Wajah Sepaku Penuh Tandon Air

 

Wilayah IKN kesulitan air bersih imbas akses sungai tertutup.  Warga terpaksa menggunakan tandon air, termasuk yang tinggal di pinggir sungai

Oleh : Dina Angelina

INDEPENDEN --Malang nian nasib warga Sepaku. Dijamin akan mendapat perhatian pada awal pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), sayangnya mereka harus gigit jari.

Biasa mudah mendapatkan air bersih. Kini mereka harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan primer tersebut.

Sejauh mata memandang, hampir setiap rumah di sekitar Nusantara dipenuhi tandon berwarna orange dengan kapasitas sekitar 1.200 liter. Fenomena ini mulai terjadi selama dua tahun terakhir.

Pemandangan ini jauh berbeda dibanding sebelum penetapan awal IKN. Siapa sangka keputusan itu membuat warga sekitar sengsara. Terutama masyarakat adat yang biasa hidup berdampingan dengan sungai.

Kini semua rumah di Sepaku menggunakan tandon air setelah kawasan itu sulit air. (Foto : Dina Angelina)
Kini semua rumah di Sepaku menggunakan tandon air setelah kawasan itu sulit air. (FOTO : Dina Angelina)

Salah satunya Sibukdin, kepala adat Suku Balik, suku asli yang menempati daerah tersebut. Dia bermukim di Kelurahan Sepaku, tepat bersebelahan dengan aliran sungai.

Keberadaan sungai ini begitu penting untuk kebutuhan Sibukdin dan warga sekitar. Selama ini, sungai menjadi sumber kehidupan. Namun kondisi berubah, ketika pemerintah menetapkan pembangunan Intake Sepaku.

Pembangunan Intake Sepaku dilakukan di Desa Sukaraja, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Rencananya sungai akan dinormalisasi dan menjadi salah satu pemasok air baku bagi Ibu Kota Nusantara selain Waduk Sepaku Semoi, Bendungan Batu Lepek, dan Bendungan Selamayu

Lokasi Intake Sepaku ini persis di belakang rumah warga RT 3 Sepaku, termasuk rumah Sibukdin.  Bangunan intake membuat akses air tertutup, sungai tak lagi bisa pasang dan surut.

Sibukdin bercerita, dia masih bisa mengambil air dari sungai. Meski kotor karena sampah yang menumpuk, tergenang di sungai. Air tak lagi jernih seperti sebelum ada intake. Air yang tidak lagi bisa pasang surut membuat sampah justru tersangkut.

Namun mau tak mau warga masih menggunakan air ini. Sibukdin menyedot air melalui pompa air. Lalu disalurkan menggunakan pipa kecil masuk ke tandon rumah. Jaraknya sekitar 20 meter.

Lelaki ini bercerita, air sungai untuk memenuhi keperluan mandi cuci kakus (MCK).

“Kalau untuk minum atau dapur harus beli air,” ucapnya.

Dia tidak berani lagi mengambil air sungai untuk konsumsi, mengingat kondisi sungai sudah tercemar sampah.

“Sekarang memang masih bisa ambil air walau kondisinya begini. Kalau nanti kami tidak tahu lagi nasibnya,” ucapnya.

Janji manis berakhir pahit

Saat sosialisasi pembangunan intake pada 2020, warga sempat mendapat janji manis.

Bagi yang terdampak intake atau normalisasi sungai, nantinya bisa mendapat bantuan penyaluran air.

Namun hingga kini, janji manis masih samar. Tak ada kepastian dan warga bingung ingin minta tanggung jawab kepada siapa.

“Sebelum pembangunan memang warga diajak bicara, mereka minta izin secara lisan. Mereka bilang sanggup suplai air ke masyarakat. Tapi sekarang tidak ada kejelasan,” katanya. Padahal air dari Intake Sepaku sudah mengalir untuk IKN.

Sibukdin berharap, warga sekitar juga mendapat perhatian. Setidaknya mudah akses air lagi seperti dulu.

“Kami minta prioritas dan gratis. Bagaimana pun dulu kita bisa mudah dapat air dari sungai, sekarang ada intake jadi susah air,” bebernya.

