Oleh: Ernes Broning Kakisina
Independen --- Pagi itu sekitar pukul 07.15 WIT di poros jalan peternakan Kelurahan Rimba Jaya, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, nampak sejumlah siswa seragam putih abu-abu berjalan menuju sekolah. Mereka menuju dua bangunan sederhana yang dikeliligi pagar tembok.
Bangunan itu adalah sekolah tingkat SMA yang lokasinya dekat Sota atau kawasan titik 0 kilometer NKRI di Timur Indonesia. Sekolah swasta ini hanya menampung anak-anak asli Papua terutama dari orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah.
Gerbang masuk pagar sekolah bertuliskan SMA Golden Gate Merauke yang berarti Gerbang Emas bagi generasi muda anak-anak asli Papua. Meskipun baru tiga tahun beroperasi dengan Surat Keputusan Izin Operasional : 08/10-PENDIDIKAN/V/2022 namun sekolah tersebut dapat menjawab kebutuhan akan pendidikan gratis Sekolah Menengah Atas bagi anak-anak asli Papua.
"Terutama bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah karena kondisi ekonomi lemah," kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan dan Sarana Prasarana SMA Golden Gate Merauke, Maria Novita Yeet, S.Pd membuka percakapan pada Kamis (1/8/2024).
Sekolah yang didirikan oleh sebuah Yayasan Kristen yakni Yayasan Golden Gate Papua dengan NPSN : 70031492 tersebut tidak memungut biaya apa pun dari siswa saat pelaksanaan penerimaan peserta didik baru.
"Tidak ada pungutan biaya SPP, iuran pembangunan, iuran komite sekolah bahkan pakaian seragam putih abu-abu dan pramuka diberikan gratis kepada peserta didik baru," katanya Maria.
Sekolah ini, lanjut dia, tidak hanya menerima siswa baru setiap tahun ajaran baru secara gratis, tetapi juga menampung siswa yang putus sekolah karena kondisi ekonomi lemah. Asalkan usia siswa tersebut masih memenuhi persyaratan ketentuan pendidikan secara nasional.
Fasilitas sekolah masih sangat terbatas hanya tiga ruang kelas lengkap dengan meja dan kursi untuk menampung 30 siswa setiap ruang. Satu ruang guru lengkap dengan meja dan kursi serta lemari arsip, satu ruang kepala sekolah, dan dua toilet.
Keterbatasan fasilitasi tersebut tidak mempengaruhi kelancaran aktivitas belajar mengajar. Proses pembelajaran SMA di pinggiran Merauke dan jauh dari keramaian suasana kota tersebut berlangsung setiap hari Senin hingga Jumat mulai pukul 07.30 - 14.00 WIT.
Tenaga guru pun belum terlalu memadai. Hanya ada enam orang tenaga guru bukan pegawai negeri sipil atau PNS namun dapat menjawab kebutuhan belajar siswa yang sekarang berjumlah 36 orang yakni kelas X sebanyak 14 orang, kelas XI sebanyak 13 orang siswa, dan kelas XII sebanyak 9 orang siswa.
"Bahkan kepala sekolah dan satu orang tenaga tata usaha dapat mengajar di kelas jika dibutuhkan," ujar Maria Guru Sejarah yang akrab di panggil siswa dengan sebutan Ibu Mia.
Kebijakan Biaya Gratis
Salah satu kebutuhan mendasar manusia adalah pendidikan dan itu merupakan hak konstitusi bahwa setiap anak di wilayah Merauke selatan tanah Papua harus memperoleh pendidikan yang layak dan dijamin oleh negara.
Sebab itu, anak-anak asli Papua harus tetap sekolah tidak boleh putus hanya karena alasan lemahnya ekonomi orang tuanya. Namun yang terjadi kebanyakan sekolah-sekolah negeri yang menjadi sekolah subsidi pemerintah bagi masyarakat kurang mampu secara ekonomi hanyalah slogan.
Sekolah negeri seharusnya menjadi sekolah bersubsidi gratis bagi siswa yang kondisi ekonomi orang tuanya lemah. Segala sesuatu pemerintah siapkan bagi kebutuhan siswa sebagaimana regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Namun dalam penerapannya di wilayah Merauke bahkan Papua Selatan tidak gratis sepenuhnya. Kadang sekolah negeri menyatakan tidak memungut biaya SPP atau gratis SPP. Tetapi melakukan pungutan dengan sebutan uang komite sekolah atas kesepakatan dengan orang tua siswa dengan berbagai alasan kebutuhan sekolah. Tidak ada sekolah negeri di Merauke yang gratis.
"Kalau tidak percaya silahkan mengecek langsung di seluruh SMA negeri di Merauke apakah ada sekolah gratis, sesungguhnya tidak ada sekolah negeri yang seratus persen gratis,” ujar Kepala Sekolah SMA Golden Gate Merauke, Embaidjan M.S Wanggai, S.Pd M.Pd.
