- 24 May 2022 07:35 am
- Editor:
- Penulis: Bayu
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangIndependen -- Sebelum pandemi Covid-19, Indonesia sudah mempunyai masalah dengan gizi anak dan remaja yaitu stunting, washing dan obesitas. Ketika pandemi Covid-19 melanda, masalah gizi anak dan remaja makin parah karena adanya keterbatasan-keterbatasan.
Demikian pokok bahasan dalam webinar Gizi dan Pemberitaan Anak di Masa Pandemi di bulan Agustus 2021 lalu. Hadir sebagai narasumber dalam webinar ini Sri Sukotjo (spesialis gizi UNICEF Indonesia), Tan Shot Yen (dokter dan ahli gizi masyarakat), Mahmud Fauzi (Direktorat Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan) dan Heru Margianto (redaktur pelaksana Kompas.com).
Tahun 2020, UNICEF melakukan survei U-Report Poll, hasilnya lebih dari sepertiga remaja (yang mengikuti survei) melaporkan variasi makanannya berkurang dari sebelum pandemi, karena masalah finansial dan kenaikan harga pangan. Dan hampir dari setengah remaja (peserta survei) menyebutkan tidak atau makan lebih sedikit konsumsi buah dan sayur. Kemudian lebih dari setengah remaja mengurangi atau tidak melakukan aktivitas fisik selama pandemi. Dari 3 indikasi ini menunjukkan potensi permasalahan gizi, terutama di usia remaja.
Masih hasil survei yang sama, terungkap bahwa dari sisi anggaran, lebih dari tiga per empat Dinas Kesehatan yang mengalihkan anggaran gizi untuk penanganan Covid-19. Demikian juga pengelolaan tenaga kesehtan, mereka yang tadinya menangani gizi, hampir 80% dialihkan untuk penanganan Covid-19.
Fakta lain menunjukkan hanya sepertiga anak usia 0-23 bulan yang mendapatkan penimbangan pada periode Maret- Juni 2020. Dan kurang dari setengah (47%) dari para ibu yang mendapatkan konseling.
Data yang ada, ketiga masalah gizi di Indonesia masih cukup tinggi. Seperti persoalan stunting masih 30,8%, washing (kurus) 10,2% dan overweight/obesitas sebesar 8%
Sementara itu pola makan masyarakat juga mempengaruhi kondisi gizi. Saat ini banyak makanan yang melalui ultra proses (makanan kemasan) namun justru menjadi konsumsi harian. Padahal makanan ultra proses ini menjadi pintu masuk obesitas dan gangguan gizi pada anak-anak dan remaja. Bahkan menjadi pencetus penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertesi dan sindroma metabolik.
Untuk menjelaskan apa makanan ultra proses, pada dasarnya makanan berdasarkan proses pengolahannya dapat dibagi menjadi 4 kategori. Pertama makanan yang tidak diproses/minimal proses, contohnya sayuran, buah-buahan, telur, daging/ikan segar atau beku. Kategori kedua adalah bahan makan terproses seperti gula, minyak goreng, garam. Ketiga adalah pangan proses yaitu produk kalengan (sarden, daging diasinkan. Dan terakhir adalah produk ultra proses, contohnya minuman ringan, nugget, camilan kemasan.
Problem dari produk ultra proses ini adalah kandungan gula, garm dan lemak yang berlebihan. Sebagai contoh kandungan gula di sebuah produk susu kotak sebesar 15 gram dan sebuah jus kemasan mencapai 23 gram. Idealnya dalam sehari, manusia konsumsi 50 gram gula (Kementerian Kesehatan) yang sebenarnya kandungan gula ini sudah ada di makanan harian seperti nasi. Jika seseorang meminum 2 jus kemasan yang total berarti 46 gram, maka bisa diduga akan mengalami kelebihan gula, yang juga didapat dari bahan makanan harian.
Untuk mengatasi permasalahan gizi, terutama di masa pandemi Covid-19, pemerintah melakukan beberapa intervensi dan program. Secara umum, berdasarkan RPJMN 2020-2024, perbaikan gizi masyarakat dilakukan dengan 4 cara: perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai gizi berimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu layanan gizi dan peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Untuk mengatasi kendala di masa pandemi Covid-19, pemerintah melakukan modifikasi pelayanan gizi. Beberapa di antaranya adalah membuat grup sosial media, pencatatan dan pelaporan pelayanan gizi, menyebar buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) sebagai alat edukasi, melakukan kunjungan rumah bagi sasaran berisiko seperti ibu hamil dan balita, konseling melalui media virtual dan melakukan edukasi masyarakat melalui berbagai media komunikasi.
Terkait dengan edukasi masyarakat, maka ada peran dan harapan khusus pada media, agar dapat membantu memberi informasi yang mudah dimengerti dan berbasis bukti. Terutama untuk isu-isu pemberian makan bayi dan anak dan gizi seimbang. Media juga bisa menjadi penyaring hoaks kesehatan yang banyak beredar. Mengedepankan jurnalisme positif untuk membangun optimisme publik melewati masa-masa sulit di pandemi Covid-19.