Penyakit Hewan Ancam Keamanan Pangan Bali 

Penulis: I Gde Suryadi

Independen.id ---  Di tengah halaman belakang rumahnya yang dipenuhi pepohonan, di Bali disebut ‘teba’, I Made Adi Susila, 35, memelihara belasan ternak babinya. Sama seperti peternak kecil lainnya di Bali, selain memelihara babi Made Adi juga memelihara sapi dan ayam di halaman belakang yang memiliki luas sekitar 25 are itu. Kandang babi dibuat sangat sederhana dengan dinding batako, sapi diikat di bawah atap ilalang tanpa dinding, dan ayam-ayam dilepas liar di lahan yang cukup luas tersebut.

Sebelum kedatangan wabah African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika pada 2019 lalu, hampir seluruh tetangga Made Adi di Banjar Begawan, Desa Abiansemal Dauh Yeh Cani, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, memelihara ternak babi. Namun, kini hanya segelintir yang masih tersisa. Mereka masih trauma dengan kedatangan wabah mengerikan itu. Beberapa kali mereka mencoba bangkit, namun virus kembali menjangkiti ternak babi mereka. 

Made Adi yang akrab dipanggil Cahya, memutuskan kembali memelihara babi sejak 2021. Cahya mencoba beradaptasi dengan virus ASF yang sudah telanjur masuk Pulau Dewata. Kandang babinya kini dikelilingi jaring dengan lubang sangat kecil untuk melindungi ternaknya dari nyamuk yang dapat menjadi vektor (pembawa) virus ASF. Ia pun rutin membersihkan kandang dan memandikan ternak babinya setiap hari. 

“Saya biasanya pakai air sabun, karena kalau beli disinfektan harganya cukup mahal,” ujar Cahya ditemui, Senin (19/8/2024).

Tidak semua peternak tahan melakukan disiplin biosecurity yang terbilang baru tersebut. Banyak tetangga Cahya yang belum mengerti bagaimana cepatnya penyebaran virus ASF. Walhasil, dengan sanitasi seadanya ternak babi mereka kembali terjangkit. 

“Peternak kecil kebanyakan tua-tua, di sana tantangannya,” kata Cahya yang mengaku beberapa kali mencoba mentransfer ilmunya soal biosecurity. 

Ternak babi hadapi penyakit hewan

Daging babi tidak hanya menjadi komoditas pangan saja di Bali, melainkan juga sebagai komoditas budaya. Dalam beberapa upacara Hindu di Bali, daging babi kerap menjadi salah satu sarana upakara. Setiap menjelang Hari Raya Galungan di Bali seperti saat ini, harga daging babi meningkat seiring peningkatan permintaan.

Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Pangan (Distan Pangan) Provinsi Bali menunjukkan populasi ternak babi di Bali pada tahun 2023 sebanyak 401.413 ekor, terbanyak dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Namun dalam beberapa tahun terakhir peternak babi menghadapi sejumlah ancaman penyakit hewan yang dapat mengancam keamanan pangan di Bali.

Virus ASF, meski tidak menular pada manusia, telah mengakibatkan 2.473 ekor babi mati selama periode 2019-2021. Jika sampai dikonsumsi manusia, babi sakit ini dikhawatirkan dapat menularkan beberapa penyakit pada manusia. Permintaan pasar pun merosot tajam saat wabah ini memuncak pada 2020.

Selain ASF, penyakit Meningitis Streptococcus suis (MSs) juga rentan dialami ternak babi. Penyakit disebabkan bakteri Streptococcus suis (S suis) ini bahkan lebih berbahaya, karena dapat menular pada manusia atau bersifat zoonosis. Meski demikian dengan pemberian antibiotik yang tepat pada babi yang sakit, penyakit ini relatif lebih mudah disembuhkan.

Jumlah kasus MSs pada manusia cukup tinggi di Bali dalam beberapa tahun terakhir. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Dr dr I Nyoman Gde Anom, MKes, menyebutkan terdapat 35 kasus MSs pada tahun 2022 yang kemudian meningkat menjadi 61 kasus pada tahun 2023. Sementara pada 2024 sejauh ini sudah ada 19 kasus MSs yang dilaporkan terjadi di Pulau Dewata. 

Penyakit MSs pada manusia ini dapat berakibat fatal berujung kematian. Pasien yang sembuh pun umumnya mengalami kecacatan permanen seperti gangguan pendengaran. 

