INDEPENDEN, Jakarta - Lembaga pemerhati keberagaman, Setara Institute menemukan 115 produk hukum daerah di Jawa Barat dan Yogyakarta bernuansa intoleran dan diskriminatif. Ratusan produk hukum ini mengandung pelanggaran HAM yang secara konstitusional dilindungi untuk mendapatkan akses pelayanan publik.
“Penelitian ini mengidentifikasi 32 produk hukum daerah (21 di Daerah Istimewa Yogyakarta dan 11 di Jawa Barat) yang mendiskriminasi kelompok minoritas yang teridentifikasi, berdasarkan gender, etnisitas, kepercayaan, dan orientasi seksual,” kata peneliti Setara Institute, Ismail Hasani dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/08).
Temuan ini juga berdampak terhadap kasus diskriminasi. Dari 32 produk hukum daerah yang dikaji, 2 produk hukum daerah di Jawa Barat mendiskriminasi secara langsung kelompok Ahmadiyah, yaitu Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat.
Selain itu, Surat Keputusan Walikota Bogor No. 503/367-Huk Tentang Pembatalan Surat Keputusan No. 601/389-Pem Tahun 2006 Tentang Pendirian Gereja Yasmin Bogor juga menjadi sorotan.
Sementara, 1 produk hukum daerah di Yogyakarta, yaitu Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. K.898/I/A/1975 Tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi mendiskriminasi langsung (direct discrimination) etnis Tionghoa. Sisanya produk-produk hukum di dua area riset ini mendiskriminasi secara tidak langsung (indirect discrimination).
“Selain mengandung masalah inkonstitusionalitas, produk hukum daerah diskriminatif telah digunakan untuk melegitimasi serangkaian perilaku intoleran, mulai dari stigma sosial yang dimiliki individu, main hakim sendiri dan kekerasan yang didukung negara terhadap kelompok minoritas,” lanjut Ismail.
Langkah yang perlu diambil pemerintah
Ismail menambahkan, Produk hukum diskriminatif akan menjadi bom waktu, menyebabkan konflik sosial antar etnik, agama, dan ikatan sosio-kultural lainnya. Pembatasan hak asasi manusia – termasuk kebebasan beragama, berserikat, dan berekspresi – melemahkan hubungan antara negara dan warganya, dan potensi manusia sepenuhnya dari rakyat Indonesia.
“Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu segera merevisi atau mencabut produk hukum daerah diskriminatif dan regulasi lainnya untuk mengembalikan hak masyarakat Indonesia,” katanya.
Selanjutnya, revisi diperlukan untuk menambah spesifikasi dan kejelasan produk hukum daerah yang mengatur ketertiban umum untuk melindungi dan menentang penggunaannya secara eksesif dan tidak akuntabel terhadap kelompok marjinal dan LGBT.
Pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM) diminta membuat repository produk hukum daerah yang menyatu dan terpusat, sebagai instrumen pengawasan pemerintah pusat terhadap kinerja legislasi daerah untuk memastikan pencegahan berkelanjutan atas potensi terbitnya produk hukum daerah diskriminatif dengan membentuk Badan Pusat Legislasi Nasional, sebagaimana dijanjikan oleh Jokowi-Maruf Amin.
“Pemerintah perlu melakukan pengembangan kebijakan inklusif dan proses konsultasi publik yang efektif. Setiap produk hukum baru harus melibatkan minoritas terlebih pihak yang secara langsung terdampak oleh produk hukum yang dibentuk,” kata Ismail.