Menyoal Hak Maternitas Perempuan di Tempat Kerja
Camilla Rutherford, aktris Inggris mengkampanyekan kesetaraan gender bagi perempuan, termasuk perempuan pekerja, yang menjadi agenda Sustainable Development Goals 2030.
Bantu kami terus meneliti dan menginformasikan. Kami sangat berterima kasih kepada semua yang telah mendukung kami
bayar sekarangINDEPENDEN, Jakarta – Ajeng Pangesti A. (32) bicara meledak-ledak saat membahas kondisi buruh perempuan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Utara, khususnya terkait hak maternitas. Hak maternitas adalah bentuk layanan perawatan bagi perempuan yang berhubungan dengan sistem reproduksi, kehamilan, melahirkan, nifas, sampai bayi berusia 40 hari.
Hak maternitas berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar perempuan dan keluarganya dalam beradaptasi secara fisik dan psikososial untuk mencapai kesejahteraan. Problem hak maternitas sering dijumpai menjadi senjata perusahaan untuk tidak kembali mempekerjakan perempuan.
“Begitu ada buruh perempuan mengambil cuti hamil, langsung putus kontrak (kerja—red),” kata pengurus Serikat Pekerja Indonesia (SPI) ini sambil tangannya memperagakan menggorok leher, akhir April 2017.
Selain mengurus serikat pekerja, Ajeng adalah buruh di salah satu pabrik garmen di KBN Cakung. Namun, saat ini ia sedang berjuang menuntut hak ketenagakerjaan setelah bosnya kabur.
Selama mengurus serikat pekerja, Ajeng bersama teman-temannya di organisasi menerima laporan-laporan perlakuan buruk terhadap buruh yang sedang mengandung. Salah satunya adalah seorang buruh yang baru dua minggu cuti melahirkan karena keguguran diminta pihak manajemen untuk kembali bekerja. Perusahaan mencabut hak cuti melahirkan.
Padahal dalam UU Nomor 13 Tahun 20013 tentang Ketenagakerjaan mengatur cuti untuk perempuan yang melahirkan 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan atau yang mengalami keguguran setidaknya 1,5 bulan.
Kasus lainnya adalah buruh yang keguguran karena diduga mendapat kerja yang berat di pabrik. Saat itu ia diberikan pekerjaan untuk memotong bahan. “Itu mesin cutting berat loh. Dia harus memotong bahan yang tingginya sampai setengah meter. Dia mengalami keguguran karena kelelahan,” tambah Ajeng.
Kata Ajeng, kasus-kasus yang saat ini masih berlangsung di KBN Cakung terhadap hak maternitas adalah menempatkan buruh hamil di tempat-tempat yang berat. “Mereka bekerja sambil berdiri selama berjam-jam untuk buang sisa benang. Dan mereka takut bercerita karena takut kontraknya diputus perusaahaan,” katanya.
KBN Cakung merupakan kawasan pabrik yang didominasi perusahaan garmen. Lokasi kawasan seluas 176,7 hektar ini hanya 5 kilometer dari pelabuhan Tanjung Priok. Sementara buruhnya didominasi perempuan.
Perusahaan-perusahaan garmen yang beroperasi di KBN Cakung kebanyakan memproduksi pakaian jadi untuk diekspor dengan merek-merek ternama. Sebut saja merk Express, Polo, Nike dan Adidas. Buruh-buruhnya ditarget untuk memproduksi 80 potong pakaian selama satu jam.
Menurut catatan Better Work Indonesia (2012) sebanyak 92,2 persen angkatan kerja di industri garmen Indonesia adalah angkatan kerja perempuan. Sebanyak 80 persen perempuan yang bekerja di sektor garmen berusia muda atau dianggap masa reproduktif (pernikahan dan memiliki anak).
Hanya saja hak-hak maternitas mereka kurang mendapat perhatian dari perusahaan. “Kerja kayak setan. Tak ada perlakuan khusus bagi ibu hamil. Tak ada perhatian dari pemerintah,” lanjut Ajeng.
Perlakuan terhadap buruh perempuan di sektor garmen tak jauh beda dengan buruh perempuan di sektor pelayaran. Menurut pengakuan salah satu buruh pelayaran, Hadijah Abidin (37 tahun), buruh perempuan di sektor pelayaran bisa langsung dipecat perusahaan ketika tahu sedang hamil. “Makanya jarang ada kru perempuan,” katanya sambil menegaskan, “Untuk buruh perempuan sulit sekali mendapat posisi strategis di perusahaan.”
Dalam kisah buruh di sektor garmen dan pelayaran ini menjadi contoh perempuan hamil mendapat diskriminasi di tempat bekerja. Begitu anaknya lahir, dan masih membutuhkan air susu ibu (ASI), tak banyak perusahaan memiliki ruang laktasi dan memberikan hak ibu untuk memerah ASI di jam kerja.
