Amnesty Kritisi Kejanggalan Isi dan Proses Legislasi RUU TNI

Oleh: Betty Herlina

INDEPENDEN-  Panja RUU TNI dan Pemerintah kedapatan melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang TNI, Sabtu (15/03/2025) malam di salah satu hotel bintang lima di kawasan premiun Jakarta. Aksi ini terungkap lantaran digeruduk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menolak proses Panja tertutup tersebut.

Proses rapat tertutup serta dilaksanakan di hotel mewah,  di tengah efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah menimbulkan kecaman dari beragam pihak. Seperti disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.

“Tidak transparan dan partisipatif, terburu-buru, berlangsung di saat libur akhir pekan, memakai hotel mahal yang tidak konsekuen dengan anjuran efisiensi,” katanya.

Ia juga menyesalkan perlakuan beberapa orang yang berjaga terhadap dua orang aktivis yang hendak menyampaikan protes damai atas rapat tertutup RUU TNI tersebut. Padahal aksi tersebut berjalan damai, dan tidak menyerang orang maupun fasilitas acara, seperti aksi pembubaran diskusi di hotel Grand Kemang tahun lalu.

Lebih lanjut, Usman Hamid  mengatakan aksi tersebut bukan hanya kembali mengkritik substansi RUU terkait perluasan jabatan sipil bagi militer aktif hingga kabar penghapusan larangan berbisnis dan berpolitik praktis, tetapi juga memprotes agenda pembahasan yang janggal.

“Mengapa tidak terbuka, partisipatif dan efisien dengan diadakan di hari-hari kerja dan bertempat di Gedung Wakil Rakyat? Mengapa terkesan terburu-buru? Aksi itu mempertanyakan hal yang wajar sehingga tidak perlu diperlakukan secara tidak patut,” imbuhnya.

RUU TNI Memberi Ruang Kembalinya Dwi Fungsi TNI dan Militerisme

Usman mengatakan, sejak awal Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidaklah mendesak. UU TNI No. 34 tahun 2004 dinilai masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional. Sebaliknya, Pemerintah dan DPR perlu mengubah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum. Sehingga asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam konstitusi.

Secara substansi koalisi menilai RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah. Dimana adanya perluasan jabatan sipil yang menambahkan  Kejaksaan Agung dan  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat. Hal tersebut jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI.

Untuk di kantor Kejaksaan Agung, penempatan ini tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara. Sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum. Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu.

“Sejak awal di bentuknya Jampidmil, kami sudah mengkritisi keberadaan Jampidmil di Kejaksaan Agung yang sejatinya tidak diperlukan. Jampidmil hanya menangani perkara koneksitas, harusnya tidak perlu dipermanenkan jadi sebuah jabatan bernama Jampidmil,” beber Usman Hamid.

Menurutnya, untuk kepentingan koneksitas bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan tim Kejaksaan Agung dan oditur militer. Selain itu, peradilan koneksitas selama ini juga bermasalah karena seringkali menjadi sarana impunitas.

“Peradilan koneksitas ini seharusnya dihapus, karena jika militer atau sipil terlibat tindak pidana umum langsung tunduk dalam peradilan umum sehingga tidak perlu koneksitas. Sehingga penambahan jabatan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidak tepat, termasuk keberadaan Jampidmil,” ungkap Usman.

Lebih lanjut, penempatan TNI aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tidak tepat. KKP adalah lembaga sipil sehingga tidak tepat ditempati oleh prajurit TNI aktif. Prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan di KKP sudah seharusnya mengundurkan diri.

Koalisi menilai, sebenarnya yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Akan tetapi justru penyempitan, pembatasan dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI.

“Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah,” tegasnya.

Koalisi juga menilai sejak Panglima TNI menyatakan bahwa prajurit TNI aktif yang menempati jabatan sipil di luar dari 10 lembaga yang dibolehkan pasal 47 ayat (2), harus mundur dari dinas aktif kemiliteran.

“Maka kami mendesak agar seluruh prajurit TNI yang saat ini menduduki jabatan sipil di luar dari 10 lembaga yang diperbolehkan dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI tersebut, segera mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif TNI, terutama Letkol Teddy Indra Wijaya yang berulangkali melanggar ketentuan dalam UU TNI, mulai dari terlibat dalam kampanye politik praktis 2024 hingga pengangkatannya sebagai Seskab,” katanya.

Koalisi juga menyoroti adanya penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas seperti menangani masalah narkotika dinilai terlalu berlebihan. Menurut koalisi penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum. Sehingga sebagai alat pertahanan negara TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya.

Lebih berbahaya lagi, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara (kebijakan presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), tetapi akan di atur lebih lanjut dalam PP sebagaimana diatur dalam draft RUU TNI. Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran Parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri.

“Koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan militerisme di Indonesia,” pungkasnya.

Untuk diketahui selain Amnesty International Indonesia,  Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari beberapa organisasi meliputi Imparsial, YLBHI, KontraS dan PBHI Nasional. Ada juga ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute dan Centra Initiative.

Termasuk LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang,dan Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP). Serta Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan BEM SI, Dejure.

kali dilihat