Ancaman Tenggelamnya Pulau Sumatera Akibat Industri Ekstraktif PLTU Batubara

Pembuangan limbah PLTU Bahang
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen --- “Dilihat dari kondisi saat ini, Sumatera Selatan relatif lebih cepat tenggelam. Selain karena permukaannya lebih rendah, PLTU paling banyak dibangun di Sumatera adalah di Sumatera Selatan,” terang Direktur Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar mengawali percakapan saat dijumpai media Senin (20/02/2023).
Sumatera Selatan, menurut data BPS merupakan provinsi terluas di pulau Sumatera dengan luas wilayah 91.592,43 km persegi. Saat ini di Sumatera Selatan ada 4 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dikelola PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan 10 unit dikelola pengembang listrik swasta atau dikenal Independent Power Producer (IPP).
“Ada 14 unit, dua diantaranya merupakan PLTU mulut tambang dengan total kapasitas lebih dari 1.267 Mega Watt (MW),” imbuh Ali Akbar.
Sumatera, lanjut Ali, sebagai salah satu pulau besar di Indonesia yang berada di selatan Semenanjung Malaya dan sebelah barat Jawa, memiliki 33 unit PLTU batubara. Diantaranya 14 unit dikelola IPP dan sisanya 19 unit dikelola PLN. PLTU tersebut tersebar merata di 10 provinsi yang ada di Sumatera.
Mengutip Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, sebanyak 33 PLTU di Sumatera tersebut memiliki total kapasitas 3.566 MW. Dari jumlah tersebut, Ali Akbar mengatakan Sumatera sudah mengalami surplus energi listrik sebanyak 40 persen atau sekitar 2.555 MW, dengan daya mampu netto sebesar 8.916 MW dan beban puncak 6.361 MW.
Meskipun sudah surplus, Ali mengatakan dalam RUPTL 2021-2030 pemerintah tetap berencana membangun 14 unit PLTU batubara baru di Sumatera dengan kapasitas 4.000 MW yang termuat. PLTU tersebut rencananya akan dibangun di Aceh yakni PLTU Meulaboh 3 dan 4 dengan kapasitas masing-masing 2x200 MW dan PLTU Sumatera Utara 1 dengan kapasitas 2x150MW.
Kemudian Jambi 4 unit yakni PLTU Jambi 1 dan PLTU Jambi 2 dengan masing-masing berkapasitas 1x100MW, Serta PLTU Jambi 1 dengan tegangan 500 KV dan Konduktor (2 cct, 4 Zebra) Panjang (KMS) 420, serta Sumatera Selatan 3 unit yakni PLTU Sumsel 1 dengan kapasitas 2x600MW, Sumsel 8 dengan kapasitas 2x300MW dan Sumbangsel 1 dengan kapasitas 2x150MW. Saat ini beberapa diantaranya sudah dalam tahap commited dan konstruksi dengan status IPP.
“Kita tahu PLTU batubara merupakan kontributor utama krisis iklim dengan jumlah lebih dari 40 persen. Jika jumlahnya bertambah artinya akan semakin memberikan dampak buruk bagi kehidupan di sekitar wilayah pembangkit. Pembakaran batubara terus menerus akan mencemari udara dengan beragam polutan, ditambah hujan asam, emisi logam berat. Akibatnya, rakyat akan terpapar polusi yang dapat memicu berbagai penyakit. Termasuk mempercepat Sumatera tenggelam,” kata Ali Akbar yang juga merupakan Dinamisator Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB).
Hasil riset dengan menggunakan sumber data terbuka yang dilakukan Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, lembaga non profit berbasis di Bengkulu sejak tahun 2001 dan fokus pada isu pemanfaatan energi ramah, diketahui terjadi penyusutan daratan di Pulau Sumatera setiap tahun berkisar 0,23-135,75 meter. Hingga saat ini Sumatera sudah kehilangan daratan 21.175,42 Ha. Kurun waktu 1,7 tahun daratan Sumatera hilang 15.170 ha, setara dengan luas kota Bengkulu.
Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan wilayah dengan jumlah PLTU terbesar di Sumatra memiliki potensi pemyusutan kawasan lebih besar dibandingkan provinsi lain di Sumatera, yakni 0,23 - 135,75 meter per tahun, akibat wilayah tersebut merupakan dataran rendah.
Kemudian Jambi, 25 meter per tahun. Riau 1-20 meter per tahun, Lampung 0,12-7,74 meter per tahun, Sumatera Barat 3,52 meter per tahun, Sumatera Utara 0,538-3,36 meter per tahun, kemudian Bengkulu 2-5 meter per tahun, serta Aceh 1 meter per tahun dan Kepulauan Riau 1,01 meter per tahun.
Menjual Tanah Hingga Menderita Sakit Kulit
Foto: Aktivitas Wardi, salah satu warga harus berganti mata pencaharian dengan membuat arang kayu setelah lahannya dibeli pemerintah untuk pembangunan PLTU Teluk Sepang 2x100 MW. (foto :Betty Herlina)
Wardi, kerap disapa Wak Wardi tampak terdiam saat ia mengenang kematian istrinya di rumah kecil d atas sepetak lahan yang sudah bukan lagi miliknya. Lahan tempat bercocok tanam sekaligus tempat tinggal itu sudah berganti pemilik.
"Istri saya meninggal di sana, kami sudah tinggal bertahun-tahun. Tapi karena program pemerintah (pembangunan PLTU, red), lahan itu kami lepas. Uang ganti rugi, jelas tidak cukup untuk membeli kebun baru. Pembayarannya saja dicicil sampai dua kali. Belakangan saya baru tahu kalau ternyata harganya jauh di bawah ketetapan gubernur,” kenang Wardi.
Praktis sejak sudah tidak memiliki lahan, Wardi harus mencari pekerjaan baru untuk menyokong kebutuhan sehari-harinya. Tak ada keahlian kecuali membuat arang dari kayu yang ia kumpulkan di sekitar hutan Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang- Pulau Baai di kawasan PLTU Teluk Sepang 2x100 MW.
Mimpinya tak muluk-muluk dari menjual arang setiap bulan cukup untuk makan saja. Ia sudah sangat bersyukur. Hanya ingin bertahan melewati hari-hari bersama anak laki-lakinya yang sudah putus sekolah, di rumah berlantai tanah tanpa penerangan listrik. Meski rumahnya berada di kawasan produsen listrik.
“Ya sekarang membuat arang saja. Sebulan bisa jual satu kali, karena proses pembuatannya cukup lama bisa sampai semingguan. Kadang gagal, arangnya habis karena lalai saat menjaga. Sekali jual bisa dapat kisaran Rp1,5 juta," lanjutnya.
Lain hal dituturkan Eva Pripesa. Hingga saat ini ia tidak tahu apa penyebab pasti penyakit kulit yang dialami anaknya dan anak-anak lain di sekitar Kelurahan Teluk Sepang. Tiba-tiba saja di bagian kaki dan tangan anaknya Geska muncul bintik-bintik yang mengandung air dan nanah.
“Sudah dibawa ke Puskesmas, tapi tidak sembuh-sembuh. Kalaupun sembuh sebentar nanti muncul lagi. Padahal dulu waktu kami masih tinggal di rumah lama tidak pernah anak saya sakit gatal-gatal seperti ini,” kata Eva yang baru beberapa tahun tinggal di kawasan Teluk Sepang.
Ia menduga penyebab penyakit gatal-gatal itu akibat air dan udara yang sudah tercemar di sekitar lokasi anak-anak bermain.
“Merata, anak-anak seusia Gaska pasti mengalami hal yang sama. Ya seperti inilah, kadang sampai dihampiri lalat, sembuh sebentar kemudian muncul lagi. Anaknya sepertinya juga sudah terbiasa,” keluhnya.
