Oleh: Virliya Putricantika
INDEPENDEN- Pemberitahuan penggusuran dengan imbauan penertiban telah disampaikan pemerintah pada para petani keramba jaring apung di Dermaga Gandasoli, pinggiran Waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat. Di sisi lain, harga pakan terus melambung. Posisi para petani ikan kian tersudut.
Karya, 70 tahun, salah seorang petani ikan Cirata, menunggu keramba jaring apung (KJA) miliknya yang masuk dalam kawasan Dermaga Gandasoli. Ia mengelilingi geladak sambil memberi pakan pada ikan nila yang biasa ia panen tiga bulan sekali.
Sudah 26 tahun ia menjadi petani ikan, satu-satunya pekerjaan yang menjadi tumpuan hidupnya dan keluarganya. Di usianya yang sekarang, tak mungkin ia beralih profesi atau mencari pekerjaan lain selain bergelut dengan keramba ikan.
“Ayeuna pakan tos 12 juta leuwih. Nyak abah mah ga ada lagi pilihan kembali ke usaha. Keadaan udah tua gitu, dikeureuyeuhkeun weh, sugan kuat, masih kénéh bertahan (Sekarang pakan sudah 12 juta. Abah ga ada pilihan untuk buka usaha baru, keadaan sudah tua, jadi dijalanin aja sedikit-sedikit, semoga kuat, masih bertahan),” cerita Karya, di saung tempat ia berdiam menunggui kerambanya, Sabtu, 20 April 2024.
Begitu juga dengan Akim, lelaki berusia 40 tahun yang tidak lain anak bungsu Karya. Akim baru menjadi petani ikan tiga tahun lalu. Karya dan Akim memilih membudidayakan ikan nila dibandingkan ikan mas. Sebab harga jual ikan mas di pasar hanya 18 ribu rupiah per kilogramnya, sedangkan ikan nila mencapai 24 ribu per kilogram. Itu pun hanya meraup keuntungan tiga ribu rupiah per kilogram.
Tidak hanya bergulat dengan biaya pakan yang semakin melambung, para petani ikan seperti Karya dan Akim menghadapi aturan percepatan pengendalian pencemaran dan kerusakan daerah aliran Sungai Citarum yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018. Regulasi ini tidak berpihak kepada petani ikan. Sebaliknya, semakin mengancam keberadaan keramba atau petani jaring apung Cirata.
Tahun 2019, Karya memiliki enam unit keramba. Namun dalih penertiban dan penegakan aturan membuat dia harus merelakan satu unit keramba miliknya. Satu orang petani ikan hanya diperbolehkan memiliki lima unit keramba jaring apung.
Tantangan para petani ikan tak berhenti di harga pakan yang melangit dan regulasi yang tak memihak. Mereka mengeluhkan hama jutaan eceng gondok yang memenuhi dermaga.
Selain mengganggu kesehatan ikan, eceng gondok menghalangi mobilitas perahu pengantar pakan ikan. Pada 17 Maret 2024, Suara mesin perahu yang membawa pakan saling bersahutan menembus angin kencang yang menandakan musim kemarau datang. Butuh waktu lima menit untuk mencapai jarak kurang lebih 50 meter akibat eceng gondok yang memenuhi dermaga.
“Kuduna eta google teh bisa mere nyaho ayeuna pinuh ku gondok, teu mobil hungkul” (Mestinya google bisa memberitahu kalau hari ini di dermaga penuh dengan eceng gondok, bukan kemacetan mobil saja),” canda supir yang mengantar pakan ikan ke dermaga.
Menjalankan keramba ikan hari ini memiliki banyak hambatan. Para petani ikan perlu mencari alternatif penghasilan untuk menghidupi kesehariannya. Seperti yang dilakukan Bisri, 63 tahun, yang beristirahat bersama istrinya di bangku depan warung miliknya di RT 03 RW 07, Desa Margalaksana.
Bukan tanpa alasan, Bisri memilih menjaga warungnya daripada pergi ke keramba jaring apung miliknya karena eceng gondok masih memenuhi perairan sekitar dermaga. Berbanding terbalik dengan perairan sekitar pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Cirata yang dibatasi jaring dan disiapkan pegawai khusus untuk membersihkan area di sana.
