Oleh: Suryani S Tawari
INDEPENDEN- Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara, kini tidak seperti dulu, banyak berubah. Hutan lebat, kebun dengan taman yang subur nyaris tak lagi terlihat. Ibu-ibu membawa saloi (wadah untuk menaruh hasil kebun) atau para lelaki yang memegang parang dan karung saat pergi atau pulang dari kebun, nyaris tak kita jumpai jalan.
Padahal enam sampai 10 tahun lalu, pemandangan itu selalu kita lihat bila berkunjung ke Desa Lelilef, Sagea dan desa sekitarnya. Sejak tambang beroperasi secara masif di Halteng, yang terlihat hanya pekerja tambang yang lalu lalang hampir 24 jam tanpa henti.
Mereka yang bekerja siang akan berangkat pagi buta dan sorenya pulang. Lalu berganti bagi karyawan yang shift malam. Begitu seterusnya. Ruas jalan di kawasan tambang tak pernah sepi dengan kendaraan para pekerja.
Dulu, masyarakat menggantungkan hidupnya pada alam, bertani. Setelah tambang datang, petani pun hilang. Bukan tanpa alasan para petani yang masih berusia produktif itu beralih menjadi pekerja tambang. Sedangkan bagi petani yang mulai berusia senja memilih untuk mencari pekerjaan lain.
Salah satu alasan mereka tak lagi menjadi petani adalah karena tanah-tanah mereka terpaksa dijual untuk tambang. Selain itu penghasilan sebagai pekerja tambang jauh lebih menjanjikan ketimbang sebagai petani. Sejak pertambangan masuk di Halteng ada banyak lahan pertanian yang berkurang.
Data Dinas Pertanian Provinsi Maluku Utara (Malut) menunjukkan jumlah luas lahan tanam padi/sawah pada tahun 2013 sebesar 1.473 hektar. Menyusut menjadi 19,5 hektar pada tahun 2024. Sedangkan untuk luas lahan tanam pangan lain 185.826 hektar di tahun 2013 kini tinggal 1 hektar di tahun 2024.
Sementara itu luas konsesi pertambangan meningkat pesat. Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara menyebutkan konsesi pertambangan berada di kawasan hutan tahun 2018 seluas 72.775 hektar. Terdiri dari hutan lindung Ake Kobe seluas 35.155 hektar dan hutan produksi Terbatas (HPT) 20.210 hektar. Kemudian, hutan produksi tetap 8.886 hektar, dan hutan produksi dikonversi (HPK) 8.524 hektar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Halteng menyebut luas wilayah Halmahera Tengah yaitu 227.683 hektar. Luas wilayah itu pada Agustus 2018 terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar. Artinya sekitar 60 persen Halteng jadi industri tambang, dan ironisnya sebagian konsesi berada di kawasan hutan.
Lahan yang paling banyak diambilalih tambang menurut data Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Maluku Utara yaitu, Desa Kulo Jaya, Woe Jara, Woe Kobe, Lelilef Waibulen, Lelilef Sawai, Gamat, Sagea. Bahkan di Desa Lelilef Sawai hampir secara keseluruhan pemukiman masuk dalam area konsensi Weda Bay Nikel (WBN) 45.065,00 hektar.
Selain WBN ada perusahan lain yang memiliki konsesi tambang yaitu, PT. Smart Marsindo 666,30 hektar,PT. Aneka Niaga Prima 459,66 hektar, PT. Tekindo Energi 1.000,00 hektar, PT Sapphire Indonesia Mining 291,74 hektar, PT. Harum Sukses Mining 990,00 hektar, PT Bakti PertiwiNusantara 1.232,00 hektar, PT. Dharma Rosadi Internasional 1.017,00 hektar, PT. First Pacific Mining 2.080,00 hektar, PT. Karunia Sagea Mineral 907,20 hektar, PT. Mineral Trobos 315,00 hektar, PT. Smart Marsindo 666,30 hektar, PT. Karya Wijaya 500,00 hektar, PT. Anugrah Sukses Mining 503,00 hektar, PT. Lopoly Mining CDX 47,40 hektar, PT. Bartra Putra Mulia 1.850,00 hektar.
Selain itu, ada juga beberapa perusahan yang luas konsesinya sampai ke Kabupaten Halmahera Timur seperti, PT. Mega Haltim Mineral 13.510,00 hektar dan PT. Wana Halmahera Barat Permai 3.986,00 hektare.
Luasan Halteng lebih banyak diperuntukan kawasan industri ini juga dilihat dari perubahan RTRW Halteng. Peruntukan kawasan industri sebelumnya hanya 538,41 hektar, dalam Perda RTRW No. 1/2012 jadi 15.205 hektar.