Sakit kulit gatal-gatal tak hanya dialami Gaska, namun juga dialami Kosidah. Ibu dua anak yang sesekali bekerja sebagai pembuka terpal truk pengangkut batubara. Ia mengalami bentol-bentol dibagian telapak tangannya. Bentol-bentol itu menimbulkan rasa gatal yang luar biasa.
“Apalagi kalau musim hujan tiba, kena gatal-gatal seperti ini rasanya tidak enak. Pernah diobati tapi muncul lagi, tidak tahu persis apa penyebabnya,” kata Kosidah.
Wardi, Epa Pripesa dan Kosidah, adalah warga yang mulai merasakan perubahan sejak berdirinya PLTU Teluk Sepang 2x100 MW. Tak jauh dari pemukiman mereka sekitar 1,8 km persis berdiri PLTU berkapasitas produksi 2x100 MW, investasi pemerintah Cina di bawah manajemen PT. Tenaga Listrik Bengkulu (TLB).
Foto: Lokasi kawasan TWA Pantai Panjang- Pulau Baai.
Foto: Limbah abu PLTU Teluk Sepang yang dibuang di kawasan TWA Pantai Panjang- Pulau Baai.
Koalisi Sumatera Terang Desak Pensiun Dini PLTU
Keluhan terkait dampak buruk beroperasinya PLTU batubara juga disampaikan Direktur Yayasan Srikandi Lestari, Sumiati Surbakti. Ia mengatakan sudah selayaknya semua PLTU yang berbahan bakar batubara ditutup.
Menurutnya, kerusakan lingkungan akibat kehadiran PLTU batubara memiliki efek domino, salah satunya menyebabkan kemiskinan pada masyarakat di tingkat tapak. Akibatnya masyarakat terpaksa masuk dalam lingkaran perbudakan modern.
Yayasan Srikandi Lestari, lanjut Sumiati Surbakti yang tergabung dalam Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) mendesak agar Presiden Republik Indonesia segera menghentikan PLTU batubara di Sumatera dan melakukan transisi ke energi bersih yang adil dan berkelanjutan. Serta Kementerian ESDM diharapkan dapat mengeluarkan atau membatalkan rencana proyek 4.000 Megawatt pembangkit berbasis batubara yang ada dalam RUPTL 2021-2030.
“Sudah saatnya Pemerintah segera memulihkan kerusakan lingkungan akibat tambang dan PLTU batubara dan memulihkan hak-hak korban proyek-proyek energi kotor di Sumatera dan Indonesia,”kata Sumi, panggilan akrabnya.
“Seperti di sekitar PLTU batubara Pangkalan Susu Sumatera Utara, banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian dari hasil melaut, hasil tanaman menyusut. Pensiun dini atau early retirement bagi PLTU batubara merupakan keputusan yang layak untuk segera direalisasikan juga merehabilitasi lingkungan pesisir yang hancur,” lanjut Sumi.
Serupa disampaikan Direktur Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, Muhammad Fahmi mengatakan bahwa tidak ada urgensi penambahan pendirian PLTU batubara seperti yang direncanakan akan dilakukan di Nagan Raya, karena saat ini status kelistrikan Aceh sudah surplus lebih 200 MW.
“Kalaupun alasannya untuk pencadangan, sesuai dengan arah pembangunan energi Indonesia saat ini, maka yang dibangun itu bukan PLTU, tapi energi yang berkelanjutan dan berkeadilan,” katanya.
Di Pekanbaru-Riau, Noval Setiawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru mengatakan PLTU Tenayan Raya memperparah pencemaran yang terjadi di Sungai Siak.
“Pemerintah harus melakukan langkah tepat untuk menyelamatkan Sungai Siak, salah satunya mulai memberhentikan aktivitas operasi PLTU Tenayan Raya dan beralih pada energi bersih dan berkeadilan,” katanya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Indira Suryani mengatakan sudah saatnya PLTU batubara Ombilin salah satu PLTU tertua di Indonesia dipensiunkan dan hak-hak masyarakat dipulihkan. PLTU Ombilin yang berdiri sejak 1996 sudah memberikan dampak buruk bagi kesehatan warga Sijantang Koto Kabupaten Sawah Lunto dan juga lingkungan di sekitar wilayah itu.