Adanya kuliner tradisional Bali yakni lawar plek yang dicampur darah babi mentah ditengarai jadi salah satu penyebab tingginya kasus MSs di Bali. Meski demikian bakteri S suis tidak hanya dapat ditemukan pada ternak babi, namun pada mamalia lain dan burung, termasuk pada ayam.

"Jadi tidak semua meningitis tersebut disebabkan oleh konsumsi daging babi, perlu dilihat kasus per kasus dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium," kata dr Anom.

Upaya biosecurity mengatasi penyakit hewan

Bagi kebanyakan peternak babi skala kecil biosecurity bukan menjadi perhatian utama. Maklum biaya produksi untuk beternak sudah cukup mahal, apalagi jika ditambah biaya membeli disinfektan untuk menjaga sanitasi kandang. Harga satu liter desinfektan di pasaran mencapai sekitar Rp 60.000 yang mungkin tidak cukup dipakai selama satu bulan bergantung luas kandang. Belum lagi ditambah membeli jaring dan perlengkapan (sepatu boot, sarung tangan) yang harus dikenakan setiap memasuki kandang.

Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Provinsi Bali I Ketut Hari Suyasa mengatakan, peternak babi di Bali dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni peternak modern (skala besar), semi modern (menengah), dan tradisional (kecil). Ketut Hari mengungkapkan anggota GUPBI Bali saat ini mencapai sekitar 25.000 peternak. 

“Peternak kecil dan menengah inilah kemudian sering abai terhadap biosecurity,”katanya.

Penolakan kerap diterima ketika pihaknya atau pemerintah melakukan edukasi kepada para peternak kecil. Para peternak tradisional ini umumnya memelihara babi satu sampai dua ekor, sehingga langkah-langkah biosecurity menjadi sangat merepotkan bagi mereka.

Ketut Hari mengatakan sosialisasi biosecurity lebih mudah diterima para peternak besar. Karena dengan jumlah ternak yang mencapai ratusan, bisa dibayangkan kerugian yang didapat jika penyakit menjangkiti satu babi yang kemudian cepat menyebar ke ternak babi lainnya. 

Untuk melakukan edukasi kepada masyarakat, Ketut Hari meminta pemerintah daerah masuk melalui lembaga desa adat yang diketahui pengaruhnya sangat kuat di Bali. Menurutnya warga akan lebih mudah diberikan pemahaman ketika edukasi diberikan di sela pertemuan adat (paruman) di balai banjar. 

“Lembaga desa adat bisa mengumpulkan warga hanya suara kul-kul (alat komunikasi tradisional berupa kentungan besar yang ditempatkan di balai banjar, Red),” ujar Ketut Hari. 

Penyakit hewan di Bali terkendali

Kepala Dinas Distan Pangan Bali I Wayan Sunada mengatakan penyakit pada hewan yang terjadi belakangan di Bali seperti ASF, PMK (Penyakit Mulut dan Kuku), flu burung, dan MSs sudah dapat dikendalikan penyebarannya di Bali.

Sosialisasi biosecurity dilakukan kepada peternak babi untuk menghindari kembalinya penyakit ASF dan MSs yang belum ditemukan vaksinnya. Sementara vaksinasi PMK untuk sapi di Bali juga masih berlangsung. Meskipun ASF dan PMK tidak dapat menular pada manusia, menurut Sunada kedua penyakit ini tetap menjadi ancaman keamanan pangan karena menyebabkan kematian pada hewan.

Data Distan Pangan Bali menunjukkan tidak ada lagi kasus penyakit tersebut dalam dua tahun terakhir. Meskipun masih ada ternak babi ataupun sapi yang dilaporkan mati karena sakit, Sunada menolak berspekulasi tanpa bukti uji laboratorium yang pasti. Sunada mengklaim, berdasarkan pemeriksaan laboratorium Distan Pangan Bali, belum ditemukan virus penyebab ASF dan PMK pada babi dan sapi yang dilaporkan mati. Meski demikian Sunada mengakui jika kemungkinan masih ada kasus kematian ternak babi dan sapi yang tidak dilaporkan warga.

“Ramai ASF saya ingin tahu apa buktinya babi itu terkena ASF. Saya sendiri tidak berani menyatakan kalau babi mati itu ASF karena penyakit babi itu banyak. Meningitis juga susah dilacak sumbernya karena bisa dari babi bisa dari alam,” kata Sunada.  

