Oleh : Mahmud Ichi
Terjualnya kebun sagu memunculkan kekhawatiran terhadap nasib pangan warga Sagea, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara di masa depan. Saat ini untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal di Sagea, seperti pisang, singkong dan keladi nyaris didatangkan dari luar daerah. Sehingga jika lahan sagu yang sudah terjual digusur perusahaan, pupuslah harapan warga setempat bisa mendapatkan sagu sebagai cadangan pangan lokal di masa depan.
Seperti disampaikan Anwar Ismail, salah satu warga Sagea yang dulunya menjadi pengolah sagu. Ia mengatakan saat ini saja mereka sudah sulit mendapatkan sagu, apalagi generasi akan datang.
“Yang terjadi sekarang ini warga sudah tidak lagi mengolah sagu pasca masuknya industri tambang. Apalagi untuk generasi anak cucu kita,” katanya.
Saat ini kebiasaan mengolah sagu sudah ditinggalkan. Indikasinya, dari 1317 jiwa penduduk Sagea hanya menyisakan dua orang yang masih mengolah sagu. Jika hal ini terus terjadi, tradisi olah sagu dipastikan hilang.
“Setahu saya ada dua orang masih olah sagu. Ada Abdurahman dan Slamet. Slamet ini berasal dari Jawa yang menikah dengan perempuan Sagea memilih mengolah sagu sebagai mata pencarian,” jelasnya.
Ia mengatakan mengolah sagu sebenarnya merupakan pekerjaan utama warga Sagea jauh sebelum perusahaan tambang masuk ke daerah Weda. Mayoritas warga menjadikan sagu tidak hanya sebagai sumber pangan tetapi juga pendapatan.
Abdurahman Jabir kepada Kabarpulau.co.id, bercerita, dia mengolah sagu sudah hampir 20 tahun. Dari sagu dia bisa mendapatkan uang dan makanan untuk mendukung kehidupan sehari-harinya.
“Orang yang masih olah sagu di Sagea ini tersisa saya dan Slamet. Bahalo sagu (mengolah sagu,red) ini torang pe karja tiap hari (kami sudah jadikan pekerjaan utama,red). Ada perusahaan tambang nikel beroperasi, tapi pilih olah pohon sagu yang tersisa di kampung Sagea ini,” kata Abdurahman, beberapa waktu lalu.
Dia mengaku mengolah sagu dapat memberikan pendapatan harian dalam jumlah yang cukup lumayan. Sehari bekerja bisa mendapatkan makanan juga uang. Bila dikerjakan sendiri dalam sehari bisa mendapatkan uang ratusan ribu. Tidak perlu menunggu pembeli, tepung sagu yang dihasilkan langsung laku karena sudah ada yang memesan.
“Hasil kerja olah sagu sehari bisa dapat 2 karung, telah dibayar warga kampung. Per karung Rp300 ribu. Jadi dalam sehari, mampu menghasilkan uang Rp600 ribu. Itu juga sudah ada tepung sagu yang bisa dimasak untuk papeda atau dibuatkan makanan lain,”katanya.
Menurutnya, lebih mudah mendapatkan uang lewat olah sagu dibandingkan harus bekerja di perusahaan tambang.
“Kerja di tambang itu harus disiplin dan penuh waktu. Dibandingkan dengan mengolah sagu, bekerja dan istrahat diatur sesuka hati. Jika mau memporsir bekerja 7 atau 8 jam dikerjakan sendiri atau juga bersama teman," katanya.
“Saya biasanya kerjakan sendiri. Hanya saja kali ini karena ada paman mau sama- sama olah sagu untuk makanan, maka kita bersama olah satu pohon sagu. Dikerjakan dua orang, dalam sehari dapat tiga karung tepung sagu,” lanjutnya.
Semakin menyusutnya lahan sagu dan minimnya warga yang tertarik mengolah sagu, mengancam tradisi olah sagu yang sudah turun temurun dilakukan.
“Sebenarnya sagu Sagea menjadi ikon. Di Halmahera Tengah terutama di wilayah Weda orang sangat mengenal sagu Sagea. Seiring waktu lahan sagu terjual serta warga tak lagi olah sagu, kita khawatir sagu Sagea bisa hilang,” kata Kepala Desa Sagea Arif Thaib
Tadinya tak hanya untuk konsumsi pangan sehari-hari, namun aktivitas warga Sagea mengolah sagu biasanya juga dilakukan jika ada hajatan, seperti berduka ketika ada warga yang meninggal atau pesta pernikahan. Biasanya warga berkumpul dan yang pertama dilakukan adalah bersama pergi mengolah sagu. Hasilnya dibawa ke rumah yang punya hajatan sebagai salah satu sumber pangan. Tradisi berkumpul dan mengolah sagu itu masih dilakukan hingga kini.