Dia menyebutkan, ada tiga RT yang berada di sekitar Intake Sepaku. Di antaranya RT 1, RT 2, dan RT 3 Kelurahan Sepaku. Kurang lebih jumlah penduduk mencapai 200 orang. Terutama RT 3 yang sangat dekat dengan sungai.

“Kami yang menghuni di sini juga lebih dari 50 persen masyarakat adat. Sejak zaman dahulu kala sudah menggunakan air sungai,” imbuhnya. Bahkan orangtua mereka sudah di sana sebelum kemerdekaan Indonesia.

Sebagai tokoh masyarakat, Sibukdin dan warga sudah berkali-kali menyampaikan kepada pihak-pihak yang datang mewakili pemerintah. Mereka berkelit tidak ada dokumen tertulis saat sosialisasi. Belum lagi persoalan lainnya.

“Kami juga memperjuangkan tidak mau direlokasi dari tempat ini. Identitas kami, tanah leluhur,” ucapnya. Jika dipaksa pindah, Suku Balik seperti tercabut dari akar asal usulnya. Walau terus saja ada tawaran manis jika warga bersedia relokasi.

Misalnya tawaran untuk tinggal di rumah susun.

Sibukdin jelas menolak rencana tersebut.

“Buat apa tinggal di rumah tidak punya halaman. Seperti kami tidak punya tanah saja. Mau dibuat kami seperti menumpang,” ungkapnya.

Pihaknya tidak ingin menanggapi rencana tersebut. Warga Suku Balik komitmen tidak mau relokasi dari tanah leluhur.

“Kami Suku Balik asli di sini. Kalau kami yang penting bisa hidup, cari nafkah, sudah selesai,” tuturnya.

Sibukdin berpikir dalam kondisi seperti ini, dia harus muncul dan bersuara. Jika terus menerus diam bisa dianggap tak ada lagi suku asli. “Dulu kami tidak berfikir muncul karena tidak ingin dianggap cari muka ke pemerintah,” imbuhnya.

Sehingga tak banyak yang mengetahui keberadaan Suku Balik. Padahal sudah ada dari sebelum NKRI. “Mau tidak mau harus bertahan, bersuara agar didengar. Kalau kita harus tersingkir, tidak tahu mau kemana lagi karena ini tanah leluhur kami,” ucapnya.

Tidak bisa memanen air hujan

Masalah serupa juga dialami warga lain. Meski tidak bermukim di dekat sungai, mereka juga terkena imbas kesulitan air semenjak pembangunan IKN. Salah satunya Arman, tokoh pemuda Kelurahan Sepaku.

Selama ini, dia tinggal di wilayah perbukitan. Biasanya memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan air. Namun kini setiap kali hujan, atap rumah sudah penuh debu karena banyak proyek pembangunan. Sehingga tidak mungkin bisa memanen air hujan.

“Selama 10 menit pertama yang turun hanya air kotor lumpur. Jadi betul-betul jernih baru ambil,” katanya.

Tetapi dalam beberapa bulan terakhir, langit Sepaku juga jarang sekali turun hujan. Ketika turun juga tidak intensitas tinggi.

Bukan hanya itu, masyarakat yang terbiasa mengambil air dari kolam-kolam. Kini air kolam juga sudah diperebutkan banyak orang. Mau tidak mau, warga mulai membeli air. Itu butuh uang yang tak sedikit dan waktu antre.

“Air tandon biasa Rp 80 ribu per tandon kapasitas 1.200 liter. Kalau air dari sumur bor Rp 95-110 ribu,” imbuhnya.

Harga ini tergantung lama antrean. Jika ingin diantar lebih cepat, pelanggan harus rela membayar lebih.

Dia menuturkan, biasanya air satu tandon habis untuk keperluan empat hari. Terutama untuk kebutuhan MCK. Sedangkan air minum, mereka beli air dari depo minum. Selain membeli air tandon, sebagian warga juga mengandalkan air dari sumur galian.

Sementara sumur bor belum begitu banyak karena ongkos pembuatan sangat mahal sampai Rp 21 juta per titik dengan dana pribadi. Walhasil semua warga Kelurahan Sepaku di daerah dataran tinggi masih mengandalkan air beli tandon dan tadah hujan, terutama wilayah RT 09, sebagian RT 06, dan sebagian RT 08.

