Kisah Para Puan Penolak Geotermal dari Pasir Cina

Oleh : Rangga Firmansyah

INDEPENDEN- Itulah bentuk penolakan sejumlah buruh tani perempuan saat mendengar informasi akan ada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geotermal di kaki Gunung Gede Pangrango. Mereka khawatir pembangkit listrik ini akan membawa dampak buruk bagi pertanian karena menyebabkan pencemaran sumber air, polusi, dan getaran dari pabrik.

Para perempuan itu melawan karena setiap ada kerusakan lingkungan maka yang paling menderita adalah para perempuan dan anak-anak. Tak hanya warga kampung Pasir Cina di Desa Cipendawa yang melawan. Warga dari desa-desa lain di kaki Gunung Gede Pangrango itu juga menolak, seperti Desa Cipanas, Sukatani, Galudra, Nyalindung, Ciputri, Sindangjaya, dan Ciherang.

Spanduk menolak
Spanduk penolakan yang dipasang warga di Desa Pasir Cina, Cianjur. (Foto: Rangga Firmansyah)

Pemerintah memang punya rencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) geotermal di kaki Gunung Gede Pangrango, Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Rencana ini tertuang dalam Pepres No.4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrakstruktur Ketenagalistrikan dan Permen ESDM tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyedia Tenaga Listrik PT PLN (Persero) Tahun 2021-2030.

Anggota AMGP
Salah seorang anggota AMGP memegang plang dari perusahaan yang diduga sebagai kontraktor Mega Proyek Geothermal. Plang tersebut didapati warga di salah satu lahan yang ada di Desa Sukatani yang diduga sebagai pembatas proyek Geothermal. (Foto: Rangga Firmansyah)

Dilansir dari situs berita pakuanraya.com yang terbit pada 19 Juli 2023, Asisten Daerah Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Kabupaten Cianjur, Budi Rahayu Thoyib mengatakan, PLTP di kaki Gunung Gede Pangrango itu berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN). Lokasinya di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang masuk wilayah Desa Sukatani, Pacet, Kabupaten Cianjur.

PLTP di kaki Gunung Gede Pangrango akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa-Bali yang membesar karena jumlah penduduknya meningkat dan tumbuhnya industri-industri baru. Pengelola sumber energi adalah PT Daya Mas Geopatra Pangrango, unit usaha di bawah Sinar Mas Grup.

Selebaran
Beberapa selembaran dipasang disebagian rumah warga,dalam bentuk aksi protes penolakan pembangunan Geothermal. (Foto: Rangga Firmansyah)

Kisah Yanti

Rumah dan lahan pertanian yang digarap Yanti relatif tak jauh dari lokasi PLTP di kaki Gunung Gede Pangrango. Ia mengandalkan hasil dari bekerja di kebun orang yang ditanami sawi putih, kubis, tomat, dan pakcoy untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Perkebunan Yanti
Perkebunan yang menjadi tempat Yanti mencari nafkah dengan menjadi buruh tani di ladang salah satu milik petani kebun. (Foto: Rangga Firmansyah)

Yanti terbilang baru sebagai buruh tani karena mulai turun ke ladang sekitar tahun 2020. Dulu ia sering sakit – sakitan dan di rumah saja menjadi ibu rumah tangga. “Pertama kali tahun 2020 sebelum corona, dibayar Rp25.000 per hari untuk mencabut rumput dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang,” ujarnya saat istirahat berkebun pada 11 Juni 2024.

Selama 4 tahun terakhir, Yanti menjadi perempuan buruh tani sekaligus ibu rumah tangga. Setiap hari ia harus bangun jam 4.30 untuk menyiapkan keperluan sekolah bagi anak dan suaminya yang bekerja sebagai penjaga toko. Setelah itu, ia baru berangkat ke kebun.

Dua anaknya sempat melarang Yanti menjadi buruh tani karena dianggap sudah tua dan tak cocok berkebun lagi. Namun ia mengaku senang menjalani kehidupan sehari harinya sebagai ibu rumah tangga dan buruh tani meskipun rasa jenuh dan capek kadang datang menyelimuti perasaannya. “Mending di kebun masalah apa pun pasti hilang. Di kebun, suasana enak, makan apa pun enak, capeknya pun beda, jadi masalahnya tuh hilang,” ujarnya sembari tersenyum.

Kegigihan dan kesabarannya menjadi buruh tani akhirnya berbuah manis, upahnya naik dari Rp25.000 per hari, menjadi Rp40.000 pada 2024. Namun pendapatan ini tidak mutlak, tergantung dari sang pemilik kebun. “Kalau gak sampai Rp40.000, kadang dikasih makan siang sama yang punya kebunnya,” kata mantan buruh pabrik di Cipanas itu.