Milenial Pilih Jadi Pekerja Tambang
Salah satu mantan petani Lelilef, Halteng, Adam Muharam mengatakan sumber pendapatan masyarakat di Lelilef awalnya dari hasil perkebunan dan kelautan. Tetapi sejak kehadiran tambang di Halteng, sumber pendapatan utama justru bergantung ke industri pengolahan dan pertambangan.
Masyarakat yang tadinya bekerja sebagai petani kelapa dan perkebunan lainnya itu, kini beralih menjadi pekerja tambang. “Masyarakat dari Lelilef, Gemaf sampai Sagea itu rata-rata tidak lagi kerja sebagai petani karena lahan sudah tergerus sejak kehadiran tambang,” ujarnya.
Lahan perkebunan, khususnya Lelilef semuanya sudah terjual. Ada sebagian yang menjual ke perusahaan tambang dengan suka rela dan, ada yang terpaksa menjual lahan perkebunannya karena hasil perkebunan rusak akibat aktivitas pertambangan.
“Kita pertahankan kebun dan tidak menjual juga percuma karena, tetangga kebun justru menjual kebunnya ke perusahan tambang, otomatis aktivitas tambang di kebun mereka itu membuat tanaman di kebun kita rusak,” ucapnya.
Adam akui, dia termasuk salah satu dari sekian banyak petani yang terpaksa menjual lahan kebun. Dia menjual 2 lahan kebun miliknya dengan luas masing-masing kebun 1 hektar. Kebun itu dijual ke PT Tekindo dengan harga Rp150 juta per hektar sehingga totalnya Rp300 juta untuk dua kebun.
Dari hasil jual kebun itu dijadikan modal membuka kios, karena tidak ada lagi sumber pendapatan lain untuk melangsung hidup. Sementara, anak-anaknya selepas kuliah langsung melamar di perusahan tambang dan bekerja di sana.
Dua anak Adam yang memilih kerja di perusahan tambang karena, jadi petani juga tidak ada lagi lahan perkebunan. Belum lagi pendapatan sebagai pekerja tambang menjanjikan. Gajinya Rp5 juta-Rp7 juta per bulan. Ada kepastian pendapatan per bulan membuat anak muda memilih bertahan menjadi pekerja tambang, ketimbang mencari pekerjaan lain.
Sementara pendapatan Adam saat menjadi petani dalam sebulan paling tinggi Rp2 juta. Sedangkan kebutuhan hidup di Halteng rata-rata di atas Rp2 juta dalam sebulan. Artinya, pengeluaran dan pendapatan tidak seimbang.
Banyaknya petani yang beralih ini juga terlihat dalam data yang disampaikan, Aidil Adha, Kepala Badan Pusat Statistik Maluku Utara (BPS Malut). Dia menuturkan jumlah petani di Halteng memang mengalami penurunan. Sedangkan jumlah pekerja di sektor industri pengolahan dan pertambangan justru meningkat.
Jumlah orang yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2018sebanyak 10.798 orang. Masa itu aktivitas industri pengolahan dan pertambangan belum semasif sekarang. Tapi kemudian jumlahnya berkurang menjadi 10.100 orang pada tahun 2023.
Sementara jumlah pekerja industri pengolahan dan pertambangan jumlahnya bertambah dari 4,912 orang (2018) menjadi 7,800 orang (2022) atau bertambah sebanyak 2,888 orang. Ini indikator bahwa ada banyak petani di Halteng yang pindah ke industri pengolahan dan pertambangan.
“Lahan pertanian di Halteng yang tadinya ditanami padi, sekarang sudah beralih ke pembangunan rumah, kosan dan tempat usaha lainnya,” ujar Aidil Adha.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi pertambangan mudah dan jamak terjadi, salah satu sebab karena tidak ada Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan Bupati (Perbub) yang mengatur peralihan status lahan.
Sehingga tidak ada pula peraturan yang melarang alih lahan dari tanaman pangan jadi rumah atau tempat usaha. Akibatnya banyak kemudian lahan pertanian berubah fungsi menjadi kontrakan/tempat kos untuk menampung pekerja tambang.
Ketidakpastian pasar juga mempengaruhi petani untuk menjual lahan pertaniannya. Hasil produksi pertanian seperti kopra, pala, cengkih dan padi sering kali harga turun atau sulit menjual, sehingga mempengaruhi minat orang bertahan sebagai petani.
Pasar yang tidak jelas mempengaruhi sumber pendapatan. Sedangkan di tambang ada kepastian gaji setiap bulan. Maka, para petani kemungkinan merasa di sektor pertanian kurang menjanjikan, dibandingkan dengan kerja di sektor industri pengolahan dan pertambangan.
