Yang Dipenjara Karena Berita

Tim Independen

INDEPENDEN –  Huynh Thuc Vy (37) sehari-hari adalah jurnalis dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan. Dia fokus pada isu-isu politik, sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia di Vietnam. 

Pada November 2018 lalu, Vy dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun sembilan bulan oleh pemerintah Vietnam karena mencemarkan bendera nasional.

Karena anaknya masih kecil, Vy dijatuhi hukuman tahanan rumah. Namun pada 2021,  pengadilan provinsi Dak Lak mencabut status tahanan rumahnya dengan alasan yang tidak jelas, kemudian Vy dipindahkan ke Penjara Gia Trung, yang terletak lebih dari 200 kilometer dari rumahnya, pada Februari 2022.

Radio Free Asia (RFA) melaporkan Vy mengalami kekerasan dalam penjara. Jurnalis itu menceritakan perlakuan staf penjara kepada putrinya yang berusia enam tahun yang kebetulan menjenguknya.

“Sekitar lima menit sebelum akhir pertemuan, Vy diizinkan memeluk kedua anak kecilnya,” kata adik laki-laki Vy, Huynh Trong Hieu kepada RFA.

“Ia berbicara dengan lembut ke telinga putrinya, ‘Ibu dipukul dan lehernya dipegang erat oleh para penjaga. Tolong katakan kepada keluarga untuk memberi tahu pengacara Dang Dinh Manh untuk menyelamatkan Ibu’.”

Hieu mengatakan bahwa sang anak memberitahu kakeknya tentang apa yang dikatakan Vy ketika keluarga kembali ke rumah.

Committee to Protect Journalists (CPJ) pada awal Januari 2024 lalu mengeluarkan laporan terakhir tentang jurnalis yang saat ini dipenjara di seluruh belahan dunia hingga 1 Desember 2023. Dalam laporannya Nama Huynh Thuc Vy disebut-sebut sebagai jurnalis yang mengalami kondisi buruk di dalam penjara Vietnam.

Ayah Vy, Huynh Ngoc Tuan, memberi tahu CPJ pada November 2023 bahwa Vy mengalami regurgitasi katup trikuspid, suatu kondisi jantung serius. Dia memerlukan obat yang tidak disediakan oleh penjara. Sementara keluarganya tidak mampu membeli dan mengirimkan ke penjara.

Vy tidak sendirian menjadi jurnalis yang harus sakit-sakitan akibat kondisi penjara yang kejam.

Jurnalis Vietnam lainnya yaitu Tran Hunyh Duy Thuc juga mengalami sakit serius mendekam di hotel prodeo setelah mendapatkan vonis selama 16 tahun dan juga lima tahun tahanan rumah.

Keluarga Thuc mengatakan Truc mengalami penyakit mata pada tahun 2017 setelah petugas penjara secara rutin mematikan listrik di sel gelapnya dan menolak untuk memberikannya senter bertenaga baterai yang disediakan oleh keluarganya dengan alasan bahwa perangkat elektronik dilarang bagi tahanan.

Thuc ditangkap pada Mei 2009 karena menulis artikel di media online yang mengkritik negara komunis satu partai Vietnam dan divonis pada tahun 2010 atas tuduhan merencanakan penggulingan pemerintah.

Menurut CPJ, perlakukan kejam lainnya adalah petugas penjara berhenti menyediakan air panas kepada Thuc untuk mencegahnya memasak mie instan yang dibelinya di kantin penjara.

Thuc memang sering melakukan mogok makan sebagai protes terhadap kondisi penjara yang buruk dan berhenti makan makanan penjara pada September 2023 lalu sebagai bagian dari protes terhadap alokasi makanan yang tidak adil.

Bagaimana dengan negara lain selain Vietnam?

Cerita jurnalis yang dipenjara negara lain justru tak kalah mengerikannya.

Di Rusia misalnya. Jurnalis lepas Ukraina Iryna Danylovych, yang menjalani hukuman penjara selama enam tahun 11 bulan, tidak mendapatkan perawatan medis meskipun kehilangan pendengaran di telinga kirinya dan menderita sakit kepala parah.

"Iryna sekarat," kata ayah Danylovych kepada CPJ.

Sedangkan di Belarus, jurnalis Ksenia Lutskina juga tidak mendapatkan perawatan medis yang sesuai meskipun menderita tumor otak yang tumbuh selama dia menjalani hukuman delapan tahun.

Berdasarkan penemuan CPJ ada 94 dari 320 wartawan yang saat ini dalam penjara memiliki masalah kesehatan. Mereka tidak mendapatkan obat atau akses ke dokter. Sayangnya keluarga enggan bicara karena takut kerabat mereka akan lebih bermasalah di sana.

Para jurnalis yang dipenjara ini menghadapi pelecehan fisik dan seksual, overkrowding, kekurangan makanan dan air, serta perawatan medis yang tidak memadai.

 

Negara Asia Paling Otoriter

Data CPJ mengungkapkan bahwa negara Asia tetap menjadi kawasan yang rentan memenjarakan jurnalisnya.

China, Myanmar dan Vietnam menempati posisi lima besar negara yang paling banyak memenjarakan jurnalisnya. Sementara di luar tiga negara ini, ada juga India, Afghanistan dan Filipina.

India dengan menggunakan undang-undang keamanan termasuk Undang-Undang Pencegahan Kegiatan Tidak Sah (UAPA) dan Undang-Undang Keselamatan Publik Jammu dan Kashmir untuk membungkam media, telah memenjarakan tujuh wartawan.