Yanti menunjukan berkas penolakan
Yanti memperlihatkan angket penolakan Warga Kp.Pasir Cina terhadap Pembangunan Gheothernal. (Foto: Rangga Firmansyah)

Pertengahan Oktober 2023 adalah momen yang tak pernah dilupakan Yanti dan masyarakat Kampung Pasir Cina. Mereka melihat dahsyatnya dampak buruk dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang direkam dalam film dokumenter berjudul “Barang Panas” karya Dandy Laksono dan Farid Gaban (Tim Ekspedisi Indonesia Baru).

“Jadi ketika ada informasi tentang (rencana pembangunan) geotermal itu saya belum tahu itu apa. Suatu ketika kampung sebelah (Desa Sukatani,red) mengadakan nonton bareng (film “Barang Panas”) tentang dampak geotermal, disitu saya langsung gak setuju adanya geotermal,” ucapnya.

Yanti saat melakukan sosialisasi kepada warga Desa Pasir Cina, terhadap buruknya dampak dari Pembangunan Geothermal. Foto: Rangga Firmansyah
Yanti saat melakukan sosialisasi kepada warga Desa Pasir Cina, terhadap buruknya dampak dari Pembangunan Geothermal. (Foto: Rangga Firmansyah)

Trauma gempa Cianjur yang mengguncang kampungnya pada awal 2021 belum hilang, kini Yanti sudah dihantui dampak geotermal. Kepada anaknya, Yanti bersumpah akan menolak PLTP geotermal sampai titik darah penghabisan.

Dulu lahan pertanian di desanya pernah jadi tambang pasir, butuh pemulihan hampir 20 tahun agar bisa ditanami. Sekarang justru akan jadi lokasi tambang panas bumi. “Kalau ini jadi (PLTU geotermal) sengsara yang kebayang. Sudah gak mungkin bisa bertani apa lagi berdagang, hanya bisa pasrah,” lanjutnya dengan nada pilu.

Tatapan yanti
Tatapan Yanti saat mengetahui akan ada proyek pembangunan Gheothermal di Gunung Pangrango. (Foto: Rangga Firmansyah)

Emosi Yanti tak henti sampai disitu.Ia mendapat kabar sebuah jalan akan dibuat melintasi Kampung Pasir Cina untuk transportasi alat-alat berat proyek pembangunan geotermal.Ia makin kesal karena halaman rumahnya akan terkena pelebaran jalan ini. “Kita ingin mewariskan mata air bukan air mata ke cucu kita,” ucap Yanti.

Beberapa bulan lalu, seorang pengurus kampung sempat menyambangi rumahnya dan secara sepihak memutuskan soal pelebaran jalan. Belum ada pembicaraan soal ganti rugi tanah bagi tanah halaman rumah yang terkena pelebaran jalan, tapi ia berjanji memberikan kompensasi Rp100.000 per anggota keluarga pemilik halaman rumah yang terkena pelebaran jalan. Selain itu, ada ganti rugi untuk rumah yang mengalami kerusakan akibat dari proyek ini.

Kisah Ayati

Ayati adalah seorang perempuan petani lain di Cipendawa. Ia lebih beruntung dari Yanti karena bisa menyewa lahan dengan harga Rp2juta per tahun. Hasil tanaman dari lahan milik orang dari Aceh itu jadi sumber penghidupan keluarganya. Suami Ayati adalah seorang buruh bangunan. Ia harus membantu mencari nafkah tambahan dengan berkebun. “Saya hanya lulusan SD, dulu ikut sama ibu ke kebun. Nenek dan ibu memang asli dari kampung sini dan sudah bertani dari dulu,” ucapnya.

Ayati
Ayati, salah satu perempuan petani pertama yang masuk dalam Pergerakan GSK. (Foto: Rangga Firmansyah)

Ayati menanam berbagai jenis sayuran seperti sawi putih, kubis, tomat dan pakcoy di lahan seluas 1200 meter per segi. Ada kalanya ia untung besar ketika tidak panen dan harga jualnya bagus. Kalau hasilnya tidak bagus, Ayati mencari tambahan dengan menjadi buruh tani yang berupah Rp40.000 sehari.

Selama 17 tahun mengolah lahan pertaniannya, Ayati pernah “nyambi” menjadi pedagang di sekitar rumah.  Ia jualan seblak dan mie ayam tetapi hanya ramai pada awalnya saja. “Mending ke kebun aja. Biar pun harga jual hasil panen murah, tetapi ada buat sehari hari. Kalau ke kebun mah gak ada musimnya, selagi kita kuat ya terus,” ujarnya.