Emisi yang dihasilkan dan fly ash dan bottom ash atau abu beracun dari pembakaran batu bara yang merusak tubuh manusia dan lingkungan sudah saatnya dihentikan demi kemaslahatan orang banyak.
“Penutupan PLTU Ombilin wajib memulihkan kerusakan bagi tubuh warga dan lingkungan yang terdiri dari tanah, air dan kondisi udara Sijantang yang seringkali bercampur abu terbang pembakaran batu bara. PLTU Ombilin wajib diprioritaskan untuk dipensiunkan sesegera mungkin,” kata Indira.
Serupa dikatakan Direktur Jaringan Masyarakat Peduli Energi Bersih (JMPEB) Lampung, Heri Maryanto bahwa PLTU Tarahan dan PLTU Sebalang di Lampung dalam pengoperasian mengunakan batubara yang dikirim oleh PT Bukit Asam di Sumatera Selatan.
Hal ini menimbulkan masalah bagi masyarakat yang berada di sepanjang jalur lintasan yang dilewati. Mulai dari penyakit ispa dan gatal-gatal akibat terhisap debu batubara secara terus menerus dan menimbulkan penyakit kulit akibat pencemaran air.
“Berdampak juga pada perekonomian warga yang berada di lokasi tapak PLTU. Seperti nelayan yang hasil tangkapannya menurun bahkan tidak ada hasil karena dampak limbah air bahang (air sisa pengolahan batubara, red) yang menyebabkan meningkatnya suhu permukaan air laut sehingga menjadi penyebab rusaknya biota laut. Hal ini juga dialami oleh petani rumput laut yang hasil panennya terus menurun,” katanya.
Sementara di Kabupaten Lahat Sumatera Selatan, Ketua Yayasan Anak Padi, Sahwan mengatakan tambang batubara telah berkontribusi terhadap banjir di wilayah tersebut., Sahwan mengatakan diperkirakan hampir sepertiga hutan di Lahat sudah berubah menjadi tambang batubara.
“Izin tambang telah mengepung tiga kecamatan di Lahat yakni Merapi Barat, Merapi Timur dan Merapi Selatan. Bisa dibayangkan dampak lingkungannya seperti apa,” katanya.
Ketua Sumsel Bersih, Boni Bangun mengatakan listrik di Sumatera Selatan sudah surplus kurang lebih 1.052 MW, sehingga Gubernur Sumsel seharusnya mengkaji kembali proyek pembangunan PLTU mulut tambang di daerah itu yang penuh permasalahan mulai dari pembebasan lahan hingga kerusakan lingkungan.
“Jika mengacu pada program nasional transisi energi maka Sumsel harus mulai memasukan EBT pada rancangan pembangunan daerah bukan malah semakin rakus menghabiskan cadang batubara,” kata Boni.
Sementara di Provinsi Jambi, tambang batubara juga menuai masalah bagi rakyat. Direktur Lembaga Tiga beradik, Hardi Yuda mendesak Kementerian ESDM untuk mengatasi dampak tambang batu bara.
“Salah satunya masalah angkutan batubara yang sudah merenggut 112 nyawa akibat lakalantas dan kemacetan parah di jalur lintas Sarolangun-Kota Jambi,” katanya.
Batubara Penyumbang Emisi Terbesar
Sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi nasional sepanjang tahun 2020, yakni 55,6% persen. Ini disampaikan Peneliti Ekonomi Traction Energy Asia, Ramada Febrian. “Kontributor paling besar dari sektor energi, 48 persennya ya pembangkit listrik,” katanya.
Padahal, lanjut Ramada, kenaikan emisi yang terus terjadi dapat mempercepat pemanasan global dan berdampak dengan mencairnya es di kutub.
