INDEPENDEN --BONTANG – Nama daerah Pemaluan diambil dari sebutan ‘Tange’ atau Sungai Pemaluan. Rumpun asli di wilayah Pemaluan adalah Suku Balik.
Dari cerita yang berkembang di masyarakat. Asal mula nama Sungai Pemaluan terdapat dua versi.
Pertama, saat era kerajaan. Seorang sentuon di Suku Balik yang mendiami wilayah tersebut kala itu, memiliki seorang putri dengan sifat pemalu. Sifat pemalu gadis tersebutlah yang digunakan untuk menamai Sungai Pemaluan.
Sentuon merupakan seorang tokoh yang dituakan dan begitu dihormati.
Sementara cerita lainnya, nama Sungai Pemaluan berasal dari nama senjata andalan salah satu tokoh suku Balik pada era kerajaan dahulu. Senjata tersebut seperti sebuah gada terbuat dari kayu. Warga menyebutnya pemalu kemudian ditambah imbuhan kata -an. Sehingga disebut Pemaluan.
Tapi tidak diketahui siapa nama tokoh yang dimaksud dan di tahun berapa mereka hidup kala itu.
Namun berdasarkan informasi yang berhasil dirangkum, nama Pemaluan sendiri diberikan oleh Sentuon Suku Balik yang bernama Tam Belango.
Kelurahan Pemaluan merupakan satu dari empat kelurahan yang ada di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim). Jaraknya kurang lebih sekitar 15 KM dari lokasi utama pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Menurut cerita orang tua dulu ada dua macam (versi). Tidak tahu mana yang benar,” cerita Kepala Adat Balik Kelurahan Pemaluan, Jubain.
Kata Jubain, di wilayah Kabupaten PPU terdapat beberapa sungai tua, dan sudah ada sejak zaman kerajaan, diantaranya Mentawir, Sepaku, Pemaluan, Maridan dan Riko. Semua nama daerah itu diambil dari nama sungai yang membentang di wilayah tersebut.
“Yang jelas nama Pemaluan diambil dari nama sungai. Begitu juga Mentawir, Sepaku, Maridan dan Riko,” sambungnya.
Lebih jauh Jubain bercakap, sebelum ada perlintasan jalur darat. Jalur transportasi warga Pemaluan satu-satunya hanya melalui sungai. Ketika hendak berkunjung dari desa satu ke desa lainnya.
Sungai Pemaluan juga merupakan salah satu tempat warga menggantungkan kehidupan mereka, mulai dari mencari ikan, air digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, melakukan tradisi adat melepas jakit dan sebagainya.
Masyarakat juga memanfaatkan kekayaan alam yang tumbuh di sekitar sungai. Mereka memanfaatkan pohon nipah yang tumbuh di bibir sungai. Daunnya diambil untuk dijadikan atap serta dinding rumah ataupun pondok dan lainnya.
Jangan heran, masyarakat Suku Balik zaman dulu lebih memilih untuk membuat pemukiman di sekitar sungai Pemaluan.
“Dulunya sungai sebagai wadah mencari kehidupan bagi warga,” terang Jubain.
Namun kondisi Sungai Pemaluan sekarang nyaris tidak bisa digunakan lagi. Jangankan untuk dikonsumsi, untuk mandi pun tidak bisa.
Semua itu terjadi akibat pembangunan yang ada di kawasan hulu sungai, pada puluhan tahun silam. Sekarang kondisi air sungai tidak sebersih dulu karena sudah kecokelatan dan keruh.
Untuk kebutuhan air bersih sehari-hari kini warga Pemaluan mengandalkan sumur dan sebuah embung penampungan air.
“Kalau dulu air sungai bisa langsung diminum (tanpa direbus) karena hutan masih asri. Kalau sekarang sudah tidak bisa digunakan,” ujarnya.
Jubain menjelaskan dulu Sungai Pemaluan memiliki lebar sekira empat sampai lima meter dengan panjang mencapai 50 km. Bagian hilir sungai langsung mengarah ke muara laut, Bersisian dengan muara sungai lain seperti sungai Sabut, sungai Sepaku, sungai Serunin dan lainnya.
