- 25 Nov 2019 10:50 am
- Editor: Bayu
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen --- Industri fintech peer to peer lending (P2P) di Indonesia terus berkembang. Kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menunjukkan bahwa berdasarkan kinerja industri P2P lending per-Juni 2019, fintech P2P lending telah memberikan kontribusi sebesar Rp 60 tiriliun atau setara dengan 4,5 miliar dolar AS terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Perkembangan performa fintech juga bisa dilihat dari dari data OJK mengenai Perkembangan Fintech Lending (Pendanaan Gotong Royong Online). Pada periode September 2019, akumulasi realisasi pinjaman yang telah disalurkan oleh fintech P2P lending pada September 2019 sebesar 60,41 triliun. Nilai ini tumbuh 166,51% secara year to date (ytd) dari posisi akhir Desember 2018 sebesar 22,66 triliun. Penyaluran outstanding pinjaman P2P lending ini mencapai Rp 10,18 triliun. Nilai ini tumbuh 101,83 (ytd) dibandingkan outstanding per-Desember 2018 di posisi Rp 5,04 triliun.
Pinjaman berasal dari dana lender atau pemberi pinjaman yang terus meningkat. Hingga September 2019, jumlah akumulasi rekening lender sebanyak 558.766 rekening. Entitas tersebut naik 169,28% (ytd) ketimbang posisi akhir tahun 2018 sebanyak 207.507 rekening. Untuk kategori usia, sebesar 69,84% lender berasal dari kelompok usia 19-34 tahun, 26,72% dari usia 35-54 tahun, 2,21% dari usia lebih dari 54 tahun, dan 1,23% dari usia kurang dari 19 tahun.
Begitu juga dengan penerima pinjaman atau borrower yang semakin meluas. Pada September 2019, pinjaman disalurkan kepada 14.359.918 rekening. Nilainya tumbuh 229,40% (ytd) dari pinjaman yang disalurkan kepada 4.359.448 rekening borrower pada Desember 2018. Peminjam ini berasal dari kelompok usia 19-34 tahun sebesar 70,65%, usia 35-54 tahun sebesar 27,84%, usia lebih dari 54 tahun sebesar 1,17%, dan usia kurang dari 19 tahun sebesar 0,34%.
Berdasar karakteristik usia pengguna fintech lending terlihat bahwa jumlah pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower) terbesar berkutat di satu kelompok generasi yang sama: milenial.
Kesadaran berinvestasi di kalangan milenial memang meningkat sepanjang tahun 2019. Sebabnya, pemerintah sedang menggenjot kebiasaan berinvestasi di kelompok generasi ini.
“Investor milenial akan menjadi tulang punggung pasar modal dan pasar keuangan Indonesia karena jumlah milenial akan mendominasi di masa depan,” kata Luky Alfirman, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan dalam wawancaranya di koran Kompas (7/10/2019).
Pertumbuhan positif fintech P2P lending turut mendorong perhatian besar terhadap potensi sektor syariah. Secara populasi, pasar Indonesia memang prospektif untuk pertumbuhan industri fintech syariah. Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar dunia. Data yang dilansir oleh The Pew Forum on Religion and Public Life, penganut agama Islam di Indonesia sebesar 209,1 juta jiwa atau 87,2 % dari total jumlah penduduk sebesar 261,8 juta jiwa.
Selain itu, kehidupan masyarakat muslim Indonesia kini mulai bergeser dengan adanya fenomena perubahan gaya hidup hijrah. Beberapa tahun belakangan, gerakan berhijrah semakin populer dan menjadi tren di kalangan muda termasuk para artis di tanah air. Tahun 2018 lalu, sebuah acara “Hijrah Fest” bahkan berhasil meraih atensi generasi milenial yang ingin menerapkan gaya hidup syariah dengan cara kekinian. Hijrah menjadi sebuah identitas baru muslim milenial.
Mustolih Siradj, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengafirmasi hal ini. Ia berpendapat tren hijrah yang terjadi belakangan ini meningkatkan animo seorang muslim untuk mengonsumsi segala sesuatu yang berlabel “syariah”. Mustolih berasumsi fenomena tersebut akan memengaruhi potensi pasar fintech syariah di Indonesia.
“Pangsa pasarnya masih sangat besar sehingga peluangnya di sektor fintech syariah ini masih sangat luas,” jawab Mustolih saat dihubungi via telepon oleh Independen.id (30/10/2019).
