Suara Tanpa Pemilik

Oleh : Maria Rita Hasugian

INDEPENDEN-- Onggokan batu pengeras jalan berserakan menutupi badan jalan Desa Oelomin, Kecamatan Nakamese, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.  Onggokan batu yang disebut warga sebagai sertu itu panjangnya mencapai satu kilometer. Jalan tak beraspal dan genangan air hujan di musim hujan saat ini membuat pengemudi kenderaan bermotor maupun pejalan kaki kesulitan mengakses jalan. Sudah sebulan pecahan batu teronggok di jalan tanpa tahu siapa pemiliknya.

Meriana Henderina Afi, 47 tahun, penyandang netra menjadi korban. Saat perayaan Natal di gereja dekat rumahnya akhir Desember 2023 hujan deras turun, dia terpaksa menunggu satu jam untuk mendapat bantuan warga.

Alhasil pergi dan pulang gereja, dia digendong agar tidak terjatuh.

 “Tidak bisa lewat [sendiri], waktu itu berdiri hampir satu jam,” ujar Meriana.

 

Sirtu misterius ditaruh di pinggir dan tengah  jalan sepanjang satu kilometer  oleh orang tak dikenal  di desa Oelomin Kec Nakames Kab Kupang (Foto Maria Hasugian)

 

Kepala Desa Oelomin, Yeheskiel Osman Yulanus Ablelo sampai mengeluarkan pengumuman di gereja agar umat mencari tahu siapa pemilik batu sertu itu. Onggokan batu misterius itu diduga ulah tim sukses satu calon legislatif partai besar di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mendulang suara warga pada 14 Februari 2024 mendatang.

“Saya tidak diberitahu tentang sertu ini,” kata Yeheskiel, salah seorang warga, kesal.

Kades Oeletsala, In Bilaut mengatakan, onggokan batu pengeras jalan Desa Oelomin juga ditawarkan di desanya. Namun dia dengan tegas menolaknya.

“Ini cara-cara lama, gaya-gaya lama, beta sonde setuju,” kata In.

Cara begini rupanya dipakai caleg dan tim suksesnya di pemilu-pemilu sebelumnya. Setelah dapat suara dari warga desa, ujarnya, mereka menghilang dan tak datang lagi hingga pemilu berikutnya.

In kemudian berpesan agar warganya termasuk 59 yang difabel untuk berhati-hati dalam memberikan suara mereka pada 14 Februari 2024 nanti.

Kenekatan para caleg demi mendulang suara di pemilu 2024 juga diungkapkan Ketua Perhimpunan Tuna Netra Indonesia (Pertini) Kota Kupang, I Made Astika Dhana.

Pertuni Kota Kupang sudah beberapa pemilu memperjuangkan pengadaan rumah bagi para tuna netra namun belum pernah ada hasilnya.

Sekitar 50 kepala keluarga penyandang netra saat ini masih tinggal di kos atau rumah sewa di Kelurahan Maulafa, Kecamatan Maulafa atau dikenal kawasan Tofa di Kota Kupang. Bahkan ada netra bersama keluarganya sudah belasan tahun tinggal di kos.

Para caleg yang terhormat itu menjanjikan akan melakukan pengadaan rumah setiap kali kampanye.

Namun, janji tinggal janji.  Hingga satu caleg untuk pemilu 2024 ini datang menemui Made menawarkan rumah  eks pengungsi Timor Timur untuk ditempati para netra.

Si caleg sebut rumah itu gratis. 

“Saya pertanyakan apakah tidak menyalahi sedangkan kami bukan warga eks Tim-tim,” ujar Made.

Ketua Perkumpulan Tuna Daksa Kristiani (Persani) NTT, Serafina Bete juga membagikan cerita menggelikan tentang kelakuan beberapa caleg. Mereka, menurutnya, hanya datang untuk mendapatkan suara, tanpa punya kepedulian kepada difabel.

Jadi, ujarnya, satu hari beberapa caleg yang akan ikut Pemilu 2024 menemui mereka untuk meminta dukungan suara.

Serafina meresponsnya singkat: “Ya Ibu, Bapak, kami dukung dalam doa.”

Setelah para caleg pulang, mereka bercanda: “Ya, kalau ingat didoakan, tidak ingat ya lupakan saja. Tidak ada untung juga bagi disabilitas.”

Kesadaran para difabel tidak mau jadi objek caleg semakin menguat. Meski mereka mengakui ada segelintir caleg yang sungguh peduli pada difabel. 