Kini meski sudah ada Intake Sepaku dan Bendungan Sepaku Semoi, warga Kelurahan Sepaku belum mendapatkan aliran air dari keduanya.

“Belum tau juga apa kedepannya akan dialirkan ke warga atau tidak masih belum ada kejelasan dari pihak intake,” tuturnya.

Arman masih ingat dengan jelas, beberapa tahun lalu betapa mudah bagi warga sekitar mendapatkan air.

Proyek Sepaku Intake yang akan menyuplai air dari Sungai Sepaku ke IKN (FOTO: Dina Angelina)
Proyek Sepaku Intake yang akan menyuplai air dari Sungai Sepaku ke IKN (FOTO: Dina Angelina)

Sebab sebelum ada Intake Sepaku, sebagian besar warga mengandalkan air sungai sebagai pasokan utama kebutuhan air. Mereka tinggal mengambil saja. Sedangkan saat ini, Intake Sepaku menutup sungai dengan dibangun tembok keliling.

Itu yang membuat masyarakat sulit akses air. Dulu air sungai pasang surut, ketika surut air terlihat jernih. Saat ada intake, akhirnya air tidak bisa surut. Tertahan bersama sampah-sampah membuat air bau. Sampah bertumpuk dan tidak bisa keluar.

“Semua kebutuhan benar-benar dari sungai. PDAM juga tidak ada sejak dulu,” ungkapnya. Sebelum ada Bendungan Sepaku Semoi, PDAM hanya mengaliri permukiman yang berada di jalan poros sampai ke Sepaku I.

Sementara pemukiman di pelosok atau perbukitan tidak terjangkau layanan PDAM. Maka satu-satu cara mengandalkan sungai. “Apalagi kalau Sepaku IV sampai Kelurahan Pemaluan tidak bisa terakses PDAM karena jaringan pipa tidak sampai sana,” imbuhnya.

Dia bercerita, ada pula warga Pemaluan yang biasa mengambil air dari embung hasil bantuan perusahaan. Warga biasa menyedot air dengan mobil tangki air. Seiring dengan proyek IKN, kebutuhan air dari embung tidak lagi mencukupi.

“Penggunaan air banyak perusahaan ready mix. Bahkan air parit bisa mereka sedot,” ujarnya.

Arman merasa miris melihat kampungnya. Awalnya air berlimpah dengan sungai, sekarang harus kesulitan mencari air.

Kini solusi sementara warga harus memiliki tampungan tadah hujan dan tandon air.

Sulit menuntut

Masyarakat sudah mencoba protes dan menagih pemerintah soal janji mensuplai air. Namun mereka kerap dijebak dengan pertanyaan bukti kesepakatan saat sosialisasi pada 2020 silam.

“Kita dikasih pernyataan lisan tanpa ada notulen. Padahal mereka memang yang tidak buat,” bebernya.

Mereka dulu mengatakan tidak akan ada banjir selama 100 tahun. Sebab semua sudah melewati kajian. “Kenyataannya baru berapa tahun sudah 80 rumah warga tenggelam,” tegasnya.

Masyarakat sempat meminta jika tidak ada kepastian proyek Intake Sepaku tidak boleh berlanjut. Apa daya semua diluar kuasa warga, proyek tetap berjalan. Lagi-lagi warga yang jadi korban. Tak bisa berbuat apa-apa.

Semua kesulitan mengakses air semenjak ada proyek Intake Sepaku. “Mereka tidak memberi kompensasi. Sejak 2022 akses air sudah tertutup, masyarakat dua tahun ini kesusahan,” tuturnya.

JATAM Kaltim: Pembangunan IKN Episentrum Penghancuran

Persoalan akses air baku yang kini tertutup bagi masyarakat sekitar IKN telah menjadi perhatian serius NGO. Salah satunya Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim yang terus mengawal kasus ini selama dua tahun terakhir.

Riset JATAM Kaltim menelusuri keberadaan aliran air di kawasan Sepaku. Sumber air di sana memang tidak besar seperti Sungai Mahakam. Namun dukungan dari sungai-sungai kecil.