Namun, jika melihat kemunculan industri fintech sejak 4 tahun lalu hingga hari ini, tingkat penetrasi fintech syariah masih jauh timpang dengan fintech konvensional. Data Otoritas Jasa Keuangan per-September 2019 menunjukkan total penyelenggara fintech terdaftar/berizin berjumlah 127 perusahaan terdiri dari 119 fintech konvensional dan 8 fintech syariah. Lantas, hanya ada 13 entitas fintech yang sudah mendapatkan izin penuh dari regulator.
Saat ditanya mengenai data tersebut, Mustolih berpendapat kesenjangan penetrasi bisa terjadi karena berbagai faktor seperti teknis pengelolaan, pemasaran, dan infrastruktur hukum yang mendukung kelancaran fintech syariah.
Minimnya infrastruktur hukum menjadi persoalan tersendiri. Sejauh ini, aturan tentang peer to peer lending yang sudah ada seperti POJK 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi diyakini belum mencukupi. Belum ada peraturan khusus yang membahas syariah.
Persoalan ini dimaklumi oleh Widji Tri Kusuma Adhi, Chief Operation Officer PT Ammana Fintek Syariah, fintech syariah pertama di Indonesia yang berdiri pada 22 Desember 2017. Menurutnya, ketiadaan regulasi terjadi karena industri fintech syariah lebih dulu muncul dibandingkan kebijakan yang harus menaunginya.
“POJK yang ada belum mengatur syariah. Bagaimana dia memahami organisasi struktur fintech syariah juga belum ada, semuanya masih tataran bunga. Itu yang memang kita bersama asosiasi coba ingatkan dan beri masukan kepada regulator,” jelasnya pada Independen.id saat ditemui di kantor Ammana, Mampang, Jakarta Selatan (6/11/2019).
Ronald Yusuf Wijaya, Ketua Asosiasi Fintech Syariah Indonesia angkat bicara. Ia menyebut bahwa ketiadaan regulasi yang secara spesifik menaungi fintech syariah akan berpengaruh terhadap kelancaran proses layanan. Ia meminta agar Otoritas Jasa Keuangan segera merespon dan mempertimbangkan keberadaan fintech syariah.
“Sejauh ini teman-teman pelaku fintech syariah jadi lebih condong ke POJK No.13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan karena dianggap lebih menampung kebutuhan,” ucap Ronald melalui telepon pada Independen.id (8/11/2019)
Ia pun menambahkan sembari menunggu kelengkapan infrastruktur hukum dibentuk, para pelaku fintech syariah sebaiknya tetap berjalan seperti biasa.
“Kalau menunggu terus, ga jalan-jalan, nanti makin ketinggalan,” ujarnya.
Nyatanya, kondisi tersebut toh tidak menyurutkan niat pelaku industri fintech untuk tetap mengembangkan usahanya ke sektor syariah. Aria Widyanto, Chief Risk and Sustainability Officer PT Amartha Mikro Fintech mengatakan bahwa meski fitur produk syariah dan konvensional tidak terlalu berbeda, tetapi permintaan spesifik untuk produk syariah tetap saja ada. Sepengamatannya, produk syariah lebih tertumpu pada “branding” yang menyasar psikologi konsumen.
“Seperti kami (Amartha), izinnya dari OJK itu konvensional, tetapi secara teknis sebenarnya kami menjalankan prinsip yang compliance (sesuai) dengan konsep syariah. Baik itu pendampingan, assessment-nya, tapi ya orang tetap tanya juga kenapa gak keluarin produk syariah?” ucapnya pada Independen.id (2/10/2019).
Sejauh ini, Amartha fokus memberikan pinjaman mikro kepada perempuan desa. Performa Amartha terus menanjak. Hingga September 2019, PT Amartha Mikro Fintech telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 1,36 triliun dari 80.000 pemberi pinjaman (lender) kepada 287.266 perempuan pelaku usaha mikro (borrower) yang berada di 4.100 desa. September lalu, Amartha telah mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional MUI dan berencana meluncurkan produk syariah.
“Kalau saya lihat segmen ibu-ibu di desa, mereka gak terlalu konsen dengan syariah, karena yang mereka peduli itu adalah peminjaman yang cepat, murah dan mudah. Yang sebenarnya lebih konsisten untuk syariah atau gak syariah itu dari sisi lender-nya, dari anak kota. Saya rasa itu yg membedakan,” jelasnya. (Marina)
Lanjut : Syariah, Mengejar Berkah