Oleh Yulia A
INDEPENDEN -- Wiyadi dan belasan nelayan lainnya di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat tampak lesu. Malam itu, Kamis 27 Desember 2024 para nelayan lebih banyak menghela napas panjang dan sesekali saling mengeluh.
Maklum, tangkapan laut yang mereka terima hari itu tinggi pasak daripada tiang.
"Hari ini cuma dapat empat ons," kata Wiyadi dengan nada lemas, tak ada semangat sedikit pun.
"Saya kurang dari empat ons," kata Tatang yang juga merupakan nelayan di Cilamaya.
Ini bukan adu nasib. Hari itu, para nelayan di Cilamaya tidak ada yang untung. Tidak ada yang lebih baik. Hasil tangkapan mereka bisa dihitung jari.
Sehari sebelumnya para nelayan seperti biasanya pergi melaut. Mereka bertolak sekitar pukul 20.00 WIB dan pulang keesokan harinya, pukul 10.00 WIB.
Nelayan bersiap melaut ( Foto Yulia A)
Durasi melaut beberapa tahun terakhir memang lebih lama jika ingin mendapat hasil tangkapan. Padahal pada 2020, nelayan bisa pergi pukul 24.00 WIB dan pulang paginya, puku 08.00 WIB dengan hasil tangkapan yang lumayan.
Biasanya nelayan bisa mendapat udang, ikan, hingga rajungan yang banyak. Jika dirupiahkan rata-rata mereka dapat Rp300 ribu dari hasil satu kali melaut.
Saat ini untuk dapat hasil laut seperti itu sulit bukan main. Jika sedang beruntung, bisa sampai 1 kilogram. Itu pun harus melaut minimal 14 jam, seperti yang sekarang mereka lakukan.
Sialnya, para nelayan lebih banyak apes. Hasil tangkapan mereka sering kali mentok dihitungan ons, seperti yang dialami Wiyadi dan Tatang.
"Saya dapat ikan, rajungan, kepiting, tapi gak banyak. Dapet satu-satu hahaha. Kalau ditotal Rp40 ribu," keluh Wiyadi lagi diikuti tawa, seolah menghibur diri.
"Itu mah gak usah dijual, buat makan sendiri jadi gorengan," sahut Waslim, rekan nelayannya yang lain.
Waslim juga sama sialnya dengan Wiyadi pada hari itu. Dia bercerita, kemerosotan hasil tangkapan nelayan terjadi sejak mulai dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLGU) Jawa Satu Power (JSP) pada 2019 di pesisir Cilamaya Wetan.
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLGU) Jawa Satu Power (JSP) berlokasi di pesisir Cilamaya Wetan, Jawa Barat (Foto: Yulia A)
Proyek ini memasang perangkat penunjang PLTGU seperti pipa gas, pipa air pendingin, rumah pompa, dan jetty atau dermaga khusus pasokan material konstruksi PLTGU.
Ada pula Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) atau kapal yang diparkirkan di tengah laut untuk menampung pasokan gas alam cair/Liquefied Natural Gas (LNG).
Perangkat pendukung PLTGU JSP itu pun mulai menganggu aktivitas nelayan.
"Hasil tangkapan tahun 2017-2018 masih bagus. Pada 2020 tuh udah menurun. Jaring-jaring nyangkut di pipa. Lagi jaring enak enak eh nyangkut. Ikannya ilang, jaringnya rusak," ujar Waslim.
Ikan-ikan dan biota laut lainnya juga banyak yang mati akibat proyek itu. Area tangkap nelayan pun menjadi lebih jauh. Nelayan pun harus mengeluarkan ongkos untuk bahan bakar perahu lebih banyak.
"Solar abis 10 liter kalau dirupiahin Rp80 ribu," ucapnya.
"Kita mau nyari [ikan] di barat, [harus] ke timur dulu. Kapal, tongkang angkut barang, sementara masuk situ kan antre. Jadi 10 liter itu kurang. Entar pulangnya muter lagi. Bisa abis 15 liter udah bolak balik," tambah Waslim.
Kehadiran perangkat pendukung PLTGU juga menyebabkan pendangkalan laut. Gelombang di laut pecah dan membahayakan nelayan.
"Sekarang dangkal jadi kan, ombak-ombak pada pecah. Banyak perahu-perahu kecil yang terbalik kena ombak. Kalau ada angin dari utara itu jadi pecah," kata Waslim.
Jika tak terbalik karena ombak pecah, nelayan juga berisiko tertabrak oleh kapal besar yang membawa pekerja ke PLTGU JSP. Ini pernah terjadi kepada Waslim pada 2020 silam.
"Saya dulu pernah ditabrak kapal yang pulang pergi anter pegawai, cuma dikasih ganti Rp200 ribu. Kecil banget," curhatnya.
Terlilit utang
PLTGU yang digadang-gadang terbesar se-Asia Tenggara ini lebih banyak menyusahkan warga Cilamaya. Dampaknya tidak berhenti di situ saja.
