Oleh Sonya Andomo
INDEPENDEN-- Pada awal Juli 2017, Topaz (nama samaran) ditangkap penyidik kepolisian karena kasus narkotika. Ia bernegosiasi dengan penyidik kepolisian agar memperoleh asesmen. Topaz lalu memberikan uang sebanyak Rp 50 juta. Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang melaksanakan asesmen setuju dan meminta Topaz mengikuti arahannya dalam pengisian form.
“Jika ingin direhabilitasi dan lepas, isi dua tahun, sabu, 0,38 gram bikin di sana biar dapat rehabilitasinya,” kata petugas ketika Topaz menulis jawaban dari beberapa pertanyaan. Antara lain sejak kapan menggunakan narkotika? Apa jenisnya? Berapa banyak barang bukti yang ditemukan?
Lalu dengan bantuan dua petugas BNN Provinsi (BNNP), Topaz berhasil memperoleh rehabilitasi, tanpa proses hukum lebih lanjut. Namun, penyidik kepolisian ternyata tidak mau mengakhiri permainannya buru-buru.
Penyidik kepolisian kembali memanggil Topaz dari Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta Timur pada akhir September 2017. Alasannya, untuk menghancurkan barang bukti dan berkas-berkas lainnya.
“Kasus lu lanjut bro,” kata Topaz menirukan pernyataan seorang penyidik kepadanya, ketika sampai di Polda Metro Jaya.
Alih-alih menghancurkan bukti sesuai yang dijelaskan, Topaz dipaksa mendekap di sel tahanan, lagi. Sebuah ruang berukuran 3×2 meter milik penyidik kepolisian Metro Jaya
Negosiasi antara Topaz dan beberapa penyidik kepolisian berakhir di pengadilan. Gagal total. Ia divonis lima tahun penjara, mendekam di blok narkoba, di rumah tahanan Cipinang, Jakarta.
Padahal ia ingat betul bagaimana kronologi kesepakatan itu dibuat antara pihak keluarganya dan penyidik kepolisian.
Sebanyak 12 orang polisi dari unit Satuan Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Metro Jaya menjemput Topaz ke rumahnya. Mereka membawa surat tugas penangkapan dan kurang lebih satu jam, Topaz tiba di Polda Metro Jaya.
Selama di jalan, Topaz dipukuli hingga babak belur. Ia dipukul, setrum, dan dicekoki cairan obat nyamuk.
“Saya dikeroyok,” kata Topaz sambil mengusap-usap wajahnya.
Kemudian, Ia ditempatkan bersama 16 orang lainnya di sel milik penyidik Polda Metro Jaya. Selama enam hari atau 3×24 jam ditambah 3×24 jam, sesuai dengan pasal 75 huruf g junto pasal 76 Undang-undang (UU) No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Ia diancam, ditakut-takuti, dan diperas. Katanya, jalan satu-satunya agar tidak melewati proses pengadilan hanyalah asesmen dari Tim Asesmen Terpadu (TAT). Tapi, TAT hanya untuk penyalahguna dan pecandu narkotika. Jadi beberapa pasal, sebelum di TAT wajib dihilangkan.
“Pasal 112, 124, dan 127 dihilangkan,” cerita Topaz.
Pasal yang Topaz maksud, yaitu pasal-pasal yang terdapat di UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 112 mengatur tentang setiap orang yang memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I tanpa hak atau melawan hukum, dapat dikenai pidana penjara.
Pasal 124 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta dan paling banyak Rp 5 juta.
Sedangkan pasal 127 mengatur hukuman rehabilitasi bagi pengguna narkotika yang ditangkap dengan jumlah narkotika di bawah ambang batas tertentu.
“Sabu itu narkotika golongan satu, tapi saya juga disuruh menghapus (UU) yang mengatur narkotika golongan tiga,” kata Topaz.
Penghilangan pasal dan memperoleh TAT tidak gratis. Keluarganya diminta membayar sejumlah uang kepada penyidik kepolisian.
Percakapan antara keluarga Topaz dan salah satu penyidik kepolisian menurut kesaksian Topaz:
Keluarga Topaz : Apa upaya agar hukuman Topaz bisa dikurangi?