Kini ada informasi sungai itu akan dilebarkan demi menjadi perlintasan kapal sebagai penunjang pembangunan IKN saat ini. Luas pelebaran sungai Pemaluan akan mencapai 60 meter. Dengan masing-masing sisi kiri kanan sungai dileberkan 30 meter.
Lalu sisi sungai juga akan diturap.
Tradisi Adat Melepas Jakit
Salah satu tradisi penting Suku Balik adalah melepas jakit.
Jubain menjelaskan tradisi melepas jakit dilakukan bagi mereka yang memiliki garis keturunan leluhur yang menempati sungai Pemaluan.
Sungai Pemaluan merupakan sungai tertua yang ada di Kelurahan Pemaluan. Jadi umumnya proses melepas jakit dilakukan di sungai tersebut.
“Melepas jakit bisa dilakukan bagi yang memiliki keturunan dari air. Biasanya identik dengan buaya,” sebutnya pada Sabtu (17/2/2024).
Warga Pemaluan percaya jika terlihat seekor buaya memiliki lima jari. Maka itu adalah roh leluhur yang tengah menjelma menjadi buaya. Tapi jika jarinya hanya ada empat. Maka itu adalah binatang buas atau predator air.
Konon ceritanya, kenapa kayu tersebut dibentuk seperti wujud buaya. Warga meyakini jika leluhur mereka menjelma menjadi se ekor buaya dan menjaga di Sungai Pemaluan.
Tradisi melepas jakit dilakukan saat ada keluarga yang mengalami sakit, dan tidak kunjung sembuh. Meski sudah menjalani pengobatan medis, bahkan tidak diketahui sakit apa yang diderita.
Maka metode pengobatan kampung melalui ritual melepas jakit menjadi pilihan mereka. Tradisi ini sekaligus mencari tahu apa yang menyebabkan anggota keluarga menjadi sakit.
“Dari ritual itu, ibaratnya kami mencari tahu (penyebab sakit). Apakah ini diganggu dari roh nenek moyang atau leluhur. Kata orang tua dulu bisa saja keteguran dari air, karena lama tidak diritualkan dan kirim doa. Biasa dia (leluhur) menagih dan bisa menyebabkan sakit bagi kami yang memiliki keturunan,” kata Jubain.
Jakit terdiri dari beberapa bahan yang tidak boleh kurang satu pun.
Misalnya pisang ambon satu sisir dengan jumlah ganjil, ayam bakar dan ayam hidup, lilin, beras berwarna hitam, putih, merah. Kemudian ketan, beraneka macam, pucuk daun nipah.
Ada juga kayu baru dan kayu pelantan diukir seperti buaya, sebuah wadah terbuat dari anyaman bambu yang disebut ancak dan lainnya.
“Bahan kue itu dibentuk macam-macam bentuk binatang yang ada di air. Seperti ikan udang dan sebagainya. Kayu jerutung (kayu pelantan) dan kayu baru harus juga harus ada, nanti diukir seperti buaya. Baru di taruh di ancak, kemudian dilepas ke air (sungai Pemaluan) sama ayam hidup. Kalau ayam bakarnya untuk dimakan,” kata Jubain.
“Baru dimamang-mamang (sambil berbicara). Saya sudah lepaskan hajat saya, tolong disembuhkan yang sakit,” sambungnya.
Untuk menggelar ritual itu tidak ada waktu pasti. Namun dalam berapa bulan atau dalam kurun setahun harus dilakukan berapa kali.
Melepas jakit dilakukan saat ada keluarga yang sakit, atau bagi mereka yang memiliki nazar kepada roh leluhur yang ada di air. Ketika janji itu tidak sengaja terlupakan maka leluhur akan memberikan teguran berupa sakit.
Teguran dari leluhur tersebut kata Jubain tidak bisa dianggap sepele dan diabaikan begitu saja. Karena bisa berakibat fatal bagi mereka yang memiliki garis keturunan.
“Tidak mesti setiap bulan. Kalau mau setahun juga boleh. Tapi kadang kami punya kesibukan jadi kadang lupa hal seperti itu. Intinya begitu, kalau kami lama tidak pedulikan dia (leluhur, red) biasanya dia menagih dan memberikan teguran. Karena kalau tidak diperdulikan bisa nyawa juga taruhannya, karena tidak akan sembuh-sembuh dari sakit,” cerita Jubain panjang lebar.
