- 8 Sep 2023 08:46 am
- Editor: Betty Herlina
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangOleh : Tim Independen.id
Independen- Suasana panik, takut dan mencekam menyelimuti Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (07/09/2023). Pulau yang berada sekitar 2,5 km sebelah tenggara Batam dan berbatasan dengan Singapura serta Johor tersebut, mendadak pecah oleh kerusuhan.
Perempuan dan anak-anak berlarian tunggang langgang. Masing-masing harus mengamankan diri agar tidak menjadi korban bentrok ataupun peluru nyasar. Aktivitas belajar dan mengajar di salah satu SD Negeri di Pulau Rempang mendadak terhenti. Siswa-siswa berhamburan keluar kelas, dengan raut wajah pucat dan tangis.
Beberapa orang guru terlihat mengatur proses kepulangan, dan mencoba menenangkan siswa. Ada pula orang tua yang turut menjemput dan menggendongkan anaknya.
“Keluar dulu,”
“Ke rumah warga dulu, ke rumah masyarakat dulu”
“Dek sana dek, sana dek”
Siswa dan guru setempat diminta pihak keamanan untuk bergegas pulang, meninggalkan jam pelajaran sekolah, untuk berlindung di rumah atau ke mencari tempat yang lebih aman.
Sementara itu, di halaman sekolah, kepulan asap mulai menyeruak. Bunyi-bunyian hentakan terdengar memekakan telinga. Aparat kepolisian mulai menembakan gas air mata. Beberapa siswa terpaksa digendong karena pingsan.
“Tembak aja anak-anak ini semua. Ini kan harapan bangsa, masa ini anak sekolah semua, sampai ada yang pingsan,” ungkap seorang ibu-ibu sambil memapah seorang anak perempuan yang masih mengenakan seragam sekolah.
Suasana mencekam tersebut terekam dalam video singkat yang beredar di platform instagram yang diunggah akun @lbhpekanbaru.
**
Hari itu, bentrokan tak terelakan pecah, antara 1.000 aparat gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam, serta Satpol PP Pulau Rempang dan masyarakat setempat.Kericuhan dipicu lantaran aparat ingin melakukan pematokan dan pengukuran tanah sebagai proses kelanjutan pengembangan kawasan ekonomi baru Rempang Eco City.
Upaya penolakan berujung dengan penangkapan 6 orang warga oleh aparat. Tak hanya itu sejumlah warga juga mengalami luka-luka akibat bentrokan tersebut.
Proyek Rempang Eco City diketahui merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023. Sesuai dengan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Menko Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto, secara resmi telah mengesahkan dan menandatangani peraturan tersebut pada 28 Agustus 2023 lalu di Jakarta.
Rempang Eco City, merupakan megaproyek pariwisata Indonesia yang sudah digagas sejak tahun 2004. Setelah tertunda selama 18 tahun, akhir April lalu kawasan tersebut diresmikan sebagai kawasan industri.
Dalam proses penggarapannya, dikelola bersama antara PT Makmur Elok Graha (MEG) anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata, bersama Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dipimpin Muhammad Rudi, mantan perwira polisi yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Batam.
Pulau Rempang disiapkan sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata yang terintegrasi demi mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia. Nilai investasi Rempang Eco City ditaksir mencapai Rp 381 triliun hingga tahun 2080.
Pemerintah menargetkan, pengembangan Kawasan Rempang Eco-City dapat menyerap lebih kurang 306.000 tenaga kerja hingga tahun 2080 mendatang.
**
Sebelum pecahnya kerusuhan, Kamis (07/09/2023), aksi penolakan sudah beberapa kali digelar warga setempat. Seperti yang disampaikan Tommy Yandra, perwakilan Aliansi Pemuda Melayu Kepri.
Ia bahkan mengaku, sejumlah warga juga sudah mendapatkan intimidasi dan teror dari aparat atas penolakan relokasi warga Rempang dan Galang. Intimidasi tersebut dilakukan dalam bentuk tudingan-tudingan pengerusakan karang seperti yang dialami Ketua Keramat (Kerukunan Masyarakat Adat).
“Kerusuhan ini adalah puncaknya, sebelumnya sudah ada teror, bukan hanya sekali dua kali,” katanya.
Tommy mengatakan, ia bersama warga setempat menolak segala bentuk relokasi dan upaya penguasahaan lahan yang dilakukan pihak pengembang Eco City, karena hal tersebut bertentangan dengan konstitusi, mengabaikan hak masyarakat adat yang sudah menempati tanah tersebut sejak tahun 1834.
Untuk diketahui, Pulau Rempang tadinya merupakan kawasan tinggal bagi salah satu komunitas adat, yang dikenal dengan sebutan Orang Darat (Orang Benoea). Mereka merupakan pendudukan asli Kota Batam yang direlokasi ke Rempang akibat pengembangan Kota Batam di tahun 1973.
