Tantangan Industri PLTS Indonesia

Oleh : Betty Herlina 

INDEPENDEN-  Empat baris panel surya berjajar rapi di Desa Banjarsari, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara. Setiap baris terdiri dari tak kurang dari 20 lempeng panel, terhampar dalam kesunyian.

Ketika tiba di lokasi,  Independen hanya bisa mengamati dari luar. Pagar besi mengelilingi lokasi panel surya, lengkap dengan gembok dan peringatan tertulis "Hati-hati ada tegangan tinggi" menyambut kedatangan Independen, membatasi akses menuju sumber energi tersebut. 

Panel-panel tersebut kaku menatap langit, bersiap menyerap cahaya matahari yang hangat. Di sampingnya, ada sebuah bangunan gedung,  menurut warga setempat  biasanya digunakan untuk operasional panel surya. 

Dulunya, panel-panel ini mengakhiri derita gelap gulita yang bertahun-tahun dirasakan pulau di bagian barat Sumatera ini. Listrik yang biasanya hanya hidup setiap pukul 6 sore, dan kadang mati tengah malam, saat ini bisa dinikmati 24 jam dengan biaya relatif murah tak genap Rp50 ribu per bulan.  

Namun kini panel-panel tersebut hanya berdiri sunyi dan membisu. Meski hampir diselimuti semak belukar, lempengan dengan komponen photovoltaic tersebut masih berdiri kokoh. 

Konon, panel-panel ini dirancang tahan terhadap hujan, angin kencang, hingga hujan es dan salju. Bahkan, jika dipasang di atap rumah dapat memperpanjang umur atap karena terbuat dari kaca temper yang kuat.

“Sudah sejak tahun 2018 panel surya ini tidak digunakan lagi. Persisnya sejak PLN masuk ke Enggano,” kata Yopi Priansyah, Sekretaris Kecamatan Enggano pada Independen. 

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ini diresmikan pertama kali pada tahun 2014. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengucurkan dana sebesar Rp5 miliar untuk pembangunannya. Panel surya ini menjadi kebanggaan warga Enggano. Memiliki kapasitas 50 Kilowatt, diharapkan mampu menjawab kebutuhan energi masyarakat yang selama ini bergantung pada bahan bakar fosil, minyak.

Itu bukan satu-satunya panel surya di Enggano. Pemerintah juga membangun seperangkat panel surya lainnya di Desa Kahyapu. Termasuk di bandar udara Enggano, untuk memenuhi kebutuhan listrik di bandara yang menerima penerbangan perintis. 

“Harga baterainya juga mahal, jadi sekarang sudah tidak terpakai lagi, beberapa masih terpasang di atap rumah namun tidak difungsikan,” imbuhnya. 

Dilarang masuk tegangan tinggi
Peringatan dilarang masuk terpasang di depan PLTS yang sudah tidak digunakan lagi di Desa Kahyapu, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara. (Foto: Betty Herlina/Independen.id)

Potensi energi terbarukan di Bengkulu 

Dilansir dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Bengkulu diketahui jumlah potensi energi bersih di Bengkulu mencapai 7.297 MW. Dari jumlah tersebut kapasitas terpasangnya baru mencapai 259 MW.  Meliputi, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 3.475 MW tersebar di seluruh kabupaten, dengan RUPTL 2019-2028 hanya 52 MW. 

 

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) berpotensi sebesar 1.513 MW yang tersebar di wilayah pesisir pantai, namun belum masuk RUPTL. Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal berpotensi 780 MW, masuk rencana RUPTL sebesar 650 MW. 

Kemudian, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan potensi 776 MW, dengan kapasitas terpasang 254 MW dan masuk rencana 942 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBio) dengan potensi 645 MW, kapasitas terpasang 3 MW dan masuk rencana 143 MW. Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) dan Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLTMH) dengan potensi 108 MW, kapasitas terpasang 2 MW, dan masuk rencana 206 MW. Sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) berpotensi 0,4 MW. 

Panel surya
Unit PLTS yang terpasang di Desa Kahyapu, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara. PLTS ini merupakan proyek bantuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).(Foto: Betty Herlina/Independen.id) 

Potensi Energi Surya di Indonesia 

Sebagai negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan geografis dan potensi energi yang beragam. Berlokasi di sepanjang garis khatulistiwa memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam hal paparan sinar matahari.  Dengan sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun, potensi energi surya di Indonesia diperkirakan mencapai 3.295 gigawatt (GW). 