Karena itu, Yayasan Golden Gate Papua yang didirikan oleh anak-anak Asli Papua sendiri, mendirikan sekolah SMA Golden Gate Merauke untuk menjawab kebutuhan pendidikan gratis bagi anak-anak asli Papua yang kondisi ekonomi orang tuanya lebah agar mereka tetap sekolah dan punya harapan masa depan.
“Mengapa kami mendirikan SMA bukan SD dan SMP sebab jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah pertama tersebut merata di seluruh kecamatan di wilah Kabupaten Merauke. Sedangkan tingkat SMA belum merata di seluruh kecamatan di wilah Kabupaten Merauke,”ujarnya
Selain itu, realita yang terjadi saat ini adalah anak-anak asli Papua dari SMP di kampung-kampung pedalaman mempunyai keterbatasan dalam pembelajaran sehingga saat datang sekolah di SMA di wilayah kota Merauke mereka kalah bersaing dengan anak-anak di kota.
Dan anak-anak asli Papua seperti itulah yang menjadi fokus perhatian SMA Golden Gate Merauke untuk didampingi secara khusus agar mereka percaya diri dan dapat bersaing dengan anak-anak nusantara lainnya.
“Hanya satu sekolah SMA yang gratis di Merauke yakin SMA Golden Gate Merauke, silakan buktikan sendiri di lapangan. Sekolah ini anak-anak hanya datang untuk belajar tidak perlu memikirkan biaya. Nanti pihak sekolah dan Yayasan yang memikirkan serta mencari kebutuhan mereka butuhkan selama sekolah. Tujuannya satu agar anak-anak asli Papua jangan putus sekolah karena kondisi ekonomi lemah," ujar Embaidjan Guru ASN asli Papua senior yang saat ini Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah atau MKKS Provinsi Papua Selatan.
Kurikulum dan Metode Pembelajaran
Kurikulum yang diterapkan pada SMA Golden Gate Merauke yakin Kurikulum 2013 atau K13 bagi siswa kelas XI dan kelas XII. Sedangkan khusus untuk siswa baru kelas X pada tahun ajaran baru 2024-2025 ini menggunakan Kurikulum Merdeka Belajar.
"Namun sesungguhnya Kurikulum Merdeka Belajar telah diimplementasikan oleh SMA Golden Gate Merauke sejak tahun ajaran 2023-2024 atau tahun lalu dengan metode pembelajaran di alam terbuka, "kata Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Humas SMA Golden Gate Merauke, Yacaba Sarah Notanubun, S.Pd menyambung perbincangan.
Sarah menjelaskan bahwa SMA Golden Gate Merauke mempunyai ciri khas dalam sistem pembelajaran yang membedakan dengan sekolah pada umumnya di Kabupaten Merauke yakin pembelajaran di luar sekolah di alam terbuka.
Pembelajaran di alam terbuka tersebut dilakukan setiap dua kali dalam sebulan di tempat yang berbeda beda. Baik di tepi pantai, di taman wisata alam maupun ditempat bersejarah bahkan instansi sesuai dengan tema yang ditentukan oleh para guru.
Pembelajaran di alam terbuka ini wajib diikuti oleh seluruh siswa kelas X, kelas XI dan kelas XII. Pembelajaran alam tersebut dikemas dalam bentuk permainan dengan rintangan dan pemecahan masalah sesuai dengan target pencapaian pembelajaran yang telah direncanakan oleh setiap guru mata pelajaran.
Sarah yang juga guru matematika itu, memaparkan bahwa materi pembelajaran alam dibuat sesimpel mungkin oleh para guru. Karena kemampuan memahami materi dalam terori oleh siswa pada SMA Golden Gate Merauke tidak dapat disamakan dengan siswa pada sekolah-sekolah ternama di wilayah Kabupaten Merauke.
Sebagian besar siswa berasal dari daerah pedalaman yang punya keterbatasan dalam memahami materi pelajaran dengan teori yang tinggi. Bahkan ada siswa juga yang belum bisa membaca dengan lancar sehingga metode pembelajaran tidak bisa disetarakan dengan proses pembelajaran pada sekolah-sekolah ternama di Merauke.
Metode pembelajaran dibuat sederhana asalkan siswa bisa paham dan mengerti pembelajaran yang diberikan. Itulah yang dilakukan oleh para guru di SMA Golden Gate Merauke agar mereka anak-anak asli Papua yang punya keterbatasan itu bisa setara dengan anak-anak daerah lain di Indonesia.
"Salah satu contoh dalam mendampingi anak-anak yang belum lancar membaca. Agar mereka tidak malu terhadap teman yang lain, mereka diajak oleh para guru keluar dari lingkungan sekolah berjalan mencari tempat yang nyaman barulah diajarkan untuk membaca dengan lancar secara bertahap," katanya.
Selain itu, anak-anak yang dua hari berturut-turut tidak datang ke sekolah dan tidak ada pemberitahuan para guru langsung mendatangi rumah mereka untuk mencari tahu kendala yang dihadapi. Hal tersebut dilakukan agar anak-anak Papua tersebut merasakan mendapat perhatian serius sehingga tidak ada keinginan untuk putus sekolah.
