Pemilih ODGJ Tidak Perlu Surat Keterangan Dokter untuk Hadir ke TPS di Bali

Oleh: I Ketut Angga Wijaya

Independen --- Menjelang sore, lelaki 37 tahun itu datang dari mengantar teman-temannya pulang dari Rumah Berdaya, tempat rehabilitasi psikososial bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Denpasar Selatan, Bali.

Hindu Pratama, nama lelaki itu. Sejak 2017 ia diangkat menjadi pegawai kontrak Dinas Sosial Kota Denpasar, organisasi perangkat daerah yang menaungi Rumah Berdaya. Hindu sendiri adalah penyintas skizofrenia yang telah stabil dan pulih, dengan pengobatan rutin oleh psikiater.

Setiap hari, 15 ODGJ yang sebagian besar mengidap skizofrenia, gangguan jiwa berat dengan halusinasi dan delusi, diantar-jemput menggunakan mobil pemerintah. Di Rumah Berdaya, mereka melakukan aktivitas membuat dupa (hio), berkebun, menyablon kaos, dan melukis, yang mana hasil kreativitas mereka nantinya dipajang dan dijual di galeri di sana.

“Saya bergabung semenjak Rumah Berdaya berdiri pada 2016. Saya bersyukur bisa menjadi pegawai kontrak. Senang rasanya bisa mandiri dan berguna, saling berbagi bersama kawan-kawan ODGJ di sini,” katanya penuh semangat.

Hindu tinggal di kawasan Denpasar Timur. Setiap hari ia mengendarai sepeda motor ke Rumah Berdaya. Dia juga ditugasi untuk mengantarkan dupa kepada para pelanggan di berbagai tempat di Kota Denpasar. Orang tidak akan menyangka ia adalah penyintas skizofrenia, karena dari tampilan luar dia seperti pemuda kebanyakan.

Ditanya mengenai Pemilu 2024, dia dengan mantap bercerita tentang pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menurutnya cocok memimpin Indonesia. Hindu pun sudah tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) di banjar (wilayah adat di Bali mirip dengan RT/RW) tempatnya menetap.

“Biasanya seminggu sebelum hari pemilihan umum DPT dibagikan. Pada Pemilu 2019 saya ikut mencoblos. Hanya saat menunggu giliran saya ditemani ayah saya. Setelah itu, sendirian menuju bilik suara,” jelas Hindu.

Pemilih ODGJ

Total jumlah pemilih ODGJ di seluruh Indonesia pada Pemilu 2024 adalah 264.594 orang. ODGJ diperbolehkan memilih sejatinya mulai sejak lama yakni pada Pemilu 1955. Hanya saja setiap Pemilu tiba, isu ini selalu menjadi pro-kontra di masyarakat. Padahal, ODGJ adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak politik sama seperti warga non-disabilitas.

Hindu adalah satu dari ribuan ODGJ di Provinsi Bali yang terdaftar menjadi pemilih pada Pemilu 2024. Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali, pada Pemilu 2024 tercatat 4955 pemilih dari kategori penyandang disabilitas mental di seluruh Bali. Di Kota Denpasar sendiri terdapat 358 pemilih ODGJ; di kabupaten Jembrana 457 orang; kabupaten Tabanan 702 orang; kabupaten Badung 653 orang; kabupaten Gianyar 760 orang; kabupaten Klungkung 319 orang; kabupaten Bangli 372 orang; kabupaten Karangasem 631 orang, dan kabupaten Buleleng sebanyak 703 orang.

sumber: KPUD Bali

 

Ketua KPU Provinsi Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan menyebut, data tersebut merupakan hasil pendataan lapangan Pantarlih atau Petugas Pemuktahiran Data Pemilih yang datang langsung ke rumah warga guna mencocokkan data pemilih sesuai daftar pemilih tetap (DPT).  

“Sistem yang digunakan adalah Coklit atau Pencocokan dan Penelitian,” ucapnya singkat.

Ia menambahkan, khusus bagi penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bisa ikut Pemilu 2024 jika memenuhi kriteria berikut: 1) ODGJ tidak permanen mengalami gangguan jiwa, atau bisa sembuh dengan pengobatan dan perawatan. ODGJ yang permanen atau tidak bisa sembuh tidak diperbolehkan ikut Pemilu karena dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memilih secara rasional; 2) ODGJ memiliki kartu tanda penduduk (KTP) dan terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Dikatakan Lidartawan, hak pilih bagi ODGJ ini sejalan dengan UUD 1945 dan UU HAM yang menjamin hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu, termasuk penyandang disabilitas mental. Hak pilih ini juga sesuai dengan UU Kesehatan yang mengatur bahwa penderita gangguan jiwa berhak mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum.

“Implikasi hak pilih bagi ODGJ bagi demokratisasi di Indonesia adalah memberikan kesempatan yang lebih luas dan inklusif bagi seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan nasib bangsa,” katanya.

Tambah dia, hak pilih ini juga menunjukkan bahwa negara menghargai dan mengakui hak asasi manusia dari ODGJ sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.  “Hak pilih ini juga bisa menjadi motivasi bagi ODGJ untuk sembuh dari gangguan jiwa mereka dan berkontribusi dalam pembangunan nasional,” ujar Lidartawan.

Stigma ODGJ

Meskipun tampaknya partisipasi ODGJ dalam Pemilu sudah cukup baik, di masyarakat stigma terhadap ODGJ dalam kaitannya dengan hak politik masih sangat kental. Istilah ODGJ sejatinya digunakan untuk menghapus stigma “gila” di masyarakat.