Elmi Sumarni Ismau, Wakil Direktur Garamin NTT menyebut nama Tuce Otniel Apsalon Takesan, mantan Kades Oelomin.

“Di masa Pak Tuce jadi kades, atas inisiatifnya dia membangun bidang miring di kantor desa hingga ke kamar mandi,” ujar Elmi difabel fisik.

Tuce juga yang membantu agar warganya mendapatkan bantuan fasilitas seperti kaki palsu dan bantuan untuk kelompok pemberdayaan ekonomi bagi warganya yang difabel. Dia tidak pernah absen untuk menjemput dan mengantar warganya untuk  hadir di Posyandu.

Tuce, caleg Partai Gerindra dari Dapil 4 Kabupaten Kupang saat ditemui di rumahnya menuturkan, dia mendapat dukungan nyata dari warga Kecamatan Nakamese. Dia juga sudah menyiapkan program khusus untuk memberdayakan penyandang disabilitas di dapilnya. Sehingga dia tidak perlu mengumbar janji-janji kosong demi mendapatkan suara. 

“Saya ingat saat saya menjadi kepala desa, selalu bekerja sama dan bersama-sama dengan difabel untuk bisa mendengar suara hati mereka, untuk menjawab kebutuhan yang betu-betul mendesak dan menjadi prioritas mereka,” kata Tuce.

 

 

 

Hanya saja para difabel yang ditemui tidak memiliki informasi tentang profil caleg di tingkat Provinsi, DPR RI dan DPD NTT, yang memiliki visi dan misi untuk kepentingan difabel, mengingat perjuangan legislasi untuk kepentingan difabel tak hanya di tingkat kabupaten.

“Caleg untuk Kabupaten Kupang sudah, di provinsi belum tahu karena belum tahu visi dan misi,” kata Elmi.

Serafina mengaku tidak punya pilihan untuk caleg DPR Provinsi, DPR RI termasuk DPD.

Dia tertawa menyadari  tidak punya informasi tentang caleg saat masuk ke bilik TPS pada 14 Februari nanti.

“Pokoknya lihat paling ganteng, paling cantik. Mungkin kami berdoa untuk bisa punya indra keenam jadi bisa membaca visi dan misinya dari wajah di foto (kartu suara). Saya bisa meramal,” ujarnya tertawa.

Selain itu, semua difabel yang ditemui belum pernah mengetahui aktivitas anggota DPD NTT. Bahkan bertemu wajah pun tidak pernah. Sehingga mereka belum tahu apakah akan menggunakan hak suaranya atau tidak di TPS.

Sekretaris Tim Pemenangan Suara Golkar di NTT, Debi Angkasa mengaku isu pemilih dengan disabilitas terabaikan. Meski dalam setiap rapat forum caleg, ujarnya, Ketua DPD Golkar Melkianus Laka Lena mengingatkan caleg untuk memperhatikan semua kebutuhan masyarakat.

“Mungkin kita belum biasa berpikir tentang difabel. Terabaikan,” ujar Debi.

Ironisnya, Golkar memiliki caleg difabel untuk Kota Kupang, Viktor Haning yang juga figur publik di NTT karena aktivitasnya sebagai Ketua National Paralympic Committee NTT.

Debi juga mengaku tidak mengetahui ada data KPU tentang jumlah pemilih difabel sebanyak 46.251 orang.

“Kami harus akui itu memang terabaikan,” ujarnya.

Ketua DPD Gerindra NTT Esthon L Foenay tidak merespons pesan whatsapp maupun telepon untuk menjelaskan tentang program kerja partai bagi penyandang disabilitas. Begitu juga Ketua DPD PDIP Emmy Nomleni beralasan ada kedukaan sehingga tidak merespons.

Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana, John Tuba Helan mengatakan fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada rakyat jarang dilakukan. Hal ini berdampak pada kualitas demokrasi khususnya pemilu.

 

 

 

 

Fungsi partai politik diatur dalam Undang-Undang Partai Politik Bab 11 ayat 1: sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Justru yang muncul ratusan baliho caleg terpampang di pinggir jalan kota hingga ke desa-desa. Baliho itu tidak memberikan makna apapun tentang pendidikan politik kepada masyarakat NTT.

 “Para caleg hanya pasang baliho sebagai benda mati, tidak bisa berkomunikasi dengan para pemilih. Tidak ada dialog, diskusi mengenai hal kenegaraan,” kata John.

Sehingga rakyat memilih tanpa mengenal mereka yang dipilih. Pemilu hanya sebuah rutinitas lima tahunan tanpa memberikan dampak pada kehidupan rakyat.