“Hal ini bisa tergerus jika lahan -lahan sagu sudah habis terjual,” ujarnya.
Dia mengatakan, sebelum orang tua- tua menanam kelapa dan diolah menjadi kopra atau pala, warga hidup dari mengolah dan menjual sagu.
Arif mengaku, dulunya ia juga pernah menjadi pengolah sagu. “Kami orang Sagea ini dari lahir dan besar hidup dengan sagu, tetapi sekarang untuk dapat sagu harus beli karena nyaris tidak ada lagi yang olah,” imbuhnya.
Dia mengaku tidak bisa menyalahkan warganya, mungkin saja warga tersebut berpikir untuk mendapatkan sagu cukup dengan membeli saja.
Serupa disampaikan Subhan Somola pemerhati sagu di Halmahera Tengah sekaligus pejabat di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Pemkab Halmahera Tengah. Ia mengaku sudah banyak mendampingi kelompok masyarakat pengolah sagu sejak 2010 lalu. Perhatiannya terhadap pengolahan pangan lokal sagu sudah kurang lebih 14 tahun. Ia melakukan hal tersebut karena melihat banyak pohon sagu dibiarkan mati, sementara kebutuhan pangan sagu di masyarakat lokal masih sangat tinggi.
Menurutnya, secara ekonomi harga sagu olahan dalam bentuk sagu lempeng di pasaran sangat menggiurkan. Bahkan harganya lebih mahal dari beras. Sehingga pengelolaan sagu berbasis industri sudah harus didorong oleh Pemda sebagai salah satu program ketahanan pangan lokal yang dapat menghidupi petani sagu yang selama ini hanya menggunakan peralatan seadanya tanpa pendampingan berkelanjutan.
Sejauh ini sudah ada sekira 30-an kelompok kecil di berbagai daerah di Halmahera Tengah didampingi dengan fokus pengolahan Sagu lempeng Rumbia melalui Badan Usaha Milik Desa. Tentu dengan sistem dan manajemen usaha yang teritegrasi dari hulu hingga hilir. Menggunakan kemasan karton yang lebih elegan dan terhormat. Dengan begitu diharapkan sagu bisa naik kelas sebagai pangan yang terhormat di negerinya sendiri.
“Kebutuhan sagu lempeng cukup tinggi, tidak berbanding lurus dengan ketersediannya. Awal kegiatan usaha ini mampu menghasilkan ratusan karton sagu yang terjual. Namun kendala pengolahan sagu di hulu, mengakibatkan kegiatan pengolahan di hilir tidak berjalan baik,” katanya.
Selain itu kelompok-kelompok binaan dampingan juga memiliki problem internal kelompok mengakibatkan kegiatan usahanya tersendat akhirnya vakum usahanya.
Sagu juga sebagai bahan pangan utama masyarakat di bagian Timur Indonesia, sebelum program berbagai bantuan beras untuk rakyat yang dicanangkan pemerintah. Hingga kapan pun Sagu masih sangat layak dikembangkan sebagai bahan pangan lokal di Maluku Utara dan bagian timur Indonesia.
Di Halmahera Tengah terutama daerah lingkar tambang warga sudah malas olah sagu secara umum karena kendala akses jalan ke lokasi lahan/hutan sagu. Perubahan paradigma dan stigma bahwa mengolah sagu itu pekerjaan kotor, susah bahkan tidak menghidupi karena tidak diatur cara pengelolaan usahanya.
Akhirnya petani sagu tiap kali mengolah, habis juga uangnya. Sagu dianggap tidak berdampak secara ekonomi, juga tidak mensejahterakan petaninya. Soal tambang sebenarnya bukan menjadi alasan utama orang meninggalkan pekerjaan sebagai pengolah sagu, tetapi lebih pada lokasi sagu itu tumbuh sudah dijual pemiliknya atau kawasan hutan sagu dialihfungsikan.
Dr. Erna Rusliana M.Saleh, STP.,Msi Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Cabang Ternate sekaligus pengurus pusat mengatakan, semakin menyusutnya lahan sagu menjadi hal yang disayangkan karena ini masalah untuk pangan dan non pangan. Sagu adalah sumber daya yang kaya manfaat. Ketika berkurang lahannya, maka banyak manfaat yang hilang. Manfaat sagu dapat diambil dari empulur, daun, pelepah hingga batangnya. Dari empulur didapatkan pati sagu yang manfaatnya sangat luas untuk pangan dan non pangan. Selain industri pangan, pati sagu bermanfaat untuk industri kertas, farmasi, tekstil, pestisida hingga bahan bakar alternatif non migas.