Kondisi petani yang beralih menjadi pekerja tambang, sebenarnya menimbulkan kerentanan bagi masyarakat lokal. Mata pencaharian mereka tergantung pada perusahaan tambang dan tidak memiliki lahan pertanian sebagai sumber penghidupan.
“Apabila terjadi PHK masyarakat mau kembali menjadi petani juga sudah tidak bisa karenalahan pertanian sudah dijual habis. Dengan begitu kelak memicu kemiskinan baru, “ ujar Aidil Adha.
Menurutnya sektor pertanian harus digenjot lagi dan memastikan ada kejelasan pasar untuk hasil panen. Agar minat orang untuk tetap menjadi petani atau petani milenial akan meningkat.
Kepala Dinas Pertanian Halteng, Yusmar Ohorela mengakui wilayah-wilayah tertentu aktivitas pertanian menurun.Bahkan ada beberapa desa yang tidak ada lagi kelompok tani yang dibina, karena sudah beralih ke pekerjaan lain. Contoh yang paling nyata yaitu, di Weda Tengah, orang kemudian beralih profesi karena pertumbuhan penduduk yang begitu cepat.
Tenaga produktif petani memilih pindah profesi karena kegiatan pertanian dianggap tidak menjanjikan dan citranya pekerjaan rendahan. Milenial cenderung menganggap bekerja sebagai petani itu kotor, sehingga memilih pekerjaan yang lebih dianggap berkelas. Salah satunya di Desa Wairoro yang minat dan semangat bertani anak muda tidak ada.
Wairoro merupakan salah satu desa di Halteng yang berbatasan dengan Halmahera Selatan. Tempat ini menjadi pusat produksi padi di Halteng. Namun luas wilayah produksinya terus mengalami penurunan.
Dulu orang Jawa bertransmigrasi ke daerah ini. Kala itu di usia muda, 1 orang bisa mengerjakan 5 hektar sehingga lahan pertanian di Wairoro 1.000 hektare lebih itu maksimal dimanfaatkan. Beda dengan sekarang, tinggal petani tua sehingga pemanfaatan lahan berkurang. Sementara generasi yang lebih muda, memilih alih profesi.
Data BPS tahun 2018 produktivitas padi dapat mencapai 45,57 kuintal per hektar. Kemudian di tahun 2019 turun menjadi 40,29 kuintal per hektar, tahun 2020 turun lagi ke 38,18 kuintal per hektar. Laju penurunan terus terjadi pada tahun 2021 hanya 35,41 kuintal per hektar dan tahun 2022 tinggal 33,07 kuintal per hektar.
“Secara keseluruhan usia petani di Halteng didominsi usia 40-45 ke atas. Kalau anak milenial cenderung tidak mau jadi petani,” katanya.
Mendorong Petani Milenial
Dinas Pertanian mempunyai rencana untuk menanam padi seluas 100 hektare di wilayah Kobe untuk, mempertahankan status transmigrasi dari awal aktivitas mereka adalah petani. Selain itu, direncanakan lagi 100 hektar untuk lahan cadangan tanaman pangan seperti tanaman pangan lokal, baik itu singkong dan tanaman perkebunan lainnya.
Pendapat senada diungkapkan Dekan Fakultas Pertanian, Lily Ishak. Dia menuturkan Halteng merupakan salah satu lumbung pangan di Malut. Halteng memang masih punya cukup banyak lahan potensial tapi, sebagian lahan potensial sudah milik tambang sehigga tidak bisa diolah padahal itu lahan pertanian.
“Kita khawatir jangan sampai pertambangan tidak bisa mengelola limbahnya, sehingga terdampak pada daerah-daerah aliran sungai di Halteng yang mana digunakan untuk air irigasi pertanian. Jadi Pemkab harus betul betul cek dengan baik,” tegasnya.
Lily juga berharap Pemkab dapat mendorong semangat petani muda sehingga, tidak berpikir bekerja sebagai petani lebih melelahkan dan pendapatan sedikit jadi, lebih memilih pindah sebagai buruh tambang. Petani yang pindah ke tambang juga bekerja sebagai buruh kasar, jadi sewaktu-waktu bisa kena PHK.
Belum lagi berada pada posisi di perusahan yang tidak terlalu penting dengan gaji tidak sebanding dengan kebutuhan hidup yang tinggi di Halteng. “Milenial harus diberi peluang yang besar dari pemerintah untuk menarik mereka mengelola lahan pertanian, sehingga dapat memberikan jaminan ketersediaan pangan di Halteng dan wilayah sekitar di Malut,” ujarnya.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Malutpost.com pada 8April 2024. Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.