Tradisi itu pun masih mereka jaga dengan baik sampai sekarang dan penting sebagai identitas mereka sebagai suku Balik.
“Memang dari leluhur sudah melakukan itu, boleh dikatakan tradisi adat istiadat. Bisa jadi nenek moyang kami dulu sama yang di air itu bersaudara. Penting menjaga tradisi takutnya nanti ketika yang tua-tua sudah enggak ada nanti mereka yang muda tidak tahu membuat jakit, karena tidak semua tahu isinya (cara membuat jakit). Jadi berbahaya kalau diabaikan karena nyawa bisa jadi taruhannya,” ungkapnya.
Akan Semakin Sulit
Yanah (52) salah satu perempuan adat Pemaluan menilai dengan adanya wacana pelebaran Sungai Pemaluan sekaligus akan diturap. Maka tradisi melepas jakit tidak mungkin bisa lagi dilakukan di sungai Pemaluan.
Setelah jakit dihanyutkan di sungai, mereka harus mengambil sedikit air sungai dimana ritual melepas jakit dilakukan. Kemudian air itu digunakan untuk membasahi tubuh para kerabat atau keluarga yang ada di dalam rumah.
Yanah tidak rela jika ritual itu ditiadakan bila Sungai Pemaluan dilebarkan.
“Kalau gitu gimana mau ngelepas jakit sama ngambil air. Setelah jakit dilarutkan di sungai, air sungai itu diambil. Enggak mungkin bisa kami tinggalkan tradisi dari nenek moyangi. Itu kan sebagai penanda kami sebagai warga sini (Pemaluan),” kata Yanah.
Kata Yanah, salah satu bahan untuk membuat jakit, yakni kayu baru hanya tumbuh di pinggir sungai Pemaluan. Kayu itu akan diukir berbentuk buaya.
“Untuk buat jakit tidak boleh kayu lain, harus kayu baru. Karena memang sudah begitu dari dulu untuk buat jakit. Orang tua dulu pernah liat nenek moyang muncul, wujudnya buaya putih. Sekarang enggak pernah lagi menampakkan diri,” kisah Yanah pada Senin (12/2/2024).
Keresahan Yanah sama seperti Elis (37) yang juga perempuan adat Suku Balik.
“Enggak tahu gimana nanti kalau sungai dilebarkan. Seperti apa wilayah kelola adat kami apakah masih ada,” ujar Elis.
Menurut Elis, ritual melepas jakit telah diajarkan turun-temurun oleh para nenek moyang warga setempat. Masih kentalnya tradisi dan adat istiadat yang masih dipegang teguh warga Pemaluan. Terbersit sebuah pertanyaan dalam benak Elis. Apa masih memungkinkan hal itu dilakukan di sungai tersebut kedepannya.
“Setelah pelebaran nanti, bisa enggak (sungai) masih dipakai buat melepas jakit. Gimana caranya nanti, kan mau ditanggul juga (tepi sungai) kiri dan kanan sungainya. Gimana caranya nanti,” kata Elis. Minggu (11/2/2024).
Bagi Elis, menjaga sebuah tradisi adat kebudayaan sangat penting dan sebuah keharusan. Ini penting agar generasi muda suku Balik tidak buta akan tradisi dan budaya peninggalan leluhur.
Di sisi lain, sungai sebagai identitas diri sebagai masyarakat adat suku Balik. Agar tidak terlupakan ditengah perkembangan di era digital.
Selain untuk melepas jakit dan wilayah kelola bagi perempuan adat. Pinggiran Sungai Pemaluan juga dimanfaatkan untuk mengambil daun nipah, mencari lokan atau tude (kerang darah), bahan untuk membuat jakit dan mencari tembiluk (sejenis ulat yang hidup pada batang kayu yang sudah tua). Serta masih banyak lagi yang bisa dimanfaatkan di sekitar pinggir sungai itu.
“Banyak hal yang bisa kami manfaatkan dari sana,” ujar Elis.
Menurut Elis, sungai tersebut sangat pentingnya bagi kehidupan mereka dan seharusnya pemerintah mencari tahu lebih dulu fungsi dan manfaat sungai Pemaluan bagi warga.
Belum lagi, bagaimana upaya mereka selama ini menjaga dan mengelola sungai Pemaluan sebagai wilayah kelola adat.
