Independen- Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia kurun 20 tahun terakhir, sejak 2000 hingga 2023, laporan kekerasan terhadap jurnalis dan media di Papua mencapai angka 141 kasus. Bentuknya bervariasi, 36 kasus kekerasan dialami jurnalis asli Papua, 40 kasus kekerasan dialami jurnalis bukan asli Papua. Sisanya sebanyak 38 kasus berupa intimidasi ke perusahaan dan media secara umum.
Salah satu kasus yang cukup menarik perhatian publik yakni kasus kekerasan yang dialami Victor Mambor, jurnalis kelahiran Muara Enim, Sumatera Selatan, berdarah Papua.
Dimana tahun 2023, Pemimpin Umum Media Jubi Papua tersebut mengalami dugaan teror bom di sekitar rumahnya. Kasus teror tersebut sudah dilaporkan ke pihak kepolisian. Sayangnya, alih-alih pelakunya tertangkap, kasus teror bom ini berujung dengan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari kepolisian.
Polsek Jayapura Utara mengeluarkan surat bernomor SPPP/8/III/2024/Reskrim, yang isinya pada poin 3 menyatakan, Berdasarkan bukti-bukti yang didapatkan dalam proses penyidikan dan laporan hasil gelar perkara, disimpulkan bahwa peristiwa yang dilaporkan dan dilakukan penyidikan oleh Penyidik Polsek Jayapura Utara ternyata bukan merupakan tindak pidana atau tidak cukup bukti, sehingga untuk memenuhi asas kepastian hukum, keadilan hukum dan manfaat hukum, maka telah dilakukan penghentian penyidikan.
Atas SP3 tersebut Tim kuasa hukum Victor Mambor mengajukan permohonan preradilan ke Pengadilan Negeri Jayapura, dengan nomor perkara 5/Pid.Pra/2024/Pengadilan Negeri Jayapura. Hal ini disampaikan Tim kuasa hukum Victor Mambor, Ahmad Fatan dalam jumpa pers minggu lalu.
Ahmad Fatan mengatakan ada dua pokok persoalan yang dijadikan alasan pihak kepolisian atas kasus kliennya (Victor Mambor,red). Yaitu, bukan tindak pidana dan kedua tidak mencukupi bukti. Sementara berdasarkan analisis Tim kuasa hukum Victor Mambor, adanya ledakan merupakan suatu bentuk tindak pidana dan serpihan- serpihan yang ada di sekitar lokasi kejadian merupakan alat bukti.
“Sekarang menjadi pertanyaan apakah ledakan yang terjadi di sekitar rumah Victor Mambor menjadi bukan tindak pidana, itu yang menjadi poin dalam permohonan kami dan selanjutnya apakah serpihan-serpihan di dalam ledakan itu bukan alat bukti itu yang ada dalam permohonan kami,” kata Ahmad Fatan.
Ia mengakui dalam penyidikan ada ada klausul-klausul yang dapat menjadi dasar dihentikannya suatu penyidikan. Seperti pada pasal 75 KUHP yang terkait adanya pencabutan perkara atau delik aduan dan pasal 76 terkait Ne Bis in Idem. Serta pasal 77 terkait meninggal dunia tersangka dan pasal 78 tentang masa kedaluwarsa.
“Menjadi pertanyaan besar di dalam kasus yang kita tangani ini apakah keempat klausul itu masuk? Kita ketahui bahwa ketika ada suatu ledakan dan lain sebagainya kan sebenarnya pihak kepolisian itu harus proaktif ya untuk mencari tahu dari mana sumbernya. Terus dari mana bahan-bahan yang dipakai karena ketika adanya ledakan itu, sederhana saja bisa berasumsi bahwa ledakan itu bisa jadi gerakan-gerakan terorisme sederhananya seperti itu,” imbuhnya.
Ahmad Fatan juga menilai proses pengusutan yang dilakukan polisi terkesan janggal, karena pihak kepolisian terus melakukan pemanggilan saksi. Menurut catatannya sudah ada enam saksi yang diperiksa termasuk satu ahli dan beberapa bukti. Ia menyayangkan tidak ada langkah-langkah konkret yang dilakukan kepolisian untuk menuntaskan kasus teror bom ini selain dengan mengeluarkan SP3 setelah berlarut-larut.
