Nikel Ditambang, Minat Sekolah Turun

Pabrik nikel PT Harita di Pulau Obi, Maluku Utara
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen -- Suasana masih gelap, adzan subuh baru selesai dikumandangkan. Suara air di dapur rumah sederhana itu berderu keras. Sanusi terbangun dan mulai memanggil kedua anaknya bersiap-siap sekolah, beberapa kali memanggil mereka belum terbangun.
Sanusi terlihat kesal, sebabnya sejak sekolah dipindahkan ke kawasan Eco Village, siswa SMP Swasta Loji Permai dan SMA Tunas Muda Kawasi terpaksa bangun subuh, karena bus yang mengantar mereka datang jam 05.30 WIT. Jika terlambat, siswa tidak akan mendapatkan kendaraan menuju sekolah. Sedangkan jarak dari rumah ke sekolah sekitar 3 km. Bangunan sekolah baru saja dipindahkan 17 Agustus 2023.
“Sangat tidak manusiawi dong pe (mereka punya) kalakuan (perilaku), kita (kami) orang tua yang tidak mampu seperti ini sangat kesulitan membangunkan anak-anak. Dulu waktu sekolah belum dipindahkan, anak-anak bangun pagi masih bisa ke sekolah karena jaraknya dekat, tapi sekarang anak-anak tidak bisa sekolah. Kasiang torang (kasihan kami) sebagai orang tua sangat menginginkan anak untuk dapatkan pendidikan secara layak," cetus Sanusi saat ditemui Malut Post Sabtu, (14/10). "Kalau seperti ini terus, di Kawasi akan sulit mendapatkan sarjana ke depannya. Sebabnya karena sekolah dipindahkan, akses menjadi sangat susah.”
Pemindahan lokasi sekolah yang dilakukan oleh PT. Harita Group pada Agustus lalu mendapatkan penolakan dari orang tua dan siswa. Kendati ditolak, perusahaan dan Dinas Pendidikan Halmahera Selatan tetap memaksa siswa dipindahkan. Dampaknya adalah banyak siswa enggan masuk sekolah, bahkan sebagian memilih untuk berhenti sekolah dan pindah ke tempat lain.
“Kita sebagai orang tua tidak akan memaksa anak-anak, kami takut ketika marah mengganggu psikologi. Miris sekali keadaan ini, awalnya sekolah biasa normal sejak dipindahkan siswa semua wajib bangun di waktu subuh. Sedangkan anak-anak kita biasanya bangun pukul 07.00 WIT,” ujarnya.
Warga minta PT. Harita Group dan guru yang memindahkan sekolah untuk bertanggung jawab. Jauh sebelum sekolah dipindahkan anak-anak di desa Kawasi masih rajin bersekolah, kini mereka nyaris tidak mau masuk sekolah.
Di lokasi sekolah lama, tepat di belakang SMA Tunas Muda dan SMP Swasta Loji Permai Kawasi tungku pembakaran nikel sulfat tegak berdiri. Ada cerobong asap PLTU yang berdiri kokoh, jaraknya diperkirakan 50 meter dari bangunan sekolah, sedangkan penampungan batubara untuk mendukung produksi nikel berjarak sekitar 5 meter dari sekolah. Ruangan hingga depan sekolah penuh dengan debu, ini menjadi alasan PT. Harita Group memindahkan sekolah karena dianggap sudah tidak sehat.
Sanusi menyebut tambang selain merusak hutan, juga telah membawa pengaruh mundurnya kualitas sumber daya manusia. Hal ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya minat siswa untuk melanjutkan studi lanjutan.
Sanusi mengaku, sebelum kedatangan industri tambang di Pulau Obi, walaupun makan dan minum
dari hasil nelayan dan bertani, warga masih bisa menyekolahkan anak hingga meraih gelar sarjana.
Namun kondisi yang dulu berubah ketika tambang datang dan merusak hutan dan laut mereka. Sumber penghasilan mulai surut, akibatnya menyekolahkan anak saja sangat susah.
“Tambang datang hutan kami dibabat habis, pendapatan kami menurun karena laut sudah tercemar, masa depan anak kami juga hancur,” ujar Sanusi dengan nada keras.
