INDEPENDEN, Jakarta - Seluruh fraksi di DPR telah sepakat untuk merevisi Undang Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah perubahan dalam regulasi ini diyakini dapat melemahkan lembaga anti rasuah tersebut.
Satu per satu gerakan penolakan disuarakan, mulai dari internal KPK, hingga ormas NU cabang Belanda. Kini, penolakan juga disuarakan oleh mantan komisioner KPK.
Menurut catatan mantan Ketua KPK, Abraham Samad setidaknya enam poin krusial dari rencana revisi Undang-undang KPK. Beberapa di antaranya akan membuat KPK Mati Suri.
"Pertama, KPK hendak dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan atau di bawah Presiden. Sedangkan pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan," kata Samad dalam keterangan tertulisnya, Ahad (08/09).
Kedua, tambah Samad, masalah penyadapan. Revisi ini menghendaki penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK. Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai hukum acara pidana.
"Keempat, setiap instansi, kementerian, lembaga wajib menyelenggarakan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara (LHKPN) sebelum dan setelah berakhir masa jabatan. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja KPK," katanya.
Kelima, ada organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang ini dibantu oleh organ pelaksana pengawas.
"Keenam, revisi membolehkan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun KPK Mati Suri," tambah Samad.
Menurut Abraham Samad, jika KPK berada di bawah struktur kekuasaan eksekutif, maka status independen KPK otomatis hilang. "Padahal independensi menjadi syarat kunci tegaknya sebuah badan/lembaga antikorupsi. Ketika KPK berada di bawah eksekutif, maka KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif," katanya.
Pada situasi ini, lanjut Samad, KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tipikor.
KPK juga akan berbenturan dengan Kejaksaan yang memang rancangan konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam “perebutan pengaruh”.
"Pada akhirnya jenis kelamin KPK akan berubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, semata mengerjakan tugas pencegahan korupsi saja, tidak lebih," kata Samad.
Siasat Kedua, revisi hendak melumpuhkan sistem kolektif kolegial Pimpinan KPK dalam pengambilan keputusan dengan memperpanjang alur penyadapan dengan melibatkan izin Dewan Pengawas.
"Tampaknya perumus naskah revisi Undang-undang KPK tidak mengetahui SOP penyidikan, termasuk penyadapan di KPK. Sebelum dilakukan penyadapan, izinnya harus melewati banyak meja; kasatgas, direktur penyidikan, deputi penindakan, kemudian meja lima Pimpinan," kata Samad.
"Jadi sistem kolektif kolegial kelima Pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan itu. Sangat tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan risiko bisa bocor sebelum dijalankan," tambahnya.
Siasat Ketiga, revisi hendak membentuk organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Samad juga mempertanyakan keberadaan Dewan Pengawas KPK yang dinilai tak akan bisa bebas kepentingan. "Padahal KPK sudah memiliki sistem deteksi dan prosedur penindakan internal jika ada Pimpinan atau pegawai yang menyalahgunakan wewenang. Ada Pengawas Internal (PI) yang menerapkan standar SOP “zero tolerance” kepada semua terperiksa, tidak terkecuali Pimpinan," katanya.
Sistem kolektif kolegial lima Pimpinan KPK juga adalah bagian dari saling mengawasi. Ditambah, jika ada pelanggaran berat yang dilakukan Pimpinan, bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya.
Siasat keempat, revisi hendak memberikan wewenang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.
"Ini sama dengan wewenang yang dimiliki Kejaksaan dan Kepolisian, wewenang yang sering disorot masyarakat sipil," kata Samad.
Selain itu, penolakan juga disampaikan mantan komisioner KPK lainnya, yaitu Busyro Muqoddas, M. Jasin, dan Haryono Umar.
"Seharusnya UU 30 tahun 2002 tidak perlu direvisi, mengingat KPK selama ini mampu menjalankan tugas dan mencapai kinerja yang luar biasa. Perubahan UU KPK hanya akan mengurangi independensi KPK dan tidak efesien serta efektif dalam pemberantasan korupsi," kata Haryono Umar.