- 15 Sep 2023 12:15 pm
- Editor: Nani Afrida
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarang
Oleh Nani Afrida
INDEPENDEN-- Pada Februari 2023 lalu ada kejadian yang cukup tragis. Seorang anak memukul ibunya karena hal yang juga sepele di Jakarta Selatan. Lelaki berinisial E (43) melakukan kekerasan pada ibunya hanya karena masalah gorengan tempe.
Diceritakan oleh pihak polisi kalau kejadian bermula saat anak pulang ke rumah membawa seplastik gorengan. Sang ibu PH (68) lalu meminta gorengan yang dibawa anaknya.
“Jangan banyak-banyak,” kata E pada ibunya.
Ibu E mengaku hanya mengambil empat gorengan tempe. Jawaban itu membuat E emosi dan menghantam kursi plastik ke dada ibunya hingga patah dan ibunya mengalami luka memar.
Korban kemudian ditolong tetangganya.
Ternyata insiden itu dilaporkan seseorang ke polisi yang langsung memanggil E. Pada Polisi E mengakui perbuatannya.
Kasus itu berakhir damai karena Ibu E memaafkan anaknya.
Juli 2023 lalu, masyarakat dikejutkan informasi tentang seorang suami yang membakar istri dan dua anaknya di Cakung Jakarta Timur. Kejadian itu dipicu rasa cemburu.
US (41) membakar istri W (38) dan dua anaknya I (15) dan K (13) karena hal yang sepele : cemburu akibat kelamaan menunggu istrinya pulang membawa lauk.
Berdasarkan cerita kerabat yang merawat korban, US curiga ketika hampir setengah jam istrinya tidak kembali. US lalu mengutus anak sulungnya I untuk menyusul. Si anak kembali dengan tangan hampa dan mendapatkan tamparan di pipinya karena US semakin marah.
Tak lama kemudian istrinya tiba di rumah. Si anak mengadu kalau ditampar oleh ayahnya. Tiba-tiba saja US sudah menyIstri dan kedua anak itu tiba-tiba disiram US dengan bensin dan dibakar.
Kejadian itu begitu cepat.
Warga di tempat US geger. Ketiga korban dapat diselamatkan dengan luka bakar 50 persen. Sementara US ditangkap polisi dan dijerat pasal UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dengan ancaman hukuman 12 tahun.
Beberapa hari yang lalu, publik kembali heboh. Seorang suami membunuh istrinya sendiri di depan dua anak balitanya. Korban yang sebelumnya pernah dibawa tetangganya melaporkan kasus KDRT suaminya ditemukan tak bernyawa di rumah kontrakannya di Cikarang Bekasi.
Sadisnya lagi mayat korban sudah dibersihkan dari darah dan dibaringkan di ranjang.
Suami korban diantar keluarganya menyerahkan diri ke polisi.
Angka kasus KDRT di Indonesia memang masih sangat tinggi. Kasus-kasus yang disebutkan di atas hanya yang kebetulan viral. Diduga masih banyak kasus kekerasan internal keluarga yang tenggelam tanpa sempat terekspos.
Hal ini justru ironis karena Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dan tahun depan, UU ini sudah berusia dua dekade!
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat sejak 1 Januari hingga 15 September 2023 ada 18.698 kasus, dengan 16.540 korban perempuan dan 3.816 korban laki-laki.
Kalau dibreakdown lagi, kasus dengan korban usia anak laki-laki adalah 2.973 dengan jumlah korban 3.454.
Sedangkan kasus dengan korban laki-laki dewasa ada 351 dengan jumlah korban 362 orang.
Dan kasus dengan korban perempuan 7.193 dengan jumlah korban 7.350
Data juga menunjukkan kasus dengan korban usia anak perempuan 8.519 dengan jumlah korban 9.190.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Eni Widiyanti mengatakan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan hanyalah puncak gunung es.
Hal itu dinyatakan Eni pada acara dialog dengan penyedia layanan pada Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diadakan oleh KemenPPPA dan Jalastoria Indonesia, baru-baru ini.
KemenPPPA yakin jumlah kasus KDRT yang terjadi sebenarnya jumlahnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan.
Kompleksitas Kasus KDRT
Komnas Perempuan menyebutkan kalau penyebab KDRT itu beragam, namun alasan yang paling mencolok yaitu masalah ekonomi, ketidaksetaraan peran antara lelaki dan perempuan, adanya perselingkuhan, dan faktor depresi.
KDRT ini tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi dianggap wajar karena bisa menimbulkan efek berkepanjangan bagi korban dan juga mereka yang menyaksikannya secara rutin, seperti anak-anak.
"Perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan (KDRT) cenderung berpikir untuk bunuh diri dan sebagian besar yang mempunyai keinginan tersebut, benar-benar mencoba untuk melakukan bunuh diri," kata Eni.
Eni tidak asal bicara. Pada April 2023 lalu, seorang ibu rumah tangga tewas diduga bunuh diri di Jembrana Bali. Polisi mengatakan jenazah korban sudah ditemukan tergantung di kusen pintu rumah oleh anaknya.
Menurut dokter, di tubuh mayat ditemukan bekas jeratan di leher di bagian depan, keluar cairan dari kemaluan, luka lebam di lengan kiri dan luka lebam pipi kiri dan kelopak mata kiri trauma benda tumpul.
Dari informasi yang dikumpulkan polisi, suami korban mengatakan korban sudah disuruh membayar cicilan ke finance namun belum dibayarkan. Suaminya kemudian menampar korban.