Hak-hak maternitas perempuan, yaitu hak-hak yang melekat pada perempuan sejak ia hamil hingga memiliki bayi diatur dalam Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Semua Perempuan (CEDAW). Dalam Pasal 11 menjelaskan nondiskriminasi dalam pekerjaan; kesehatan dan keselamatan di tempat kerja; melarang pemecatan selama kehamilan dan cuti hamil; cuti hamil yang dibayar; layanan yang memungkinkan perempuan untuk menggabungkan kewajiban keluarga dan bekerja (fasilitas perawatan anak); perlindungan terhadap jenis pekerjaan yang berbahaya selama kehamilan.
Konvensi ini kemudian diperkuat dengan Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 153 ayat satu (1), disebutkan perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh dengan alasan: pekerja atau buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.
Namun, aturan-aturan ini hanya sempurna di atas kertas. Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menilai sejauh ini pemerintah mengambil posisi pasif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan buruh perempuan yang sedang hamil. Padahal, buruh yang sedang hamil masuk dalam posisi 1000 hari pertama kehidupan (HPK) bagi anak. “Pemerintah punya gerakan program 1000 HPK, tapi belum bisa menjawab persoalan buruh perempuan hamil yang mendapat perlakuan diskriminatif di pabrik-pabrik,” katanya.
1000 hari pertama kehidupan merupakan masa-masa penting bagi manusia. 1000 HPK ini dimulai dari hari pertama kehidupan janin (270 hari) hingga bayi berusia 2 tahun (730 hari). Masa 1000 HPK membutuhkan perlakuan khusus, seperti pemberian asupan pangan, gizi, dan nutrisi bagi janin di hari pertama sampai anak usia 2 tahun. Jika masa-masa ini diabaikan, maka akan berdampak terhadap kesehatan anak di kemudian hari.
Perlakuan 1000 HPK dalam jangka pendek akan menentukan perkembangan otak, pertumbuhan tubuh, dan metabolisme tubuh anak. Dalam jangka panjang, perlakuan terhadap 1000 HPK berdampak terhadap prestasi belajar, ketangkasan tubuh dalam bekerja, sampai potensi penyakit tidak menular seperti gula, obesitas, jantung, kanker, dan tekanan darah tinggi.
Butuh Regulasi yang Melindungi
Sejauh ini, Kementerian Ketenagakerjaan hanya menunggu laporan tentang pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap buruh perempuan yang sedang hamil di pabrik-pabrik. Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Amri Abu Kasim mengatakan, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pabrik bisa dilaporkan ke dinas tenaga kerja setempat. “Harus dilihat masalahnya, berapa besar kesalahan (buruh—red) itu sehinggah harus dipecat, ada atau tidak klausul di kontrak kerjanya,” katanya.
Lebih lanjut Amri meminta serikat pekerja untuk melakukan bipartit dalam menyelesaikan persoalan buruh-buruh perempuan. Jika tak mendapat solusi, baru dinas tenaga kerja turun tangan untuk melakukan mediasi.
Di sisi lain, Kartini, Direktur Kesehatan Kerja Kementerian Kesehatan mengatakan sejauh ini pemerintah telah membuat perjanjian kerjasama empat kementerian untuk mengatasi persoalan buruh perempuan. Kerjasama ini yaitu perjanjian Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) yang diteken Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. “Dari Kemenkes lebih pada membuat standar dan pedoman teknis pelaksanaan dan pembinaan teknis,” katanya, Minggu (28/05).
Dalam pelaksanaan di lapangan kabupaten dan kota kegiatan dilaksanakan dinas di tingkat ini dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan perusahaan. Untuk memastikan perusahaan melaksanakan sudah terhadap peran Kemendagri serta pengawasan dinas tenaga kerja di provinsi bersama Kementeria Pemberdayaan Perempuan.
“Setiap tahun kami mengadakan lomba perusahaan yang melaksanakan GP2SP terbaik se-Indonesia. Penilaian dilakukan secara bertahap dari tingkat kabupaten atau kota, provinsi dan nasional,” kata Kartini.
Namun, program-program dari pemerintah ini dianggap tidak cukup. Ika menjelaskan, selama ini buruh perempuan dalam memperjuangkan hak maternitas masih sangat rentan diintimidasi pabrik. Intimidasi tersebut berupa kontrak kerja yang dibuat pabrik dengan jangka waktu hingga satu bulan. “Buruh perempuan rentan diputus kontrak kalau protes terhadap peraturan perusahaan. Jadi yang harus diselesaikan itu sistem regulasinya,” kata Ika.
Muhammad Irham