Penyidik Kepolisian : Bisa tidak dipidana. Tapi ada ketentuannya.
Keluarga Topaz : Baik, apa itu?
Penyidik Kepolisian : Kasus ini bisa sampai ratusan juta.
Keluarga Topaz : Saya cuma mampu membayar Rp 50 juta. Apakah bisa?
Penyidik Kepolisian : Besok pura-pura mengunjungi Topaz di jam kunjungan. Masukkan uangnya ke dalam kantong Indomaret, lalu taruh uangnya di tong sampah di sudut ruangan, dekat kursi kunjungan, ruangan penyidik. Di sana tidak kelihatan CCTV.
Uang disetor secara tunai tanpa bukti apapun, kecuali tawar-menawar di telepon. Topaz berhasil melakukan TAT di BNN (Badan Narkotika Nasional) Provinsi DKI Jakarta.
Kasus serupa menimpa Safir. Jika Topaz membayar Rp 50 juta, Safir (nama samaran) membayar Rp 27,5 juta dalam dua termin ke orang yang diduga penyidik Kapolresta Gorontalo pada 21 Februari 2023.
Ketika ditangkap penyidik, Safir sedang mengantongi sabu seberat 0,2 gram di rumah kolega bisnisnya. Sehingga, ia dikenakan pasal 112, 114, dan 127 pada UU Narkotika ketika sedang di BAP.
Di ruangan penyidik, Safir disuruh tes urin, dan setelahnya disuruh membayar Rp 17,5 juta untuk TAT dan menghilangkan pasal 114 dengan nominal Rp 10 juta.
“Totalnya Rp 27,5 juta,” kata Safir. Ia dan keluarganya sepakat dengan jumlah tersebut.
Pasal 114 memuat ancaman 5-20 tahun atau hukuman mati serta denda Rp 1-13,3 miliar bagi siapapun yang tanpa hak atau melawan hukum menjual, menawarkan, membeli, menerima, perantara, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I tergantung jumlahnya.
“Pasal 114 itu untuk ganja, sedangkan saya mengantongi sabu,” tegasnya.
Sesuai perintah penyidik, jumlah uang yang disepakati wajib dimasukkan ke dalam kantong kresek hitam. Hingga, ada seorang cleaning service datang dan mengambil kantong berisi uang itu.
Tidak ada bukti, tidak ada saksi, selain ancaman dibunuh, ditembak, dan berkali-kali dipukuli di jalan menuju Polres dan di ruangan penyidikan.
Selama di TAT, dua orang petugas BNNP, polisi dan jaksa sudah menantinya. “Pertama isi data diri dulu, terus wawancara dari petugasnya masing-masing,” kata Safir.
Safir diarahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam form. Kemudian memperoleh rekomendasi. Menjalani rehabilitasi enam bulan di Klinik Pratama hingga tahap litigasi tingkat penuntutan. Ia terindikasi pasal 112 UU Narkotika dari petugas jaksa dan polisi.
“Jadi saya direhabilitasi tapi proses hukumnya tetap dilanjutkan,” katanya.
Ia divonis satu tahun enam bulan. Kemudian, akibat ia telah menjalani rehabilitasi selama proses persidangan, masa tahanannya dipotong selama enam bulan.
Safir direhabilitasi di Klinik Pratama Adhyaksa milik BNN. Namun, ia tidak memperoleh pelayanan apa-apa. Tidak memperoleh konselor, maupun treatment untuk mengubah perilaku.
“Katanya, memang rehabilitasi itu bertujuan untuk membuat bosan saja,” jelasnya.
Klinik Pratama di Gorontalo, berdasarkan laman Diskominfo Kabupaten Gorontalo merupakan sebuah fasilitas kesehatan yang diinisiasi oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Lokasinya berada di Jl. Ahmad A.Wahab, Kabupaten Gorontalo.
Proses TAT dilakukan sesuai peraturan bersama (perber) tentang penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Dilakukan oleh tujuh instansi yaitu MA, Kemenkkumham, Kejaksaan, Polri, BNN, Kemenkes, dan Kemensos.