Jauh sebelum IKN, ada industri pengolahan kayu hingga berubah menjadi industri monokultur skala besar yang menguasai sungai.

Rumah keluarga Suku Balik, yang dulu bersandar pada sungai, sekarang harus membeli air untuk mengisi tandon. (FOTO : Dina Angelina)
Rumah keluarga Suku Balik, yang dulu bersandar pada sungai, sekarang harus membeli air untuk mengisi tandon. (FOTO : Dina Angelina)

 Dugaan JATAM Kaltim sudah sejak lama sungai ini dirampas dari masyarakat.

“Karena memang dari dulu, hulu sungai sudah dihabisi oleh industri seperti batubara dan sawit,” kata Dinamisator JATAM Kaltim Mareta Sari.

Sementara PDAM sendiri tidak bisa melayani seluruh warga di kecamatan Sepaku sehingga sebagian besar warga hanya memanfaatkan air sungai sejak dulu. Apalagi kawasan ini memang tidak terlalu punya banyak sumber air besar.

“Tapi masyarakat adat di sana memang menyandarkan hidupnya di sungai. Kami lihat ada ketimpangan dengan keputusan membendung sungai ini untuk memenuhi IKN,” bebernya.

Padahal situasi sungai pun dengan debit yang ada sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan air. Misalnya hanya untuk mengaliri Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP).

Menurutnya jika benar mekanismenya seperti itu, maka ini bentuk perampasan dan tidak mempertimbangkan masyarakat sekitar. “Ada ketimpangan yang diciptakan oleh negara,” sebutnya.

Sari memberi contoh keberadaan masyarakat adat Suku Balik, selama ini bergantung dari sungai. Bahkan ritual pengenalan manusia pada bumi dilakukan di sungai. Namun tiba-tiba sejak 2022, sungai dibendung untuk diarahkan hanya ke Intake Sepaku.

Masyarakat yang tadinya mendapatkan air gratis, kini harus mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. “Masyarakat diputus hubungannya dengan sungai,” imbuhnya.

Belum lagi menghadapi ancaman masyarakat adat tergusur dari tanah leluhurnya. Mereka terus diminta untuk relokasi. Ada yang mendapat ganti rugi dan jika tidak terima akan dititipkan ke pengadilan atau konsinyasi.

“Itu banyak membuat masyarakat geram juga,” sebutnya. Meski hingga saat ini, masyarakat adat masih bertahan di lokasi tersebut. Sari masih samar bagaimana dengan nasib mereka di masa mendatang.

“Mereka punya kenangan dan sejarah disana. Kalau harus pergi, entitas dan identitasnya juga menjadi hilang,” tuturnya.

Dia juga memikirkan Suku Balik yang selama ini sudah berkali-kali harus tergusur.Mulai dari kondisi perang, jauh sebelum Indonesia merdeka. Lalu tergusur karena aktivitas industri. Kini setelah mulai tenang menikmati hidup, mereka terancam lagi harus tergusur karena pembangunan IKN.

Walhasil JATAM Kaltim berupaya melakukan advokasi dengan menggugat Kementerian PUPR. Tepatnya melalui Komisi Informasi Pusat (KIP) tentang tujuh dokumen atau data terkait proyek air Bendungan Sepaku Semoi dan Intake Sepaku.

Sebelumnya JATAM meminta keterbukaan beberapa dokumen yang berada di dua tapak proyek tersebut. Seperti kajian, prinsip izin, analisis dampak lingkungan (Amdal), dan sebagainya. Sebab akses terhadap dokumen ini tertutup.

“Kami sebagai publik dibatasi, padahal dokumen ini juga digunakan sebagai kontrol. Sebenarnya untuk apa ini perlu dibangun,” tegasnya. Mengingat setiap pembangunan pasti memiliki dokumen landasan ilmiah.

Ini berhubungan dengan perampasan ruang secara intimidasi, tidak adil dan tidak partisipatif menjadi akumulasi dalam proyek ini. Putusan KIP memenangkan dan mengabulkan gugatan JATAM Kaltim melawan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.

Namun Menteri Basuki melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan banding dan keberatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta pada 2 April. Banding atau keberatan terhadap putusan KIP tersebut.

