan dari soal perizinan. Sehingga lembaga penyiaran cukup mengajukan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo.
Pada soal sistem siaran, dalam UU Penyiaran no 32/2002 hanya mengenal 2 jenis lembaga penyiaran, yaitu siaran lokal dan atau siaran berjaringan. Konsekuensinya, setiap lembaga penyiaran swasta yang hendak bersiaran di seluruh Indonesia, maka harus mempunyai 34 izin lembaga penyiaran yang kemudian berjaringan, sehingga bisa melingkupi satu Indonesia. Perubahan yang dilakukan UU Cipta Kerja, selain lembaga penyiaran lokal dan berjaringan, ditambahkan satu lagi jenis lembaga penyiaran yaitu nasional. Dengan adanya UU Cipta Kerja ini maka sah bagi TV-TV swasta yang berpusat di Jakarta untuk bersiaran nasional tanpa harus punya mitra lokal.
Makin Partisipatif Makin Demokratis
Meskipun Indonesia sudah memiliki lembaga penyiaran sejak merdeka pada tahun 1945 (Radio Republik Indonesia), tetapi UU Penyiaran baru ada tahun 1997 dengan UU no 24/1997 tentang Penyiaran. Masa-masa sebelumnya penyiaran hanya diatur lewat Keputusan Menteri saja.
Menurut Paulus Widiyanto, proses penyiapan UU ini cukup cepat, hanya 2 tahun saja. Disiapkan sejak tahun 1995 sampai selesai disahkan tahun 1997. Prosesnya tidak banyak perdebatan, mengingat saat itu era Orde Baru di mana pemerintah saat kuat.
“Saat itu DPR kan cuma 4 fraksi : Golkar, PDI, PPP dan ABRI. Golkar mayoritas dan dengan ABRI selalu satu suara. Jadi prosesnya tidak lama, sesuai keinginan pemerintah,”kata Paulus.
Sebelum ada UU no 24/1997, saat itu sudah televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar. Pendirian penyiaran TV swasta diatur lewat Keputusan Menteri, yang saat itu menekankan TV lokal. Karena itulah dulu awalnya RCTI ada di Jakarta, SCTV di Surabaya, ANTV di Bandarlampung. Namun setelah UU Penyiaran no 24/1997 terbit, maka penyiaran nasional diselenggarakan secara terpusat di Jakarta. Maka berpindahlah SCTV dan ANTV ke Jakarta.
Pada proses pembuatan UU no 32/2002 tentang Penyiaran suasana politik saat itu masih kuat euphoria reformasi 1998. Masyarakat sipil sangat kuat, anggota DPR berperan kuat, industri dan pemerintah yang relatif lemah.
Pemerintah “lemah”, karena periode 1999-2001 Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Gus Dur. Sehingga Panja Penyiaran DPR yang dipimpina Paulus Widiyanto (PDIP) saat itu tidak punya mitra dari Lembaga Penerangan/Komunikasi. Mitra saat itu adalah dengan Departemen Perhubungan, sehingga pembahasan RUU Penyiaran lebih menekankan soal infrastruktur.
“Anggota DPR saat itu lebih bebas dan bisa berbeda pendapat dengan partainya. Saya karena dianggap menguasai materi penyiaran, maka teman-teman PDIP ikut saja dengan apa yang saya sampaikan,”kisah Paulus.
Paulus tidak sendirian, ada rekan-rekan anggota DPR lintas partai yang juga memahami isu-isu penyiaran, seperti Bambang Sadono (Golkar), Effendi Choiri (PKB), Joko (PAN). Mereka inilah yang menjadi motor penyusunan UU Penyiaran, selain juga menjadi juru bicara ke internal partainya.
Di masa penyusunan RUU Penyiaran, menurut Paulus, dukungan masyarakat sipil cukup kuat. Hampir setiap minggu Paulus menerima undangan sosialisasi dan serap aspirasi dari kelompok-kelompok masyarakat sipil.
“Waktu itu ada Kaukus Penyiaran. Ini isinya ya anggota DPR, akademisi, aktivis LSM dll. Di situ kami berdiskusi dan berdebat soal substansi RUU Penyiaran,”kenang Paulus.
Bahkan ketika Panja RUU Penyiaran rapat di Wisma Kopo, wisma milik DPR, kelompok-kelompok masyarakat sipil boleh hadir di ruangan.
“Kami anggota DPR menginap di Wisma Kopo. Teman-teman masyarakat sipil banyak yang menginap di sekitar Wisma Kopo,”kata Paulus.
Kuatnya masyarakat sipil, tidak adanya Kementerian Kominfo/Penerangan, serta anggota DPR yang relative bebas berbeda pendapat dengan partainya, membuat produk UU Penyiaran no 32/2002 dianggap banyak pihak sebagai produk UU Penyiaran yang demokratis.
Beberapa peraturan yang dianggap demokratis yaitu kewajiban lembaga penyiaran untuk taat Sistem Siaran Jaringan (SSJ) , sehingga tidak ada TV siaran nasional. Adanya TV Lokal dan TV Jaringan. Kemudian regulator penyiaran di tangan KPI (perizinan dan konten), diakuinya lembaga penyiaran komunitas.
