Whoosh Melesat: Dokumen Amdal dan Kenyataan Jauh Panggang Dari Api (Bagian 3)

Oleh: Bambang Arifianto

Berbagai dampak pembangunan terowongan kereta cepat Jakarta-Bandung di wilayah DKI Jakarta, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bandung Barat sebetulnya disinggung dalam dokumen  Analisis Dampak Lingkungan Hidup Rencana Kegiatan Pembangunan Jalan Kereta Api Cepat Jakarta Bandung 2016 di halaman 272. Namun selepas Whoosh beroperasi, sejumlah persoalan yang tertinggal tak kunjung diatasi.

Dalam dokumen disebutkan, dampak-dampak yang muncul, yaitu timbulnya getaran, kebisingan, serta debu. Selain itu, bakal timbul pula dampak sekunder berupa sikap dan persepsi masyarakat ke arah negatif apabila hal tersebut tidak ditangani dengan baik. Yang menarik, dokumen tersebut juga mengakui pembangunan terowongan di tempat-tempat tertentu memang menggunakan bahan peledak. Tetapi, bahan peledak yang digunakan adalah jenis low explosive yang diklaim getaran dan bisingnya relatif rendah. Di dalam dokumen, disebutkan pula bahwa lokasi kegiatan yang mengunakan bahan peledak low explosif itu relatif jauh dari permukiman sehingga dampak diklaim menjadi kecil.

Dokumen analisis itu justru berbeda dengan kenyataan di lapangan yang dialami para warga perumahan Tipar Silih Asih, RT 4 RW 13, Desa Laksanamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat yang rumahnya rusak dan ambles karena dugaan peledakan terowongan sepur kilat di lokasi tersebut.

Persoalan limpasan air atau banjir  sebetulnya juga tercantum dalam dokumen tersebut. Di halaman 152 tentang hidrogeologi misalnya, dijelaskan mengenai air permukaan yang terdiri dari bagian utama, yakni sungai, waduk dan genangan air di area lebih rendah. Banyaknya aliran sungai di wilayah yang dilintasi jalur kereta cepat juga diakui dan muncul dalam dokumen.

"Sudut persimpangan (crossing angle) yang besar akan diadopsi pada jalur persimpangan bagian atas aliran sungai untuk meminimalisasi dampak terhadap kondisi alami sungai dan memenuhi persyaratan dalam penanggulangan banjir." 

Demikian penanganan persoalan tersebut sebagaimana tertera dalam dokumen. Sementara di halaman 294 Bab 1V Evalusi Holistik Dampak Lingkungan, persoalan air limpasan sebagai dampak penting yang akan dievalusi secara holistik cuma muncul di tahap konstruksi. 

Di tahap tersebut, disebutkan mengenai peningkatan limpasan air permukaan akibat kegiatan penyiapan lahan dan pembangunan stasiun serta fasilitas pendukung.

Di tahap lain, seperti prakonstruksi dan operasi, urusan limpasan air tak muncul. Padahal persoalan banjir dengan membawa lumpur, batu serta potongan kayu yang merusak sawah di Kampung Cihanjuang, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Barat juga terjadi saat Whoosh telah melesat atau beroperasi. Luapan atau limpasan air itu pun diduga akibat pengerjaan proyek kereta cepat. Di halaman 305 terkait dengan pengelolaan air limpasan, penyebabnya turut disebutkan. 

"Air limpasan bersumber dari perubahan lahan yang semula tertutup tanaman/bangunan menjadi terbuka." 

Untuk itu, pengelolan yang dilakukan berupa pembuatan temporary ditch atau permanen ditch untuk mengalirkan air limpasan yang terjadi di musim hujan. Ditch tersebut bermuara di setting pond.

Jika berkaca pada kasus Cihanjuang yang diterjang tiga kali banjir, persoalan berupa timbunan material proyek yang dibuang ke pinggir sungai hingga akhirnya longsor dan berujung luapan air justru tak muncul dalam pengelolaan air limpasan. 

Walhi : Tanggungjawab Pemerintah dan KCIC

Berbagai persoalan yang tertinggal setelah Whoosh beroperasi juga disoroti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat. Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin mempertanyakan tanggung jawab pemerintah maupun KCIC mengenai dampak yang tidak ditangani itu. 

‎"Beberapa hal yang tidak dijalankan itu salah satunya menyelesaikan dampak kerusakan yang muncul dari pascakontruksi, baik dampak sosial maupun dampak lingkungan, dan perlu di ingat hingga saat ini di berbagai wilayah yang terkena dari aktivitas KCJB (Kereta Cepat Jakarta-Bandung) belum kunjung selesai terkait hal-hal yang di keluhkan masyarakat," kata Wahyudin beberapa waktu lalu.

Ia juga mencontohkan nasib warga Perumahan Tipar Silih Asih yang mengalami kerusakan rumah karena dugaan pengerjaan proyek terowongan. Warga, lanjutnya, Wahyudin telah beberapa kali melaporkan permasalahan tersebut kepada Walhi.

"Pemerintah dan KCIC seakan terus menutup mata, pasca kontruksi dan saat beroperasi dianggap pihaknya tidak menyisakan dampak keresahan di kalangan warga, padahal sangat nyata warga telah mengalami kerugian, baik kerugian material maupun kerugian sikologis yang setiap hari terus dihantui oleh retakan rumah dan longsoran," ucapnya.  

Apabila kondisi itu terus dibiarkan, Walhi menilai pemerintah dan KCIC telah sengaja melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia serta melanggar UUD 1945 yang salah satu bunyi pasalnya mengatakan,“Masyarakat berhak mendapatkan kelayakan lingkungan yang  baik dan sehat.”  

Walhi mendesak‎ pemerintah dan KCIC segera menyelesaikan tanggung jawab sosial dan dan lingkungan yang belum kunjung selesai hingga saat ini. 

‎"Tidak hanya itu KCIC perlu melakukan pemulihan kerusakan lingkungan dengan cara melakukan reforestasi (penanaman pohon kembali)  beberapa titik yang mengalami kerusakan secara serius," kata Wahyudin.

Bungkam

"PR" mencoba meminta konfirmasi dan klarifikasi mengenai persoalan-persoalan tersebut kepada Corporate Secretary PT KCIC Eva Chairunisa. Pada Rabu (28/4/2024), "PR" mengirimkan pesan WhatsApp kepada Eva untuk meminta tanggapan serta menanyakan pertanggungjawaban piha kereta cepat mengenai banjir di Cihanjung. Eva tak membalas pesan itu. 

Pada Minggu (14/4/202), "PR" kembali mengirimkan pesan WhatsApp menanyakan kembali persoalan banjir itu kepada Eva. "PR" saat itu juga mengirimkan pertanyaan soal bagaiman pertanggungjawan kereta cepat atas kerusakan rumah-rumah di Tipar Silih Asih. Eva sempat  mengirimkan pesan WhastApp balasan yang meminta "PR" menunggu. Namun jawaban tak kunjung datang hingga "PR" kembali mengirimkan pesan WhatsApp pada 

Senin (15/4/2024). Hasilnya tetap nihil jawaban. Upaya lain ditempuh dengan menelfon yang bersangkutan pada Sabtu (27/4/2024) siang. Eva juga tak mengangkat sambungan telfon itu.

Catatan Redaksi:

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Pikiranrakyat.com pada 8 Mei 2024. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.

kali dilihat