Dalam pemahaman awam, ODGJ kemudian tetap diidentikkan mereka yang terlantar, dipasung, dan sejenisnya. Padahal, banyak sekali orang yang mengalami gangguan jiwa namun dengan pengobatan yang teratur kemudian dapat berfungsi dengan baik, bekerja dan tidak sedikit ODGJ yang memiliki prestasi mengagumkan.

Foto: aktivitas di Rumah Berdaya

 

Bagus Hargo Utomo, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), dalam Forum Diskusi Ilmiah Nasional (FDIN) “Mengamankan Hak Pilih ODGJ dalam Pemilu”, diselenggarakan secara daring pada Rabu, 31 Januari 2024 menyayangkan setiap Pemilu di Indonesia tiba, isu ODGJ seakan “digoreng-goreng” atau digunakan sedemikian rupa untuk menjadikan ODGJ sebagai bahan lelucon, ejekan, bahkan kebencian terhadap ODGJ.

“Di media sosial misalnya, hal itu sangat terlihat. Konten atau komentar-komentar warga tentang ODGJ yang dianggap tidak normal sehingga tidak akan mampu menggunakan hak suaranya. Ini dilakukan tidak hanya oleh masyarakat umum bahkan juga aktivis partai bahkan politisi,” ujarnya.

Padahal, kata Bagus, kondisi ODGJ bermacam-macam. Masyarakat Indonesia masih belum bebas dari pola pikir lama bahwa yang dimaksud dengan ODGJ adalah mereka yang menggelandang di jalanan, dengan tubuh yang kotor bahkan tanpa busana.

“Banyak ODGJ yang bahkan telah pulih yang bahkan tidak terlihat bahwa mereka pernah mengalami gangguan jiwa. Polemik soal ODGJ memilih dalam Pemilu sebaiknya dihentikan karena sebagai warga negara mereka punya hak yang sama dengan warga non-disabilitas,” katanya.

Isu terkini soal ODGJ, tutur Bagus, adalah ODGJ digunakan untuk kepentingan tertentu dalam Pemilu 2024 yakni penggelembungan suara. ODGJ yang ada di jalanan diorganisir, dibuatkan KTP, diberi pakaian untuk nantinya datang ke TPS dan diarahkan untuk memilih calon tertentu.

“Isu ini menyesatkan, Dalam pengalaman KPSI, bagi ODGJ dalam masa pemulihan, untuk diajak keluar rumah untuk berobat ke rumah sakit saja masih sulit, apalagi untuk diorganisir dalam Pemilu. Ini menandakan ODGJ terus-menerus dijadikan obyek berita bohong,” sebutnya.

Untuk itu, pihaknya menyerukan kepada seluruh keluarga besar KPSI untuk menentang keras stigmatisasi ODGJ dalam Pemilu. “Kami menyerukan kepada ODGJ dan keluarganya serta simpatisan KPSI diseluruh Indonesia untuk tidak memilih partai, caleg, capres/cawapres yang yang tidak peduli terhadap isu kesehatan jiwa,” ujar Bagus.

Aturan Hukum

Di sisi lain, aturan hukum mengenai hak suara ODGJ di Indonesia kini tumpang tindih. Hal itu berawal dari informasi yang menyebar secara luas bahwa ODGJ yang bisa ikut serta menggunakan hak suara dalam Pemilu 2024 harus menyertakan surat keterangan dari profesional kesehatan jiwa seperti psikolog atau psikiater.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XII tahun 2015 telah merevisi Undang-undang No. 57 ayat 3 yang berbunyi “Pemilih yang terdaftar adalah mereka yang tidak hilang ingatan dan terganggu jiwanya”. Putusan MK menyebutkan bahwa pasal no 57 ayat 3 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.” Sehingga putusan MK ini menjadikan ODGJ berhak memilih tanpa harus menyertakan surat keterangan dokter.

“ODGJ yang telah terdaftar dalam DPT mestinya bisa ikut Pemilu tanpa harus membawa surat keterangan dokter. Apalagi bagi ODGJ yang kondisinya telah pulih. Jika memang benar ada syarat surat keterangan dokter saya melihatnya sebagai sebuah kemunduran,” kata Bagus Utomo.

Ketua KPU Provinsi Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan menyebut tidak adanya aturan  keterangan dokter bagi pemilih yang tergolong ODGJ. Ia menjelaskan dalam proses pendaftaran DPT keterangan mengenai disabilitas semua telah didata, termasuk disabilitas mental atau ODGJ. Sehingga pemilih yang termasuk ODGJ dapat datang ke TPS tanpa membawa surat keterangan dokter.  

Hanya saja, untuk beberapa kasus khusus seperti TPS di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dokter akan memeriksa dan memastikan terlebih dahulu pemilih ODGJ apakah dalam keadaan sehat, sebelum menuju bilik suara.   

“Namanya orang sakit kan bisa kambuh sewaktu-waktu. Jika ODGJ yang datang ke TPS lalu kambuh dan misalkan merobek-robek surat suara, bagaimana? Jadi untuk menyatakan ia sehat dan layak mencoblos adalah pemeriksaan oleh dokter,” kata Lidartawan menjelaskan.

Hal penting lain menurutnya adalah tentang peran keluarga ODGJ yang mengantarkan para penyandang disabilitas mental ini ke TPS. “Jadi keluarga yang menentukan apakah kondisi saat hari-H Pemilu mampu atau tidak untuk memilih. Petugas KPPS di lapangan juga siap membantu jika ODGJ mengalami kendala ketika hendak memberikan suaranya saat hari pencobolosan dengan tetap mengedepankan aturan yang ada,” ucap Lidartawan. 

Liputan ini  merupakan kolaborasi Independen.id,  AJI dengan media penerima beasiswa liputan Pemilu 2024 didukung USAID MEDIA - Internews

kali dilihat