Sebuah peraturan tentang penanganan penyalahguna narkotika melalui asesmen terpadu. Setiap tersangka yang ditangkap, idealnya diserahkan ke tim TAT. Kemudian, memperoleh rekomendasi selanjutnya.
Jika tersangka merupakan penyalahguna tanpa terlibat jaringan pengedaran gelap narkotika, maka rekomendasi yang diberikan yaitu rehabilitasi dan restorative justice.
Tim Paralegal NGO AKSI Keadilan, Kristin Budi Handayani menyebut meskipun sudah ada peraturan bersama itu, faktanya tidak semua orang dapat memperoleh TAT. TAT menurutnya hanya diberikan kepada orang tertentu saja, seperti pesohor, selebriti, tokoh berpengaruh, dan orang kaya.
“Topaz dan Safir itu sudah diprofilling terlebih dahulu. Mereka punya uang, bisa bayar TAT,” kata Kristin.
Jika tidak memenuhi unsur-unsur itu, setiap tersangka tidak akan memperoleh TAT. Kristin mengatakan untuk melakukan TAT dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“Bahkan hingga Rp 300 juta,” katanya.
Salah satunya yang tidak memperoleh TAT, yaitu Rusa (nama samaran). Hujan besar pada 28 Desember 2023 membuatnya menggigil menahan dingin.
“Saya akan dibawa ke mana?” tanya Rusa kepada salah satu penyidik kepolisian di dalam mobil dari panti rehabilitasi Cakra Sehati di Ciomas, Kabupaten Bogor menuju entah kemana.
“Buuug.” Sebuah tendangan mendarat di punggungnya yang tengah ia tekuk. Ia terpental keluar dari mobil yang masih berjalan. Bajunya kuyup, basah terkena hujan.
“Sudah malam, saya tidak tahu itu di mana, saya bingung,” ucapnya mengenang kejadian hampir setahun lalu itu.
Rusa berjalan dan menghentikan beberapa mobil yang lalu lalang berharap tumpangan. Sebuah bus berhenti. Ia masuk ke dalam bus dan mulai bernyanyi sambil menjentikkan tangan. Ia berhasil mengumpulkan uang senilai Rp 11 ribu.
Ketika makan, Rusa tak sengaja bertemu lagi dengan Aldi. temannya yang “menjebaknya” ditangkap polisi. Pada 12 Desember 2023, Aldi memaksanya menenggak alkohol dan menyodorkan sebuah pil. “Biar ga capek,” kata Rusa menirukan Aldi waktu itu.
Pil ditelan. Sekitar 15 menit kemudian, tiga polisi datang menghampirinya dan Aldi. Mereka dipaksa tes urin langsung. Tes mereka berdua menunjukkan positif. Kemudian, mereka berdua dibawa pergi.
Rusa masuk ke dalam mobil, sedangkan Aldi dibiarkan entah kemana.
“Kenapa cuma saya yang dibawa? oh, sengaja dijebak?” tanya Rusa kepada seorang polisi. Polisi membalas pertanyaan itu dengan tamparan dan meninjunya tepat di bagian kepala.
Rusa di bawa ke Polres Kota Bogor, Rusa ditempatkan di sebuah ruangan tahanan ukuran 2×3 bersama 24 orang lainnya. “Aquarium,” kata Rusa menyebut tempat itu.
Di sana, ia mendekap selama tiga hari. Rusa diminta untuk menghubungi keluarganya. “Urusan kamu di sini bergantung dengan keluargamu,” kata salah satu penyidik di balik meja kepadanya.
Rusa disuruh menghubungi keluarganya buat “negosiasi”. Mamah, panggilan Rusa kepada ibunya bercakap-cakap melalui panggilan telepon dengan seorang penyidik kepolisian.
“Saya tidak diperbolehkan mengetahui isi percakapan itu, tapi di hari ketiga saya dibawa ke tempat rehab,” jelasnya.
Setelah membuat BAP, ia mendatangi panti rehabilitasi sosial bernama Cakra Sehati di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sana, ia ditempatkan bersama tiga orang lainnya di sebuah ruangan berjeruji. Alas tidur tikar tipis, kecoa, dan bau pesing menghiasi ruangan rehabilitasi itu.