*****

Kenes Maleakhi Taebonat bersama dua temannya duduk berdampingan di atas kursi kayu di teras rumah yang asri. Senyum sumringah mereka menyambut saya dan tim Garamin.

Garamin adalah  LSM di Kota Kupang yang fokus menyuarakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak difabel di NTT.

“Katong su satu jam tunggu di sini,” kata Kenes, 33 tahun tertawa lebar membuka pembicaraan pada Rabu sore, 24 Januari 2024. 

Kami menyatakan permohonan maaf membuat mereka menunggu selama itu. Sebelum ke rumah orangtua Kenes di Desa Oben, Kecamatan Nakamese, Kabupaten Kupang, kami terlebih dahulu berkunjung ke Desa Oelomin. Kedua desa ini bertetangga. 

Beberapa menit berlalu, seorang perempuan keluar dari dalam rumah menggunakan tongkat. Dia menyebut namanya  Ribka Ronita, 39 tahun, kakak kandung Kenes.

Riba dan Kenes merupakan penyandang disabilitas fisik. Dua teman mereka, Barnabas Adonis dan Ari Faksat Nenobais juga penyandang disabilitas fisik. 

Kenes yang humoris mencairkan suasana. Dia mengungkapkan kegembiraannya akan dilantik sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Pemilu 2024.

Kenes lalu merinci aktivitas yang segera dia lakukan di antaranya mempersiapkan agar Tempat Pemungutan Suara (TPS) ramah terhadap difabel.

“Mejanya sonde terlalu tinggi, ketika ada difabel datang harus didahulukan agar tidak menunggu lama,” ujar Kenes, fasilitator desa Oben.

Dia teringat saat memberikan suara di TPS pada Pemilu 2019  harus mengantri sekitar 30 menit. Kenes digendong karena belum punya kursi roda. Petugas TPS mengutamakan pemilih lanjut usia (lansia). Begitu tiba di bilik untuk mencoblos surat suara, dia kesulitan menjangkau meja.

Masalah ini muncul karena Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelengara pemilu kurang memperhatikan kebutuhan difabel. Bahkan tidak ada pendataan difabel maupun kebutuhan difabel oleh penyelenggara pemilu 2019.

“Difabel tidak didata seluruhnya. Mereka hanya lihat sekilas. Jadi difabel mental yang ada tidak didata. Pernah teman kami difabel bicara, tapi dia tidak didata,” ujar Kenes.

Ada kemajuan di Pemilu 2024. Kenes merupakan satu dari sejumlah difabel di Kabupaten Kupang yang menyambut seruan difabel berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.  Setelah pemilu-pemilu sebelumnya para difabel dipandang sebelah mata.  

Yafas Aguson Lay,  Direktur Garamin NTT menjelaskan penyelenggara pemilu memberi ruang partisipasi bagi difabel mulai Pemilu 2019. Penyelenggara pemilu juga mulai mendata kebutuhan para difabel dalam pemilu.

“Saya ikut mendaftar sebagai relawan demokrasi untuk memberikan sosialisasi pemilu 2019 untuk teman-teman disabilitas. Bagaimana menggunakan hak pilih mereka, aksesbilitas untuk surat suara,” kata Yafas.

Sejumlah organisasi difabel NTT kemudian memberikan saran ke KPU dan Badan Pengawas Pemilu agar difabel diperhatikan dalam Pemilu selanjutnya.

Saran tersebut mendapat respons dari KPU NTT dalam Pemilu 2024 dengan membuat Gerakan Ramah Disabilitas dengan tagar “Kami Ada, Kita Setara”. Gerakan  yang berlangsung selama Oktober 2023 di antaranya  mendata semua difabel di 21 Kabupaten dan Kota di NTT. KPU juga mendata kebutuhan para difabel untuk pemilu.

Hasil pendataan selama 30 hari itu, KPU menyebut ada 46.251 difabel yang masuk daftar pemilih tetap.  
Untuk pemilu 2024, KPU mencatat  sebanyak 4.008.475 pemilih, dan  1,1 persennya (46.251 orang) di antaranya adalah difabel.

KPU juga mendata sebanyak 992 caleg akan memperebutkan 65 kursi untuk delapan daerah pemilihan di NTT. Untuk DPD NTT, ada 17 calon yang akan memperebutkan 4 kursi pada pemilu 2024.  

 

Catatan Redaksi

Hasil liputan ini   merupakan kolaborasi dari Independen.id, AJI dengan media penerima beasiswa liputan Pemilu 2024 didukung USAID MEDIA - Internews

kali dilihat