Sedangkan di Afghanistan, ada 16 wartawan yang ditangkap – dan kemudian dibebaskan – sepanjang tahun 2023 lalu dan pelakunya adalah Taliban.

Sementara di negara tetangga kita Filipina, pemerintahan  Presiden Ferdinand Marcos Jr. tetap “keras” seperti pendahulunya Presiden Rodrigo Duterte. Namun sampai saat ini Marcos Jr. “hanya” memenjarakan satu wartawan yaitu Frenchie Mae Cumpio.

Cumpio telah berada di balik jeruji selama hampir empat tahun atas tuduhan kepemilikan senjata ilegal dan pendanaan aksi teror. Pengacara Cumbio menganggap tudingan itu terlalu dibuat-buat.

CPJ mengungkapkan, Israel muncul sebagai salah satu negara yang paling banyak memenjarakan wartawan setelah dimulainya perang Israel-Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu.

Dalam temuan CPJ, dalam waktu kurang dari tiga bulan, Israel menempati peringkat keenam – sejajar dengan Iran – di belakang China, Myanmar, Belarus, Rusia, dan Vietnam, sebagai negara yang aktif memenjarakan jurnalisnya.

 

 

 

 

 

CPJ telah mendokumentasikan 320 wartawan yang penjara hingga sensus 1 Desember 2023. Jumlah ini merupakan yang kedua tertinggi yang pernah dicatat oleh CPJ sejak sensus dimulai pada tahun 1992.

“Ini barometer yang mengkhawatirkan akan otoritarianisme yang mengakar dan sikap pemerintahan yang bermusuhan terhadap suara-suara independen,” kata CPJ dalam laporannya.

Beberapa negara terbukti sangat agresif untuk urusan membawa jurnalis ke penjara. Mereka menggunakan represi lintas batas untuk mengancam dan melecehkan wartawan di luar batas wilayah mereka sendiri.

Ambil saja contoh aksi intimidatif Moskow termasuk penerbitan sejumlah surat perintah penangkapan untuk wartawan Rusia yang tinggal di negara lain, atau Etiopia memaksa kembalinya seorang wartawan yang diasingkan untuk menghadapi tuduhan terorisme setelah ia ditangkap di negara tetangga Djibouti.

Penelitian CPJ juga menunjukkan bahwa lebih dari setengah – 168 – yang terdaftar dalam sensus menghadapi tuduhan berita palsu dan anti-negara seperti terorisme sebagai pembalasan terhadap liputannya yang kritis.

 

 

 

 

Di China, Otoritas semakin intensif menggunakan tuduhan anti-negara untuk menahan wartawan. Tiga dari lima kasus baru di China pada tahun 2023 melibatkan wartawan yang dituduh melakukan spionase, menghasut separatisme, atau merongrong kekuasaan negara.

Banyak wartawan yang diadili adalah etnis Uighur dari Xinjiang, di mana Beijing dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena penahanan massal dan represi keras terhadap kelompok etnis Muslim di wilayah tersebut.

Terbukti sepanjang tahun lalu, sebanyak 19 dari 44 wartawan yang dipenjarakan China adalah wartawan Uighur.

Selain tuduhan anti-negara, ada juga kasus pemenjaraan jurnalis yang tidak menyebutkan alasan mereka bersalah. Para jurnalis ini sering menghadapi kondisi yang kejam, proses hukum sering kali dikorupsi karena otoritas memperpanjang penahanan pra-tuduhan dan pra-pengadilan wartawan, dan pengacara wartawan itu sendiri menghadapi banyak tantangan dalam mengadvokasi para jurnalis ini.

Kabar lainnya yang juga mengejutkan?

CPJ melaporkan bahwa makin banyak jurnalis perempuan yang dipenjara pada 2023 ini.

 

 

 

 

Ada 8 dari 17 wartawan yang dipenjara di Iran adalah perempuan.

Dua jurnalis perempuan Niloofar Hamedi dan Elahe Mohammadi, adalah dua wartawan pertama yang melaporkan kematian Amini pada September 2022.

Kedua jurnalis ini dihukum masing-masing 13 dan 12 tahun atas tuduhan anti-negara terkait pelaporan tersebut. Keduanya diizinkan meninggalkan penjara dengan jaminan pada tanggal 14 Januari 2024 – setelah hampir 16 bulan di balik jeruji — sementara Mahkamah Agung Iran mempertimbangkan banding mereka.

Wartawan freelance Vida Rabbani berada di penjara Evin menjalani hukuman pertamanya dari dua hukuman yang totalnya 17 tahun atas liputannya tentang aksi protes.

Bagaimana dengan di Indonesia? Pertanyaan ini menarik, mengingat jurnalis di Indonesia juga menghadapi tantangan serius untuk isu UU Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE) yang kerap menyebabkan jurnalis rentan dipenjara. Untuk 2023, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada empat jurnalis yang sedang menghadapi tuntutan hukum. 

Misalnya jurnalis Medan Bisnis, Jhonni Sitompul, yang bertugas di kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) di Sumatera Utara, dilaporkan ke Polisi terkait UU ITE pada 7 Januari 2023 lalu. Jhonni dilaporkan oleh Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, Faisal Hasrimy karena menulis kritikan di akun Facebook, yang dinilai sebagai upaya merusak nama baik Sekda.

Kemudian ada  jurnalis Wawainews, Sumantri, dilaporkan ke Polres Tanggamus. Lampung terkait tindak pidana dalam UU ITE pada 20 April 2023.

 

 

 

 

 

kali dilihat