Ujian akhir semester genap tahun ajaran 2023-2024 yang baru saja berlalu ada beberapa siswa yang tidak masuk sekolah untuk mengikuti ujian. Namun para guru tidak tinggal diam tetapi mendatangi rumah siswa tersebut untuk memberikan ujian akhir semester di rumah mereka yang disaksikan oleh orang tua atau wali.
“Inilah pendekatan dan pelayanan yang kami lakukan agar anak-anak Papua tetap memperoleh hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak sehingga tetap tertanam rasa cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Sarah.
Kolaborasi Dengan Pemerintah
Sebagai sekolah swata yang masih minim fasilitas SMA Golden Gate Merauke membuka diri untuk berkolaborasi dengan semua pihak terutama pemerintah daerah.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah tentunya agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anak asli Papua yang bersekolah pada SMA tersebut. Dan sekolah yang 99 persen menampung anak-anak asli Papua yang kondisi ekonomi orang tuanya lemah tersebut pada tahun ajaran 2023-2024 tercatat sebagai sekolah swasta penerima dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS dari Kementerian Pendidikan.
Selain itu, pada tahun ajaran yang sama SMA Golden Gate Merauke juga tercatat sebagai sekolah swasta yang mendapatkan bantuan seragam putih abu-abu dan pramuka dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Selatan dari sumber dana Otonomi Khusus Papua yang fokus pada bidang Pendidikan.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah baik Kabupaten Merauke maupun Provinsi Papua Selatan terus dilakukan agar ada asrama khusus menampung anak-anak asli Papua. Karena sebagian siswa datang dari pedalaman masih menyewa rumah untuk menampung mereka
"Selain mendapat dukungan dari pemerintah dengan dana BOS, seluruh kebutuhan dan program sekolah dibiayai oleh Yayasan Golden Gate Papua di Jayapura dengan anggaran yang diperoleh dari para donatur baik di dalam maupun luar negeri," ujar Kepala Sekolah SMA Golden Gate Merauke.
Harapan Siswa
Sekolah gratis adalah harapan setiap anak-anak asli Papua terlebih khusus mereka yang kondisi ekonomi orang tuanya lemah. Hanya dengan sekolah gratis anak-anak asli Papua yang tidak mampu itu dapat belajar agar bisa bersaing dengan anak-anak nusantara lain di Indonesia.
Hal itulah yang dirasakan oleh Meli Wisal siswa kelas XII SMA Golden Gata Merauke. Meli Wisal berasal dari Kabupaten Pegunungan Bintang salah satu daerah konflik bersenjata antara TNI-Polri dan Kelompok Bersenjata.
Meli datang jauh-jauh dari Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua untuk sekolah di SMA Golden Gata Merauke, Provinsi Papua Selatan karena aman dari konflik kekerasan bersenjata. Serta SMA Golden Gata Merauke gratis bagi anak-anak asli Papua yang kondisi ekonomi orang tuanya lemah.
“Bersekolah di sini saya rasa aman dan nyaman bukan hanya karena jauh dari kampung halaman saya yang saat ini sering konflik, tetapi yang membanggakan saya adalah suasana kekeluargaan di lingkungan sekolah,”kata Meli
Selain itu, kata Meli, pihak sekolah juga menyiapkan tempat tinggal yakni menyewa rumah untuk dirinya serta menyiapkan kebutuhan makan sehari-hari.
Dia menceritakan bahwa para guru di sekolah membinanya seperti anak mereka sendiri. Walaupun jauh dari orang tua di kampung dia tetap merasakan adanya bimbingan selayaknya orang tua sendiri.
“Hal ini yang membuat saya merasa nyaman dan tetap sekolah hingga lulus tahun depan nanti. Sekolah juga gratis bahkan kebutuhan saya juga dipenuhi oleh pihak sekolah dan Yayasan meskipun belum sempurna,” kata Meli pula.
Meli berharap agar SMA Golden Gata Merauke tetap eksis dan terus berkembang maju sebab sekolah gratis itu adalah pintu gerbang bagi anak-anak asli Papua menuju masa depan yang baik.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Blesing Asaribab siswa kelas sepuluh yang saat ini tinggal bersama Meli di sebuah rumah kontrak.
Blesing Asaribab meninggalkan keluarga di kampung Wasur kawasan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga Papua Nugini untuk sekolah di SMA Golden Gate Merauke karena gratis belas dari biaya apa pun.
Ia menceritakan bahwa para guru di sekolah membinanya seperti anak mereka sendiri. Walaupun jauh dari orang tua di kampung dia tetap merasakan adanya bimbingan selayaknya orang tua sendiri.
Blesing berharap agar SMA Golden Gata Merauke tetap eksis dan terus berkembang maju sebab sekolah gratis itu adalah pintu gerbang bagi anak-anak asli Papua menuju masa depan yang baik.