Dia bilang, sagu adalah pangan pokok lokal bagi masyarakat di Malut. Sagu sudah menjadi menu alternatif dalam hajatan dan keseharian masyarakat Malut, yang tidak pernah disajikan masyarakat di Jawa, Kalimantan atau Sumatera. Sehingga dari aspek pangan tentu sangat prospektif. Di samping adanya perkiraan ancaman krisis pangan bisa melanda banyak Negara terutama beras dan pangan import, maka sagu sangat prospektif menjadi solusi terhadap hal ini. Khususnya di Maluku Utara yang masyarakatnya telah menjadikan sebagai pangan pokok.
“Sagu memiliki potensi untuk mensubstitusi sumber kabohidrat dari beras atau gandum. Hal ini dikarenakan, dari sekian sumber karbohidrat seperti beras, jagung, kentang, ubi, dan sagu, maka sagu memiliki tingkat produktivitas tertinggi. Produktivitas tanaman Sagu dapat mencapai 10-15 ton/Ha/thn,sedangkan tanaman padi sekitar 3 ton/Ha/thn, tanaman jagung sekitar 5 ton/Ha/thn, tanaman kentang 2,5ton/Ha/thn, tanaman ubi kayu 5-6ton/Ha/thn dan tanaman ubi jalar sekitar 5,5 ton/Ha/thn,” jelasnya.
Dari segi kesehatan sagu merupakan sumber karbohidrat yang sehat terutama bagi kalangan penderita diabetes. Hal ini dikarenakan Indeks Glikemik (IG) sagu yang rendah dibanding beras.IG sagu hanya sekitar 40, sedangkan IG beras 70. Tepung sagu juga termasuk jenis tepung yang bebas Gluten. Gluten sering diasosiasikan dengan penderita alergi, gangguan pencernaan, hingga auto-imun. Sagu juga mengandung antioksidan yang berguna untuk menekan radikal bebas di tubuh, mencegah penyakit kronisseperti kanker.
Sehingga jika sagu ini tetap ditanam dan tidak tergerus lahannya maka dia dapat menjadi sumber karbohidrat berproduktifitas tinggi, prospektif dan sehat.
Bagi dia yang utama sebenarnya adalah bukan karena peralihan pangan sagu ke beras, tapi karena peralihan lahan sagu menjadi tambang. Peralihan pangan dari sagu ke beras bukanlah hal baru. Ini sudah terjadi sejak masa Soeharto. Namun berkurangnya pengolahan sagu baru terjadi dalam lima tahun terakhir sejak lahan pertanian khususnya sagu beralih menjadi lahan tambang.
Adanya fakta bahwa pengusaha bihun yang perlu memasok bahan baku sagu dari Riau dan Sumatera karena pati sagu tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha lokal. “Ini manjadi bukti kekurangan pasokan sagu dari dalam Malut, sementara kebutuhan masih tinggi. Dari segi mutu pengusaha mengakui, mutu pati sagu Malut lebih bagus dan bersih,” katanya.
Kandungan dan Manfaat Penting Sagu
Masyarakat Sagu Indonesia merilis kandungan dan manfaat penting sagu. Seperti dijelaskan Ketua Umum nya Prof. Dr. Ir. M.H. Bintoro,M.Agr, seperti dilansir dari tabloid sinar tadi yang terbit pada 27 Agustus 2021 lalu. Melalui penelitian yang dilakukan, ditemukan sagu memiliki nilai gizi tidak kalah dengan sumber pangan lainnya seperti beras. Tepung sagu dan produk olahannya dapat dikelompokkan sebagai pangan fungsional karena memiliki kandungan karbohidrat (84,7%) dan serat pangan (3,69-5,96%) yang cukup tinggi, indeks glikemik rendah, dan mengandung pati resisten, polisakarida bukan pati, dan karbohidrat rantai pendek yang sangat berguna bagi kesehatan.
Sagu memiliki kadar protein rendah dibandingkan bahan pangan lain. Inilah jadi keunggulan, sebab sagu bisa disimpan lama. “Kekurangan protein inilah yang kemudian menjadikan sagu cocok dimakan dengan ikan yang memiliki protein tinggi. Ditambah sayuran sehingga menjadi pangan yang komplit,”jelasnya.