“Hampir dua tahun proses, kita tidak juga mendapat dokumen. Artinya pembangunan ibu kota ini tidak terbuka informasi kepada publik,” ujarnya. Menurutnya sejak awal pemerintah tidak partisipatif dan terbukti sekarang informasi sangat tertutup.

Padahal pembiayaan IKN menggunakan APBN. Informasinya sudah menghabiskan Rp 70 triliun. Semua uang rakyat seharusnya bisa terbuka untuk setiap penggunaan dana publik. Sari menilai ini bentuk penyembunyian informasi.

“Itu bagian dari kejahatan, apalagi pakai uang publik. Kita boleh melihat untuk berpartisipasi mengawasi. Lalu komplain dan mengajukan keberatan,” tambahnya.

Sari mengingatkan kawasan IKN dibangun bukan di kawasan kosong. Ada masyarakat yang bermukim di sana turun temurun. Pembangunan IKN dianggap mengganggu lingkungan yang sudah ada.

“Klaim forest city hanya untuk pemburaman makna,” ucapnya.

Dia menjelaskan, seperti keberadaan sungai yang selama ini menjadi sumber air bersih masyarakat harus dialihkan ke IKN. “Slogan-slogan yang ada justru untuk menutupi masalah yang ada. Semakin hari semakin terlihat masalah,” katanya.

JATAM Kaltim berpendapat, IKN merupakan pusat episentrum dari penghancuran. Sebab terjadi perluasan penghancuran di lokasi lainnya. Kebutuhan material untuk pembangunan IKN berasal dari luar Bumi Etam.

Setidaknya butuh 30 juta ton pasir dan batu kerikil dari sepanjang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.

“Ketika itu terus dikebut, beberapa tahun terakhir tambang menyebabkan masalah kesehatan terutama perempuan dan anak,”kata Sari.

Hingga saat ini, berbagai upaya yang dilakukan juga belum klir. Masyarakat juga belum mendapatkan solusi. Sari meyakini, mega proyek ini seharusnya dihentikan sementara untuk evaluasi secara bersama secara luas dan terbuka.

“Ada banyak sekali permasalahan baik di tapak pembangunan maupun di tempat-tempat lain yang ikut dikorbankan demi membangun ambisi pemerintah,” ungkap Sari. Setidaknya negara evaluasi dampak pembangunan yang sudah berjalan.

HGU 190 Tahun Rampas Hak Masyarakat Adat

Keberadaan Suku Balik sebagai penduduk asli di kawasan IKN juga menjadi perhatian Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia (LK-PASI ).

“Seolah pemerintah lupa sejarah, bahwa mereka (Suku Balik) ada sebelum republik ini. Tiba-tiba sekarang kita yang harus mengakui. Ini terbalik,” kata Ketua Dewan Pendiri LK-PASI Juajir Sumardi Kertanegara. 

Dia khawatir peralihan lahan di IKN akan berpotensi mengancam masyarakat adat. Walau berdasarkan undang-undang, peralihan lahan IKN bisa dengan dua mekanisme. Yaitu pelepasan kawasan hutan dan pengadaan tanah.

Soal pengadaan tanah butuh proses pembebasan lahan dengan uang negara.

“Namun pelepasan kawasan hutan diberikan kewenangan atas nama otoritas IKN,” tutur Juajir.

Mereka bisa menerbitkan hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB).

Menurutnya ini seolah-olah otoritas IKN diberi kewenangan berlebihan. Sebab bisa menerbitkan izin HGU selama 190 tahun. “Bagaimana dengan nasib anak cucu kita nanti sudah jauh kehilangan,” kata lelaki itu.

Juajir berpendapat, investor tetap bisa datang. Namun tidak boleh memiliki tanah karena tanah tetap hak milik masyarakat. “Investor bukan memiliki, melainkan hanya mengelola lahan itu,” kata Juajir lagi.

Negara pun tidak tetap rugi karena ada pendapatan dari sisi pajak. Masalah lainnya lagi, selama ini tak semua mengetahui eksistensi masyarakat adat dan kepemilikan tanah ulayat.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin ini menjelaskan, hak-hak masyarakat adat sebenarnya sudah dijamin berdasarkan Konstitusi Indonesia. Tepatnya UUD 1945 Pasal 18B.