Ia diberi makan nasi basah karena ditambah air yang banyak, dan lauknya satu potong bakwan sekali sehari.
Ia diminta untuk membersihkan seluruh ruangan rehabilitasi, menyapu, mengepel, dan menguras kamar mandi petugas. Pernah, Rusa juga diminta mencuci pakaian dan sprei oleh salah seorang petugas. Iming-iming akan dihadiahi rokok setelah menyelesaikan pekerjaannya.
“Lebih dari seratus sprei dan pakaian yang saya cuci. Saya seharian mencucinya, tapi bener dikasih rokok,” katanya.
Sampai pada suatu waktu, Mamah datang menjenguknya. Petugas menjelaskan ke Mamah kalau Rusa bisa dipindahkan ke Lido jika membayar tebusan Rp15 juta. Balai Besar Rehabilitasi Lido itu milik BNN dan berada di Kota Bogor.
Tapi, mereka tidak memiliki uang, apalagi dengan nilai sebesar itu. Sehingga Mamah hanya diminta mengganti uang makan selama di tempat rehabilitasi di tempat yang baru.
“Mamah diminta bayar Rp 500 ribu, dan ngutang dulu ke tetangga,” kata Rusa.
Agak siang, Rusa berangkat. Namun, diturunkan entah di mana. Bukan di Lido sesuai yang dijanjikan.
Selain Rusa, Globe (nama samaran) juga tidak memperoleh TAT. Globe ikut dalam jaringan pengedaran gelap narkotika sebagai kurir.
“Tapi waktu itu saya lagi libur, tidak ada barang satu gram pun yang saya kantongi,” jelasnya pada Sabtu, 17 November 2024 sekitar pukul 16.00 WIB.
Pada 10 September 2024, Globe ditangkap tanpa surat penangkapan. Bandar besarnya tertangkap lebih dulu sehari sebelumnya. “Si bandar mengaku ada barang di saya, padahal tidak ada,” kata Globe ngotot.
Tubuhnya digeledah, uangnya sejumlah Rp 150 ribu, dan vape atau rokok elektriknya disita sekaligus. Namun, tidak ada satupun jenis narkotika yang ditemukan.
Meskipun tidak ditemukan narkotika jenis apapun, ia tetap dibawa. tapi, tidak langsung ke kantor kepolisian setempat. Melainkan ia dibawa ke Jalan Dadali, Bogor, Jawa Barat.
“Di samping restoran,” katanya.
Tangannya dilakban ke belakang. Tubuhnya diseret. Terlentang, menghadap langit. Lalu, dua orang polisi mencakar tubuhnya supaya tetap diam. Wajahnya ditutupi handuk dan galonan air mengguyur mukanya sampai ia hampir tak bisa bernapas lagi.
“Diinfus,” kata Globe memperjelas kejadian yang sedang menimpanya.
Globe dipaksa mengaku atas semua perbuatannya. “Iya saya kurir,” kata Globe tersengal-sengal.
Laki-laki 32 tahun itu berharap penderitaannya usai setelah berterus terang. Namun, salah. Globe malah kembali disiksa dan dipaksa menyebut nama lain. “Barang bukti ga ada, jadi tunjukkan siapa yang melakukan penimbangan,” kata Globe menirukan polisi.
Globe menyebut nama. “Si A,” katanya. Penderitaannya berhenti, beberapa polisi lalu masuk ke mobil dan hilang begitu saja. Polisi yang tinggal mengambil alat tes urin dan menyuruhnya menggunakan itu. “Positif,” tukas Globe.
Hampir 12 jam Globe tergeletak tak berdaya di pinggir jalan Dadali. Sekitar pukul 10 malam, Ia dibawa ke Polres Kota Bogor. Polisi yang pergi tadi ternyata menjemput Si A. Kini mereka berdua. “Dah angkut, bb (barang bukti) mereka 50 gram,” kata Globe menirukan gaya salah satu polisi waktu itu.