Sementara kondisi pendidikan lima tahun terakhir kain menurun. Penyebabnya adalah industri tambang mempengaruhi pola pikir anak maupun masyarakat. Ketika hutan dirusak sumber penghasilan warga di lingkar tambang mulai kecil, warga kesusahan menyekolahkan anak. Akibatnya anak usia 18 sampai 25 tahun mulai beralih menjadi buruh tambang untuk menopang ekonomi keluarga.
Abadan Nomor, warga sekaligus Imam Desa Kawasi, mengungkapkan kehadiran tambang di Obi telah merusak alam dan mempengaruhi pendidikan di Obi. Ia bercerita sebelum kehadiran tambang di Kawasi, warga setempat berlomba-lomba menyekolahkan anak. Tetapi beberapa tahun terakhir pendidikan di pulau Obi mulai memprihatinkan. Alasannya jumlah pendapatan warga dari hasil pertanian dan laut mulai menurun, sehingga banyak warga yang tidak bisa menyekolahkan anak karena kendala ekonomi.
Jauh sebelum kedatangan tambang, penghasilan warga Kawasi dari hasil laut dan pertanian masih
menjanjikan. Namun ketika hutan dibabat habis buldoser, laut dicemari limbah, penghasilan nelayan
dan petani ikut menurun.
Sebelum kedatangan tambang laut di kawasan Pulau Obi masih menghasilkan ikan yang melimpah,
nelayan cukup menjala ikan dan memancing di pesisir kampung, hasilnya sangat banyak. Sehari nelayan bisa mendapatkan ikan 5 kilo sampai 500 kilo, kadang hasil tangkapan bisa mencapai ton. Ikan itu dijual dengan harga per kilo berkisar Rp7.000 sampai Rp15.000 Jika dijumlahkan hasilnya bisa mencapai Rp3.500.000 satu kali melaut.
Situasi berubah ketika tambang datang dan mencemari laut di pesisir Kawasi. Dampaknya nelayan harus mencari ikan jauh dari pesisir. Tiga tahun terakhir hasil tangkapan nelayan nyaris tidak ada, bahkan ketika melaut pulang tangan kosong, kadang hanya dapat 1 sampai 10 ekor ikan. Pengaruhnya karena pesisir Kawasi sudah banyak lumpur, ikan mulai bergeser jauh.
“Sebelum ada tambang hasil laut dan pertanian bagus, torang olah kopra dan menjual hasil tangkapan
untuk sekolahkan anak, tapi sekarang perekonomian kami sudah surut, di laut ikan sudah kurang. Laut so penuh dengan pece (lumpur), di darat lahan pertanian kami sudah ditambang, jadi banyak orang pikir mau ke sekolah anak-anak bagaimana, torang penghasilan so kurang,” ungkapnya.
Tidak semua warga bisa menyekolahkan anaknya. Setiap tahun hanya sebagian warga yang menyekolahkan anak, itu pun dengan susah payah mencari biaya. Seperti Abadan yang menyekolahkan 3 anak di Yaman dari hasil perkebunan sayur.
“Saya tanam sayur, kase (kasih) sekolah anak-anak, torang ini batahang (kami ini bertahan) dengan hasil alam cuman alam so (sudah) rusak ini,” ungkap Abdan.
Awal kedatangan tambang pada tahun 2007 di Pulau Obi kesepakatan yang dibangun adalah perusahan akan memberikan bantuan untuk pendidikan, berupaya beasiswa kuliah bagi anak-anak warga Kawasi dan warga lainnya di Obi. Sayangnya itu hanya janji, tidak ada bantuan perusahaan yang diberikan kepada anak di Kawasi untuk melanjutkan studi.
“Awalnya ada kesepakatan perusahaan dan kami untuk kase sekolah torang pe ana (Kami punya anak-anak), kamari-kamari so trada (kesini-kesini sudah tidak ada). Kecuali bagi warga yang tidak melawan perusahaan, mereka diberikan beasiswa,” ujarnya.
Agustus lalu 232 siswa dipindahkan. Dari jumlah ini, 125 merupakan siswa SMP dan sisanya 107 siswa SMA Tunas Muda Kawasi.
Warga resah saat sekolah dipindahkan, alasannya karena siswa tidak dalam pengawasan, apalagi kondisi jalan menuju sekolah baru yang berlubang dapat menyebabkan kecelakaan.