Eni juga menekankan kalau KDRT juga merupakan kekerasan warisan. Misalnya, anak menyaksikan ibu menjadi korban, atau anak dipukul keluarga sewaktu masih kecil maka tidak menutup kemungkinan ke depannya dia akan menjadi pelaku atau korban KDRT
Batu Sandungan Dalam UU PKDRT
Salah satu alasan mengapa kasus kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi adalah karena masyarakat masih menganggap KDRT itu urusan pribadi atau aib yang harus ditutupi.
“Korban enggan untuk melapor dan merasa bahwa tindak kekerasan yang dialaminya suatu aib yang tidak perlu diketahui orang lain,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPPA) DKI Jakarta Tri Palupi Diah Handayati.
Sebagai orang yang bergelut dengan banyak laporan KDRT di Jakarta Tri Palupi menginformasikan banyak mendapatkan laporan korban, namun seringkali laporan itu berhenti di tengah jalan karena korban mencabut laporan atau menghilang tanpa mau meneruskan laporannya.
“Hanya sedikit yang tertangani, yang lebih banyak justru mundur dari proses penyelesaian. Kemungkinan kasus itu berakhir damai,” kata Tri Palupi.
Tri Palupi juga menyebutkan kalau faktor lainnya adalah ketergantungan ekonomi korban KDRT kepada pelaku KDRT, sehingga banyak korban yang mau tak mau berpasrah atau malah mencabut laporannya demi tetap mendapatkan nafkah.
Di sisi lain, masih ada juga stigma dan kriminalisasi masyarakat kepada korban KDRT.
Sementara Siti Mazuma, koordinator nasional Forum Pengada Layanan (FPL), mengatakan korban enggan melapor kasus KDRT ke ranah pidana bukan saja karena aib tetapi juga kasusnya sering terabaikan di depan hukum.
Belum lagi kalau kasusnya itu dilaporkan balik oleh suaminya, sehingga kedua-duanya jadi tersangka.
Tambah Zuma – biasa dia disapa--, korban perempuan sering terabaikan aparat penegak hukum karena laporan dari suami lebih diperhatikan.
Publik tentu masih ingat berita viral tentang penanganan perkara kasus KDRT antara istri, PB dan suami BI di Depok. PB melaporkan suaminya ke polisi karena KDRT, dan suaminya juga melaporkan PB karena KDRT ke polisi.
Keduanya menjadi tersangka dalam perkara ini, namun yang ditahan polisi Depok malahan sang istri yang notabene korban dan sudah melapor duluan.
Kasus ini disoroti masyarakat karena terkesan aneh, hingga akhirnya Polda Metro Jaya mengambil alih kasus termasuk menangguhkan penahanan korban perempuan.
Zuma mengatakan bahwa penanganan yang dilakukan untuk korban lelaki dan perempuan sangat berbeda.
Dia menambahkan kasus KDRT pada perempuan juga cenderung berakhir damai atau perempuan mencabut tuntutannya demi keutuhan keluarga atau kasihan pada anak. Perempuan korban KDRT juga mengalami tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk mengampuni pelaku.
“Belum pernah saya mendapatkan kasus dimana korban KDRT laki-laki memaafkan pelaku KDRT perempuan dan kasus KDRT laki-laki selalu cepat diproses,” kata Zuma.
Forum Pengada Layanan (FPL) menerima laporan terbanyak dari lima provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur dan Yogyakarta.
“Jakarta itu lebih bagus secara data dan korbannya lebih berani bersuara,” kata Zuma.
Zuma menambahkan kalau kekerasan psikis mendominasi semua laporan, disusul dengan kekerasan fisik, penelantaran dan kekerasan seksual.
Menurut Zuma, tantangan implementasi UU PKDRT cukup banyak dan belum berubah dari tahun ke tahun. Misalnya soal penafsiran pasal 44 ayat 4 dimana menjelaskan tentang KDRT fisik yang dialami korban.
Pasal 44 ayat 4 yang dimaksud Zuma berbunyi :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan.
“Apa maksud dari tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pelerkaan jabatan atau mata pencaharian. Ini tidak jelas dan bisa ditafsirkan secara berbeda,” kata Zuma.
Tantangan implementasi selanjutnya dalam UU PKDRT adalah sulitnya UU ini diterapkan untuk pasangan yang menikah secara adat atau agama.
“Ketika menikah secara adat atau secara agama, apakah menggunakan UU PKDRT atau menggunakan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan?” ujar Zuma.
Tantangan lainnya adalah untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang kebetulan tidak tinggal di rumah itu tetapi mengalami kekerasan domestik. Zuma menganggap UU PKDRT berlum mengakomodir untuk kasus-kasus demikian.
Penafsiran pasal 9 terkait pemenelantarkan juga mengundang pertanyaan.
Pasal 9 itu berbunyi : Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
“Bagaimana dengan pasangan yang memberi nafkah tidak secara rutin? Misalnya bulan ini memberi nafkah, tetapi bulan besoknya tidak?” tanya Zuma.
Hal lain yang disorot FPL adalah alat bukti yang ternyata masih mengikuti aturan KUHP yang jelas mengabaikan UU PKDRT dan UU Pidana Kekerasan Seksual (UU PKS).
Namun dari semua tantangan itu Zuma mengingatkan satu hal yang sering dilupakan banyak orang yaitu pidana tambahan UU PKDRT soal konseling untuk pelaku sehingga mampu memanajemenkan hatinya sekaligus tidak mengulangi kesalahannya.
“Pelaku KDRT harusnya tidak hanya dapat pidana pokok tetapi juga pidana tambahan dalam bentuk konseling,” kata Zuma.
Korban enggan melapor kasus KDRT ke ranah pidana bukan saja karena aib tetapi juga kasusnya sering terabaikan di depan hukum.