Serupa Rusa, Globe juga dimasukkan ke aquarium bersama 31 orang lainnya. Ia mendekam selama empat hari di sana. Tangannya diborgol, dan tidur shift-shiftan dengan penghuni lainnya.
Pada kasus narkotika, penyidik kepolisian dan BNN diberikan waktu penangkapan dan penahanan paling lama 3×24 jam, dan dapat diperpanjang 3×24 jam. Hal itu diatur pada pasal 75 huruf g UU No.35 Tahun 2009.
Lama Globe mendekap di aquarium tidak melebihi ketentuan itu, tapi selama di sana, penyidik kepolisian hanya menjelaskan tentang pengembangan kasus. Tanpa BAP, tanpa sarapan, makan siang, ataupun makan malam. Pada hari ketiga, ia diminta untuk menghubungi keluarganya. Laki-laki beranak tiga itu menghubungi istrinya. Setelah telepon tersambung, penyidik merebut telepon, dan beranjak melanjutkan obrolan.
“Negosiasi,” tegas Globe.
Globe maupun istrinya diminta membayar Rp 30 juta supaya tidak lanjut ke pengadilan. Ditambah, Globe juga memiliki penyakit Hepatitis C yang diklaim dapat menular sehingga perlu dilakukan tindakan rekam medis.
“Mati lo, udah begini juga keadaannya tetap aja make sabu. Penyakit lo menular anjing, perlu penanganan dan biaya tinggi,” kata Globe mengingat apa yang disampaikan seorang polisi kepadanya.
Penyidik kembali bernegosiasi. Laporan BAP Globe dibuat. Meskipun terlibat dalam peredaran gelap narkotika, penyidik mengatakan bahwa Globe tidak ditahan, hanya direhabilitasi. Kemudian, Globe memiliki riwayat medis, sehingga dianjurkan rehabilitasi medis di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor. Sebuah fasilitas rehabilitasi milik pemerintah yang dapat diakses secara gratis menggunakan BPJS Kesehatan bagi pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza).
Namun, tak berselang lama, penyidik menghampirinya kembali. “RSMM penuh,” jelas penyidik singkat.
Globe ingat betul tidak ada pihak yang ditelepon atau mengonfirmasi pernyataan itu. Hanya tiba-tiba penuh dan ia dirujuk ke rehabilitasi swasta bernama Ultra atau Yayasan Pemulihan Natura, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
“Di sana (di Rehabilitasi Ultra), saya numpang kencing doang,” kata Globe.
Ia dan bandar dikenakan tarif Rp 20 juta per orang agar memperoleh fasilitas itu. Semua pembayaran ditanggung bandar, sehingga totalnya Rp 40 juta.
Ia dibawa ke rehabilitasi itu pada hari keempat menginap di akuarium. Sekitar pukul 9 malam. Dibawa menggunakan mobil polisi dengan tangan masih diborgol. Pukul 10 malam, tangannya dan bandar dilepaskan, dan disuruh ngobrol dengan salah satu orang di sana. Pukul 11 malam, ia dibebaskan begitu saja bersama bandar.
“Ya numpang kencing doang, karena kayanya tidak sampai satu jam di sana,” tegasnya.
Berdasarkan daftar lembaga rehabilitasi komponen masyarakat yang telah memenuhi standar Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia (RI) pada Februari 2019, Ultra atau Yayasan Pemulihan Natura Indonesia termasuk ke dalam daftar untuk wilayah DKI Jakarta.
Rehabilitasi itu terdaftar dengan nama lembaga Natura dan setting layanan berupa rehabilitasi sosial rawat inap. Alamat lengkapnya yaitu Jl. Pertanian Raya, No.59 b, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan. No. HP: 081212977723. Kemudian Eksekutif Direkturnya yaitu Ferdy Gunawan.
Pada laman ahu.go.id, nama Natura terdaftar sebagai Yayasan Natura Husada Surabaya yang dipimpin oleh dr. IGN. Darmawan Budianto, SpKJ. Sedangkan, website resmi ultraaddictioncenter.com yang diperoleh dari Facebooknya Natura Recovery Community menunjukkan kantor ini beralamat di Jalan Gatot Subroto Barat, No.98X Badung, Bali.