Selain upaya edukasi kepada masyarakat, untuk mengendalikan penyakit pada hewan Pemerintah Provinsi Bali bekerja sama dengan Balai Karantina Pertanian Kelas I Denpasar dan Balai Besar Veteriner Denpasar juga melakukan pengawasan lalu lintas pengiriman ternak ke Bali.

Sunada menjelaskan Pemprov Bali menutup masuknya ternak babi, sapi, unggas dan produk turunannya ke wilayah Bali. Ada tiga pintu masuk ternak di Bali, yakni Pelabuhan Gilimanuk di Kabupaten Jembrana, Pelabuhan Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng, dan Pelabuhan Padang Bai di Kabupaten Karangasem. 

Namun demikian, menurut Sunada biosecurity menjadi cara terbaik menekan penyebaran penyakit pada babi dan ternak lainnya. “Jangan sembarangan masuk ke kandang babi karena bisa saja virus itu menempel di tubuh kita,” kata Sunada.

Sunada menambahkan, untuk mengantisipasi kembali merebaknya penyakit zoonosis Pemerintah Provinsi Bali juga telah membentuk Tim Koordinasi Daerah Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru Provinsi Bali yang terdiri dari berbagai elemen mulai pemerintah, akademisi, masyarakat, hingga media.

Sementara itu, Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar drh I Ketut Wirata, MSi mengatakan selama ini pihaknya terus melakukan surveilans, penyidikan, dan uji laboratorium terhadap berbagai potensi penyakit hewan yang mungkin terjadi di wilayah Bali.

“Kita melakukan deteksi dini kalau cepat kita deteksi kita akan bisa early response, seumpama positif kita akan segera lokalisir,” ujar drh Wirata.

Selain melakukan uji terhadap ternak yang akan dikirim ke luar Bali, BBVet Denpasar juga melakukan surveilans terhadap produk turunan hewan di sejumlah perusahaan. 

Menurut drh Wirata, beberapa penyakit hewan seperti ASF, PMK, flu burung, dan MSs sudah relatif terkendali penyebarannya di Bali. Meski demikian sesekali masih ada temuan penyakit tersebut.

“Satu dua masih terdeteksi, malah yang kita deteksi ASF di produk,” kata drh Wirata.

Kesulitan dihadapi BBVet Denpasar ketika menyelidiki kasus MSs. drh Wirata menyampaikan tidak mudah mendapatkan sampel yang memenuhi syarat untuk membuktikan asal muasal seseorang terkena MSs. Karena pasien suspect MSs umumnya baru dilarikan ke rumah sakit beberapa hari setelah mengonsumsi makanan olahan daging babi yang dicurigai jadi pembawa bakteri S. suis

Ia mengatakan berdasarkan sampel terbatas yang diambil BBVet Denpasar selama ini memang belum pernah ditemukan adanya bakteri S suis. Namun jika melihat temuan ilmiah yang menyatakan babi sebagai vektor utama bakteri S suis, besar kemungkinan penyakit MSs yang diderita warga di Bali berasal dari olahan daging babi mentah yang dikonsumsi sebelumnya.

“Memang kita tidak bisa membuktikan secara nyata. Tapi terbukti dari yang makan olahan babi itu sebagian besar kena MSs,” jelas drh Wirata.

Kata dia upaya biosecurity penting dilakukan untuk memutus rantai penyebaran penyakit hewan. Dijelaskannya, virus ASF hanya mampu bertahan paling lama 3 bulan di luar inangnya, sehingga jika seluruh pihak melakukan upaya biosecurity dengan baik maka ASF akan hilang dengan sendirinya dari Bali. Sayangnya, kata drh Wirata, banyak bangkai ternak babi yang mati akibat ASF saat wabah merebak di Bali ditanam secara seadanya, mengakibatkan keberadaan virus ASF sulit dideteksi keberadaannya di lingkungan saat ini.

One Health solusi jaga keamanan pangan hewani

Epidemiolog Universitas Udayana Dr I Made Subrata mengatakan edukasi kepada masyarakat harus terus dilakukan secara berkelanjutan hingga terbangun kesadaran baru mengenai keamanan pangan. 

Subrata mengatakan MSs masih menjadi momok penyakit zoonosis di Bali saat ini. Secara tradisi di Bali menyantap olahan daging babi yang masih mentah atau setengah matang juga sudah mendarah daging. Makanan tradisional berbahan daging babi seperti komoh, lawar merah, jadi media yang cukup potensial menyebarkan bakteri S suis.