Kandungan kalsium, zat besi dan mineral lainnya dalam tepung sagu dapat membantu memperbaiki tulang dan persendian. Cara kerja sagu akan meningkatkan produksi glukosamin, yang mempengaruhi kepadatan tulang, fleksibilitas, dan gerakan sendi.
Tak hanya itu, tepung sagu dipercaya mampu membantu untuk memperbaiki adanya gangguan pada sistem pencernaan. Diantaranya kembung, sembelit, asam lambung, maag, dan gangguan pencernaan lainnya. Tepung dari sagu bekerja meningkatkan produksi enzim pencernaan dan pergerakan usus secara keseluruhan dengan melindungi usus supaya tidak kering.
Dengan manfaat itu, Bintoro mengajak Kementerian Kesehatan memberi obat jangan hanya resep yang di apotik, tapi juga dari makanan, salah satunya sagu. Tak hanya jadi bahan pangan, sagu yang diolah menjadi tepung kemudian dilakukan hidrolisis menjadi monosakarida (gula). Satu kilogram tepung sagu bisa menjadi 1 kg gula.
Saat petani tebu hanya mampu menyediakan 2 juta ton gula di saat kebutuhan gula mencapai 6 juta ton, maka 4 juta ton kekurangannya bisa dari pengolahan tepung sagu. “Bisa terpenuhi dari 200 ribu hektar sagu saja, untuk kebutuhan gula.
Sagu juga potensial menjadi bahan baku biofuel atau bioetanol, baik dari pati atau ampasnya, sehingga bisa menyumbang penghematan energi. Bisa menjadi bahan tambahan untuk plastik agar mudah terurai di tanah. Selain itu, pati sagu yang diubah susunan kimiawinya bisa menjadi bahan super absorben dan digunakan menjadi pembalut wanita dan pampers bayi.
Perlunya Perlindungan Sagu Tak Hanya Sebatas Perda
Sejak dulu kampung-kampun g di Kabupaten Halmahera Tengah Maluku Utara memiliki banyak kebun sagu. Salah satu desa yang menjadi pusat sagu adalah Sagea dan Kiya di Weda Utara. Karena potensi itu, pemerintah daerah kemudian berpikir melindunginya setelah masifnya industri tambang masuk ke wilayah ini. Pemkab Halmahera Tengah kemudian membuat Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi pohon sagu dan kesinambungan produksinya sebagai salah satu pangan penting masyarakat.
Perda Nomor 2 tahun 2018 itu mengatur Tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu di daerah Halmahera Tengah yang disahkan pada 28 Desember 2017 dan diundangkan dalam lembaran daerah 6 Juni 2018. Perda itu, menegaskan bahwa sagu merupakan sumber daya alam yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, patut dikelola dan dilestarikan keberadaanya demi kemakmuran rakyat.
Selain itu akibat berubahnya pola konsumsi, rendahnya nilai ekonomi, laju pembangunan termasuk pengembangan areal pemukiman baru, pemanfaatan ruang yang tidak terencana, perusakan areal hutan dan tuntutan bahan bangunan, mengakibatkan areal tumbuh kembang tanaman sagu makin tergerus dan berpotensi punah. Karena itu perlu dikelola dan dilestarikan.
“Untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pelestarian tanaman sagu, dibutuhkan peraturan terkait pengelolaan dan pelestarian sagu. Berdasarkan pertimbangan itu maka perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu,” demikian bunyi Perda tersebut.
Dalam Pasal 3 Perda itu menjelaskan bahwa Pengelolaan dan Pelestarian Sagu bertujuan mewujudkan konservasi sumberdaya hutan sagu, menjaga keseimbangan ekosistem; keberlanjutan ketersediaan sumberdaya air bagi kehidupan masyarakat; ketersediaan sumber bahan makanan penghasil karbohidrat; ketersediaan bahan baku bio energi; usaha kultivasi bagi kepentingan masa depan kehidupan masyarakat; kesejahteraan dan eksistensi masyarakat (adat) Halmahera Tengah. Sekaligus menjadi objek pendidikan, penelitian dan pariwisata.
Dalam BAB III misalnya, mengatur tentang Hak Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat. Di Pasal 7 mengatur Pemerintah daerah, masyarakat dan atau badan hokum wajib ikut serta dalam upaya pelestarian sagu. Dalam BAB IV Perda mengatur tentang pembentukan Badan Pengkajian dan Penelitian Sagu (BPPS) untuk Pengelolaan dan Pelestarian.