“Akibatnya permukaan air laut mengalami kenaikan dan ini jika terus terjadi dapat mengikis dan menenggelamkan daratan,” katanya.
Ramada menambahkan, untuk mengantisipasi hal tersebut percepatan transisi energi menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah. Yakni meninggalkan penggunaan batubara sebaga sumber energi dan beralih ke sumber energi terbarukan.
“Saat ini dari target bauran energi masih dari panas bumi dan air yakni PLTP dan PLTM banyak potensinya di Sumatera. Jika ingin potensi yang lebih besar lagi pada energi surya dan angin” katanya.
Hanya saja, kata Ramada penggunaan kedua sumber tersebut kurang diminati, karena masih intermiten. Dimana energi yang dihasilkan angin dan matahari tidak bisa tersedia secara terus-menerus. Solusinya disimpan menggunakan batre.
“Tantangannya saat ini bauran energi belum meningkat, karena posisinya energi kita masih surplus, lebih besar dari demand. Timelinenya bisa 10-20 tahun lagi, saat energi kita tidak surplus lagi. Saat itu mungkin sudah bisa menggunakan sisa batre dari mobil listrik sebagai tempat penyimpanan energi yang dihasilkan,” katanya.
Akademisi dari Universitas Bengkulu, Dr. Yansen mengatakan listrik menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia, dimana PLTU mendominasi pembangkit listrik dengan persentase mencapai 49,02%. PLTU tersebut menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Pembakaran batubara akan menghasilkan emisi CO2.
"PLTU dengan kapasitas 1 GW menghasilkan sekitar 5 juta ton CO2. Saat ini ada 253 PLTU di Indonesia dengan kapasitas bervariasi, dan biasanya ratusan MW. Jadi bisa dibayangkan berapa emisi yang dihasilkan. Mengutip dari dataindonesia.id, sepanjang tahun 2022 total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari komposisi BBM, gas dan batu bara mencapai 269 juta ton CO2, dimana 228,6 juta ton C02 dihasilkan dari pembakaran batubara," kata Yansen.
Apakah percepatan perubahan iklim yang dipicu PLTU juga dapat meningkatkan intensistas bencana alam, semisal banjir? Yansen mengatakan perlu dilihat secara komprehensif. Karena banjir disebabkan siklus hidrologi yang terdisrupsi, musim hujan tidak normal, air yang tidak tertampung badan air (dan ditambah tutupan vegetasi yang semakin berkurang,
"Terkait hubungan emisi karbon, perubahan iklim dan bencana mungkin tidak direct causality. Peningkatan emisi karbon secara akumulasi kemungkinan akan menyebabkan kenaikan suhu. Kenaikan suhu mungkin punya dampak beragam, misalnya pola hujan (intensitas,red), kekeringan dan lainnya," katanya.
Hanya saja, lanjut Yansen, aktivitas tambang batubara (untuk suplai PLTU,red) yang mengubah tutupan vegetasi dapat berdampak pada banjir. Perubahan tutupan ini tidak hanya dari tambang batu bara. Semua aktivitas yang mengubah tutupan vegetasi, apalagi secara masif maka mungkin menyebabkan banjir.
Terkait ancaman tenggelamnya Pulau Sumatera, Yansen membenarkan jika kenaikan muka air laut karena ada perubahan iklim akan menggerus daratan.
"Hanya saja jika terkait emisi karbon dan kenaikan temperatur, maka sifatnya akumulatif. Jadi, kita tidak bisa langsung mengatakan misalnya direct impact dari 33 PLTU tersebut. Namun 33 PLTU tersebut sudah memberikan andil besar pada peningkatan emisi karbon. Dimana secara akumulatif dengan emisi karbon dari sektor lainnya dapat menyebabkan kenaikan suhu dan muka air laut. Apalagi 33 PLTU tersebut membutuhkan suplai batubara yang secara langsung mengubah lansekap dan tutupan vegetasi," pungkas Yansen. (**)
Penulis: Betty Herlina/D02