Dia mengatakan tradisi masyarakat Bali dalam mengonsumsi makanan olahan daging babi seperti lawar memang harus dipertahankan sebagai bagian dari budaya Bali. Namun demikian tradisi tersebut seharusnya juga beradaptasi dengan perkembangan ilmu pangan saat ini yang mengedepankan sisi kesehatan.

"Jadi persoalan kalau tidak merah bukan lawar namanya, kurang nikmat menurut perasaan. Apakah ini tidak bisa diganti dengan pewarna alami misalnya buah naga atau pewarna alami yang teregistrasi BPOM," ujarnya.

Di sisi lain peternakan babi di Bali kebanyakan masih bersifat tradisional sehingga belum menerapkan biosecurity secara optimal. Masih sering dijumpai, ujarnya, ternak babi diberikan makanan sisa rumah tangga yang belum tentu masih layak sebagai pakan babi. 

"Pendekatan terbaik saat ini adalah konsep 'one health'. Bagaimana kesehatan lingkungan, kesehatan hewan, dan kesehatan manusianya harus diupayakan secara bersama-sama," ujar akademisi yang pernah menjadi peternak ini.  

Pendekatan one health mengakui bahwa kesehatan manusia terkait erat dengan kesehatan hewan dan lingkungan. Konsep ini menjadi semakin penting dalam beberapa tahun terakhir karena adanya sejumlah faktor yang telah merubah interaksi antara manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, seperti populasi manusia yang terus bertambah, perubahan iklim, dan pergerakan manusia, hewan, dan produk hewani yang meningkat akibat perjalanan dan perdagangan internasional. Perubahan-perubahan ini telah menyebabkan penyebaran penyakit zoonosis yang sudah ada atau sudah diketahui (endemik) dan penyakit zoonosis yang baru atau yang sedang muncul.  

”Kita takutkan adalah terjadi mutasi virus zoonosis yang memungkinkan penyebaran terjadi antarmanusia, maka akan ada pandemi lagi seperti Covid-19,” kata Subrata.

Senada, Ketua Pusat Kajian One Health Universitas Udayana (Udayana One Health Collaborating Center) Prof Dr dr Ni Nyoman Sri Budayanti, SpMK (K), menyampaikan kolaborasi seluruh komponen masyarakat diperlukan untuk menanggulangi penyakit zoonosis.

Pemerintah menurutnya perlu menyiapkan regulasi dan mengawasi implementasinya di lapangan secara ketat. Kata Prof Sri Budayanti masyarakat harus mendapatkan pelindungan dari bahan pangan yang mengandung cemaran termasuk cemaran biologis yang berasal dari hewan dan produk turunannya. Sementara itu dari sisi peternak diharapkan melakukan pemeliharaan secara sehat dengan menerapkan biosecurity ketat.

“Peternak juga kalau melihat gejala (ternaknya) sakit jangan (justru) dijual, tetapi dilaporkan kepada petugas,” ucapnya.

Prof Sri Budayanti mengungkapkan penyakit MSs merupakan penyakit zoonosis yang masih menghantui di Bali. Bakteri S suis ini merupakan flora normal di organ tonsil babi. Namun, bakteri ini dapat menyebar ke pembuluh darah babi dan menyebabkan penyakit MSs pada babi.

Jika daging babi yang sakit ini dikonsumsi tanpa melewati proses memasak sampai matang, maka orang tersebut berpotensi terserang MSs. Tidak hanya menyerang otak, bakteri S suis ini juga dapat menyerang organ lainnya seperti kulit dan jantung.

“Kematian tidak banyak, tapi kecacatannya, tiba-tiba tuli,” kata Prof Sri Budayanti.

Menurut Prof Sri Budayanti masih banyak penyakit lain yang dapat berasal dari pangan hewani. Penyakit diare misalnya dapat disebabkan infeksi bakteri E coli atau bakteri-bakteri lainnya yang ada di daging hewan yang dikonsumsi. Sementara bakteri Salmonella typhi penyebab penyakit tipus, pernah ditemukan pada susu sapi, daging dan telur ayam.

“Penyakit-penyakit itu tidak terdeteksi karena kalau KLB (Kejadian Luar Biasa) baru menjadi perhatian,” ujar Prof Sri Budayanti.

kali dilihat