Memang ada satu lagi website dengan nama www.rumahnatura.com yang diperoleh di Profil Instagram rumah.natura milik yayasan itu. Namun, website ini tidak dapat dibuka dan diakses.
Berdasarkan instagram ifobnn_prov_dkijakarta di salah satu unggahannya menuliskan Bidang Rehabilitasi BNNP DKI Jakarta dan BNNK Jakarta Selatan melaksanakan monitoring dan evaluasi lembaga rehabilitasi di Yayasan Pemulihan Natura Indonesia.
“Layanan yang tersedia adalah rehabilitasi rawat inap dan rawat jalan. Jumlah klien rawat inap sampai dengan Oktober 2024 berjumlah 136 orang, sedangkan rawat jalan berjumlah 891 orang,” tulisnya.
Kemudian, “Yayasan Pemulihan Natura Indonesia diharapkan dapat meningkatkan layanan yang dapat memenuhi standar layanan rehabilitasi sesuai SNI 8807: 2022. #jakartabersinar #indonesiabersinar #bnnpdkijakarta” lanjut keterangan itu yang diunggah pada 13 November 2024.
Cerita mereka merupakan cerita dua dari tujuh orang yang diwawancarai tim redaksi pada 17 November 2024. Lima orang lainnya bercerita hampir serupa.
Copet dan Pecot (nama samaran) juga ditangkap ketika ingin membeli sinte di lokasi yang sudah dijanjikan lewat chat di whatsapp pada Agustus 2024.
“Dua orang polisi langsung menerkam dari belakang, menabrak motor, dan saya terjatuh,” kata pria berusia 20 tahun itu.
Kedua polisi itu langsung mengambil barang yang ditempel di kaca tanpa diarahkan Copet. Copet memesan sinte, namun yang digenggam polisi narkotika jenis sabu.
“Barang bukti sabu, angkat-angkat,” kata seorang polisi yang ditirukan Copet.
Ia dibawa paksa polisi dan disuruh menjemput Cepot, teman yang dihubungi di whatsapp sebelum ke lokasi itu. Cepot di jemput di rumah, tanpa surat penangkapan apapun. Bahkan polisi yang datang mengaku sebagai tukang pinjol (pinjaman online) kepada orang tua Cepot.
Cepot dan Copet dibawa polisi. Sedangkan, si penjual yang nomor telepon, nomor whatsappnya masih berstatus online di telepon Copet tidak pernah ditanyakan polisi. Bahkan, jelas terbukti ia memesan sinte tertulis di kolam chat whatsapp, tapi yang ditemukan sabu.
“Aneh,” kata Copet bingung.
“Kami berdua tidak pernah di-tes urin, tapi dirujuk ke rehabilitasi Ultra Bandung, setelah disuruh menghubungi orang tua kami masing-masing,” lanjut Copet.
Lain lagi Ujang (51) dan Pancul (48) juga dibawa polisi tiba-tiba. Waktu itu, mereka bersama lima orang temannya sedang minum-minum di terminal bus Baranangsiang, Bogor. Tiba-tiba tiga orang polisi datang, memaksa semua orang tes urin.
Beberapa di antaranya, dinyatakan positif mengonsumsi narkotika, termasuk Ujang. Ia mengaku menggunakan sabu sebulan lalu, sedangkan Pancul tesnya menunjukkan negatif. Mereka dipukuli dan ditampar oleh polisi secara bergantian.
“Di dalam kantong baju saya ada resep obat dari apotek yang menunjukkan kalau saya mengonsumsi obat tablet jenis kamlet hasil konsultasinya dengan SPKJ,” jelas Pancul.
Alasan itu pula yang membuat Pancul dipaksa mengaku memiliki barang bukti narkotika oleh polisi, meskipun hasil tesnya menunjukkan negatif.
Mereka berujung dibawa ke Polresta Bogor. Di BAP setelah tiga hari mendekap di akuarium. Kemudian dirujuk ke rehabilitasi narkotika yang sama, yaitu Rehabilitasi Khaiva kasih. Sebuah Rehabilitasi yang beralamat di Jiayanti, Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat.