Dia menilai, hal-hal seperti ini yang tidak pernah dipikirkan dan diperhitungkan oleh pemerintah.
“Pemerintah tidak tahu kebutuhan masyarakat adat, harusnya mereka cari tahu dulu (sebelum membuat kebijakan). Selain itu banyak hal yang bisa kami manfaatkan, dari yang ada di kawasan pinggir sungai,” bebernya.
Manfaatkan Alam Untuk Sumber Kehidupan
Mencari daun nipah di Sungai Pemaluan menjadi pekerjaan bagi Hidayanti (53) sejak lama. Dari daun tersebut dia bisa mendapatkan uang tambahan untuk menyambung hidup.
Daun nipah yang sudah kering diolahnya menjadi sebuah atap. Kemudian dijual kepada warga yang memerlukan daun itu untuk dijadikan atap rumah kebun dan kandang ayam.
Wanita 53 tahun tersebut memang memiliki kebun, tapi hasil kebunnya tidak mungkin bisa dipanen setiap hari untuk mendapatkan pemasukan.
“Kalau habis bersihkan kebun, ya cari daun nipah. Satunya paling Rp 5.000 lakunya. Panjang sekitar dua meter (daun nipah sudah diolah),” kata dia. Minggu (11/2/2024).
Dalam sekali membuat atap dari daun nipah, wanita berusia 53 tahun itu bisa mengolah hingga ratusan atap daun. Tergantung seberapa banyak orang memesan.
Atap dari daun nipah terbilang awet. Daya tahannya bisa mencapai dua hingga lima tahun. Tergantung bagaimana cara pemasangannya. Semakin rapat daun itu disusun. Maka ketahanannya semakin terjaga.
“Paling 100 sampai 200an kalau orang pesan. Biasa buat pondok (rumah kebun). Kalau daun nipah dingin tidak panas. Semakin tua semakin kuat,” terangnya.
Pohon Nipah adalah sejenis palem yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Untuk memperoleh daun nipah, Hidayanti harus menuju arah muara Sungai Pemaluan yang mengarah ke laut.
“Kalau bagian atas sungai enggak ada nipah. Dia biasa tumbuh dekat air asin,” sebutnya.
Apabila Sungai Pemaluan benar dilebarkan. Tidak menutup kemungkinan pohon nipah dan tumbuhan lainnya, bakal dibabat habis. Dia pun tidak tahu bagaimana mencari nipah nantinya.
Hidayanti juga belum memiliki tujuan akan pindah kemana apabila kelak rumahnya harus digusur. Imbas dari pelebaran sungai yang tidak jauh dari rumahnya.
“Enggak tahu gimana ke depannya. Tempat tinggal saja saya masih bingung. Karena rumah ini saja kena untuk pelebaran sungai,” ungkapnya.
AMAN Kaltim Minta OIKN Tidak Ganggu Hak Masyarakat Adat
Ketua PH. Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Timur (AMAN Kaltim), Saiduani Nyuk mengaku sudah sejak lama berjuang bersama masyarakat Sepaku dan Pemaluan demi mempertahankan wilayah adat yang dimiliki warga.
AMAN Kaltim juga sudah mengingatkan pemerintah agar pembangunan IKN tidak mengganggu dan bahkan merusak hak-hak masyarakat adat. Seperti sungai di Pemaluan dan Sepaku, adat, tradisi, situs-situs sejarah dan lainnya yang ada di sana.
Kata dia, mereka juga berapa kali melakukan dialog dengan pihak Otorita IKN (OIKN). Otorita IKN juga sudah berjanji tidak akan melakukan penggusuran atau pengrusakan kembali terhadap situs maupun wilayah kelola adat milik masyarakat.
“Kalau ada pembangunan yang merusak tentu AMAN Kaltim sangat menolak keras dan mengecam sikap pemerintah yang mencoba merubah atau merusak dan bahkan memindahkan masyarakat adat di sana (Pemaluan),” kata Saiduani.
Saiduani Nyuk meyakini, masyarakat adat Pemaluan bisa tumbuh dan berkembang serta hidup berdampingan ditengah pembangunan IKN. AMAN Kaltim mendesak pemerintah membuat pengakuan agar melakukan perlindungan dan pemberdayaan kepada masyarakat adat di Pemaluan.