Nurhayati Jumadi salah satu orang tua wali siswa memprotes pemindahan sekolah yang dilakukan PT. Harita Group karena tidak mendapatkan kesepakatan dari warga, dia menyesalkan tindakan pemindahan yang dihadiri langsung kepala dinas Halmahera Selatan Safiun Radjulan itu.
“Pemindahan ini kan belum disepakati warga sama siswa, tapi perusahan main pindahkan saja, dulu sekolah dibangun di kampung tanjung pen atas supaya anak-anak di sini tara keluar sekolah di luar, tapi dorang (mereka perusahaan) kasi pindah di eco village, saya pe anak so tara (anak saya sudah tidak) masuk sekolah, dia mau saya kase pinda (pindahkan) sekolah lain,” tuturnya.
Mulai beberapa tahun terakhir pendidikan warga Kawasi bukan semakin berkembang, justru mundur secara perlahan. Musababnya adalah sumber penghasilan warga sudah mulai digusur habis hingga pendapatan mulai berkurang. Sebelumnya kopra dan kayu menjadi komoditas utama untuk menopang ekonomi menyekolahkan anak.
“Torang (kami) di sini ada tambang tapi tara (tidak) sejahtera, kalau orang yang kerja di tambang bisa sekolahkan anak, tapi yang orang tua nelayan dan petani itu sulit menyekolahkan anak, “ cetusnya.
Pengaruhi Minat Sekolah
Setiap tahunnya ada 140 siswa yang lulus dari sekolah menengah atas (SMA) Negeri 6 Halmehera Selatan Laiwui Kecamatan Obi. Sedikitnya hanya ada 30 sampai 40 siswa dari 9 desa di lingkar tambang yang melanjutkan studi di perguruan tinggi. Sedangkan siswa yang melanjutkan studi pada setiap desa di pulau Obi hanya 4 sampai 5 orang. Diantara sembilan desa, tiga desa yang angka pendidikannya menurun setelah kedatangan dunia industri di Pulau Obi yakni Desa Kawasi, Desa Laiwui dan Desa Anggai.
“Dulu banyak yang punya minat sekolah, tapi ketika perusahan datang anak-anak kami sebagian mulai berpikir instan, kalau kuliah kemudian ujungnya masuk tambang lebih baik langsung masuk tambang saja, yang melanjutkan studi untuk wilayah Obi hanya anak perempuan itu pun angkanya berkisar 30 sampai 40 orang,”ujar Nurdin Abdullah kepala sekolah salah-satu SMA di Kecamatan Obi Halmahera Selatan.
Ia menyebut tiga tahun terakhir sumber daya manusia di lingkar tambang sedang terancam. Banyak
siswa yang lulus memilih masuk dunia industri ketimbang melanjutkan kuliah. Berbagai upaya dilakukan seperti sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada warga, hanya saja siswa masih dominan masuk dunia industri.
“Tambang memang sangat mempengaruhi pola pikir anak dan masyarakat di lingkar tambang, mereka lebih cenderung ke perusahan,” tuturnya.
Dia khawatir setelah industri nikel angkat kaki sumber daya manusia di Obi akan hancur. Karena itu, ia mulai memberikan edukasi pada warga untuk mendorong anak di Obi melanjutkan studi. Selama perusahaan beroperasi tidak ada bantuan yang diberikan untuk kemajuan pendidikan di lingkar tambang.
“Kalau alam sudah rusak, sumber daya manusia kita tidak kompeten, masa depan anak-anak Obi bagaimana,” ucapnya.
Dilansir dari Data Badan Pusat Statistik BPS Obi dalam angka 2023 tercatat ada 9 sekolah jenjang pertama yaitu sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 7 dan Madrasah Tsanawiah (MA) sebanyak 2 sekolah. Sementara 8 sekolah lainnya di kecamatan Obi yakni empat sekolah menengah atas (SMA) dan empat sekolah lainnya adalah kejuruan (SMK). Sedangkan angka kelulusan per tahun 100 lebih siswa. Dari jumlah yang lulusan hanya empat sampai lima siswa yang melanjutkan studi.
Di tengah situasi penurunan minat siswa untuk melanjutkan studi di lingkar tambang PT. Harita Group justru memindahkan sekolah di desa Kawasi, ini memperburuk situasi pendidikan. Siswa yang dahulu rajin ke sekolah mulai malas masuk sekolah.