Imbas lanjutan dari kerusakan lingkungan dan pengadaan perangkat-perangkat penunjang PLTGU ini, nelayan kesulitan mendapatkan ikan terpaksa harus berutang.
Jaring yang rusak karena tersangkut fasilitas PLTGU JSP (Foto Yulia A)
Penghasilan rata-rata mereka dari hasil melaut sekitar Rp50 ribu per hari. Sementara, untuk pembekalan sekali jalan saja habis Rp80 ribu. Ini baru solar atau bensin. Belum lagi, bekal makan selama semalaman melaut.
Di sisi lain, untuk menutupi itu semua, nelayan sudah tak punya lagi uang. Untuk solar saja tidak tertutup. Walhasil, banyak nelayan yang berutang ke bank.
"Saya aja perahu rusak kalau enggak ngambil (pinjaman dari) BRI mah, ya enggak bisa [melaut]," ucap Catim, nelayan yang duduk bersampingan dengan Waslim pada malam itu.
Catim bercerita tentang utang tanpa malu-malu. Sebab, hampir semua nelayan yang sedang berkumpul pada malam itu juga mempunyai utang.
Berdasarkan ceritanya, hampir semua nelayan di Cilamaya pernah kasbon untuk uang solar atau bensin. Banyak juga yang akhirnya terlilit utang di bank keliling untuk menutup kebutuhan sehari-hari.
Wiyadi, Tatang, Waslim pun punya pengalaman serupa. Mereka semua mengaku berutang pada Bank Emok dan Bank Harian. Kedua itu merupakan Bank yang paling populer di Cilamaya.
Salah satu alasannya karena meminjam di bank keliling lebih mudah dibandingkan dengan bank komersil. Mereka hanya perlu memberikan fotokopi KTP dan tandatangan suami/istri.
"Hampir semua di sini mah Bank Emok. Hasil laut kan enggak seberapa, ini istri juga ambil Bank Emok," ujar Waslim.
Waslim menyebut bank keliling pada masa-masa kritis memang membantu. Tapi, di sisi lain juga membuat keluarganya resah. Waslim sering ketar-ketir karena tak bisa bayar tagihan bank keliling.
Waslim terpaksa gali lubang tutup lubang. Jika dia tak bisa bayar Bank Emok, maka dia berutang ke bank harian. Atau sebaliknya.
Rumahnya sering juga dipantengi oleh debt collector dari Bank Emok atau bank harian dari pagi hingga malam karena belum bisa bayar tagihan. Jika sudah seperti itu, dia akan berkeliling mencari utang di tempat lain yang terdekat dengan rumahnya.
"Emok itu harus punya aja. Kalau engga, ditungguin. Harus setor," tuturnya.
"Dari Senin sampai Sabtu, ditagihin semua. Bank keliling, Bank Emok. Kalau enggak bisa setor Selasaan, ngambil lagi (pinjaman untuk tagihan) Seninan. Udah gitu aja terus," tambahnya.
Bermasalah sejak awal
Tak jauh berbeda dengan kebanyakan Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya, PLTGU JSP dinilai sudah bermasalah dari sejak perencanaan.
Meiki W Paendong dari Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur mengungkapkan tidak ada sosialisasi yang mumpuni terkait rencana pembangunan PLTGU JSP kepada masyarakat sekitar.
"Pelibatan masyarakat sangat lemah. Itu dibuktikan dengan tidak semua unsur, elemen dari masyarakat yang terinformasikan akan ada pembangunan," kata Meiki kepada Independen.id, baru-baru ini.
Meiki menyampaikan pihak JSP hanya memberitahu akan ada pembangunan proyek kepada warga yang disebut bertempat tinggal di tanah milik Pertamina Gas (Pertagas). Itu pun tidak dijelaskan secara rinci proyek apa yang akan dibangun.
Proses pembangunan berlangsung sejak 2019 dan terus dilanjutkan meski Indonesia tengah dilanda pandemi Covid-19 awal 2020. Selama pembangunan itu, warga banyak yang terdampak. Sebab, getaran yang dihasilkan selama proses konstruksi itu terasa sangat kencang.
"Banyak rumah warga yang rusak, retak," ucapnya.
Perwakilan Koalisi Don't Gas Indonesia (DGI) sekaligus staf Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha), Sigit Karyadi Budiono juga mengungkapkan hal serupa. Dia mengatakan warga tidak mendapatkan informasi mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atas pembangunan PLTGU JSP.
"Warga di sekitar situ tidak merasa diperhatikan gitu. Misalnya konsennya, misalnya soal kesehatan dan lain sebagainya," kata Sigit saat dihubungi.
Sigit menyoroti sejumlah dampak lingkungan dari PLTGU JSP yang diklaim oleh pemerintah sebagai pembangkit listrik yang rendah emisi. Don't Gas Indonesia menilai gas alam atau LNG bukanlah energi bersih tapi energi kotor yang ditambang sama seperti minyak bumi dan batubara (energi fossil).