“Jangan gangu masyarakat adat, biarlah mereka hidup berdampingan. Berikan akses kelola terhadap wilayah adat untuk mereka,” kata dia menambahkan masyarakat adat sudah ada puluhan tahun mendiami lokasi tersebut. Jauh sebelum adanya pembangunan IKN saat ini.
Saat ini Suku Balik merupakan suku dengan jumlah masyarakat terkecil di Kaltim, dan terancam punah. Sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan, tidak melakukan perampasan, perusakan situs wilayah suku Balik.
“Apalagi Suku Balik di Sepaku dan Pemaluan saat ini sudah mulai terancam punah. Sehingga mereka harusnya dilindungi,” ujarnya.
Wacana Pelebaran Sungai Pemaluan Untuk Siapa
Sungai Pemaluan memiliki banyak biodiversity atau makhluk hidup, baik itu dalam bentuk makhluk hidup yang bersifat satwa maupun tumbuhan.
Pelebaran itu dan alihfungsi sungai sangat beresiko bagi biodiversity yang ada di sungai Pemaluan. Apalagi masyarakat adat Pemaluan banyak bergantung kepada ekosistem sungai.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Timur (Kaltim), Fathur Roziqin Fen.
“Keanekaragaman hayati itulah yang kerap hilang dari proses pelebaran sungai. Resiko itu yang tidak pernah diperhitungkan pemerintah. Serta tidak pernah melibatkan masyarakat yang selama ini bergantung pada ekosistem sungai,” ucapnya.
Menurutnya, apabila ingin membangun suatu hal, maka harus ditinjau secara pendekatan alam lebih dulu.
“Keanekaragaman hayatinya pasti berdampak, di mana selama ini masyarakat bergantung di ekosistem sungai. Jadi melihat harus secara objek by objek,” jelas Fathur Roziqin.
Fathur Roziqin juga mempertanyakan tujuan pemerintah melakukan normalisasi sungai pemaluan. Dia berpendapat, pemerintah harus meninjau ulang hal ini.
Masalah tidak ada alasan untuk pelebaran sungai, termasuk untuk mengendalikan banjir.
“Apa tujuannya hanya untuk mempercantik kawasan IKN dan rela menghilangkan akses masyarakat terhadap bioversity sungai itu sendiri. Jadi kita letakkan pada pendekatan bentang alam,” tambahnya.
Sungai Pemaluan sudah sejak puluhan tahun lalu tercemar, dan tidak lagi bisa dikonsumsi masyarakat akibat adanya pembangunan di kawasan hulu.
Dia berpendapat harusnya pemerintah membuat kebijakan bagaimana sungai itu, tetap bisa menjaga keberadaan tanaman dan hewani di sana tetap ada.
“Jadi tidak menjawab keluhan masyarakat yang ditimbulkan dari kawasan hulu sungai. Menjadi pertanyaan saat ini, untuk siapa pelebaran sungai itu sekarang,” ujar Fathur Roziqin.
Sementara itu, saat dikonfirmasi, Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorika Ibu Kota Nusantara (OIKN), Myrna Asnawati Safitri mengatakan jika proyek pelebaran sungai Pemaluan bukan menjadi ranah OIKN.
Namun kegiatan itu berada di bawah tanggung jawab Balai Wilayah Sungai (BWS) IV Kalimantan.
“Bukan ranah kami, tapi BWS,” ucapnya singkat melalui sambungan telepon. Kamis (4/4/2024).
Jurnalis mencoba mengonfirmasi ke BWS IV Kalimantan yang beralamat di Jalan MT. Haryono No.36, Samarinda, Kaltim. Sampai berita ini ditulis Rabu (8/5/2024), sama sekali belum ada memberikan respon maupun jawaban.
Berkaca dari pengalaman sebeumnya, apabila ingin melakukan konfirmasi atau wawancara dengan BWS IV Kalimantan. Diwajibkan untuk bersurat lebih agar bisa membuat janji temu.
Surat konfirmasi mengenai pelebaran sungai Pemaluan sudah dilayangkang sejak Senin (29/4/2024) lalu. Namun belum ada juga tanggapan.
===
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal aksarakaltim.id pada 10 Mei 2024. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.