Amanda Amalia siswa SMA Tunas Muda memprotes pemindahan sekolah, ia bilang setelah sekolah dipindahkan beberapa teman-temannya enggan sekolah. Mereka bahkan hanya sekolah 1 kali seminggu, kadang 2 minggu baru masuk sekolah.
“Banyak teman (teman) yang so (sudah) berhenti waktu sekolah dipindahkan, saya sendiri karena naik bis sering mabuk, jadi sudah seminggu lebih tidak sekolah,” kata Amanda dengan raut wajah sedih.
Dampaknya banyak siswa berhenti sekolah dan memilih menjadi buruh harian dengan upah Rp 150.000 per hari. Ia mengakui banyak teman-temannya yang bercita-cita menjadi aparat hingga melanjutkan studi, tetapi tidak seantusias dulu, kini banyak yang berhenti sekolah.
“Langsung berhenti sekolah, dorang (mereka) jadi buruh harian,” ucapnya dengan suara pelan. Siswa kelas 2 SMA itu ingin melanjutkan kuliah kesehatan. Keinginan itu perlahan mulai tergilas ekonomi keluarga yang surut. Tetapi tekadnya untuk melanjutkan studi masih ada.
Tidak hanya Amanda yang merasakan ini. Dirman Ladani dari Desa Anggai punya cita-cita
melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Hanya saja setelah dua tahun belakangan siswa yang duduk
di bangku SMA kelas 3 SMA Nurul Hasan Sambiki Kecamatan Obi itu mulai berubah pikiran untuk
masuk tambang. Setelah ia melihat banyak teman-temannya menjadi buruh tambang, dengan gaji 8
hingga 10 juta.
“Saya mau kuliah sebenarnya, tapi begitulah. Banyak teman-teman setelah lulus langsung masuk
tambang jadi saya juga sudah berubah pikiran,” ceritanya.
Selain itu, tokoh pemuda Obi, Budi juga mengakui bahwa tambang telah membawa pengaruh dalam kehidupan sosial warga Obi. Banyak anak usia produktif yang memilih jalan menjadi buruh tambang. Padahal sebelum kehadiran industri ini, warga di pulau Obi masih memperhatikan pendidikan anak.
“Angka pendidikan 5 tahun terakhir memang minim, tambang memang sangat mempengaruhi
pola pikir warga kami,” kata Budi.
Menurutnya, faktor utama warga enggan menyekolahkan anak karena sumber ekonomi yang
berasal dari pertanian dan perikanan mulai berkurang. Warga Laiwui itu menduga ada pengaruh
penggunaan tenaga pembangkit listrik batubara terhadap pertanian hingga banyak hasil alam yang
terserang hama dan tidak berbuah. Kehadiran tambang justru tidak membawa dampak bagi warga pulau Obi.
“Kita hanya dapat imbasnya saja, tidak ada bantuan apapun dari tambang,” jelasnya.
Sementara Ketua Gerakan Mahasiswa Obi (GPMO) Jumayu Aliman membenarkan jumlah
mahasiswa Obi yang berkurang dari tahun ke tahun. Dia menyebut dalam catatan GPMO ada 153
mahasiswa Obi dari 39 desa yang berkuliah di Ternate. Namun dari jumlah itu terhitung sejak enam tahun terakhir, dalam setahun setiap desa di pulau Obi hanya 1 sampai 2 orang melanjutkan studi.
“Tingkat lanjut anak di Obi semakin kurang, semenjak masuknya tambang di Obi,” katanya.
Mulai tahun 2020 ia melihat ada penurunan minat jumlah mahasiswa dari Obi. Tambang tidak
hanya mempengaruhi anak namun ikut mempengaruhi orang tua untuk tidak menyekolahkan anak.
Mahasiswa asal Obi itu bilang, tidak semua warga Obi bisa menikmati berbagai fasilitas, mereka justru
kesusahan mengakses pendidikan lanjutan, padahal sumber daya alam yang dikeruk oleh perusahaan
tambang PT. Harita Group sangat besar, nyatanya warga dan generasi Obi hanya merasakan dampak
buruknya.
“Sejauh saya kuliah tidak ada mahasiswa Obi yang mendapatkan bantuan, mungkin yang lain diberikan, yang paling mengesalkan adalah alam kita dirusak,” cetus mahasiswa yang baru menyelesaikan wisuda pada September lalu.