Sepuluh tahun kemudian, karena tuntutan migrasi digital, DPR periode 2009-2014 membuat Inisiatif RUU Penyiaran. Komisi 1 DPR membentuk Tim Pakar Pendamping yang terdiri 7 orang. Tugas Tim Pakar ini memberi masukan kepada anggota DPR untuk substansi RUU Penyiaran.
“Masa itu DPR masih terbuka pada masyarakat sipil. Setidaknya dengan adanya Tim Pakar itu menunjukkan keterbukaan Komisi 1 DPR, “kata Nina Mutmainnah.
Meskipun pada periode ini RUU Penyiaran gagal disahkan, bagi Nina RUU Penyiaran yang dihasilkan DPR cukup demokratis dan banyak mengakomodasi masukan-masukan dari masyarakat. Tim Pakar bekerja dan didengarkan oleh DPR.
Pembahasan RUU Penyiaran berikutnya pada DPR periode 2014-2019 juga macet dan gagal. Namun bedanya, pada periode ini belum sah menjadi RUU Inisiatif DPR, tapi sudah macet di Badan Legislasi, hingga akhir periode tahun 2019.
Bagi Nina pada periode ini anggota DPR (2014-2019), khususnya Komisi 1 tidak membuka ruang partisipasi maupun keterlibatan publik.
“Kami KNRP sudah menyusun draft RUU Penyiaran versi masyarakat sipil. Sudah kami serahkan pada setiap fraksi , tetapi tidak ada tanggapan,”kata Nina.
KNRP memang pernah audiensi dengan beberapa anggota DPR, namun tidak ada tanggapan formal dari fraksi maupun Komisi.
“Justru yang menarik adalah ketika pembahasan UU Cipta Kerja. Ini RUU dari pemerintah justru bisa lebih cepat selesai dibandingkan dengan RUU Inisiatif DPR,”kata Nina.
Informasi yang diterima Nina dan maupun koleganya di KNRP, pada saat pembahasan RUU Cipta Kerja, pemerintah intens membahas dengan DPR sehingga cepat mencapai kesepahaman. Namun ruang partisipasi publik di pembahasan RUU Cipta Kerja sangat minim, seperti yang sudah dikritik banyak pihak. KNRP sendiri pernah mengirimkan masukan dan meminta audiensi pada DPR, dan seperti sebelumnya tidak ada respon.
Hal berbeda diungkapkan oleh Syafril Nasution. Menurut dia selama ini komunikasi dengan pihak DPR dan Pemerintah cukup baik. Bedanya saat pembahasan draft RUU Penyiaran di DPR periode 2014-2019 komunikasinya sering on off. Sementara saat pembahasan bab penyiaran di RUU Cipta Kerja, komunikasi dengan DPR dan pemerintah lebih intens.
Harapan pada RUU Penyiaran di 2022
Melihat proses pembuatan RUU Penyiaran yang cukup panjang, Nina Mutmainnah pesimis proses pembuatan RUU Penyiaran tahun ini akan sesuai dengan harapan publik. Akhir-akhir ini DPR kurang membuka diri pada partisipasi publik seperti yang terlihat UU Cipta Kerja. Sementara masyarakat sipil yang melemah dan KPI yang seharusnya mewakili publik, tidak bersuara.
“Ada konteks dunia yang sangat berubah. Kita lihat pada saat pembahasan RUU Cipta Kerja, Dewan Pers bersama komunitas pers berjuang agar pasal-pasal tentang pers tidak masuk RUU Cipta Kerja. Hal yang berbeda di bidang penyiaran,” ujar Nina.
Namun Nina masih berharap pada beberapa tokoh masyarakat yang masih dipercaya oleh DPR. Mereka ini mempunyai kesempatan bicara dan didengarkan dan anggota DPR.
Sementara itu Agung Suprio, Ketua KPI mengatakan lembaganya akan aktif memberi masukan pada pembahasan RUU Penyiaran. Ada 2 hal baru yang akan diusulkan oleh KPI yaitu mengenai rating dan pengaturan penyiaran di platform digital.
Pengaturan rating menurut KPI perlu diatur dalam UU, agar ada transparansi dan akuntabilitas. Karena rating sangat menentukan hidup matinya sebuah lembaga penyiaran, terutama swasta yang hidupnya tergantung dari iklan.
Untuk pengaturan penyiaran di platform digital, Agung berharap KPI nantinya punya wewenang mengatur TV on demand seperti Netflix, Disney Hotstar dll.
“Kalau mereka (Netfilx dll) lebih mudah mengaturnya karena ada lembaganya. Nanti yang butuh diskusi lebih lanjut adalah bagaimana mengatur konten-konten di OTT (over the top) seperti di Youtube, Vidio, dll,”kata Agung Suprio.
Irine Yusiana menyambut baik jika ada kelompok/lembaga masyarakat memberi masukan untuk RUU Penyiaran. Dan proses pembahasan RUU Penyiaran baru satu kali, maka Irine belum bisa memberi gambaran utuh RUU tersebut.
“Ini masih di tahap awal sekali, jadi perlu kita tunggu diskusi internal lanjutan di Panja RUU terlebih dulu,”pungkas Irine.
Penulis: Bayu Wardhana
"Liputan ini merupakan hasil In-depth Journalism Collaboration on Legislation Issues yang diselenggarakan oleh Indonesian Parliamentary Center."