BPPS ini mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengkajian dan penelitian dalam upaya pengembangan, pengelolaan dan pelestarian Sagu. Lembaga ini akan menyusun dan melaksanakan program dalam rangka pengelolaan dan pelestarian sagu. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan, koordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah, serta membuat rekomendasi terkait pemanfaatan areal hutan dan/atau kebun sagu.
Perda ini juga mengatur tentang ketentuan pidana. “Setiap orang dan/atau badan hukum yang dengan sengaja melakukan penebangan, perusakan, pembakaran dengan tujuan merusak dan/atau memusnahkan tanaman sagu pada kawasan hutan dan/atau kebun sagu, dipidana dengan Pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluhjuta rupiah),” demikian bunyi Bab V Perda.
Begitu juga setiap orang dan/atau badan hukum yang dengan sengaja memanfaatkan tanah kawasan hutan dan/atau kebun sagu untuk kepentingan lain, tanpa izin Bupati diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Lalu bagaimana faktanya dengan pelaksanaan Perda ini?
Ternyata masyarakat juga tidak tahu kalau ada Perda yang mengatur tentang Sagu. Tokoh masyarakat Sagea Ibrahim Sigoro misalnya mengaku tidak tahu Perda sagu tersebut. “Sampai saat ini belum ada sosialisasinya. Kami juga tidak tahu kalau ada Perda tersebut,” katanya.
Begitu juga Kepala Desa Sagea Arif Thaib. Ditanya soal Perda itu, dia mengaku tak tahu. “Selama ini belum ada sosialisasinya,” katanya. Soal Perda Pengelolaan dan Perlindungan Sagu ini, sangat bagus tetapi sayang belum diketahui publik secara luas dan pelaksanaanya juga tidak jalan. Faktanya, lahan lahan sagu semakin berkurang bahkan terancam habis karena masuk konsesi tambang setelah dijual pemiliknya kepada perusahaan.
Asisten I Bidang Pemerintahan Pemkab Halmahera Tengah Husain Ali SE mengaku belum tahu seperti apa pelaksanaan Perda tersebut di lapangan. Karena itu dia berjanji berkoordinasi lagi dengan instansi tekhnis yang mengurusi soal ini, “Saya infokan nanti ya soal pelaksanaan Perda ini setelah berkoordinasi dengan instansi tekhnis ,” katanya singkat. Sayangnya hingga tulisan ini terbit tidak ada tanggapan yang diberikan pemerintah daerah.
Anggota DPRD Halmahera Tengah Munadi Kilkoda dikonfirmasi soal ini menyampaikan bahwa, Perda yang dibuat ini tidak ada tindaklanjutnya di lapangan oleh ekskutif. Misalnya, sosialisasi maupun pembentukan badan seperti BPPS. Padahal semakin gencarnya industri ekstraktif masuk ke Halteng saat ini, perlu menjaga dan melindungi sagu dengan menjalankan regulasi ini.
“Dalam setiap pandangan akhir Fraksi DPRD, kami selalu mendesak segera dibentuk BPPS tersebut karena masifnya investasi saat ini. Hanya saja eksekusinya nol oleh pemerintah daerah,” katanya.
Subhan Somola Pegiat Pangan Lokal Sagu di Halmahera Tengah yang selama ini mendamping sejumlah kelompok Badan Usaha Milik Desa mengelola sagu, meminta perlu dilakukan perlindungan terhadap kawasan hutan sagu. Ini sangat penting dilakukan untuk menjaga tersediaan pangan lokal sagu dan manfaat ekologinya. Selain itu perlu membangun industri pengolahan sagu yang terintegrasi dan berkelanjutan, sehingga dapat menjadikan negeri ini sebagai lumbung pangan lokal sagu.
“Selain itu perlu menggalakkan kegiatan- kegiatan ekonomi produktif dari olahan lokal tepung sagu rumbia yang dapat diterima pasar lokal maupun nasional. Menciptakan budaya konsumsi pangan lokal sagu, sehingga terbangun kesadaran sosial ekonominya,”harapnya.
Dr.Erna Rusliana M.Saleh, STP., Msi Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Cabang Ternate sekaligus pengurus pusat mengatakan untuk mengembalikan sagu menjadi tuan di kampungnya, yang utama tetap menjaga kontinuitas produksinya didukung dengan ketersediaan lahan.
Permasalahan teknologi produksi yang kadang menjadi masalah lamanya waktu proses dalam pengolahan, dapat diatasi dengan menyiapkan teknologi tepat guna yang mampu mempersingkat waktu proses. Hal ini mungkin, jika ada political will dari pemerintah yang mendukung petani dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas, tidak hanya segelintir kalangan investor.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Kabar Pulau, pada 7 Januari 2024. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.