Tambang telah merusak segala kehidupan sosial masyarakat yang bergantung dengan alam, hingga
perlahan tergantung dengan industri yang dibangunya. Doni adalah salah satu siswa yang mulai putus sekolah sejak SMP pada medio 2018, ia memilih berhenti sekolah karena kondisi ekonomi keluarga,
hingga dia kemudian menjadi pengangkut pasir, bahkan pernah menjadi buruh pelabuhan.
Sejak tahun 2019 anak kelahiran Kawasi ini masuk menjadi buruh harian di PT. Mega Surya Pertiwi dengan upah Rp 150.000 per hari. Hal ini dilakukan untuk membantu orang tua yang sumber penghasilan nya mulai menurun.
“Guru berulang kali datang ke rumah, tapi saya tidak menggubrisnya, di tengah ekonomi keluarga
yang mulai tidak menentu saya akhirnya memilih untuk bekerja serabutan,” akunya.
Tahun 2023 ia menerima kontrak sebagai karyawan tetap di salah satu anak perusahaan Harita
Group tersebut. Tidak hanya dia yang putus sekolah dan memilih masuk tambang, namun banyak
teman sebayanya juga mulai banting stir untuk menjadi buruh tambang, alasan sederhananya adalah
karena untuk membantu orang tua.
“Masuk tambang untuk bantu orang tua, kedatangan tambang memang pengaruh anak muda, banyak lebih memilih masuk perusahaan,” jelasnya.
Akademisi Unkhair Dr. Mukhtar Adam mengatakan, faktor yang mempengaruhi menurunnya angka pendidikan di lingkar tambang dikarenakan sumber ekonomi yang berasal dari hutan mulai dikapling habis oleh industri tambang sehingga sumber pendapatan masyarakat mulai menurun. Dalam setiap tahun PT. Harita Group mengambil hasil yang begitu besar namun bagi warga pulau Obi sendiri tidak mendapatkan apa-apa.
“Mereka kehilangan tanah, mereka kehilangan mata pencaharian, kalau dulu tanah menjadi warisan bagi anak nya sekarang mereka mewarisi generasi buruh, akibatnya kualitas manusia rendah,” ujarnya saat ditemui Malut Post, Minggu (22/10).
Menurutnya anak-anak Obi seharusnya mendapatkan pendidikan secara layak melalui bantuan perusahan. Ia juga menyesalkan tindakan pemindahan sekolah yang dilakukan oleh PT. Harita Group tanpa mempertimbangkan kesepakatan dari warga, padahal seharusnya proses pemindahan sekolah berdasarkan kondisi psikologi anak.
“Kalau kalian sudah rampas tanah mereka, jangan pindahkan sekolahnya, kalau gedung sudah
kalian pindahkan itu sudah membunuh mereka secara perlahan,” tutur akademisi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Unkhair ini.
Seharusnya anak-anak Pulau Obi bisa mendapatkan pendidikan secara layak, namun sejak awal
reformasi hingga saat ini, warga Pulau Obi masih kekurangan dalam mengakses fasilitas pendidikan. Ia mengaku sejak didirikan Provinsi Malut hingga saat ini Obi masih kekurangan guru bahkan banyak
guru honorer yang upahnya tidak dibayar maksimal.
“Apa susahnya membangun mereka di atas tanah sendiri? Atas nama negara, mereka perusahan
merampas hak anak-anak di Kawasi dan seluruh Obi,” tegasnya.
Malut Post mengkonfirmasi masalah pemindahan sekolah dan angka pendidikan di pulau Obi pada Ikbal Hajiji, Kepala Dinas Pendidikan Halmahera Selatan yang baru (16 Oktober 2023). Sayangnya ia mengaku belum mengetahui masalah pemindahan sekolah dan tidak memiliki data mengenai angka pendidikan yang semakin surut di lingkar tambang. Namun dia bilang mengenai pemindahan sekolah di Kawasi adalah hasil pertemuan kepala dinas lama dan warga.
Sedangkan kepala dinas lama Safiun Radjulan baru diganti pada 9 Oktober 2023, dan diangkat menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Halmahera Selatan. Sementara pemindahan sekolah merupakan program PT. Harita Group yang melibatkan dinas pendidikan.