Berdasarkan data Outlook Energi Indonesia 2023 yang dirilis oleh Dewan Energi Nasional (DEN), selain tenaga surya, Indonesia juga memiliki potensi energi air yang besar, mencapai 95 GW. Ada juga potensi tenaga angin di Indonesia diperkirakan mencapai 155 GW. Saat ini tenaga angin merupakan sumber energi terbarukan lain yang mulai dikembangkan di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah dengan kecepatan angin yang tinggi seperti di pesisir selatan Jawa dan Nusa Tenggara. 

Di samping itu, Indonesia juga memiliki potensi besar dalam energi panas bumi. Sebagai negara yang terletak di Cincin Api Pasifik, Indonesia memiliki banyak gunung berapi aktif yang menjadi sumber potensial bagi energi panas bumi. Potensi energi panas bumi di Indonesia diperkirakan mencapai 23 GW. Energi panas bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang paling stabil, karena tidak tergantung pada kondisi cuaca dan dapat diandalkan sebagai sumber listrik baseload.

Bioenergi juga menjadi salah satu andalan Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan. Dengan luasnya lahan pertanian dan perkebunan, Indonesia memiliki potensi bioenergi sebesar 57 GW.  Tak kalah penting, Indonesia juga memiliki potensi energi dari gelombang laut, yang diperkirakan mencapai 63 GW. 

 

Di Indonesia,  instalasi panel surya mulai berkembang sejak tahun 2010. Perkembangannya masif seiring dengan kampanye pemerintah Indonesia untuk transisi energi dan mendorong penggunaan energi terbarukan. 

Menurut data ESDM, potensi surya di Indonesia menempati urutan pertama dengan jumlah 3295 GW. Dari jumlah tersebut hingga Desember 2022, baru terpasang 272 MW. 

Berdasarkan peta sebaran potensi energi surya yang dirilis DEN, potensi energi surya terbesar di Indonesia berada di provinsi Nusa Tenggara Timur (369,5 GWp), Riau (290,4 GWp), dan Sumatera Selatan (285,2 GWp).

 

Peluang dan Tantangan Pengembangan Industri PLTS 

Mengutip Pemetaan Peluang dan Tantangan Pengembangan Industri Komponen PLTS di Indonesia yang dirilis Institute for Essential Services Reform (IESR) tahun 2022, pemanfaatan energi surya di sektor ketenagalistrikan melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) menjadi senjata utama untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), menuju net-zero emission (NZE). 

Rencana pemanfaatan energi surya ini sudah ada dalam Perpres No.22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang menargetkan 23 persen energi terbarukan dari total pasokan energi primer pada 2025, dengan energi surya menyumbang 6,5 GW daya listrik.  Belakangan  target 23 persen tahun 2025 itu ditunda sampai 2029 dan tahun 2025 diturunkan 17-19 persen (Draft pembaharuan Rancangan Kebijakan Energi Nasional) 

Komitmen ini ditindaklanjuti pemerintah lewat Program Strategis Nasional (PSN) 3,6 GW PLTS atap, Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), dan RUPTL hijau. Sejak Permen ESDM 46/2018 tentang PLTS atap diberlakukan, jumlah pelanggan PLN pengguna PLTS melonjak hampir sepuluh kali lipat. Sampai awal 2022, tercatat ada 5.231 pelanggan yang menggunakan PLTS atap dengan kapasitas terpasang mencapai 59,84 MWp. 

Pemerintah memperbarui aturan terkait PLTS atap melalui Permen ESDM 26/2021 untuk mempercepat pemasangan PLTS, dengan target mencapai 450 MW di tahun 2022. Selain sektor rumah tangga, Kementerian ESDM memproyeksikan kapasitas PLTS dari sektor industri dan komersial (C&I) bisa meningkat hingga 2 GW pada 2025. 

Terbaru, pemerintah mengeluarkan Permen baru No 2 tahun 2024 tentang PLTS Atap. Kebijakan ini menghapus aturan PLTS Atap sebelumnya, yaitu Permen ESDM 46/2018 dan Permen 26/2021. Dalam permen baru itu, kuota PLTS Atap tahun 2024 sebesar 901 MW. 

Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Akbar Bagaskara mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan yang besar secara mandiri, Indonesia perlu memiliki kemampuan untuk memproduksi komponen PLTS di dalam negeri. Meskipun harga teknologi PLTS diproyeksikan akan terus turun, terkonsolidasinya industri komponen PLTS di segelintir negara  memicu kekhawatiran terhadap gangguan pasokan, yang berpotensi meningkatkan  biaya transisi energi. 

“Pengembangan industri komponen PLTS di Indonesia sebaiknya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan domestik karena saat  ini Indonesia telah cukup tertinggal untuk dapat bersaing menjadi produsen global. Untuk itu, diperlukan strategi, kebijakan, dan skema pendukung, yang turut mempertimbangkan perkembangan kondisi rantai pasok global, sehingga target pengembangan industri dapat dicapai dengan efisien dan tepat waktu,” katanya. 

Akbar menambahkan, industri komponen PLTS yang sudah ada di Indonesia belum memiliki produk dengan daya saing harga, kualitas, dan bankability. Hingga saat ini, penggunaan modul surya impor masih mendominasi proyek-proyek PLTS, terutama pada proyek PLTS skala utilitas. Belum adanya pabrikan modul domestik ber-TKDN yang memiliki predikat tier-1 menjadi salah satu kendala yang menyebabkan proyek PLTS dengan syarat TKDN tinggi menghadapi kesulitan dalam akses pendanaan.

“Akibatnya ada ketergantungan pada komponen impor juga menyulitkan industri perakitan modul domestik untuk menekan biaya produksi. Selain itu, upaya peningkatan kapasitas produksi dan kualitas modul terkendala pada tingginya investasi yang dibutuhkan untuk pembaruan alat produksi,” imbuhnya. 

Serupa disampaikan peneliti IESR, His Muhammad Bintang, saat ini ekosistem industri komponen PLTS domestik Indonesia masih terjebak dalam siklus negatif. Di satu sisi, pasokan produk domestik tidak mampu diserap oleh pasar karena rendahnya permintaan instalasi PLTS. Di sisi lain, penerapan TKDN yang tidak disesuaikan dengan daya saing produk mengakibatkan peningkatan biaya proyek PLTS dan menghambat pertumbuhan permintaan. 

“Sementara itu, intervensi pemerintah dalam pengembangan ekosistem komponen PLTS belum cukup agresif. Padahal, Indonesia memiliki keunggulan dari sisi ketersediaan sumber daya alam dan biaya produksi yang rendah,” katanya. 

Bintang menambahkan, dengan mempertimbangkan beberapa kriteria seperti tingkat rintangan masuk, nilai industri, kebutuhan investasi dan waktu, serta ketersediaan industri vertikal, pengembangan industri hilir, khususnya industri sel surya, dapat menjadi prioritas untuk saat ini.

Industri sel surya yang dibangun perlu mengadopsi jenis teknologi yang sejalan dengan tren global supaya produk sel surya masih berpeluang diserap pasar global pada saat permintaan domestik rendah. Selain itu, berdasarkan ketersediaan bahan baku dan potensi dampak pada penurunan biaya produksi modul surya, industri komponen pendukung modul seperti tempered glass dan PV ribbon juga perlu diprioritaskan.

“Akan tetapi, pengembangan industri tersebut masih terkendala oleh skala keekonomian,” ucapnya. 

Sementara itu, lanjut Bintang, hilirisasi bahan baku menjadi komponen pendukung PLTS seperti inverter, baterai, kabel, dan penyangga modul memiliki potensi dan tantangan yang beragam. Industri kabel eksisting dan industri baterai yang sedang dikembangkan berpeluang untuk melakukan diversifikasi ke lini bisnis komponen PLTS karena diproyeksikan akan memiliki permintaan yang besar di masa depan. Pabrikan penyangga domestik berpotensi memiliki daya saing harga dibandingkan penyangga impor karena dapat menekan biaya transportasi secara signifikan. 

Tantangan yang dihadapi ketiga jenis industri tersebut untuk membuat unit produksi untuk komponen PLTS adalah besarnya kebutuhan investasi dan skala keekonomian yang belum mencukupi. Di sisi lain, pengembangan industri inverter menghadapi tantangan alih teknologi tinggi dan persaingan dengan produsen global. 

“Akan tetapi, kemandirian memproduksi inverter perlu dikembangan, terutama inverter jenis sentral yang dibutuhkan untuk PLTS skala utilitas. Keberadaan komponen pendukung yang diproduksi dalam negeri dapat berperan pada penurunan biaya proyek PLTS,” pungkasnya. 

kali dilihat