Dia menjelaskan LNG menghasilkan dampak polusi yang lebih bahaya dari CO2, yakni polusi gas methana atau gas rumah kaca yang justru punya kontribusi besar dalam perubahan dan krisis iklim.
"Pemerintah berusaha menframing bahwa gas itu lebih bersih dibandingkan dengan batubara misalnya. Padahal walaupun misalnya metana itu lebih singkat masa hidupnya gitu. Tapi dia lebih kuat menangkap gas rumah kaca itu sendiri," jelasnya sambil melanjutkan, "Metana itu kemudian tidak dihitung oleh para pengambil kebijakan."
LNG yang digunakan di PLTGU Cilamaya dibawa dari dari kilang LNG BP Tangguh Papua. Selama proses distribusi dari Papua ke Cilamaya, Sigit meyakini banyak senyawa berbahaya yang terbuang yang juga merupakan emisi.
Belum lagi, limbah yang dihasilkan.
PLTGU Cilamaya menyedot 5.274 ton air laut per jam untuk proses gas turbine plant dan steam (uap). Kemudian, per jamnya, PLTGU Cilamaya menghasilka 3.800 ton limbah.
Beberapa kandungan yang ada dalam limbah PLTGU biasanya terdiri dari bromine (Br) yang dapat menyebabkan iritasi kulit, tembaga (Cu) yang dapat menyebabkan pusing, muntah, hingga diare. Kemudian ada juga klorin (Cl), kromium (Cr) hingga cadium (Cd) yang berpotensi menyebabkan ginjal.
Dampak lainnya adalah pencemaran dan kerusakan ekosistem laut.
Selain biota laut, pihak yang paling terdampak lainnya adalah nelayan.
"Karena limbah itu kan seringkali dibuang begitu saja ke sekitar ini ke laut dan lain sebagainya gitu. Kami belum sempat untuk melakukan riset khusus gitu soal kualitas air maupun juga biodiversitas di situ gitu. Tapi sudah mulai kelihatan kayak kepiting segala macemnya, tubuhnya, warnanya segala macem itu udah kelihatan sekali gitu," beber Sigit panjang lebar.
Nelayan dan istrinya memperbaiki jaring untuk menjala ikan di Cilamaya Jawa Barat ( Foto: Yulia A)
Kelompok nelayan di Cilamaya sudah melayangkan gugatan class action kepada PLTGU JSP di Pengadilan Negeri Karawang. Sadeli salah satu nelayan penggugat menyatakan warga sudah mendapatkan banyak kerugian dari dampak yang dihasilkan.
Dalam salah satu gugatannya, kelompok nelayan itu meminta ganti rugi selama ini atas wilayah tangkap rusak yang merupakan sumber mencari nafkah mereka.
Sebelumnya, PT JSP juga sudah mengeluarkan Rencana Pemulihan Mata Pencaharian (LRP) bagi warga yang terdampak PLTGU di Cilamaya ini.
Berdasarkan survei tangkapan ikan pada 2019, diperkirakan ada 275 nelayan yang akan terdampak dan kehilangan pendapatan lebih dari 10 persen. Dari jumlah itu, sebanyak 54 nelayan dikategorikan sebagai 'kelompok rentan'.
Dalam LRP tersebut, PT JSP membuat program dan berjanji akan memberikan ganti rugi. Dalam dokumen LRP yang dikeluarkan pada 2019 itu, PT JSP mengklaim telah memulai program kompensasi biaya bagi semua nelayan terdampak untuk program tahun pertama. Namun, ganti rugi ini hanya diberikan sekali.
"JSP akan melaksanakan program ini melalui pembayaran satu kali kepada nelayan yang terdampak," demikian dikutip dari dokumen LRP yang dibuat oleh PT JSP.
Adapun beberapa program yang dibuat oleh PT JSP di antaranya menyediakan materi untuk peningkatan bisnis, peningkatan kapasitas, dan peluang kerja untuk proyek. Pelaksanaan ini diproyeksikan selesai hingga 2022.
Namun, rencana tersebut belum terealisasi. Oleh sebab itu, kelompok nelayan pun melayangkan gugatan.
"Sampai saat ini gak ada hitung-hitungan JSP seperti itu. Padahal dari awal perjanjiannya udah ada," kata Sadeli saat ditemui.
Selain ganti rugi, Sadeli menyebut pihaknya juga menuntut agar ada pemulihan lingkungan.
"Sudah pasti kami juga ingin adanya pemulihan lingkungan, meskipun itu sulit ya," ucapnya.
Independen.id telah mencoba menghubungi PT Jawa Saatu Power melalui nomor yang dicantumkan dalam laman resmi perusahaan gabungan tersebut. Namun, hingga tulisan ini naik, pihak perusahaan belum juga merespons.
===
Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.