“Nah ini yang menjadi janggal ketika ditanya apakah ada tindak pidana, terus apakah ada alat bukti, sebenarnya kalau melihat rekonstruksi itu sudah mencukupi dua alat bukti dan hal-hal seperti sudah menjadi dasar untuk bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya sampai mencari tersangka. Ini yang menjadi permasalahan betapa lamanya proses pemeriksaan mulai dari 23 Januari sampai kita dapatnya surat pemberitahuan SP3,” papar Ahmad Fatan.
“Mencari tahu siapa otak pelaku dan lain sebagainya, karena itu penting untuk dibuka kembali laporan polisi yang sudah dilaporkan oleh Victor sendiri melalui mekanisme yang disiapkan negara ya praperadilan,” tambahnya.
Tim kuasa hukum Victor Mambor lainnya, Andi Astriyaamiati Al, menambahkan inti dari persidangan permohonan praperadilan yang sudah digelar pada Jumat (28/06/2024) adalah menyatakan surat perintah penghentian penyidikan nomor SPPP/8/III/2024/Reskrim tertanggal 1 Maret 2024 Jo surat ketetapan tentang penghentian penyidikan nomor S.Tap/8/III/2024/Reskrim tertanggal 1 Maret 2024 dikeluarkan oleh Polsek Jayapura Utara adalah tidak sah dan cacat hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat dan selanjutnya dengan putusan itu memerintahkan termohon (kepolisian, red) untuk melanjutkan penyidikan perkara.
Bukan kekerasan pertama yang dialami Victor Mambor
Terpisah, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung mengatakan pihaknya (AJI, red) akan mengawal kasus teror bom jurnalis ini sampai tuntas sampai pelaku yang melakukan teror bom diadili sampai ke pengadilan. Selain itu, AJI melihat ada kejanggalan dalam proses SP3 atau penghentian perkara yang dikeluarkan Polsek Jayapura. Dimana SP3 yang dikeluarkan kedua oleh Polsek Jayapura setelah disurati oleh tim kuasa hukum korban berbarengan pemeriksaan Victor Mambor.
Kejanggalan lain, papar Erick, penerbitan SP3 pertama itu dikeluarkan oleh Polda Papua secara diam- diam pada 12 Mei 2023. Hal ini baru diketahui pelapor setelah ada pemberitahuan dari Komnas HAM kantor wilayah Papua jadi bukan langsung dari kepolisian atau Polda Papua yang menyerahkan pemberitahuan tersebut.
“Ini bukan kasus pertama yang dialami oleh Victor Mambor, sebelumnya ada kasus teror berupa intimidasi, ancaman mobil di depan rumahnya pernah dirusak dicoret-coret oleh orang tidak dikenal kemudian kacanya pecah. Nah itu juga telah kita laporkan Polsek Jayapura Utara ya tapi sampai sekarang tidak ada kemajuan dari proses hukumnya, artinya kasusnya sampai sekarang masih mandek,” paparnya.
Apa yang menimpa Victor Mambor, kata Erick, adalah persoalan yang serius. Sebagai jurnalis yang melakukan liputan di Papua, Victor sudah mengalami kekerasan berulang-ulang. Di ranah digital, Victor juga pernah mengalami serangan digital berupa doxing kemudian ada upaya peratasan di media sosial hingga akun WhatsApp.
“Ini serang yang beruntun dialami Victor tapi pihak kepolisian tidak melihatnya sebagai sebuah serangan serius terhadap kebebasan Pers di tanah Papua, hal ini bisa semakin melanggengkan praktik impunitas terhadap kasus-kasus kekerasan jurnalis. AJI mendesak Kapolri untuk memerintahkan anak buahnya membuka kembali kasus ini, harus diusut hingga tuntas. Kami akan memonitor kasus ini secara nasional, ada 40 kota di seluruh Indonesia akan memonitor kasus ini jadi kita tidak akan membiarkan kasus ini menjadi sebuah preseden buruk terhadap kemerdekaan Pers di tanah Papua,” pungkas Erick.