Website milik Rehabilitasi Kayva Kasih tidak dapat lagi diakses. Namun, Youtube Channel dengan nama Firgian Afinta Hauzan Kurniawan pernah mengulas tentang penggunaan website Yayasan Kayva Kasih.
“Yayasan Kayva Kasih Rehabilitasi adalah pusat pelayanan rehabilitasi Napza yang berdiri sejak tahun 2022 di Kabupaten Bogor berdasarkan akta No.14 tertanggal 22 Juni 2022 oleh notaris Sadikir., S.H (Notaris Kabupaten Bogor),” begitu paragraf awal keterangan laman itu.
Kemudian, Endang Ahdiah, S.H, M.H, yang diketahui sebagai calon legislatif dari Partai Hanura untuk Kota Bogor juga tertulis sebagai pembina yayasan. Kemudian, juga terdapat Alief Satrio Fajar sebagai Ketua Pengurus, dr. Ridwan, M.A dan dr. Annisa Safitriana sebagai dokter dan dewan pengawas.
Di sana, mereka mendekap selama empat hari. Kemudian, diminta membayar Rp 5 juta agar bisa keluar dari tempat rehabilitasi itu.
“Saya menggadaikan sertifikat rumah, sedangkan Ujang memperoleh pinjaman dari tetangganya,” jelas Pancul sebelum ia keluar dari tempat rehabilitasi itu.
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH-M) Yoshua Octavia mengatakan asesmen oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT) bersifat by request atau sesuai permintaan.
“Keluarga yang ditangkap memohon dulu kepada penyidik kepolisian untuk melakukan asesmen,” jelasnya.
Selanjutnya, penyidik juga akan membuat permohonan kepada BNN, hingga asesmen pengguna narkotika tersebut disetujui.
“Kan ini aneh, kenapa tidak langsung ke BNN saja? kenapa melewati penyidik kepolisian?” jelasnya.
Namun, alur permohonan dilakukan asesmen tersebut berdasarkan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNN Nomor 3 dan 11, Tahun 2014. Kemudian, secara teknis diatur dalam Peraturan Kepala BNN Nomor 11 Tahun 2014 tentang cara penanganan tersangka dan terdakwa pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi.
Kategori pecandu narkotika yang berhak memperoleh asesmen sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2010.
Tindakan ini, menurutnya sangat berbahaya dan bersifat discretional (diskresi). Apalagi asesmen yang dilakukan oleh TAT tersebut bersifat projusticia atau tertutup.
Rekomendasi TAT bersifat umum dan tidak mengikat. Sehingga pada awalnya skema yang bertujuan rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika, juga dapat menjadi skema bisnis yang dapat diperjualbelikan.
“Kita bisa liat, banyak artis tiba-tiba ditangkap, tiba-tiba direhab. Pasti itu melalui asesmen, dan gue gatau mereka bayar berapa?” jelasnya.
Joshua menegaskan tidak ada klausul wajib untuk melakukan asesmen di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Apalagi dengan aturan kepolisian Nomor 8 tahun 2001 tentang restorative justice (RJ).
“Ada RJ, tapi asesmen tidak bisa dilakukan untuk beberapa kasus? aneh kan?” katanya.
Hal yang paling masuk akal yaitu asesmen dipungut biaya dengan berbagai cara. Ancaman, negosiasi harga, penghapusan pasal tertentu, dan dilakukan di bawah intimidasi dan kekerasan.
“Upaya paksa itu dilakukan pada 6×24 jam penentuan tersangka atau engga itu sampe deal,” jelasnya.
Dari laman PPID (Pejabat Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi) BNN, diperoleh anggaran untuk penanganan narkotika oleh BNN setiap tahun selalu meningkat. Bahkan, dicanangkan pada 2025, jumlah anggaran dinaikkan menjadi Rp2 triliun rupiah.
Asesmen sudah dilakukan selama 11 tahun, sejak 2004. Dari laman BNN.go ditemukan bahwa meskipun telah bekerja semaksimal mungkin, hasil TAT dinilai belum terlalu memuaskan.