“Namun karena ada frasa sepanjang masih ada, maka perlu pola kelembagaan,” imbuh Juajir. LK-PASI akan membentuk sistem yang diusulkan kepada presiden untuk mendukung perlindungan terhadap masyarakat adat.

Caranya bisa melalui perda untuk mengakui masyarakat adat. Opsi lainnya pembentukan perkumpulan masyarakat adat melalui mekanisme badan hukum yang diterbitkan oleh Kemenkumham.

Nantinya perkumpulan ini bisa mewakili masyarakat sebagai bentuk persatuan komunal masyarakat. “Jadi tanah-tanah itu nanti tidak ada dimiliki perorangan. Tapi tanah komunal atas nama persekutuan masyarakat adat,” sebut Juajir.

Dia menegaskan, peralihan lahan harus dikawal dengan baik untuk menjaga hak-hak masyarakat adat. Sebagai bentuk perlawanan, masyarakat adat bisa menempuh jalur hukum.

“Tentu kita tempuh mediasi dulu. Kalau mediasi tidak tercapai baru penyelesaian mekanisme hukum melalui gugatan class action atau kelompok dan citizen lawsuit,” beber Juajir.

 Class action dilakukan jika terjadi kerugian dan menjadi tanggung jawab mutlak. 

Terkait akses air untuk masyarakat sekitar IKN, pemerintah belum ada yang menjawab secara pasti. Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan IV mengatakan, sejak mulai masa konstruksi Bendungan Sepaku Semoi penetapannya untuk IKN.

Namun BWS Kalimantan IV hanya bertanggung jawab terhadap penyediaan air baku.

“Sedangkan kalau pengolahan dan suplai air bersihnya ada di Ditjen Cipta Karya,” kata Kepala BWS Kalimantan IV Yosiandi Radi Wicaksono.

Ada pun kebutuhan air baku IKN akan dibantu oleh Bendungan Sepaku Semoi sebesar 2.000 liter per detik dan Intake Sungai Sepaku 3.000 liter per detik. Dua sumber air baku ini bisa memenuhi kebutuhan IKN hanya sampai 2035.

Artinya tetap harus mencari sumber air baku baru seiring pertumbuhan penduduk. Serta memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. Berbagai upaya konfirmasi kepada pemerintah sudah dilakukan Kaltim Post.

Namun tak ada yang bersedia menjawab dengan pasti dan jelas.

Begitu pula Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR enggan memberikan tanggapan.

“Nanti akan ada aliran air juga ke masyarakat,” ucap Dirjen Cipta Karya Diana Kusumastuti.

Jurnalis juga melakukan konfirmasi kepada Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Otorita IKN Silvia Halim. Dia menyebutkan, pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dilaksanakan oleh Kementerian PUPR.

Saat ini pelaksanaan konstruksi Instalasi Pengolahan Air (IPA) dengan kapasitas 50 liter per detik yang bersumber dari Intake Sepaku. “Nantinya dikelola oleh PDAM Penajam Paser Utara dan diharapkan dapat melayani masyarakat pada awal 2025,” kata Silvia.

Selain itu, air baku dari Bendungan Sepaku Semoi digunakan sebagai suplai SPAM Regional.

“Total kapasitas 2.500 liter per detik, terbagi 2.000 liter per detik untuk Kawasan IKN termasuk masyarakat eksisting,” ucapnya.

Sementara 500 liter per detik untuk Balikpapan. Silvia menyebutkan, mengatasi kelangkaan air baku dilakukan dengan pembangunan infrastruktur air hingga 2045. Rencana memanfaatkan air yang berasal dari beberapa sumber.

Di antaranya Intake Sungai Sepaku, Bendungan Sepaku Semoi, potensi Bendungan Batu Lepek, dan potensi air baku dari Sungai Mahakam. Semua untuk memenuhi kebutuhan air baku IKN dan daerah sekitar.

“Lalu memaksimalkan dari Bendungan Samboja yang telah dibangun,” sebutnya. Termasuk potensi sumber air lain seperti Sungai Mahakam yang memerlukan investigasi lebih lanjut. Khususnya terkait kepastian kelayakan dan desain berkelanjutan.

kali dilihat