KKJ Kecam Polisi Atas Penangkapan Pemred Floresa

Oleh Independen.id

INDEPENDEN -- Jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut ditangkap oleh aparat saat sedang meliput aksi unjuk rasa di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai pada Rabu, 2 Oktober 2024.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia mengecam keras tindakan aparat kepolisian dari Polres Manggarai yang melakukan penangkapan sewenang-wenang itu.

“Tindakan ini melanggar UU Pers No 40 tahun 1999 dan juga KUHP,” kata KKJ dalam rilisnya yang diterima Independen.id pada Kamis, 3 Oktober 2024.

Sebelumnya Floresa melaporkan bahwa informasi penangkapan Herry Kabut diperoleh dari salah seorang warga Poco Leok.

Sejumlah warga berusaha mengambil video saat penangkapan terjadi, namun dihalau aparat. Warga melaporkan kepada Floresa bahwa Herry ditarik, dan kemungkinan dipukul saat dibawa paksa ke dalam mobil.

Penangkapan Herry terjadi saat jurnalis itu melakukan peliputan Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok yang terlibat dalam aksi penolakan pengembangan proyek geotermal Poco Leok, pada Rabu, 2 Oktober 2024.

PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai memaksa masuk ke wilayah Poco Leok, membuka akses jalan untuk proyek geothermal, diiringi pengamanan aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, dan Polisi Pamong Praja.

Upaya tersebut dihadang oleh warga dan direspons oleh aparat dengan pemukulan dan penangkapan, lapor Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok dalam rilisnya.

Aparat keamanan tidak memperbolehkan warga Poco Leok mengambil gambar.

“Puluhan orang luka-luka dan beberapa tidak sadarkan diri karena mendapatkan kekerasan dari aparat kepolisian berseragam lengkap,” jelas Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok.

Komunitas melaporkan, ada sekitar empat orang yang ditangkap polisi. Aparat mengatakan akan melepas mereka, ketika warga bubar. Salah satunya adalah jurnalis Floresa Herry Kabut.

Setelah berjam-jam ditahan, akhirnya Herry Kabut dan tiga warga lainnya dilepas.

KKJ menilai kasus ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dimana berbunyi  Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.

Tindak kekerasan oleh aparat keamanan berupa penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat pada jurnalis saat tengah menjalankan profesinya merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara. 

Atas perkara tersebut, KKJ mendesak Kepolisian untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik. 

Kapolri beserta jajarannya harus menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan dan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap para jurnalis yang sedang bertugas dalam melakukan peliputan aksi publik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang.

KKJ juga meminta Panglima TNI beserta jajarannya untuk menarik mundur seluruh anak buahnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil karena tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana amanat Undang-undang.

Selain itu Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi dan penyerangan fisik yang menyasar jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan.

KKJ mengimbau para korban kekerasan untuk melaporkan seluruh bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan.

kali dilihat