“Karena itulah diperlukan sinergi dan persamaan persepsi stakeholder dari mulai penyidik, penuntut umum, hingga hakim agar TAT tetap eksis dan memberikan hasil yang signifikan,” lanjut keterangan dalam laman tersebut.
Data anggaran penanganan narkotika di Indonesia di bawah BNN, dicantumkan sebagai berikut:
Sejak 2022 hingga 2023 semester kedua, setiap tahunnya BNN memiliki alokasi anggaran hingga Rp2 Triliun rupiah. Dengan program P4GN sebanyak 58 persen dari total seluruh anggaran.
Program P4GN merupakan singkatan dari pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Fasilitas rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika menjadi salah satu bagian dari program P4GN.
Jumlah alokasi anggaaran BNN, menurut Yoshua akan naik hingga Rp2 Triliun rupiah pada 2024 dan 2025. Tepatnya, anggaran BNN mencapai Rp 2.455.081.387.000 atau Rp 2,4 Triliun.
Sebaliknya, Persyaratan tindak pidana narkotika memperoleh asesmen dari Tim Asesmen Terpadu (TAT) ketika memenuhi persyaratan yang diatur di bawah SEMA No.9 Tahun 2011. Misal sabu maksimal 1 gram, sedangkan ganja maksimal 5 gram.
Tim Asesmen Terpadu (TAT) terdiri dari tim medis, psikolog, dan tim hukum. Tim medis akan mengkaji sejauh mana tingkat ketergantungan seseorang dengan narkotika.
“Kami menganggap, orang yang menggunakan narkotika itu adalah orang yang sakit,” jelas Ketua Tim TAT Nasional, Brigjen Pol Heri Istu Hariono di BNN Cawang, Jakarta Timur.
Tim medis TAT menggunakan metode formulir Assesmen Addiction Severity Index (ASI) dalam bentuk wawancara. Indeks tersebut berupa:
- Status medis
- Status pekerjaan dan dukungan
- status zat/ alkohol
- status legal
- status keluarga, sosial, dan psikiatris.
Kemudian, terdapat pemeriksaan fisik, seperti kondisi umum, perilaku, keadaan panca-indera, saluran pencernaan, jantung, dan saluran pernafasan. Selain itu, juga diperiksa gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan narkotika sesuai kode diagnosis dalam PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III) dan ICD-10 (International Classification of Diseases-10).
Menurut Heri, tim hukum juga melakukan pengisian formulir yang sama, namun dengan tujuan pemeriksaan secara litigasi lanjutan.
“Misalnya, itu benar-benar pengguna atau terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkoba,” katanya pada 7 Februari 2025.
Jumlah pengakses TAT bagi pengguna narkotika pada tiga tahun terakhir melebihi target yang dibuat BNN. Heri menjelaskan, pada 2002 targetnya 2 ribu orang, namun tercapai hingga 4.380 orang. Pada 2023 targetnya 3.754 orang, jumlah tercapai hingga 6 ribu orang. Kemudian, pada tahun lalu targetnya 4.426 orang, tercapai hingga 10 ribu orang.
“Anggarannya kurang, kita pakai dana daerah, dan iuran masing-masing saja,” jelasnya.
Sesuai peraturan bersama menteri RI 2014 untuk TAT, menurut Heri tidak ada permohonan melakukan TAT kepada BNN. Anggaran TAT sudah disiapkan oleh BNN kepada tim petugasnya masing-masing.
Jadi, lanjut Heri, ketika ada praktik transaksional dilakukan untuk proses TAT, barangkali itu terdapat pada tim penyidik kepolisian, bukan di BNN.
Sebelumnya, permintaan wawancara dan konfirmasi kepada tim humas Polda Metro Jaya telah dilakukan, tapi tidak ada jawaban sama sekali yang diperoleh.
==
Tulisan ini hasil republikasi pada media koreksi.orghttps://koreksi.org/2025/02/07/akalan-akalan-asesmen-narkotika-antara-pasal-karet-dan-pundi-pundi-kekayaan-bagi-aparat/ pada 7 Februari 2025. Ditulis dengan sedikit perubahan namun tidak mempengaruhi isi.