Menurut catatan sumber Belanda, abad ke-19, Orang Darat sudah mendiami wilayah Pulau Batam dan Rempang. Masyarakat Melayu menyebut mereka dengan istilah Orang atau Suku Hutan karena dulunya tinggal di hutan belantara Pulau Rempang, Batam.
Tak jauh berbeda dengan yang disampaikan Akmaludin Din. Ia mengatakan aksi penggusuran yang dilakukan pemerintah dengan tujuan investasi bukan pertama kali terjadi di Batam. Sebelumnya, awal Juli lalu, pemerintah juga menggusur paksa masyarakat adat yang menempati Tangki Seribu, Batuampar, Batam, Kepulauan Riau. Menyusul penggusuran di kawasan pantai Dangas, Sekupang.
“Di Barelang ini sudah beberapa kali akan dilakukan pematokan, hanya yang kami sayangkan, harusnya kami dilibatkan dalam pengkajian dalam rekolasi ini. Kami tidak menolak kemajuan, ataupun industri di Batam. Hanya janganlah kami diganggu kehidupan kami, kehidupan kami banyak di laut. Hari ini anak-anak kami trauma dan banyak yang pingsan di sekolah tadi,” ungkapnya.
**
Terpisah, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Zenzi Suhadi dalam konferensi persnya, Kamis (07/09/2023) mengatakan, pembangunan Kawasan Rempang Eco-City merupakan salah satu program strategis nasional dari awal perencanaannya tidak partisipatif. Semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan, mulai dari BP Batam, Menko Ekuin, Kepala BKPM, dan K/L merumuskan program tanpa persetujuan masyarakat.
Tak hanya itu, Zenzi menilai, dalam prosesnya abai pada suara masyarakat adat yang ada di 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834. Sehingga, wajar saja jika masyarakat di lokasi tersebut menolak rencana pembangunan.
”Kami meminta Presiden mengambil sikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” sebut Zenzi.
"Peristiwa inipun bertentangan dengan amanat UUD Tahun NRI 1945, di mana tegas disebut negara wajib melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa," lanjutnya.
Serupa disampaikan Azlaini Agus, salah satu Tokoh Riau yang turut mendukung perjuangan masyarakat Rempang. Ia mengatakan, apa yang dilakukan warga Rempang merupakan upaya mempertahankan hak dasarnya untuk hidup, hak untuk mempertahankan kampung halaman nenek moyang mereka.
Sehingga apa yang yang dilakukan tim gabungan keamanan ini bukan untuk Indonesia, bukan untuk melindungi, dan mengayomi masyarakat adat. Tindakan tersebut hanya sekedar membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat.
”Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang, adalah pengabaian terhadap amanah konstitusi dan pelanggaran HAM secara nyata," sebutnya.
Direktur Eksekutif WALHI Riau, Boy Jerry Even Sembiring, mengatakan Rempang adalah pulau kecil dan semestinya tidak bisa dikembangkan untuk usaha ataupun pengelolaan industri besar seperti Rempang Eco City ini. Pemanfaatan pulau kecil terbatas pada usaha konvervasi ataupun pengembangan wilayah laut.
Tak hanya itu, Zenzi juga menuntut pemerintah untuk menghentikan dan membatalkan rencana pembangunan Kawasan Rempang Eco-City, termasuk mengeluarkannya dari program strategis nasional.
"Kami meminta kepastian perlindungan dan pengakuan terhadap seluruh hak dasar masyarakat adat dan tempatan di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang. Termasuk memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mencopot Kapolda Kepulauan Riau, Kapolres Barelang dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam, serta melakukan audit menyeluruh kepada BP Batam terkait kepatuhan keuangan dan implemetasi prinsip HAM dalam seluruh proses dan perencanaan pembangunan," katanya.
"Termasuk membebaskan masyarakat yang ditahan," lanjut Zenzi.
Terpisah, Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Kepri) Irjen Tabana Bangun mengatakan, tindakan aparat kepolisian dalam merespon aksi demontrasi tersebut sudah sangat humanis. Ia mengklaim sebelumnya sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat.
"Sehingga malam ini masyarakat sudah memahami (tujuan aparat gabungan), sehingga kegiatan sudah selesai," katanya singkat.
Meskipun begitu, Tabana juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat akibat kegiatan hari ini lalu lintas jalan utama Barelang terganggu.
"Adapun hal yg sedikit menganggu, dampak kegiatan ini kami minta maaf," pungkasnya.
“Kerusuhan ini adalah puncaknya, sebelumnya sudah ada teror, bukan hanya sekali dua kali,” (Tommy Yandra)