“Saya di sini juga cuma nempel-nempel di tanah PLN, di tanah negara,” ungkap lelaki yang menunjuk ke arah rumahnya, diiringi tawa satir mengingat cerita hidupnya 40 tahun lalu.
Tahun 1984, rumahnya yang terletak di Kampung Cirawa pada saat itu harus terendam Waduk Cirata untuk kepentingan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Begitu juga dengan kampung halaman Dede, 61 tahun, istri Bisri, yang tidak pernah terlihat lagi hari ini.
Namun ancaman penggusuran masih saja dekat dengan keluarga Bisri. Kabarnya pemerintah akan memperluas Proyek Strategis Nasional (PSN) antarkementerian bersama PLN, serta kolaborasi dengan perusahaan dari Persatuan Emirat Arab (PEA). Presiden Jokowi pada 9 November 2023 lalu meresmikan 13 ‘pulau’ panel surya yang berukuran 430 meter x 230 meter dan masing-masingnya berkapasitas 15,7 MW. Jika perluasan benar akan dilakukan, maka jaring pembatas area PLTS akan dipindahkan ke tower yang berada di Dermaga Gandasoli dan menggusur keramba jaring apung yang berada di sana.
“Ah, rencana pemerintah ya pasti jadi, suatu saat, pasti” timpal Yinyin (63 tahun), petani ikan yang terduduk di motornya.
Tidak mudah bagi Bisri dan para petani ikan lainnya untuk bertahan. Semakin tahun, semakin sulit bertahan hidup mengandalkan budidaya ikan nila dan ikan mas. Harga pakan yang semakin mahal kerap menghantui mereka, di samping rencana penggusuran.
Dulu, antara 2005 hingga 2010, para petani ikan akan panen setiap dua setengah bulan atau tiga bulan sekali, dengan kualitas ikan yang baik dan tentunya sesuai kriteria pasar, yang biasanya untuk berat satu kilo terpenuhi dengan dua ekor ikan. Hari ini butuh waktu dua bulan lebih lama untuk memanen ikan dengan ukuran ikan yang terus mengecil.
“Sekilo dua atau tiga ukuran daging (untuk masuk pasar), sekarang sekilo enam, kan ga masuk pasar,” tambah Bisri saat menceritakan kondisi para petani ikan di dermaga yang pernah digandrungi masyarakat untuk berwisata.
Semakin Panas
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata yang resmi beroperasi dua bulan ke belakang menutupi muka air seluas 250 hektare. Pembangunan Proyek Strategis Nasional ini memiliki dampak besar pada tergusurnya keramba jaring apung (KJA) milik ratusan warga yang selama ini bermata pencaharian budidaya ikan. Ada dampak sosial dan ekonomi yang harus ditanggung mereka dan keluarga mereka. Seperti yang dialami keluarga Bisri dan lainnya.
Namun, ada dampak lain yang turut dirasakan warga. Cuaca di sekitar Waduk Cirata itu semakin panas. Bahkan di malam hari, warga sekitar memilih untuk tidak menggunakan selimut.
“Cucu ibu mah setiap hari ti jam enam (sore) sampai pagi ga berhenti-berhenti kipas, terus weh,” cerita Dede yang mengingat perilaku cucunya setelah adanya PLTS di Cirata.
Dampak dari pemasangan panel surya di atas permukaan air tidak hanya sebatas yang dirasakan warga. World Bank dalam laporannya pada 2019 berjudul “Where Sun Meets Water” juga menganalisa setidaknya ada tiga dampak secara lingkungan dari panel surya yang ditempatkan di atas air, di antaranya mengurangi arus air dan meningkatkan sedimentasi, dampak penggunaan bahan yang digunakan untuk perawatan instalasi PLTS terapung, dan kadar oksigen dalam air karena muka air tertutup oleh panel surya.
Hingga reportase ini dituliskan, pihak PLTS Cirata belum merespons permintaan wawancara dari BandungBergerak, khususnya mengenai dampak setelah hadirnya proyek strategi nasional dan rencana penggusuran keramba jaring apung.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal BandungBergerak pada 4 Mei 2024. Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.