Ayati saat menyiapkan makan siang
Ayati saat menyiapkan makan siang untuk keluarganya, selepas pulang dari berkebun. (Foto: Rangga Firmansyah)

Ayati yang mempunyai lima anak itu tentu saja juga memiliki “beban ganda” sebagai ibu rumah tangga dan petani. Setiap pagi, ia harus memasak untuk makan bagi semua anak dan suaminya.

Jarak rumah Ayati ke jalan hanya sekitar 10 meter, sehingga halamannya tidak hilang karena pelebaran jalan untuk akses alat berat proyek pembangunan geotermal. Namun Ayati tetap menolak pembangunan pelebaran jalan dan PLTU geotermal di Gunung Pangrango.

Ia dan Yanti termasuk perempuan pertama yang bergabung dalam Gerakan Surya Kencana (GSK) sebuah organisasi rakyat di Desa Pasir Cina untuk menolak rencana PLTU geotermal di Gunung Pangrango. Anggota GSK berjumlah puluhan orang. “Suami sempat kasih tahu jangan terlalu keras takut dicomot. Saya mah gak takut, pokoknya bener-bener nolak,” tegasnya.

Kisah Napisah

Napisah
Napisah yang sehari hari mengurus rumah tangga bertekad akan berkebun lagi untuk membantu perekonomian keluarga ketika anak bungsunya berumur 2 tahun. (Foto: Rangga Firmansyah)

Langkah Napisah (37) menjadi buruh tani berhenti sejak ia memiliki empat orang anak. Namun ia bertekad akan berkebun lagi untuk membantu perekonomian keluarga ketika anak bungsunya berumur 2 tahun. Napisah selalu rindu untuk berkebun karena sudah menjadi buruh tani sejak lulus sekolah dasar. Sehari-hari Napisah mengurus rumah tangga. Tetapi ia juga aktif berjuang menolak PLTU geotermal dengan mengabarkan betapa buruknya dampak pembangkit listrik itu kepada para tetangganya.

“Saya mah gak kebayang kalau proyek ini sampai jadi, lalu lalang mobil-mobil besar, kan jalur itu dilewatin sama anak-anak kalau ke sekolah. Makanya saya mah cuman bisa berdoa saat ini, kalau pun proyek ini tetap jadi, semoga hal-hal buruknya menimpa ke orang yang mendukung dan yang setuju ke proyek geotermal aja, jangan ke saya,” ucapnya, 11 Juni 2024.

Kesadaran Napisah terbuka setelah nonton bareng film “Barang Panas” yang diadakan Aliansi Masyarakat Gede-Pangrango dan Gerakan Surya Kencana. “Air jadi keruh, tanaman pasti tercemar, bising suara mesin, pokoknya sudah banyak daerah yang terdampak dengan adanya geotermal,” bebernya.

 

Geotermal untuk siapa?

Bila ditolak para petani, siapakah penerima manfaat dari PLTU geotermal?  Himawan Kurniadi, Divisi Advokasi Lingkar Keadilan Ruang sebuah NGO yang fokus pada advokasi persoalan konflik agraria dan sumber daya alam mengatakan sebenarnya pemerintah perlu membuat kajian mendalam tentang kebutuhan energi dan energi terbarukan.

“Kita harus melihat persoalan energi ini secara lebih utuh dulu. Misal, ok kita menyepakati beberapa sumber energi, tapi ini untuk apa? Untuk menyuplai industri apa?” ucap Adi panggilan akrabnya saat dihubungi via telepon belum lama ini.

Ia menjelaskan pembukaan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan tidak ada gunanya jika digunakan untuk menyuplai industri ekstraktif. Pasalnya industri ekstraktif dipastikan juga merusak lingkungan.

Adi juga mengingatkan geotermal sangat tidak ramah lingkungan dan merugikan masyarakat sekitarnya. Ia mengambil contoh PLTU di Dieng, Jawa Tengah, yang berdampak terhadap lahan pertanian dan mengambil jatah air para petani. Geotermal butuh air cukup banyak untuk diubah jadi uap untuk menggerakkan turbinnya.

“Nah ini adalah komponen yang menyebabkan pertanian di sekitarnya menjadi terancam keberlanjutannya,” ungkapnya.

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Walhi Nasional yang mengkaji PLTP dengan metode IRIO (Inter Regional Input-Output) memproyeksikan keberadaan PLTP berisiko menurunkan pendapatan petani. Kecenderungan proyek geotermal yang padat modal juga tidak terlalu berdampak terhadap ekonomi lokal.

“Sebaliknya kehadiran geotermal sering dipandang sebagai penghambat produktivitas di sektor pertanian dan perikanan,” ujar Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira dalam penelitian itu.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal heibogor.com pada  25 Juli 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

kali dilihat