“Hal yang menyangkut dengan pemindahan sekolah saya belum tahu. Karena itu adalah ranahnya
mantan kepala dinas pendidikan lama. Kemudian mengenai angka pendidikan saya belum lihat datanya. Mungkin dalam waktu dekat kami akan adakan pertemuan mengenai ini,” katanya.
Harita Group merupakan salah satu perusahan yang memproduksi nikel terbesar di Indonesia mulai
masuk sejak 2007 di pulau Obi melalui izin Bupati Halmahera Selatan Muhammad Kasuba dengan konsesi seluas 5. 524 hektar.
Tahun 2008 tambang ini mulai menambang nikel di pulau Obi melalui izin Menteri Kehutanan
waktu itu MS Kaban yang memberi izin pinjaman pakai dan pemanfaatan kawasan hutan (IPPKH)
untuk eksploitasi tambang nikel kepada PT. Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT. Gane Permai
Sentosa (GPS).
Sementara tiga perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan Harita Group adalah untuk menunjang kelancaran pabrik smelter biji nikel yakni PT. Mega Surya Pertiwi (MSP), PT. Halmahera Persada Lygend (HPL), PT. Halmahera Jaya Forenikel (HJF).
Perusahaan raksasa dibawa naungan keluarga konglomerat Lim Gunawan Hariyanto ini salah satu industri tambang nikel yang diberi mandat Presiden Joko Widodo untuk hilirisasi nikel dan membangun pabrik produksi bahan baku baterai. Perusahan ini mengelola bahan baku kendaraan listrik terbesar di Indonesia dan dunia, bahkan mengolah nikel kadar rendah melalui hidormetalurgi untuk bahan baku mobil listrik.
Berdasarkan surat permohonan tertanggal 16 Juli 2021 bernomor 181/TBP/VII/2021. Dalam surat
ini menyebutkan jumlah pembangunan kawasan industri seluas 14.858,29 hektar, terdiri atas hutan
produksi 9.839,04 hektar, hutan produksi dapat dikonversi (HPK) 4.058,45 hektar, areal penggunaan
lain (APL) 601 hektar dan tubuh air 395,29 hektar.
Pulau Obi berada paling selatan di Maluku Utara berbatasan langsung dengan laut Banda Maluku,
pulau ini juga dikenal dengan tanah Obira salah satu pulau terbesar dengan luas 3.048 km2 di
wilayah Kabupaten Halmahera Selatan. Pulau penghasil bahan baku baterai ini juga dikelilingi
pulau-pulau kecil seperti pulau Obilatu, pulau Bisa, pulau GataGata, pulau Latu, pulau Woka,
dan pulau Tomini. Saat ini Pulau kecil ini sedang dalam ancaman industri nikel. Untuk akses menuju
pulau ini bisa menggunakan kapal dan speedboat.
Dikutip dari laporan keberlanjutan PT. Trimegah Bangun Persada (TBP) Harita Group 2022 menyebut
ada bantuan pendidikan dengan mendanai siswa lokal yang kurang mampu secara finansial. Kemudian pada tahun 2022, Perusahaan memberikan insentif untuk 58 guru tambahan, mendukung peningkatan infrastruktur sekolah di Kawasi termasuk fasilitas pembelajaran, mendukung magang siswa, dan memberikan bantuan pembelajaran untuk 6 sekolah di Kawasi.
Sedangkan bantuan beasiswa bagi siswa di Obi yang melanjuti studi, Harita mengklaim ada bantuan beasiswa Obi Gemilang kepada siswa. Beasiswa ini merupakan kerja sama dengan dinas pendidikan dan Universitas setempat. Namun belum diketahui berapa jumlah beasiswa yang diberikan Harita Group dan pada kampus lokal di Malut mana.
Rabu (25/10) Malut Post mengkonfimasi Harita Group melalui via Whatsapp mengenai masalah menurunnya minat melanjutkan studi dan pemindahan sekolah namun tidak ada satu pun pertanyaan yang diajukan direspon oleh Humas Harita Group.
Penulis: Fadli Kayoa/D02
Berita ini pertama kali tayang di koran Maluku Post, Selasa 7 November 2023. Dan dipublikasi ulang di Independen.id, dengan beberapa editing minor tanpa mengubah isi berita.